Maka dari pada itu dibutuhkan persepsi anggota DPRD dalam upaya merujuk pada upaya-upaya untuk mendukung kebijakan pemerintah kota dalam mengatasi
masalah yang ada di masyarakat. DPRD memiliki kewenangan yang sangat besar dan penting dalam membuat, menyesuaikan, memutuskan, dan mengontrol akan adanya
sebuah peraturan daerah sebagai sebuah kebijakan pada pemerintahan daerah tersebut. Ini mengandung arti bahwa DPRD mempunyai kewenangan untuk lebih
berperan aktif dalam menanggulangi permasalahan kesehatan yang ada di masayarakat daerah tersebut sehingga terciptanya masyarakat dan daerah yang sehat
dan bersih untuk perkembangan pembangunan daerah Kota Medan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : bagaimana persepsi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DPRD Kota Medan terhadap kebijakan Kawasan Tanpa Rokok KTR?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami persepsi anggota DPRD Kota Medan tentang kebijakan Kawasan Tanpa Rokok KTR di Kota Medan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui persepsi anggota DPRD Kota Medan terhadap kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok KTR di Kota Medan.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
2. Untuk mengetahui sejauh mana peran para anggota DPRD Kota Medan dalam
mendukung kebijakan Kawasan Tanpa Rokok KTR di Kota Medan. 3.
Untuk mengetahui sudah sejauh mana rancangan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok KTR di Kota Medan.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan bagi DPRD Kota Medan dalam membuat atau merumuskan
kebijakan terutama dalam bidang kesehatan di Kota Medan untuk kesempatan yang akan datang.
2. Sebagai masukan bagi Pemko Medan dalam mengusulkan kebijakan terutama
dalam bidang kesehatan. 3.
Sebagai bahan informasi yang dapat dijadikan refrensi bagi penelitian selanjutnya.
4. Sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang penelitian.
5. Untuk menambah khasanah Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya dalam
bidan Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Persepsi
2.1.1 Pengertian Persepsi
Persepsi adalah dimana individu melakukan sebuah proses mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan panca inderanya untuk memberikan sebuah makna
kepada lingkungan disekitarnya Robbins, 2006. Menurut Horvitz, persepsi adalah pendapat yang muncul setelah melakukan pengamatan terhadap lingkungan sekitar
atau memerhatikan keadaan sekitar untuk mendapatkan sebuah informasi terhadap sesuatu.
Menurut Kotler 2009, persepsi adalah sebuah proses bagaimana individu menyeleksi, mengatur, dan menginterpretasikan asumsi-asumsi yang menghasilkan
informasi untuk membentuk sebuah gambaran dari keseluruhannya yang berarti. Persepsi sangat dibutuhkan untuk menilai atau memberikan pendapat terhadap
sesuatu. Persepsi setiap orang selalu berbeda-beda. Dari persepsi ini lah tercipta sebuah interaksi yang dapat memulai hubungan antar sesama individu.
2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Sebuah persepsi tidak terjadi begitu saja, melainkan terjadi akibat adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya. Menurut Vincent, ada beberapa
faktor yang mempengaruhi persepsi, yaitu :
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
1. Pengalaman masa lalu terdahulu. Sebuah pengalaman yang pernah dirasakan
dan dialami seseorang dapat menciptakan sebuah persepsi karena orang tersebut akan menarik kesimpulan yang sama dengan apa yang dilihat, didengarkan dan
dirasakan olehnya. 2.
Keinginan. Sebuah keinginan akan dapat mempengaruhi persepsi seseorang dalam memberikan keputusannya. Karena seseorang tidak akan menerima apa
yang ditawarkan kepadanya apabila itu tidak sesuai dengan keinginannya. 3.
Pengalaman dari orang lain. Pengalaman dari orang lain, dimana orang tersebut menceritakan pengalamannya akan dapat mempengaruhi persepsi dari orang
yang mendengarkannya. Karena hal itu akan menjadi refrensi dari seseorang dalam memberikan persepsi pada keadaan yang sama kelak Riadi, 2012.
2.1.3 Faktor-Faktor yang Berperan dalam Persepsi
Stimulus merupakan salah satu faktor yang berperan dalam persepsi. Ada beberapa faktor yang berperan dalam persepsi, yaitu :
1. Objek yang dipersepsi
Objek memunculkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus timbul dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat timbul dari
dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun kebanyakan stimulus timbul dari luar individu.
2. Alat indera, syaraf, dan pusat susunan syaraf
Alat menerima stimulus adalah alat indera atau reseptor. Selain itu, syaraf sensoris harus ada sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Syaraf motoris diperlukan sebagai alat untuk mengadakan respon.
3. Perhatian
Adanya perhatian diperlukan untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka
mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek Walgito,
2004.
2.1.4 Proses Terjadinya Persepsi
Objek menciptakan stimulus, dan stimulus mengenai alat indera atau rseptor. Proses stimulus mengenai alat indera merupakan proses kealaman atau proses fisik.
Stimulus yang diterima oleh alat indera dilanjutkan oleh syaraf sensoris ke otak. Proses inilah yang disebut sebagai proses fisiologis. Kemudian terjadilah proses di
otak sebagai pusat kesadaran sehingga individu menyadari apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba Walgito, 2004.
Proses yang terjadi dalam otak atau dalam pusat kesadaran inilah yang disebut sebagai proses psikologis.taraf terakhir dari proses persepsi ialah individu menyadari
tentang misalnya apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba, yaitu stimulus yang diterima melalui alat indera. Proses ini merupakan proses terakhir dari
persepsi dan merupakan persepsi sebenarnya. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dalam berbagai macam bentuk Walgito, 2004.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
2.1.5 Objek Persepsi
Segala sesuatu yang ada disekitar manusia dapat menjadi objek yang dipersepsi. Manusia itu sendiri dapat menjadi objek yang dipersepsi. Persepsi diri
atau self-perception adalah orang yang menjadikan dirinya sendiri sebagai objek persepsi .
Objek persepsi dapat dibedakan atas objek yang nonmanusia dan manusia. Objek yang berwujud manusia disebut person perception atau social perception,
sedangkan persepsi yang berobjekkan nonmanusia disebut dengan nonsocial perception atau things perception.
Objek persepsi manusia, manusia yang dipersepsi memiliki kemampuan- kemampuan, perasaan, ataupun aspek-aspek lain seperti halnya pada orang yang
mempersepsi. Orang yang dipersepsi akan dapat mempengaruhi orang yang mempersepsi. Pada objek yang dipersepsi, yaitu manusia yang dipersepsi, lingkungan
yang melatarbelakangi objek yang dipersepsi, dan perseptor sendiri akan sangat menentukan dalam hasil persepsi Walgito, 2004.
2.1.6 Konsisten dalam Persepsi
Pengalaman dari seseorang akan berperan dalam seseorang mempersepsikan sesuatu. Persepsi tidak hanya ditentukan oleh stimulus secara objektif, melainkan
juga akan ditentukan atau dipengaruhi oleh keadaan diri seseorang yang mempersepsi. Konsistensi ini terbagi atas tiga, yaitu :
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
1. Konsistensi Bentuk
Hasil persepsi itu tidak semata-mata ditentukan oleh stimulus secara objektif semata, melainkan individu yang mempersepsi ikut aktif dalam hasil persepsi.
2. Konsistensi Warna
Menurut pengalaman seseorang, mengerti bahwa susu murni berwarna putih,. Walapun pada suatu ketika seseorang tersebut menemukan susu yang warnanya
remang-remang, namun dalam mempersepsikan susu tersebut orang akan berpendapat bahwa susus itu berwarna putih. Inilah yang disebut sebagai konsistensi warna.
3. Konsistensi Ukuran Size
Pengalaman memberikan pengertian bahwa binatang yang namanya gajah dewasa memiliki ukuran besar, lebih besar dari seekor harimau. Apabila seseorang
melihat seokar gajah dari kejauhan, maka gajah tersebut kelihatannya kecil, semakin jauh jaraknya kelihatannya akan semakin kecil. Sekalipun yang dilihat itu kecil,
namun dari hasil persepsi orang menyatakan bahwa gajah itu tetap memiliki ukuran besar.
Dari penjelasan diatas menyatakan bahwa seseorang mempersepsikan sesuatu tidak hanya akan ditentukan oleh stimulus secara objektif semata, namun apa yang
ada dalam diri orang yang bersangkutan akan ikut menentukan hasil persepsi, termasuk pengalaman Walgito, 2004.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
2.2 Kebijakan
2.2.1 Pengertian Kebijakan
Dalam buku Abidin 2012 Thomas Dye mengatakan bahwa kebijakan adalah sebuah pilihan yang dilakukan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu whatever goverment choose to do or not to do. Menurut Easton kebijakan pemerintah aadalah sebuah kekuasaan pengalokasian dari nilai-nilai untuk
masyarakat secara keseluruhan. Pemerintah merupakan sebuah organisasi yang dapat meliputi keseluruhan dari kehidupan bermasyarakat.
Menurut Lasswell dan Kaplan melihat kebijakan merupakan sebagai suatu sarana untuk mencapai sebuah tujuan, dan menyebutkan kebijakan sebagai sebuah
program yang diproyeksikan berhubungan dengan tujuan, nilai, dan praktik. Kemudian Friedrich mengungkapkan bahwa hal yang menjadi paling pokok dalam
sebuah kebijakan adalah adanya tujuan, sasaran, atau kehendak Abidin, 2012 Heglo mengatakan kebijakan sebagai sebuah tindakan yang bermaksud untuk
mencapai sebuah tujuan yang diinginkan. Kemudian melalui Jones, definisi Heglo diuraikan menjadi beberapa isi, yaitu 1 Tujuan, dengan maksud adalah tujuan yang
ditentukan untuk dikehendaki agar tercapai the desired ends to be achieved, bukan hanya sekadar tujuan yang hanya diinginkan saja, 2 alat atau cara tertentu untuk
mencapai tujuan tersebut adalah rencana atau proposal, 3 untuk mencapai tujuan yang dimaksud diperlukan program atau cara tertentu yang sudah mendapatkan
persetujuan dan pengesahan, 4 sebuah keputusan, yaitu suatu tindakan tertentu yang diambil untuk menentukan tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana, serta
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
melaksanakan dan mengevaluasi program, 5 dampak, merupakan dampak yang timbul dalam masyarakat dari program tersebut Abidin, 2012
Jones merumuskan kebijakan sebagai suatu prilaku, yang berhubungan dengan usaha yang ada di dalam dan melalui pemerintah dalam hal memecahkan
masalah umum, yang bersifat tetap dan berulang. Ini memberikan makna bahwa kebijakan bersifat dinamis karena nantinya dalam bagian lain akan dibicarakan secara
khusus dalam hubungannya dengan sifat dari kebijakan tersebut Abidin, 2012 Pengertian kebijakan dikaitkan dengan analisis kebijakan oleh William Dunn,
yang mendefenisikan analisis kebijakan sebagai sebuah ilmu sosial terapan yang untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi yang relevan dengan
menggunakan berbagai metode yang dipakai dalam memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari Abidin, 2012.
2.2.2 Kebijakan Kesehatan
Menurut Walt 1994 dalam Sriatmi 2009, kebijakan kesehatan adalah segala sesuatu yang dilakukan untuk dapat mempengaruhi faktor-faktor penentu
dalam bidang kesehatan agar dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarkat. Kebijakan kesehatan merupakn sebuah jaringan keputusn yang saling berhubungan
untuk menciptakan sebuah strategi atau pendekatan yang nantinya memiliki hubungan dengan isu-isu kesehatan di masyarakat.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
Kebijakan kesehatan berjalan pada beberapa tingkatan, yaitu : 1.
Tingkatan sistemik Gambaran umum yang secara keseluruhan membentuk sistem kesehatan dan
saling berhubungan, misalnya peran serta publik atau masyarakat, hubungan masalah kesehatan dengan sistem yang lain, keterlibatan institusi publik.
2. Tingkatan Program
Memutuskan yang menjadi prioritas untuk pelayanan kesehatan, program- program kesehatan yang nyata dan cara yang digunakan untuk menjalankannya serta
menentukan dimana sumberdaya harus dialokasikan. 3.
Tingkatan Organisasi Memperlihatkan cara yang digunakan agar sumberdaya dapat diguanakan
secara produktif serta dapat memberikan pelayanan yang bermutu tinggi. 4.
Tingkatan Instrumental Sebuah tingkatan yang mengembangkan instrumen organisasi sehingga baik,
seperti dalam pengembangan sumberdaya manusia dalam organisasi dan sistem informasi dukungan dalam pelayanan Sriatmi, 2009.
2.2.3 Strata Kebijakan
Kebijakan dapat dibedakan dalam tiga tingkatan secara umum, yaitu kebijakan umum, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis. Kebijakan umum
adalah kebijakan yang menjadi dasar pedoman atau petunjuk untuk pelaksanaan, baik yang bersifat positif maupun negatif yang menyangkut keseluruhan wilayah atau
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
instansi yang bersangkutan, ini bersifat relatif. Maksudnya adalah untuk cakupan wilayah negara, kebijakan umum berbentuk undang-undang atau keputusan presiden,
dan sebagainya, sedangkan untuk cakupan wilayah provinsi, peraturan atau kebijakan dari keputusan yang diambil dari pusat, serta juga merupakan keputusan gubernur
atau peraturan daerah yang diputuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD.
Kebijakan pelaksana merupakan penjabaran atau turunan dari kebijakan umum. Pada tingkat pusat, peraturan pemerintah yang menyangkut pelaksanaan suatu
undang-undang atau keputusan menteri merupakan penjabaran dari keputusan presiden. Sementara untuk tingkat provinsi, keputusan gubernur atau peraturan daerah
yang dijabarkan menjadi keputusan bupati atau keputusan seorang kepala daerah dapat dianggap sebagai kebijakan pelaksanaan.
Kebijakan teknis adalah suatu kebijakan operasional yang posisnya berada dibawah kebijakan pelaksanaan. Menurut Attamimi, yang membagi peraturan
perundang-undangan menjadi peraturan legislatif dan peraturan kebijakan. Ia menganggap bahwa peraturan kebijakan sebagai bagian putusan yang dibuat dalam
pelaksanaan peraturan legislatif, sedangkan peraturan legislatif merupakan sebuah putusan yang tidak dipandang sebagai kebijakan Abidin, 2012.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
2.2.4 Tahap-Tahap Kebijakan
Dalam proses pembuatan kebijakan publik banyak melibatkan beberapa proses maupun variabel yang akan dikaji. Ada beberapa tahapan-tahapan dalam
kebijakan publik menurut Dunn 1999, yaitu : 1.
Tahap Penyusunan Agenda Masalah-masalah yang ada dikompetisi terlebih dahulu sebelum masuk ke
dalam agenda kebijakan. Kemudian ada beberapa masalah yang dapat masuk ke dalam agenda kebijakan untuk dirumuskan oleh para perumus kebijakan. Namun,
disatu sisi ada masalah yang mungkin tidak tersentuh atau masuk ke dalam agenda kebijakan, dan ada pula masalah yang di tunda untuk beberapa waktu karena alasan-
alasan tertentu. 2.
Tahap Formulasi Kebijakan Dalam tahap ini, masalah-masalah yang masuk ke dalam agenda kebijakan
dicari pemecahan masalahnya. Pemecahan masalahnya berasal dari berbagai alternatif ataupun pilihan kebijakan. Dan disini pun setiap alternatif bersaing untuk menjadi
sebuah kebijakan yang dijadikan sebagai pemecah masalah. 3.
Tahap Adopsi Kebijakan Kebijakan yang diadopsi karena dukungan mayoritas legislatif, konsensus
antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
4. Tahap Implementasi Kebijakan
Kebijakan yang telah diputuskan kemudian dilaksanakan oleh bagian-bagian administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap
ini kemungkinan akan terjadi persaingan dari berbagai kepentingan. 5.
Tahap Evaluasi Kebijakan Pada tahap ini akan dilakukan penilaian dan pengevaluasian terhadap
kebijakan yang telah dijalankan untuk melihat apakah kebijakan tersebut telah mampu memecahkan masalah dan memberikan dampak yang diinginkan Winarno,
2012.
2.2.5 Aktor-Aktor dalam Perumusan Kebijakan
Dalam tulisan Anderson 1979, Lindblom 1980, maupun James P. Lester dan Joseph Stewart, Jr 2000 terdapat pembahasan mengenai siapa yang terlibat
dalam perumusan kebijakan. Terdapat dua kelompok aktor-aktor atau pemeran dalam proses pembentukan kebijakan, yaitu para pemeran serta resmi dan para pemeran
serta tidak resmi Winarno, 2012. Yang termasuk ke dalam para pemeran serta tidak resmi, yaitu pemerintahan
birokrasi, presiden eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sementara itu yang termasuk ke dalam para pemeran serta tidak resmi, yaitu para kelompok-kelompok
kepentingan, partai politik, dan warganegara individu Winarno, 2012.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
2.3 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, DPRD adalah bagian dari unsur penyelenggara daerah. DPRD lebih banyak melaksanakan fungsi pengaturan,
dalam bentuk membuat kebijakan berupa peraturan daerah Wasistiono dan Wiyoso, 2009
2.3.1 Tugas dan Wewenang DPRD
Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 Pasal 62 dan 78 diatur tugas dan wewenang DPRD, yaitu :
1. Membentuk Peraturan Daerah Perda yang dibahas oleh Kepala Daerah untuk
mendapat persetujuan bersama. 2.
Bersama dengan Kepala Daerah, DPRD menetapkan APBD. 3.
Melaksanakan pengawasan terhadap Perda, peraturan perundang-undangan lainnya, Keputusan Kepala Daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam
melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah.
4. DPRD dapat mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala
DaerahWakil Kepala Daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi Gubernur dan melalui Gubernur bagi BupatiWalikota.
5. Kepada Kepala Daerah dimintai kaporan keterangan pertanggungjawaban dalam
pelaksanaan tugas desentralisasi Wasistiono dan Wiyoso, 2009
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
2.3.2 Hak dan Kewajiban DPRD
Menurut UU No. 32 Tahun 2004, DPRD mempunyai beberapa hak, yaitu interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Selain itu, anggota DPRD juga
mempunyai hak, yaitu mengajukan rancangan Perda, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, memilih dan dipilih, membela diri, imunitas,
protokoler, serta keuangan dan administratif. Pada Pasal 45 dalam UU No. 32 Tahun 2004, kewajiban anggota DPRD
adalah : 1.
Mangamalkan Pancasila, melaksanakan UUD NKRI Tahun 1945, dan menaati segala peraturan perundang-undangan.
2. Melaksanakan kehidupan demokratis dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
3. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan NKRI.
4. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan di daerah.
5. Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindak lanjuti aspirasi masyarakat.
6. Mendahulukan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi, kelompok dan
golongan. 7.
Memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota DPRD sebagai wujud tanggung jawab moral dan poltis terhadap daerah
pemilihannya. 8.
Menaati peraturan tata tertib, kode etik, dan sumpahjanji anggota DPRD, menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait
Wasistiono dan Wiyoso, 2009.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
2.3.3. Komisi DPRD
Komisi merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa jabatan keanggotaan DPRD. Setiap anggota DPRD
kecuali Pimpinan DPRD wajib menjadi Anggota salah satu Komisi. Jumlah komisi sebagaimana dimaksud adalah 4 empat komisi. Jumlah Anggota setiap komisi
diupayakan berimbang. Penempatan Anggota Komisi DPRD dalam komisi-komisi dan perpindahan ke komisi-komisi di dasarkan atas usul fraksinya dan dapat
dilakukan setiap awal tahun anggaran. Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris Komisi dipilih dari dan oleh Anggota Komisi dan dilaporkan dalam Rapat Paripurna DPRD.
Masa penempatan anggota dalam komisi dan perpindahannya ke Komisi lain, diputuskan dalam rapat Paripurna DPRD atas usul Fraksi pada awal tahun Anggaran.
Masa jabatan ketua, wakil ketua dan sekretaris komisi ditetapkan paling lama 2½ dua setengah tahun. Anggota DPRD Pengganti Antar Waktu menduduki tempat
Anggota Komisi yang digantikan Anonim, 2010. Komisi dalam DPRD mempunyai tugas sebagai berikut :
a. Melakukan pembahasan terhadap Rancangan Peraturan Daerah, dan
Rancangan Keputusan DPRD b.
Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan, pemerintahan, dan kemasyarakatan sesuai dengan bidang komisi masing
–masing dan apabila ditemukan penyimpangan dapat direkomendasikan ke intansi terkait
c. Membantu Pimpinan DPRD untuk mengupayakan penyelesaian masalah yang
disampaikan oleh Kepala Daerah dan masyarakat kepada DPRD
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
d. Menerima, menampung dan membahas serta menindaklanjuti aspirasi
masyarakat e.
Memperjuangkan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah f.
Melakukan kunjungan kerja komisi yang bersangkutan atas persetujuan Pimpinan DPRD
g. Mengadakan rapat kerja dan dengar pendapat dengan instansi Pemerintah
daerah maupun instansi Pemerintah yang ada di daerah h.
Mengajukan usul kepada Pimpinan DPRD yang termasuk dalam ruang lingkup bidang tugas masing
– masing i.
Memberikan laporan tertulis kepada Pimpinan DPRD tentang hasil pelaksanaan tugas Komisi
j. Komisi melakukan koordinasi dan pembahasan dengan mitra kerja dalam
rangka perencanaan kegiatan APBD tahun berikutnya, untuk ditindak lanjuti di dalam pembahasan Badan Anggaran Anonim, 2010
2.3.4 Hubungan dalam Penyusunan Kebijakan Daerah
UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Perundang- undangan merupakan dasar rujukan atas penyusunan kebijakan daerah dalam bentuk
Perda. Perda merupakan peraturan perundang-undangan yang terbawah baik pada tingkat provinsi, kabupatenkota, maupun desa, dalam Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 10
Tahun 2004. Kedudukan Perda dalam Tata urutan Perundangan: 1.
Undang-Undang Dasar UUD 1945. 2.
Undang-UndangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
3. Peraturan Pemerintah.
4. Peraturan Presiden.
5. Peraturan Daerah Perda Provinsi, Perda KabupatenKota, dan Peraturan Desa
Wasistiono dan Wiyoso, 2009.
2.4 Alur Proses Penyusunan Peraturan Daerah
2.4.1 Prinsip Dasar Proses Penyusunan Peraturan Daerah
Ada beberapa prinsip dasar proses penyusunan peraturan daerah, yaitu : 1.
TransparansiKeterbukaan Proses yang transparan dapat memberikan beberpa hal kepada masyarakat,
yaitu : 1 informasi akan ditetapkannya sebuah kebijakan, dan 2 sebuah peluang bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan melakukan pengawasan terhadap
pemerintah. Hal penting dalam proses pengambilan keputusan adalah bahwa kegiatan
ini membuka kesempatan bagi masyarakat untuk dapat memberikan masukan dan pertimbangan kepada pemerintah secara langsung. Proses yang transparan haruslah
mampu meniadakan batas antara pemerintah dan non pemerintah. 2.
Partisipasi Diadakannya partisipasi untuk mendorong: 1 terciptanya komunikasi publik
untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan pemerintah, dan 2 keterbukaan informasi pemerintah yang lebih baik
untuk kemudian menyediakan gagasan baru dalam memperluas pemahaman komprehensif terhadap suatu isu. Partisipasi mengurangi kemungkinan terjadinya
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
konflik dalam menerapkan suatu keputusan dan mendukung penerapan akuntabilitas, serta mendorong publik untuk mengamati apa yang dilakukan oleh pemerintah.
Partisipasi publik tercermin dalam: 1 kesempatan untuk melakukan kajian terhadap rancangan keputusan; 2 kesempatan untuk memberikan masukan; dan 3
tanggapan terhadap masukan publik dari pengambil keputusan, dalam hal ini pemerintah.
3. Koordinasi dan Keterpaduan
Koordinasi dan keterpaduanintegrasi berkaitan dengan hubungan antara pemerintah dan organisasi dalam pemerintah - menyediakan mekanisme yang
melibatkan instansi lain dalam pengambilan keputusan secara utuh. Keterpaduan memerlukan kombinasi yang harmonis antara wawasan dan aksi koordinasi, menekan
konflik, membatasi ketidakefektivan, dan yang terpenting membatasi jumlah produk hukum LGSP, 2007.
2.4.2 Langkah Penyusunan Peraturan Daerah
Secara formal , sebuah rancangan Perda dapat berasal dari DPRD atau Kepala
Pemerintah Daerah. Namun demikian, penyusunan sebuah Perda hanya dapat diinisiasi apabila terdapat permasalahan yang pencegahan atau pemecahannya
memerlukan sebuah Perda baru. Sehingga inisiasi awal penyusunan Perda baru dapat diprakarsai oleh pemangku kepentingan yang terkait, baik itu lembagainstansi
pemerintah, badan legislatif, dunia usaha, perguruan tinggi, organisasi non- pemerintah, maupun kelompok masyarakat.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
Terlepas dari pihak mana yang mengambil prakarsa awal penyusunan sebuah Perda baru, hendaknya diingat bahwa saat ini terdapat dua jalur penyusunan Perda,
yaitu jalur eksekutif dan jalur legislatif. Oleh karena itu, pejabat berwenang dari lembagainstansi eksekutif dan badan legislatif hendaknya dilibatkan sejak awal.
Dengan kata lain, sebelum melangkah terlalu jauh, inisiasi awal yang bisa saja datang dari kelompok masyarakat atau pemangku kepentingan lainnya tersebut haruslah
diadopsi menjadi inisiasi lembagainstansi eksekutif atau badan legislatif. Setelah instansibadan yang menginisiasi memahami prinsip-prinsip penyusunan peraturan
daerah, maka instansi tersebut telah siap untuk membuat kerangka konseptual dan memulai proses pembuatan Perda. Pada intinya, pembuatan Perda sebenarnya
merupakan satu bentuk pemecahan masalah secara rasional. Menurut UU 10 No. Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan Pasal 26, rancangan peraturan daerah dapat berasal dari dewan perwakilan rakyat daerah atau gubernur, atau bupatiwalikota, masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau kota LGSP, 2007. Secara umum, terdapat 7 tujuh langkah yang perlu dilalui dalam menyusun
suatu Perda baru. Uraian dari masing-masing langkah dapat bervariasi, namun secara umum seluruh langkah ini perlu dilalui.
Langkah 1 : Identifikasi isu dan masalah. Langkah 2 : Identifikasi legal baseline atau landasan hukum, dan bagaimana perda
baru dapat memecahkan masalah.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
Langkah 3 : Penyusunan Naskah Akademik. Langkah 4 : Penulisan Rancangan Perda.
Langkah 5 : Penyelenggaraan Konsultasi Publik:
·
Revisi Rancangan Perda.
· Apabila diperlukan, melakukan konsultasi publik tambahan.
Langkah 6 : Pembahasan di DPRD. Langkah 7 : Pengesahan Perda.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
Alur Proses Penyusunan Perda digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1 Alur Proses Penyusunan Perda
1. Identifikasi Isu dan Masalah
Para perancang Perda sangat perlu membuat Perda atas nama dan untuk kepentingan masyarakat. Langkah pertama yang harus diambil adalah mengajukan
pertanyaan mengenai jenis permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Permasalahan yang dilihat dapat mencakup banyak hal, antara lain degradasi dan
deviasi sumber daya, konflik pemanfaatan antar pihak yang mengakibatkan keresahan 1. Identifikasi
isu masalah 2. Identifikasi legal
baseline atau landasan
hukum, dan bagaimana Perda
baru dpt memecahkan
masalah 3. Penyusunan
Naskah Akademik
4. Penulisan Raperda
5. Penyelenggaraan Konsultasi Publik:
• Revisi Rancangan Perda apabila diperlukan
• melakukan konsultasi publik tambahan
6. Pembahasan
di DPRD
7. Penetapan Perda
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
sosial, dan lain-lain. Selain mengidentifikasi masalah, perancang Perda harus pula mengidentifikasi penyebab terjadinya masalah akar masalah dan pihak-pihak yang
terkena dampak dari berbagai masalah tersebut. Perancang Perda hendaknya memahami konsekuensi-konsekuensi yang
mungkin akan timbul dari penanganan masalah-masalah tertentu. Misalnya saja, apakah semua pihak akan diperlakukan secara adil? Apakah ada pihak-pihak tertentu
yang sangat diuntungkan dan di lain sisi mengorbankan pihak lain? Dengan hanya menangani sejumlah permasalahan, apakah tidak menimbulkan permasalahan baru?
Bagaimana mengidentifikasi masalah tersebut? Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi masalah tersebut, salah satunya adalah
melakukan identifikasi masalah dengan metode ROCCIPI Rule, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process, dan Ideology. Berikut beberapa
penjelasan mengenai ROCCIPI : a.
Rule Peraturan 1.
Susunan kata dari peraturan kurang jelas atau rancu. 2.
Peraturan mungkin memberi peluang perilaku masalah. 3.
Tidak menangani penyebab-penyebab dari perilaku bermasalah. 4.
Memberi peluang pelaksanaan yang tidak transparan, tidak bertanggung jawab, dan tidak partisipatif, dan.
5. Memberikan kewenangan yang tidak perlu kepada pejabat pelaksana dalam
memutuskan apa dan bagaimana mengubah perilaku bermasalah.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
Karena permasalahan rule peraturan ini menjadi permasalahan yang siginifikan, maka baik, metode ROCCIPI maupun metode Fishbone ataupun RIA
mewajibkan adanya riset yang mendalam berkaitan dengan hal ini. Demikian pula dengan konsepsi perancangan Perda. Sebagai peraturan yang sifatnya lebih delegatif
maka perlu ada tahapan khusus, yaitu mengidentifikasi dasar hukum legal baseline. b. Opportunity Kesempatan
1. Apakah lingkungan di sekeliling pihak yang dituju suatu undang memungkinkan
mereka berperilaku sebagaimana diperintahkan undang-undang atau tidak? 2.
Apakah lingkungan tersebut membuat perilaku yang sesuai tidak mungkin terjadi?
c. Capacity Kemampuan 1.
Apakah para pelaku peran memiliki kemampuan berperilaku sebagaimana ditentukan oleh peraturan yang ada?
2. Berperilaku sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang yang ada.
3. Dalam prakteknya, kesempatan dan kemampuan saling bertumpang tindih. Tidak
menjadi soal kategori ROCCIPI yang mana yang mengilhami seorang penyusun rancangan undang-undang ketika merumuskan hipotesa penjelasan.
4. Kategori-kategori ini berhasil dalam tujuannya apabila berhasil merangsang para
pembuat rancangan undang-undang untuk mengidentifikasikan penyebab dari perilaku bermasalah yang harus diubah oleh rancangan mereka.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
d. Communication Komunikasi Ketidaktahuan seorang pelaku peran tentang undang-undang mungkin dapat
menjelaskan mengapa dia berperilaku tidak sesuai. Apakah pihak yang berwenang telah mengambil langkah-langkah yang memadai untuk mengomunikasikan
peraturan-peraturan yang ada kepada para pihak yang dituju? Tidak ada orang yang dengan secara sadar mematuhi undang-undang kecuali bila dia mengetahui perintah.
e. Interest Kepentingan Apakah ada kepentingan material atau non material sosial yang mempengaruhi
pemegang peran dalam bertindak sesuai atau tidak sesuai dengan aturan yang ada? f. Process Proses
Menurut kriteria dan prosedur apakah – dengan proses yang bagaimana – para
pelaku peran memutuskan untuk mematuhi undang-undang atau tidak?. Biasanya, apabila sekelompok pelaku peran terdiri dari perorangan, kategori “proses”
menghasilkan beberapa hipotesa yang berguna untuk menjelaskan perilaku mereka. Orang-orang biasanya memutuskan sendiri apakah akan mematuhi peraturan atau
tidak. g. Ideology Idiologi
Apakah nilai-nilai, kebiasaan dan adat-istiadat yang ada cukup mempengaruhi pemegang peran untuk bertindak sesuai atau bertentangan dengan aturan yang ada?
2. Identikasi Dasar Hukum Legal Baseline dan Bagaimana Perda Baru Dapat
Memecahkah Masalah
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
Legal baseline adalah status dari peraturan perundang-undangan yang saat ini tengah berlaku. Identifikasi legal baseline mencakup inventarisasi peraturan
perundang-undangan yang ada dan kajian terhadap kemampuan aparatur pemerintah dalam melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut.
Identifikasi legal baseline juga meliputi analisis terhadap pelaksanaan dan penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan yang ada. Melalui analisis ini,
dapat diketahui bagianbagian dari Perda yang ada, yang telah dan belumtidak ditegakkan, termasuk yang mendapat pendanaan dalam pelaksanaannya berikut
alasan yang menyertai, dan instansi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tersebut. Pada kenyataannya, para pembuat rancangan Perda terlalu cepat
memutuskan mengenai perlunya pembuatan rancangan Perda yang baru, tanpa melakukan penelaahan memadai tentang legal baseline yang sudah ada.
Beberapa hal dalam mengidentifikasi legal baseline :
1.
Identifikasi seluruh peraturan perundang-undangan yang ada terkait dengan permasalahan,
mulai dari
undang-undang sampai
dengan peraturan
perundangundangan terbawah.
2.
Identifikasi instansi pelaksana.
3.
Evaluasi efektivitas peraturan perundang-undangan yang ada, dengan mempertimbangkan penulisannya:
a. Kejelasan pasal dan ayat. b. Kepastian preskripsi hukum.
4.
Evaluasi efektivitas peraturan perundang-undangan yang ada, dengan mempertimbangkan pelaksanaannya:
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
a. Ketersediaan dana pelaksanaan. b. Kapasitas administrasi.
c. Penegakan hukum.
5.
Identifikasi peraturan perundang-undangan yang paling berpotensi untuk dapat memecahkan masalah, apabila keefektifannya ditingkatkan atau dibuat revisi.
6.
Identifikasi macam-macam instrumen hukum yang mungkin dapat memecahkan Masalah.
3. Penyusunan Naskah Akademik
Nasakah akademik merupakan merupakan sebuah langkah yang paling penting dalam proses legislasi, karena naskah akademik memiliki peran sebagai
“quality cntrol” yang sangat menentukan kualitas suatu produk hukum. Naskah akademik memuat seluruh informasi yang diperlukan untuk mengetahui landasan
pembuatan suatu peraturan daerah yang baru, termasuk tujuan dan isinya. Naskah akademik merupakan landasan dan sekaligus arah penyusunan suatu Perda.
Pembuat Perda hendaknya mempertimbangkan besarnya upaya yang perlu dicurahkan dalam membuat sebuah naskah akademik. Sebagai contoh, naskah
akademik untuk mendukung pembuatan Perda yang hanya menangani satu permasalahan, misalnya pelarangan penggunaan bahan peledak dalam perikanan
tangkap, tentunya tidak perlu sekompleks dan sekomprehensif Perda yang menangani banyak permasalahan yang kompleks secara bersamaan, misalnya pemberlakuan
suatu rezim pengelolaan perikanan yang baru. Pertanyaan-pertanyaan yang sama harus diajukan dalam setiap usulan
pembuatan rancangan Perda. Akan tetapi, kedalaman jawaban terhadap beberapa
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
pertanyaan tersebut, lingkup analisis, dan sejauh mana konsultasi publik perlu dilakukan, tentunya bervariasi.
4. Penyusunan Peraturan Daerah
Proses pertama dalam melakukan perancangan peraturan perundang-undangan adalah dengan mengenali bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dibuat.
Untuk mengenali sebuah peraturan, perlu diperhatikan beberapa hal: a.
Peraturan yang merupakan perubahan. b.
Peraturan yang merupakan penggantian. c.
Peraturan yang merupakan peraturan baru. d.
Peraturan yang merupakan peraturan ratifikasi atau penetapan Perpu biasanya RUU.
Secara umum untuk mengenali sebuah peraturan, terlebih dahulu dikaji lebih dalam apakah peraturan tersebut memuat prinsip-prinsip utama suatu produk hukum
jika nantinya disahkan menjadi undang-undangPerda. Agar memenuhi fungsinya sebagai sumber pengenal kenvorm maka untuk mengenalinya dapat dilihat materi
muatan peraturan tersebut dengan meninjau kerangka strukturalnya. Kerangka struktural dapat dibagi atas 6 enam bagian besar:
a. Penamaanjudul. b. Fraseklausul Permanen.
c. Pembukaan. d. Batang Tubuh.
e. Penutup
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
f. LampiranPenjelasan bila ada 5.
Penyelenggara Konsultasi Publik Interaksi dengan masyarakat merupakan upaya yang lentur, dan harus
diintegrasikan ke dalam proses penulisan rancangan Perda. Proses konsultasi dan penulisan bersifat interaktif, saling mengisi dan mempengaruhi.
6. Pembahasan di DPRD
Pembahasan di DPRD merupakan salah satu bentuk dari dilaksanakannya konsultasi publik. DPRD selaku wakil rakyat kembali akan melakukan seri konsultasi
publik dengan membuka ruang diskusi dengan berbagai kepentingan yang terlibat, seperti asosiasi, perguruan tinggi dan masyarakat yang langsung terkena dampak
dengan diberlakukannya peraturan ini. Pembahasan di DPRD tidak dilakukan oleh DPRD semata, melainkan bekerja sama dengan kepala daerah, seperti apa yang
diamanatkan dalam UU Nomor 10, Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
7. Mengesahakan Peraturan Daerah
Pengesahan adalah langkah terakhir dalam pembuatan Perda baru, sekaligus menjadi langkah pertama pelaksanaan perda tersebut. Salah satu faktor penting
keberhasilan pelaksanaan sebuah Perda baru adalah masa transisinya. Masa transisi ini terkait erat dengan tanggal mulai diberlakukannya Perda baru. Sebuah Perda baru
tidak harus segera diberlakukan setelah disahkan. Sebaiknya ada tenggang waktu antara disahkannya sebuah Perda dengan tanggal mulai diberlakukannya.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
Hal ini dimaksudkan agar lembagainstansi pemerintah terkait dan masyarakat dapat melakukan persiapan-persiapan yang memadai untuk pelaksanaan secara
efektif. Persiapan pelaksanaan meliputi pembentukan kesadaran masyarakat tentang ketentuanketentuan hukum yang baru, serta penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan bagi instansi pelaksana dan aparat penegak hukum mengenai ketentuan- ketentuan spesifik dari Perda yang baru tersebut LGSP, 2007.
2.4.3 Tata Cara Pembentukan Peraturan Daerah
Tata cara pembentukan Perda menurut Peraturan Menteri Dalam Negri 9Permendagri No. 53 Athun 2011 adalah sebagai berikut:
1. Persiapan penyusunan Raperda dalam peraturan tata tertib DPRD Raperda
berasal dari DPRD atau kepala daerah. Kepala daerah menyampaikan surat pengantar kepada DPRD, sedangkan pimpinan DPRD menyampaikan Raperda
kepada kepala daerah. Penyebarluasan Raperda dari DPRD dilaksanakan oleh Sekretariat DPRD. Penyebarluasan Raperda dari kepala daerah dilaksanakan oleh
Sekretaris Daerah. Bila materi raperda dari DPRD dan presiden sama, maka yang dibahas adalah Raperda yang disampaikan oleh DPRD. Raperda dari kepala
daerah digunakan sebagai bahan sandingan. 2.
Pembahasan rancangan Perda Pembahasan raperda dilakukan oleh DPRD bersama kepala daerah dalam rapat komisipanitiaalat kelengkapan DPRD yang
khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
3. Penarikan kembali rancangan Perda Raperda dapat ditarik kembali sebelum
pembahasan oleh DPRD dan kepala daerah. Penarikan kembali Raperda berdasarkan persetujuan bersama antara DPRD dan kepada daerah.
4. Penetapan Raperda menjadi Perda Raperda yang telah disetujui bersama oleh
DPRD dan kepala daerah, dalam waktu paling lambat 7 hari disampaikan pimpinan DPRD kepada kepala daerah untuk ditetapkan menjadi perda. Raperda
ditandatangani oleh kepala daerah dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak raperda disetujui bersama, maka raperda tersebut sah menjadi Perda dan
wajib diundangkan
2.5 Rokok
2.5.1 Pengertian Rokok
Rokok adalah kertas yang berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm yang berbentuk silinder yang memiliki diameter sekitar 10 mm dan berisi dau-daunan
tembakau yang telah diproses. Pada ujungnya rokok dibakar dan dibiarkan membara sehingga asapnya dapat dihirup melalui mulut dari ujung yang lainnya Susanti,
2011.
2.5.2 Kandungan dalam Rokok
Rokok sangat berbahaya bagi kesehatan. Didalam rokok banyak terkandung zat-zat berbahaya yang dapat merusak tubuh. Dalam asap rokok terkandung lebih dari
4000 jenis senyawa kimia. Kurang lebih 400 jenis diantaranya memiliki kandungan
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
zat beracun berbahaya dan sekitar 69 jenis terkandung zat yang dapat menyebabkan kanker karsinogenik. Beberapa zat beracun yng terkandung dalam rokok, yaitu
nikotin, karbon monoksida, tar, timah hitam Pb, amoniak, hidrogen sianida HCN, nitrous oxide, fenol, hidrogen sulfida Zakky, 2013.
2.5.3 Penyakit Akibat Rokok
Memiliki kebiasaan merokok menimbulkan dampak yang buruk bagi tubuh, yaitu mulai dari kepala munculnya serangan stroke atau gangguan pembuliuh darah
otak, gangguan pada paru dan jantung, terjadinya berbagai keluhan pada perut, gangguan pada proses kehamilan sampai pada kelainan di kaki gangguan pembuluh
darah di kaki. Berikut beberapa penyakit akibat merokok : 1.
Kanker Paru Salah satu bahan yang terkandung dalam rokok yang menyebabkan kanker
paru adalah tar. Apabila seseorang menghisap rokok dalam jangka waktu yang lama maka di dalam parunya akan terjadi perubahan yang di akibatakan oleh asap rokok
tersebut. Hal yang berhubungan dengan timbulnya kanker paru yaitu jumlah rokok yang diisap, lamanya waktu merokok, jenis rokokyang diisap, serta berhubungan juga
dengan dalam tidaknya isapan yang dilakukan. 2.
Penyakit Jantung Kebiasaan merokok merupakan salah satu penyebab terjadinya penyakit
jantung. Dua bahan terpenting yang terkandung dalam asap rokok yang berkaitan dengan penyakit jantung adalah nikotin dan gas CO. Nikotin dapat mengganggu
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
jantung, membuat irama jantung menjadi tidak teratur, mempercepat aliran darah, menimbulkan kerusakan lapisan dalam dari pembuluh darah dan menimbulkan
penggumpalan darah. Sementara itu gas CO akan mengganggu kemampuan darah untuk berikatan dengan oksigen.
3. Kehamilan
Kebiasaan merokok pada para calon ibu membawa dampak buruk pada anak yang akan dilahirkannya. Wanita hamil yang merokok lebih banyak melahirkan bayi
yang meninggal apabila dibandingkan dengan wanita hamil yang bukan perokok. Hal itu terjadi karena pengaruh bahan-bahan dalam asap rokok seperti gas CO, sianida,
tiosianat, nikotin, dan karbonik anhidrase, yang selain menggangugu kesehatan ibu juga dapat menembus ari-ari dan mengganggu kesehatan janin di dalam kandungan
Aditama, 2011.
2.6 Kawasan Tanpa Rokok
Kawasan Tanpa Rokok KTR adalah kegiatan dalam hal produksi, penjualan, iklan, promosi danatau penggunaan rokok yang dinyatakan dilarang untuk dilakukan
dalam area atau ruangan. Tujuan dari kawasan tanpa rokok adalah untuk melindungi masyarakat dari paparan asap rokok dengan memastikan bahwa tempat-tempat umum
bebas dari asap rokok. Menurut UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 115 ayat 1, yang
termasuk kawasan tanpa rokok, yaitu : 1.
fasilitas pelayanan kesehatan
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
2. tempat proses belajar mengajar
3. tempat anak bermain
4. tempat ibadah
5. angkutan umum
6. tempat kerja
7. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan
Kawasan tanpa rokok sangat dibutuhkan untuk menjaga masyarakat dari asap rokok dilingkungannya. Ada beberapa dasar pertimbangan mengapa perlunya
peraturan kawasan tanpa rokok, yaitu : 1.
Seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, kesehatan merupakan hak azasi setiap manusia.
2. Setiap pekerja dan karyawan memiliki hak yang sama untuk bekerja di dalam
lingkungan kerja yang sehat dan tidak membahayakan diri mereka. 3.
Anak-anak mempunyai hak khusus untuk tumbuh dan berkembang di lingkungan yang sehat, salah satunya yaitu bebas dari asap rokok.
4. Kawasan tanpa rokok 100 merupaka upaya yang efektif untuk melindungi
masyarakat dengan alasan karena tidak ada batas aman untuk setiap paparan asap rokok orang lain.
5. Amanat Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 115 ayat 2 yang
menyatakan Pemerintah Daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok diwilayahnya Kemenkes, 2010.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
2.6.1 Prinsip Dasar Kawasan Tanpa Rokok KTR
Komitmen politis dari para penentu kebijakan daerah sangat diperlukan dalam pengembangan dan penerapan KTR. Prinsip-prinsip dasar pengembangan KTR
adalah sebagai berikut : 1.
Prinsip 1 Paparan asap rokok tidak memiliki batas aman. Racun yang terkandung dalam
asap rokok yang kemudian masuk ke dalam tubuh secara kumulatif akan tersimpan dan menimbulkan berbagai gangguan kesehatan, sehingga semua tempat kerja yang
tertutup termasuk kendaraan umum dan tempat-tempat umum tertutup harus bebas dari asap rokok. Dan intinya semua orang harus bebas dari asap rokok orang lain
untuk melindungi kesehatannya. 2.
Prinsip 2 Apabila seluruh ruangan tertutup di dalam gedung maka 100 ruangan harus
bebas dari asap rokok, dan kawasan tanpa rokok merupakan upaya yang efektif. Dan apabila dalam ruangan tertutup tidak memiliki sistem ventilasi atau saringan udara
yang mampu menghilangkan racun asap rokok, maka ruangan merokok di dalam gedung tidak dibenarkan.
3. Prinsip 3
Pengembangan KTR memerlukan peraturan yang berbentuk legislasi yang dapat mengikat secara hukum. Kebijakan yang bersifat secara sukarela dan tidak
memiliki sangsi hukum yang kuat tidak efektif untuk memberikan perlindungan
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
kepada masyarakat. Peraturan UUPerda yang efektif adalah peraturan yang sederhana, jelas dan mudah untuk diterapkan.
4. Prinsip 4
Memerlukan berbagai perencanaan yang baik dan sumber daya yang memadai agar tercapainya keberhasilan dalam penerapan dan penegakan KTR.
5. Prinsip 5
Mulai dari proses pengembangan, pelaksanaan dan penegakan hukum, komponen masyarakat secara aktif perlu dilibatkan. Untuk menjamin kepatuhan
terhadap peraturan serta memberikan dukungan terhadap masyarakat umum, maka dibutuhkan peranan yang sangat penting dari lembaga masyarakat termasuk lembaga
swadaya masyarakat dan organisasi profesi. 6.
Prinsip 6 Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan peraturan,
penegakan hukum, dan dampak dari KTR. Monitoring dilakukan juga terhadap intervensi dari berbagai pihak termasuk industri rokok terhadap pelaksanaan KTR
Kemenkes, 2010.
2.6.2 Langkah-Langkah Pengembangan KTR
Dalam pengembangan KTR diperlukan beberapa langkah. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengendalikan masalah tembakau di tingkat Provinsi, KabupatenKota
maka perlu adanya Pembentukan kelompok kerja Pokja. Anggota Pokja terdiri
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
dari berbagai unsur Pemerintah, LSM, Organisasi Keagamaan, Perguruan Tinggi, Organisasi Profesi. Pokja ini tidak boleh memiliki hubungan kerja sama dengan
industriperusahaan rokok. 2.
Melakukan Analisis Situasi yang meliputi : a.
Analisis terhadap peraturan dan kebijakan serta dukungan politis yang ada terhadap pengendalian masalah tembakau dan KTR.
b. Analisis terhadap sumber daya yang akan mendukung KTR.
c. Analisis terhadap potensi dari partisipasi masyarakat dalam KTR.
3. Pengembangan Kebijakan dan Strategi KTR
a. Menyiapkan data dasar “evidence based”, yaitu data prevalensi perokok,
hasil survey sikap dan perilaku, polling survey untuk menilai pengetahuan dan dukungan masyarakat. Data ini dapat diperoleh dari data yang sudah ada
data sekunder maupun data primer yang dimiliki oleh tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
b. Untuk mendukung kebijakan KTR melakukan diseminasi data kepada mass
media, penentu kebijakan, dan kepada seluruh stakeholder. c.
Untuk menggalang komitmen politis diadakan pertemuan Advokasi, Audiensi dengan pimpinan daerah Walikota dan DPRD dan stakeholder.
Dalam pertemuan tersebut disampaikanlah data dasar, integrasi konsep KTR kedalam VissMisi atau Program Pembangunan Daerah dan manfaat dari
kebijakan KTR, yaitu memiliki martabat karena dapat melindungi masyarakat, elegan dan prestisius karena memenuhi standar kesehatan
masyarakat internasional, menurunkan biaya pengobatan, meningkatkan
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
produktifitas, serta dapat meluruskan informasi yang keliru tentang berbagai dampak ekonomi Perda KTR pada industri jasa, tidak efektifnya ruang
merokok dan ventilasi, dan sebagainya. d.
Penyusunan Perda disepakati sesuai dengan hak inisiatif Pemda atau DPRD.
e. Membentuk Tim Penyusunan Draft Perda KTR. Dalam penyusunan draft
Perda KTR, anggota Tim perlu mendapat training mengenai KTR dan berkonsultasi dengan tenaga ahli.
f. Untuk menyusun strategi komunikasi sebelum Perda terbentuk,
mendiskusikan draft Perda KTR, serta untuk mendapatkan dukungan, maka diadakan pertemuan konsultasi dengan stakeholder.
g. Menyerahkan draft Perda kepada BupatiWalikotaGubernur serta mendapat
persetujuan. h.
Menyerahkan draft Perda KTR kepada DPRD untuk kemudian didiskusikan dan mendapat persetujuan dan menerbitkannya.
i. Mengintegrasikan KTR kedalam visimisi atau program pembangunan
daerah. 4.
Komunikasi dan Informasi a.
Melakukan pertemuan sosialisasi dengan para stakeholder. Materi sosialisasi yang diberikan menyangkut bahaya asap rokok orang lain, hak asasi dari
perokok pasif dan perlu adanya perlindungan hukum. Teknik penyampaian komunikasi dapat dilakukan melalui kampanye di media massa, pendekatan
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
terhadap tokoh masyarakat, jurnalis, press release, seminar, temu karya, dan lain-lain yang dapat menyampaikan informasi tersebut.
b. Memberikan informasi kepada para perokok agar dapat mematuhi Perda
yang telah diputuskan. c.
Memberikan informasi kepada seluruh penanggung jawab kawasan atau wilayah untuk dapat melaksanakan KTR.
d. Meningkatkan partisipasi seluruh komponen masyarakat dalam penerapan
KTR. e.
Isi Perda mengenai kapan diberlakukan, dimana diterapkan, sanksi pelanggaran dan peran serta masyarakat, diumumkan melalui media massa
dan disosialisasikan kepada tokoh masyarakat. f.
Mengumumkan data pendapat masyarakat bahwa Perda telah dapat diterapkan, serta menyampaikan keberhasilan pelaksanaan Perda KTR,
secara berkala. g.
Mempublikasikan informasi keberhasilan pelaksanaan Perda KTR dalam website dan media massa.
5. Pelaksanaan dan Penegakan Perda KTR
a. Membentuk peraturan untuk pelaksanaan Perda KTR PerbupPerwali.
b. Menyusun pedoman teknis pelaksanaan dan penegakan Perda KTR serta
mendistribusikannya kepada seluruh stakeholder dan organisasi terkait. c.
Mekanisme koordinasi dibentuk untuk penegakan Perda KTR. Tim penegakan hukum yang dibentuk terdiri dari organisasi masyarakat dinas
kesehatan sebagai inisiator, perguruan tinggi, organisasi keagamaan,
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
asosiasi hotel dan restoran, asosiasi olahraga, asosiasi transportasi, unsur pemerintahan, satpol PP, polisi, dan lain-lain. Secara berkala hasil
penegakan hukum dilaporkan kepada BupatiWalikota. d.
Untuk inspeksi dan penegakan dilaksanakan pelatihan bagi tim penegak hukum.
e. Untuk selalu memberi dukungan dalam penerapan Perda KTR diadakan
pertemuan konsultasi dengan stakeholder. f.
Kurang lebih 15 hari setelah pemberlakuan masa penegakan hukum, dibuat tanda KTR, sesuai standar dan mendistribusikannya kepada seluruh kawasan
yang mencakup KTR. g.
Melakukan pemantauan investigasi kepatuhan pelaksanaan Perda KTR. h.
Layanan Berhenti Merokok disarankan untuk disediakan. i.
Menyediakan layanan pengaduan online. j.
Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan permasalahan yang akan dihadapi dan cara penanggulannya maka disiapkan materinya.
k. Melaksanakan pengawasan internal oleh penanggung jawab tatanan meliputi
deteksi pelanggaran, edukasi, teguran lisantertulsi dan melaksanakan inspeksi rutin oleh tim penegak hukum.
l. Menerapkan sangsi hukum.
m. Kemajuan dan masalah serta hal-hal yang mendukung pelaksanaan KTR
dikomunikasikan pada Rakorda. n.
Dalam proses penyusunan dan pelaksanaan KTR dilibatkan seluruh komponen masyarakat termasuk pelaku bisnis.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
6. Monitoring dan Evaluasi
a. Melakukan monitoring dan evaluasi tingkat kepatuhan, dampak kesehatan
dan ekonomi. b.
Mengadakan jejak pendapat masyarakat terhadap penerapan kebijakan KTR sebelum dan setelah penerapan.
c. Mengadakan monitoring kualitas udara sebelum dan setelah penerapan
Kemenkes, 2010.
2.7 Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
Dasar hukum yang mendukung kawasan tanpa rokok sangat banyak, yaitu : 1.
UU No. 36 thun 2009 tentang Kesehatan a.
Pada pasal 10, setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi maupun fisik.
b. Pada pasal 11, setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk
mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi- tingginya.
c. Pada pasal 12, setip orang berhak berkewajiban menjaga dan meningkatkan
derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya. d.
Pada pasal 13, yaitu Ayat 1, pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif
diarahkan agar
tidk mengganggu
dan membahayakan
kesehtan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
Ayat 2, zat adiktif sebagaimana dimaksudkan pada ayat 1 meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cair, dan gas yang
bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian dirinya danatau msyarakat disekelilingnya.
Ayat 3, produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang menggandung zat adiktif harus memenuhi standar danatau persyaratan yang ditetapkan.
e. Pada pasal 115, yaitu
Ayat 1, kawasan tanpa rokok antara lain, fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar, tempat bermain anak, tempat ibadah, angkutan umum,
tempat kerja, dan tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan. Ayat 2, pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok
diwilayahnya. 2.
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. 3.
PP No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. 4.
PP No. 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. 5.
UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. 6.
UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran a.
Pada pasal 46 ayat 3, yang menyatakan siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat
adiktif serta promosi rokok yang memperagakan wujud rokok. 7.
UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 8.
UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
9. Instruksi Menkes Nomor 84MenkesInsII2002 tentang Penetapan KTR di
Tempat Kerja dan Sarana Kesehatan. 10.
Instruksi Menkes Nomor 161MenkesInsII1990 tentang Lingkungan Kerja Bebas Asap Rokok.
11. Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 4U1997 tentang
Lingkungan Sekolah Bebas Rokok. 12.
Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri RI No. 188MENKESPBI2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok
Susanti, 2011.
2.8 Kerangka Pikir Penelitian