Resiliensi Aktor Marjinal TINJAUAN PUSTAKA
dan mengelola bencana yang umumnya dipahami sebagai kapasitas. Oleh sebab itu, sulit memisahkan istilah antara kapasitas capacity dan
mengelola kapasitas coping capacity sehingga akhirnya maknanya disamakan dengan resiliensi Twigg 2007.
Twigg 2007 menggambarkan komunitas sebagai sekelompok orang yang tinggal atau hidup pada kawasan yang sama dan dekat dengan resiko
bencana yang sama. Dalam istilah ini komunitas dilihat dalam kerangka spasial di mana tindakannya dapat memiliki kepentingan, nilai, kegiatan
dan struktur yang sama. Komunitas merupakan sesuatu yang kompleks dan seringkali tidak
bersatu. Adanya perbedaan kesejahteraan, status sosial dan pekerjaan di antara orang-orang yang tinggal pada wilayah yang sama serta pembagian
divisi dalam komunitas menunjukan kompleksitas yang ada di dalamnya. Seorang individu dapat menjadi anggota komunitas lain pada saat yang
sama dan dihubungkan dengan faktor-faktor yang berbeda seperti lokasi, okupasi, status ekonomi, gender, agama atau kepentingan yang bersifat
rekreatif. Komunitas juga merupakan sesuatu yang dinamis di mana orang-orang dapat bergabung bersama untuk tujuan yang sama dan
berpisah lagi ketika tujuan tersebut sudah dicapai Twigg 2007. Oleh sebab itu dalam perspektif bencana, komunitas harus dipahami pada
dimensi spasialnya serta hubungan-hubungannya dengan perbedaan faktor sosial ekonomi, kaitan dan dinamika yang terdapat pada wilayah resiko.
Identifikasi bukan hanya dilakukan pada kelompok yang rentan tetapi juga perlu memahami faktor-faktor yang menyumbang pada terjadinya
kerentanan tersebut. Urusan-urusan terkait ekonomi, jasa dan infrastruktur yang terdapat pada komunitas juga harus diperhitungkan Twigg 2007.
Kelangkaan tumbuhan obat, kelangkan bahan baku jamu yang sudah melalui proses uji klinis dan adanya aktor-aktor dominan dapat menjadi
tekanan bagi aktor-aktor marjinal. Aktor marjinal merupakan aktor yang terlibat dalam pemanfaatan tumbuhan obat tetapi berada dalam posisi
subject yaitu memiliki kepentingan yang tinggi tetapi memiliki pengaruh
yang rendah dalam kegiatanan pemanfaatan tumbuhan obat Reed et al.
2009. Ketidakseimbangan posisi tersebut dapat dilihat sebagai “bencana”
juga dalam relasi sosial. Kelangkaan dan dominansi akan mempengaruhi resiliensi para aktor marjinal dalam menyerap tekanan-tekanan yang
terkait dengan aspek sosial dan ekonomi. Corcoran et al. 2012 menyebutkan bahwa obat-obatan farmasi modern yang dihasilkan dari
tumbuhan obat memiliki jumlah yang sangat signifikan dan sebagian besar diperoleh dari tumbuhan obat yang tumbuh liar. Adanya gangguan
terhadap habitat alaminya di seluruh dunia, baik oleh degradasi hutan, pemanenan berlebihan dan kerusakan menyebabkan banyaknya spesies
tumbuhan obat menghadapi ancaman bagi kelangsungan hidupnya. Oleh sebab itu, peranan masyarakat lokal untuk mengkonservasi spesies-spesies
tersebut dan
menyelamatkan pengetahuan
tradisional terhadap
penggunaannya merupakan hal yang sangat penting. Tindakan penyelamatan pengetahuan tradisional dan pengkonservasian
tumbuhan obat hanya terjadi pada masyarakat lokal yang memiliki akses atau interaksi kuat terhadap spesies tumbuhan tersebut. Biasanya terkait
dengan kepentingan sosial dan ekonomi. Menurut Amzu 2006, spesies kedawung Parkia timoriana merupakan jenis yang sudah langka di
Taman Nasional Meru Betiri TNMB. Jumlah jenis tersebut cenderung dijumpai dalam kelompok yang berdekatan dengan desa-desa yang dihuni
oleh masyarakat pendarung yang ada di bagian Barat TNMB. Hal ini terjadi karena masyarakat pendarung adalah pengguna spesies tersebut dan
merasakan manfaat langsungnya dari keberadaan kedawung. Tetapi hal ini tidak terjadi pada masyarakat pendarung yang terdapat di sebelah
Timur TNMB. Menurut Krishnaswamy et al. 2012 bahwa resiliensi memiliki dua
dimensi, yaitu: a.
Resiliensi agen atau aktor orang-orang atau organisasi sosial: individu,
rumah tangga,
organisasi komunitas,
organisasi pemerintahan
b. Resiliensi sistem yang mendukung komunitas manusia ekosistem,
infrastruktur, kelembagaan, dan pengetahuan
Dengan demikian, resiliensi dapat dipandang sebagai salah satu modal sosial yang berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya tumbuhan obat.
Terkait dengan resiliensi dan modal sosial, keberadaan tumbuhan obat bagi masyarakat di sekitar hutan sebagai jaminan alam natural
insurance , penyedia lapangan pekerjaan dan pendapatan tersedianya
cadangan dan kecukupan bahan baku farmasi alami, sumber pangan dan gizi bagi anak-anak di pedesaan perlu dilihat dalam kerangka tersebut Sill
et al . 2011. Natural insurance sebagai bagian dari konsep resiliensi,
terdapat dua jenis, yaitu pemanfaatan tumbuhan obat untuk menambah pendapatan keluarga ketika pendapatan dari sumber utama mengalami
penurunan. Pendapatan ini disebut sebagai jaring pengaman safety net bagi keluarga. Hal yang lain adalah batu tangga stepping stone yaitu
pendapatan yang digunakan oleh keluarga untuk memenuhi kebutuhan membayar pendidikan bagi anggota keluarga Schreckenberg et al. 2006;
Sill et al. 2011; Dzerefos et al. 2012. Dalam penelitian ini tumbuhan obat dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut.