Obat Tradisional TINJAUAN PUSTAKA

menengah bersedia membayar harga yang lebih tinggi untuk produk- produk tersebut. Di India misalnya, brand seperti Himalaya, Ayush, Shenaz dan Lotus telah memanfaatkan nilai brand mereka dengan memproduksi barang-barang berbasis herbal. Hal ini mendorong brand- brand dunia seperti Hindustan Unilever dan Procter Gamble ikut mengusung brand berbasis herbal juga dengan “Go Herbal” nya Bhattacharjee 2012. Menurut Kartajaya 1995, sebuah citra yang berhasil adalah citra yang tidak hanya diterima di otak konsumen tapi lebih lagi sudah disimpan di hati konsumen. Jika hal itu sudah terjadi, berarti citra tersebut sudah berhasil “menembus” tingkat emosional konsumen. Citra merupakan value dari sebuah produk, sehingga value dapat memberikan arahan ke mana aktor akan bergerak yang dapat digambarkan melalui motivasi internal dari aktor tersebut. Konsep-konsep seperti “norma”. “kepentingan” dan “tujuan” berfungsi pada tingkatan yang lebih abstrak dimana “objectives”, “goals” dan “positions” menggambarkan nilai yang lebih spesifik. Sedangkan “preferensi” dan “posisi” menterjemahkan value ke dalam preferensi relatif terhadap solusi-solusi tertentu atau hasil-hasil kebijakan Hermans Thissen 2008. Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 003MenkesPerI2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan, jamu harus memiliki kriteria aman, berkhasiat, bermutu dan murah secara ekonomi. Kriteria tersebut adalah value dari jamu. Value tersebut dapat dilihat melalui preferensi individu dimana konsumen atau pasien akan memberikan value yang tinggi apabila memperoleh manfaat yang tinggi atas layanan kesehatan dari produk jamu yang dikonsumsinya. Adanya keterbatasan kriteria jamu yang telah memenuhi standar fitofarmaka 8 jenis, obat herbal terstandar 38 jenis dibandingkan dengan obat herbal tidak terstandar ribuan jenis menyebabkan layanan kesehatan berbasis jamu masih sulit dilakukan. Keterbatasan ini menyebabkan terjadinya kelangkaan dan ketidakpastian layanan kesehatan berbasis jamu sehingga mempengaruhi citra jamu sebagai bagian dalam layanan kesehatan. 9.2. Peranan Industri Jamu Industri jamu di Indonesia memiliki peranan yang signifikan dalam pengembangan permintaan bahan baku tumbuhan obat, baik yang berasal dari hutan alam maupun dari sektor budidaya. Beers 2001 menyebutkan bahwa seiring dengan makin hilangnya tradisi meracik jamu sendiri di rumah pada kalangan kaum muda Jawa, telah mendorong terjadinya perubahan pola produksi industri jamu. Penggunaan teknologi tinggi yang aman, bersih, aman dan sehat telah meningkatkan jumlah industri jamu di Pulau Jawa. Hal ini terjadi karena adanya industrialisasi pada sektor tumbuhan obat sehingga dituntut adanya perubahan sikap karena meningkatnya permintaan atas pengobatan tradisional. Kondisi ini kemudian telah menciptakan arus permintaan atas tumbuhan obat dan mendorong terciptanya lapangan kerja baru pada sektor biofarmaka. Effendi dan Rostiwati 2011 menyebutkan bahwa di Jawa Tengah terdapat 7 tujuh aktor yang terlibat dalam rantai perdagangan biofarmaka, yaitu: petani pengumpul, pengumpul, pedagang, pemasok, industri rumahan, industri herbal dan konsumen akhir. Rantai perdagangan tersebut dipisahkan ke dalam tiga saluran utama, yaitu saluran 1 petani pengumpul, pemasok, industri herbal dan konsumen akhir, saluran 2 petani pengumpul, pedagang, industri rumahan dan konsumen akhir, dan saluran 3 petani pengumpul, pengumpul, industri herbal dan konsumen akhir. Model saluran tersebut disajikan pada Gambar 5. Petani pengumpul Pedagang pengumpul Pemasok Industri herbal Konsumen akhir Keterangan: Saluran 1 Saluran 2 Saluran 3 Menurut tim Road Map Jamoe 2011 disebutkan bahwa terdapat kurang lebih 1908 industri obat tradisional di Indonesia hingga tahun 2010 yang terbagi atas 79 buah Industri Obat Tradisional IOT, 1413 Industri Kecil Obat Tradisional IKOT dan 416 Perusahaan Industri Rumah Tangga PIRT. Berdasarkan data ini dapat diketahui bahwa potensi pengembangan jamu di Indonesia sangat tinggi sehingga kebutuhannya terhadap tumbuhan obat sebagai komponen bahan bakunya juga sangat besar. Peluang ekonomi dan bisnis yang tercipta melalui industri jamu dapat dikembangkan hingga pasar global. Perusahaan obat tradisional membutuhkan jenis bahan baku obat tradisional yang berbeda seperti jahe Zingiber officinale Roxb. dan kencur Curcuma aeroginoso Roxb.. Beberapa perusahaan tersebut antara lain PT Sidomuncul, PT Air Mancur, PT Indo Farma, PT Nyonya Meneer, Dayang Sumbi, CV Kencono Temu, Indotraco, Herba Agronusa dan Jamu Jenggot, yang merupakan bagian dari 10 perusahaan obat tradisional utama dan 12 perusahaan obat tradisional menengah Effendi Rostiwati 2011. Effendi dan Rostiwati 2011 menyebutkan bahwa terdapat kesenjangan informasi permintaan antara industri obat tradisional dengan pemasoknya. Industri obat tradisional selalu mengalami kekurangan pasokan bahan baku obat tradisional sehingga tidak dapat mencapai kapasitas terpasang industrinya untuk memenuhi kebutuhan Pedagang Industri RT Gambar 5. Rantai Pemasaran Biofarmaka di Jawa Tengah Sumber: Effendi dan Rostiwati 2011 pasar ekspor, sedangkan pemasok kurang memperhatikan kebutuhan industri obat tradisional karena permintaan industri terhadap bahan bakunya sangat sedikit tidak seperti produk buah atau sayur. Akibatnya, untuk menutupi kesenjangan informasi permintaan, industri obat tradisional melakukan terobosan dengan cara mencari bahan baku tumbuhan obat yang tumbuh liar dan yang telah dibudidayakan. Misalnya gotu cola Centella asiatica, patmosari Rafflesia zolingeriana, kedawung Parkia timoriana, dan cabe jawa Piper retrofractum yang tumbuh liar di halaman, kebun atau di bawah tegakan hutan. 9.3. Struktur Kelembagaan Pengembangan Obat Tradisional Kegiatan pengembangan obat tradisional di Indonesia melibatkan berbagai macam pihak mulai dari sektor swasta, lembaga penelitian dan sektor layanan publik. Zuraida et al. 2010 menyebutkan bahwa terdapat beberapa lembaga yang aktif terlibat dalam pengembangan obat tradisional, yaitu Badan Litbang Kementerian Kehutanan, Badan Penelitian dan Penerapan Teknologi BPPT, Litbang Kementerian Kesehatan, BALITTRO Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Kementerian Pertanian, LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Studi Biofarmaka-IPB, Perguruan Tinggi di Indonesia Fakultas Farmasi, POKJANAS TOI Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia dan PERHIBA Perhimpunan Peneliti Tumbuhan Bahan Alam. Lembaga-lembaga tersebut melakukan kegiatan penelitian pengembangan obat tradisional menggunakan sumber dayanya masing- masing sehingga terdapat peluang terjadinya tumpang tindih terhadap hasil penelitian, sehingga diperlukan adanya kordinasi dan sinkronisasi terhadap pengembangan obat tradisional antar lembaga. Dari sudut aturan main, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang cukup untuk pengembangan obat tradisional secara berkelanjutan yang melibatkan berbagai komponen mulai dari petani, pemasok, pengusaha, lembaga penelitian dan asosiasi. Pada sektor kehutanan, produk kebijakan yang berhubungan dengan tumbuhan obat dapat dijumpai pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada tataran implementatif, produk kebijakan berupa Peraturan Pemerintah PP juga sudah dikeluarkan. Misalnya PP Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dan PP Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Kedua peraturan tersebut mencantumkan pemanfaatan tumbuhan obat sebagai produk Hasil Hutan Bukan Kayu HHBK. Bahkan pada Peraturan Menteri Kehutanan Permenhut Nomor: P.37Menhut-II2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, pemanfaatan tumbuhan obat di hutan alam dikenai kuota 20 ton untuk setiap pemegang ijin. Artinya dari sudut kebijakan, pemerintah selaku pemegang kekuasaan atas pemanfaatan sumber daya hutan telah memberikan dukungan bagi setiap orang untuk terlibat dalam kegiatan pemanfaatan tumbuhan obat terlepas dari tepat atau tidaknya produk kebijakan tersebut. Effendi dan Rostiwati 2011 menyebutkan bahwa arah kebijakan pengembangan tumbuhan obat di Indonesia adalah untuk a Mewujudkan daya saing produk obat tradisional yang tinggi dan berkelanjutan; b Mengurangi ketergantungan pada hasil hutan kayu; c Meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar hutan serta pengelolannya pada kawasan hutan; d Meningkatkan nilai tukar ekspor dari hasil hutan non kayu; e Menciptakan lapangan kerja baru pada sector hasil hutan bukan kayu, khususnya melalui tumbuhan obat; f Meningkatkan kerjasama lintas sektoral; dan g Pada jangka menengah memenuhi kecukupan permintaan industri dan konsumen dalam hal kuantutas, kualitas dan keberlanjutannya. Untuk mencapai arah kebijakan tersebut, pengembangan obat tradisional berbasis klaster untuk peningkatan ekonomi masyarakat menjadi pilihannya. Klaster tersebut memuat hubungan antara kekuatan internal dan kekuatan eksternal yang saling mempengaruhi. Kekuatan internal berhubungan dengan lokasi produksi tumbuhan obat baik yang diekstraksi dari alam maupun dari budidaya. Kekuatan eksternal berhubungan dengan situasi pasar, kebijakan nasional, dan kondisi makro ekonomi. Hal ini berarti bahwa pendekatan klaster telah menjadi kekuatan internal termasuk bagi para pemimpin lokal, lembaga lokal, kebijakan pemerintah lokal ke dalam arena bisnis serta ekonomi global Effendi Rostiwati 2011. Struktur industri obat tradisional yang terkait dengan cluster disajikan pada Gambar 6. Pengembangan sistem berbasis klaster pada obat tradisional membutuhkan penguatan kelembagaan baik pada tingkat lokal internal maupun eksternal nasional. Hal ini mutlak diperlukan karena produk obat tradisional yang dikonsumsi bukan hanya harus bermanfaat, melainkan juga harus bersih, aman dan berkualitas. Oleh sebab itu Toko ritel skala besar Pelanggan Global Ritel skala kecil retailers Toko Ritel skala besar retailers Batas negara Pembeli dan agen ekspor Pelanggan lokal Pabrik produksi Pemasok skala kecil Pabrik skala kecil Klaster Lokal Gambar 6. Struktur Industri Obat Tradisional Terkait Klaster Sumber: Effendi dan Rostiwati 2011 negosiasi antara masyarakat lokal dan pemerintah untuk membangun arus pemikiran yang sama juga diperlukan. Sinkronisasi pemikiran tersebut akan mendorong terciptanya tata kelola obat tradisional yang baik mulai dari hulu hingga hilir Reyer 2009. Hal ini juga akan meningkatkan penerimaan trust masyarakat lokal terhadap program-program terkait tumbuhan obat yang ditawarkan oleh pemerintah melalui pengembangan dan modernisasi budaya pengobatan tradisional pada masyarakat lokal Mulliken Crofton 2008; Giovannini et al. 2011. Dengan kata lain, pemanfaatan obat tradisional pada sektor kehutanan justru akan melestarikan sumber daya tumbuhan obat di hutan alam karena ikut mengembangkan budaya dan tradisi masyarakat lokal sehingga mengembangkan pula kepentingan mereka terhadap aspek sosial, ekonomi dan politik Abubakar et al. 2007; Vasconcelos 2010; Gold Clapp 2011; Mazid et al. 2012. 9.4. Modernisasi Pengobatan Tradisional Pengobatan tradisional menggunakan jamu merupakan warisan luhur bangsa Indonesia. Teknik pengobatan ini sudah ada lebih dahulu dibandingkan teknik pengobatan modern yang dipasarkan saat ini dengan bukti tertua dapat dilihat pada relief candi Borobudur dan tulisan pada daun lontar di Bali antara tahun 991 sampai dengan 1016 Dewoto 2007. Langkah modernisasi terhadap pengobatan tradisional Indonesia diambil mengingat kandungan spesies tanaman obat yang terdapat di hutan-hutan Indonesia sangat melimpah di samping budaya pengobatan tradisional juga terdapat pada suku-suku asli di Indonesia Darmanto Setyowati 2012. Zuhud dan Hikmat 2009 telah mendata dari berbagai laporan penelitian dan literatur tidak kurang dari 2.039 spesies tumbuhan obat yang berasal dari hutan Indonesia. Setiap tipe ekosistem hutan tropika di Indonesia merupakan gudang dan pabrik keanekaragaman hayati tumbuhan obat, terbentuk secara evolusi dengan waktu yang sangat panjang, termasuk telah berinteraksi dengan sosio budaya masyarakat lokalnya. Setiap individu dari populasi tumbuhan obat yang tumbuh secara alami di masing-masing tipe ekosistem hutan merupakan unit terkecil dari pabrik alami yang melakukan proses metabolis sekunder sehingga menghasilkan beranekaragam bahan bioaktif yang khas, yang sebagian besar tidak mudah dan tidak murah ditiru oleh manusia. Kebijakan modernisasi terhadap pengobatan tradisional di Indonesia dimulai dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 003MenkesPerI2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan bahwa jamu harus memiliki kriteria aman, berkhasiat, bermutu dan murah secara ekonomi. Konsepsi tersebut mensyaratkan bahwa jamu sebagai pengobatan tradisional asli bangsa Indonesia harus memenuhi kriteria fitofarmaka agar aman, bermutu dan dijamin khasiatnya bagi penggunanya, yaitu pasien. Dewoto 2007 menyebutkan bahwa langkah-langkah untuk menghasilkan bahan baku obat tradisional menjadi fitofarmaka sebagai berikut: Tahap I Tahap II Tahap III Gambar 7. Tahapan Modernisasi Obat Tradisional Indonesia Sumber: Dewoto 2007 Berdasarkan gambar 7, tahap I merupakan tahap paling awal dari pengembangan obat tradisional dengan menggunakan pendekatan budaya dimana pengalaman menyembuhkan diri sendiri diperoleh melalui studi Jamu - Penggunaannya secara turun temurun, empiris - Bahan baku tidak distandarisasi - Untuk pengobatan sendiri Obat herbal terstandar - Pembuktian khasiat dan keamanan berdasarkan uji pra klinik - Bahan baku distandarisasi - Untuk pengobatan sendiri Obat herbal terstandar - Pembuktian khasiat dan keamanan berdasarkan uji pra klinik dan klinik - Bahan baku, produk jadi distandarisasi - Untuk pelayanan pengobatan formal empiris. Tahap II merupakan perkembangan berikutnya dimana penggunaan teknologi maju melalui mesin-mesin produksi dipakai agar obat tradisional dapat diproduksi masal dan murah. Aspek ekonomi dari pengembangan obat tradisional pada tahapan ini adalah titik beratnya. Penggunaan teknologi laboratorium untuk menguji keamanan dan manfaat obat tradisional masih terbatas digunakan pada Industri Obat Tradisional skala besar dengan sistem fabrikasi yang teratur. Hewan uji sudah digunakan untuk mengetahui dampak obat tradisional yang akan digunakan oleh makhluk hidup. Tahap III merupakan tahap yang paling maju karena obat tradisional digunakan untuk layanan kesehatan formal sehingga aspek khasiat dan keamanannya dijaga sangat ketat. Meskipun masih digunakan sebagai alternatif tetapi posisi obat tradisional sudah diarahkan sama dengan obat modernsintetis dalam hal tahap uji manfaat dan keamanannya. Teknik invitro pada skala laboratorium untuk menyusun komposisi obat tradisional sudah digunakan, kemudian dikembangkan melalui teknik invivo baik melalui penggunaan hewan uji maupun uji khasiat jangka panjang pada manusia Dewoto 2007; Akbor et al. 2007; Taware et al. 2010; Rasool et al. 2011; Huang 2013.

9. Resiliensi Aktor Marjinal

Resiliensi seringkali diterjemahkan dengan daya lenting, yaitu suatu kondisi di mana masyarakat atau aktor yang terkena dampak bencana yang disebabkan oleh alam mau pun manusia mampu bertahan dan mengatasi persoalan tersebut. Twigg 2007 menyebutkan bahwa resiliensi dapat dipahami sebagai a kemampuan untuk menyerap tekanan atau kekuatan- kekuatan yang menghancurkan melalui resistensi atau adaptasi; b kemampuan mengelola atau merawat fungsi-fungsi dan struktur dasar tertentu selama terjadinya peristiwa bencana; c kemampuan untuk memperbaiki atau memantul kembali setelah peristiwa bencana tersebut terjadi. Dalam konsep ini, resiliensi memiliki makna waktu yaitu sebelum terjadinya, pada saat terjadi dan setelah terjadinya bencana. Resiliensi umumnya dilihat sebagai konsep yang lebih luas dibandingkan “kapasitas” karena melampaui perilaku, strategi dan ukuran tertentu untuk mengurangi dan mengelola bencana yang umumnya dipahami sebagai kapasitas. Oleh sebab itu, sulit memisahkan istilah antara kapasitas capacity dan mengelola kapasitas coping capacity sehingga akhirnya maknanya disamakan dengan resiliensi Twigg 2007. Twigg 2007 menggambarkan komunitas sebagai sekelompok orang yang tinggal atau hidup pada kawasan yang sama dan dekat dengan resiko bencana yang sama. Dalam istilah ini komunitas dilihat dalam kerangka spasial di mana tindakannya dapat memiliki kepentingan, nilai, kegiatan dan struktur yang sama. Komunitas merupakan sesuatu yang kompleks dan seringkali tidak bersatu. Adanya perbedaan kesejahteraan, status sosial dan pekerjaan di antara orang-orang yang tinggal pada wilayah yang sama serta pembagian divisi dalam komunitas menunjukan kompleksitas yang ada di dalamnya. Seorang individu dapat menjadi anggota komunitas lain pada saat yang sama dan dihubungkan dengan faktor-faktor yang berbeda seperti lokasi, okupasi, status ekonomi, gender, agama atau kepentingan yang bersifat rekreatif. Komunitas juga merupakan sesuatu yang dinamis di mana orang-orang dapat bergabung bersama untuk tujuan yang sama dan berpisah lagi ketika tujuan tersebut sudah dicapai Twigg 2007. Oleh sebab itu dalam perspektif bencana, komunitas harus dipahami pada dimensi spasialnya serta hubungan-hubungannya dengan perbedaan faktor sosial ekonomi, kaitan dan dinamika yang terdapat pada wilayah resiko. Identifikasi bukan hanya dilakukan pada kelompok yang rentan tetapi juga perlu memahami faktor-faktor yang menyumbang pada terjadinya kerentanan tersebut. Urusan-urusan terkait ekonomi, jasa dan infrastruktur yang terdapat pada komunitas juga harus diperhitungkan Twigg 2007. Kelangkaan tumbuhan obat, kelangkan bahan baku jamu yang sudah melalui proses uji klinis dan adanya aktor-aktor dominan dapat menjadi tekanan bagi aktor-aktor marjinal. Aktor marjinal merupakan aktor yang terlibat dalam pemanfaatan tumbuhan obat tetapi berada dalam posisi subject yaitu memiliki kepentingan yang tinggi tetapi memiliki pengaruh yang rendah dalam kegiatanan pemanfaatan tumbuhan obat Reed et al.