Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai makhluk sosial, tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Mereka saling membutuhkan antara satu sama lainnya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Manusia sebagai makhluk sosial dan bagi kebanyakan orang kecenderungan untuk bersama orang lain lebih kuat daripada keinginan untuk menyendiri. Kenyamanan dan kedamaian hati akan dirasakan oleh seseorang apabila dalam berinteraksi dapat mengikuti pola dan kebiasaan-kebiasaan yang ada di lingkungannya, sehingga untuk dapat mempertahankan hidup dan diterima lingkungannya, individu harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana ia berada. Dalam proses pendidikan di sekolah, siswa sebagai subjek didik merupakan pribadi- pribadi yang unik dengan segala karakteristiknya. Siswa sebagai individu yang dinamis dan berada dalam proses perkembangan memiliki kebutuhan dan dinamika dalam interaksinya dengan lingkungan. Sebagai pribadi yang unik, terdapat perbedaan individual antar siswa yang satu dengan yang lainnya. Demikian pula masalah yang berkaitan dengan penyesuaian diri siswa, baik penyesuaian terhadap lingkungan maupun terhadap sesama teman. Banyak diantara siswa yang sukar beradaptasi ada juga yang mudah beradaptasi. Setiap memasuki tahun pelajaran baru, pada umumnya hampir di setiap sekolah menyelenggarakan kegiatan Masa Orientasi Siswa MOS, yang wajib 2 diikuti oleh setiap calon siswa baru. MOS, kependekan dari Masa Orientasi Siswa adalah suatu masa dimana siswa baru diberi kesempatan untuk memiliki masa orientasi pembiasaan untuk menyesuaikan diri dalam lingkungan sekolah yang baru. Jenjang pendidikan di Indonesia dibina oleh Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional jenjang Sekolah Dasar SD, Sekolah Menengah Pertama SMP dan Sekolah Menengah Atas SMA dan Sekolah Menengah Kejuruan SMK. Setiap jenjang pendidikan memiliki ciri khusus yang membedakan dengan jenjang pendidikan yang lain. Untuk mengantar seorang anak memasuki jenjang pendidikan yang baru, Dirjen Dikdasmen telah menetapkan suatu masa orientasi untuk siswa baru, yang disebut Masa Orientasi Siswa MOS. Masa Orientasi Siswa MOS diadakan sebagai upaya untuk menjembatani siswa baru mengenal berbagai kekhususan dari jenjang pendidikan barunya, baik yang berupa lingkungan fisik, lingkungan sosial, peraturan maupun isi dan cara-cara belajar yang berbeda dengan lingkungan pada jenjang pendidikan sebelumnya. Berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan Masa Orientasi Siswa SMP dan SMK Sederajat Propinsi Jawa Tengah bahwa tujuan diadakannya Masa Orientasi Siswa MOS adalah memberikan kesan positif dan menyenangkan kepada siswa baru tentang lingkungan sekolahnya yang baru. Mereka diharapkan mengawali kegiatan pendidikan dengan hal- hal yang menggembirakan sambil mengenal dan mempelajari sesuatu yang baru, baik yang berkaitan dengan lingkungan fisik, lingkungan sosial termasuk norma-norma khusus yang berlaku di lingkungan sekolah barunya maupun dengan cara-cara belajar yang baru. 3 Masa Orientasi Sekolah MOS selama ini selalu menjadi tradisi sekolah dan dilakukan dengan cara yang sama. Padahal saat MOS itulah guru berkesempatan mengenali siswa. Bukan sekedar tahu asal sekolah mereka, biodata, nilai rapor, atau hasil psikotes. Berdasarkan survei awal yang dilakukan oleh peneliti tiga hari setelah siswa mengikuti MOS pada kelas VII SMP Negeri 37 Semarang dengan menggunakan angket, diperoleh data sebagai berikut: 20 dari 40 siswa dapat menyesuaikan dengan lingkungan fisik sekolah, 20 dari 40 siswa dapat menyesuaikan diri dengan situasi kelas, 20 dari 40 siswa dapat menyesuaikan diri dengan teman, 15 dari 40 siswa dapat menyesuaikan diri dengan guru dan karyawan, 20 dari 40 siswa dapat menyesuaikan diri dengan kurikulum, dan 15 dari 40 siswa dapat menyesuaikan diri dengan peraturan tata tertib sekolah. Dengan demikian masih banyak siswa yang belum dapat menyesuaikan diri dengan guru, karyawan, dan peraturan tata tertib sekolah. Hal ini dikarenakan anak masih memasukkan materi-materi yang diajarkan pada saat MOS secara kognitif saja. Pada dasarnya, peralihan ke sekolah yang lebih tinggi mungkin tidak terlalu sulit bagi sebagian siswa. Namun ada banyak faktor yang mempengaruhi siswa-siswa lain sehingga mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk melakukan penyesuaian diri dengan sekolah barunya. Bahkan, siswa baru kini tidak semata-mata harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah yang baru, tapi juga harus menjadi bagian dari budaya sekolah yang mendasari komunitas pembelajar. MOS haruslah bertujuan untuk orientasi siswa, pondasi pengembangan komunitas pembelajar, serta mengembangkan keahlian dan nilai siswa. Lalu melalui kegiatan ini, 4 sekolah juga harus mengadakan pemetaan siswa. Maksudnya, sekolah harus bisa membuat rekomendasi dari setiap anak dan langkah-langkah untuk mengoptimalkan kemampuan anak. Menurut Direktur Konsultan Manajemen dan Pendidikan Open Mind Tendi Naim, selama ini guru selalu memberitahu murid, padahal harusnya terjadi komunikasi dua arah sehingga mengerti tentang anak. MOS berpotensi sebagai dasar penciptaan komunitas belajar. Kegiatan ini juga bisa digunakan untuk mengenal anak dari awal termasuk potensi yang dimiliki anak. Untuk itu, sekolah juga membutuhkan data lain seperti karakteristik siswa, kebiasaan, target, komitmen, potensi masalah, dan potensi dukungan masalah. Salah satu sekolah yang sudah menerapkan MOS seperti ini adalah SMP Taruna Bakti, Bandung, Jawa Barat. Sejak tahun 2006-2007, sekolah tersebut ingin menerapkan MOS yang berbeda. Dalam MOS tak jarang terjadi peristiwa perpeloncoan. Menurut Purnomo Iman Santoso.26 April 2006.Perpeloncoan. www.suara merdeka.com bahwa MOS berbeda dengan perpeloncoan. Tahun 1975, MOS lebih menekankan pada penanaman kedisiplinan. Selama satu minggu siswa baru wajib mengikuti pelajaran baris berbaris. Sedangkan pada tahun 1980, MOS diisi dengan penataran P4. Namun setelah itu, mulai muncul istilah perpeloncoan yang tak jarang sering kebablasan, belum terdeteksi apakah MOS dapat berakibat cedera psikis maupun phisik. Dengan demikian, menyosialisasikan arti MOS sangat penting bagi siswa baru. Komisi Nasional Perlindungan Anak Komnas PA serukan hentakan kekerasan dalam pelaksanaan Masa Orientasi Sekolah MOS untuk siswa baru kelas satu Sekolah 5 Menengah Pertama SMP dan Sekolah Menengah Atas SMA karena melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak UUPA Nomor 23 Tahun 2002. Menurut Arist Merdeka Sirait, Sekretaris Jendral Komisi Nasional Perlindungan Anak bahwa MOS rentan terhadap tindak kekerasan fisik, psikis, maupun emosional yang dirasakan siswa baru. Seperti kegiatan MOS yang memaksa siswa baru mengenakan berbagai atribut seperti kalung berbagai macam tumbuhan, kaos kaki selang seling dan sebagainya yang membuat siswa tidak patut atau layak dalam pandangan masyarakat dapat pula dikategorikan kekerasan. Sementara itu, penggiat pendidikan, Sucipto, mengatakan kegiatan MOS perlu dikembalikan pada tujuan dasarnya. MOS harus menjadi awal dari pembentukan sikap siswa baru dalam mengenal pendidikan yang berbeda dari sebelumnya. Secara teoritik, kegiatan orientasi memang memiliki tujuan yang positif yakni membantu para calon siswa untuk mengenal dan memahami lingkungan sekolahnya yang baru, baik lingkungan fisik, seperti ruang kelas, tempat ibadah, laboratorium dan fasilitas belajar lainnya, maupun lingkungan sosio-psikologis, seperti guru-guru, teman dan iklim serta budaya yang dikembangkan sekolah sehingga diharapkan para calon siswa dapat segera mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru di sekolahnya. Dalam menghadapi tahun ajaran baru, tentu diperlukan semangat baru. Semangat untuk menerima atau mengikuti pelajaran baru. Di samping itu, semangat baru dibutuhkan dalam rangka menghadapi tantangan, hambatan, dan gangguan. Semakin tinggi tingkatan kelas atau jenjang sekolah maka akan semakin tinggi pula tantangan, hambatan, dan gangguan yang mesti dihadapi. 6 Sebelum mulai belajar, sebaiknya ada persiapan sehingga tahun ajaran baru diawali dalam keadaan lancar dan dapat mencapai hasil belajar yang baik. Sebagaimana kita ketahui, persiapan yang matang merupakan setengah sukses. Hal-hal yang perlu dipersiapkan dalam menghadapi tahun ajaran baru berkaitan dengan fisik, material, dan mental atau psikologis. Untuk melakukan kegiatan belajar dibutuhkan fisik yang sehat, karena kesehatan merupakan modal utama untuk melakukan kegiatan termasuk kegiatan belajar. Dalam keadaan fisik yang sehat, semangat belajar akan tetap terjaga dan tidak akan cepat lelah dan menyerah ketika mengalami kesulitan belajar. Belajar akan berjalan dengan lancar apabila didukung dengan material atau alat dan sumber belajar. Alat tulis yang diperlukan, misalnya pulpen, pensil, penggaris, dan lain- lain. Sumber belajar, yaitu buku pelajaran atau buku paket sejumlah mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Bagi siswa baru, perlu mempunyai pakaian seragam sekolah, misalnya pakaian olah raga, putih merah SD, putih biru SMP, putih abu SMA, dan pakaian seragam lainnya. Begitu juga belajar akan mencapai hasil hasil yang baik seandainya mempunyai kesiapan mental. Apabila mempunyai mental yang siap, kegiatan belajar akan dilakukan dengan antusias bersemangat dan bergembira. Siswa tidak akan merasa malas dalam belajarnya seandainya mempunyai kemauan yang kuat, adanya rasa percaya diri PD, dan tidak mengenal putus asa apabila mengalami kesulitan selama mengikuti proses belajar di sekolah. Saat tahun ajaran baru tiba, siswa akan dihadapkan pada hal-hal yang baru pula. Misalnya guru baru, mata pelajaran baru, teman baru, kelas baru, sekolah baru, dan lain- 7 lain. Hal-hal baru tersebut menuntut siswa untuk bersikap baik dan menyesuaikan diri. Dalam menyesuaikan diri, siswa harus membuka diri, tidak mudah tersinggung oleh ucapan dan tindakan orang lain serta tidak egois atau mementingkan diri sendiri. Keberhasilan dalam menyesuaikan diri ini akan mempengaruhi kelancaran dan kesuksesan dalam belajar selanjutnya. Sebaliknya, kegagalan dalam penyesuaian diri akan berakibat pada kesulitan selama mengikuti pelajaran di sekolah. Hal ini harus disadari oleh siswa baru karena situasi sekolah kelas yang lama akan berbeda dengan sekolah kelas yang baru. Kondisi di SD dengan di SMP atau SMA mempunyai beberapa perbedaan yakni berbeda dalam lingkungan fisik sekolah, lingkungan sosial, dan lain-lain. Siswa kelas VII SMP pada awal tahun pelajaran menunjukkan adanya sikap rendah diri, ragu-ragu, menyendiri, dan takut kepada guru sehingga hal ini menghambat dan merugikan proses kegiatan belajar-mengajar yang sedang berlangsung. Timbulnya gejala tersebut dimungkinkan karena siswa kelas VII belum mengenal lingkungan sekolahnya yang baru dan asing baginya. Lingkungan sekolah tersebut dapat berupa fasilitas fisik sekolah, situasi kelas, teman sekolah, guru dan karyawan, kurikulum serta tata tertib sekolah. Menghadapi sesuatu yang baru dan asing bagi kebanyakan orang merupakan sesuatu yang sulit. Demikian pula bagi siswa kelas VII SMP Negeri 37 Semarang terutama pada hari- hari pertama masuk sekolah, menghadapi lingkungan sekolahnya yang baru dan asing tersebut bukanlah sesuatu yang mudah. Perlu waktu yang cukup lama dan bantuan yang sistematis dari guru pembimbing di sekolah itu melalui layanan orientasi. Layanan orientasi merupakan layanan bimbingan yang dilakukan untuk memperkenalkan siswa 8 baru terhadap lingkungan yang baru dimasukinya melalui MOS yang diselenggarakan oleh pihak sekolah. Salah satu usaha atau kegiatan untuk mengadakan persiapan dan penyesuaian diri dengan tahun ajaran baru, yaitu melalui kegiatan orientasi yang diadakan pihak sekolah. Dengan adanya orientasi studi, siswa baru dapat memperoleh pemantapan dalam hal tujuan belajar, gambaran mengenai lingkungan sekolah yang baru, keadaan guru dan karyawan serta dapat berkenalan dengan teman-teman yang baru. Kegiatan orientasi ini biasanya dilakukan pada minggu pertama masuk sekolah selama tiga sampai enam hari. Pelaksanaannya diatur dan dilaksanakan oleh masing-masing sekolah. Bagi siswa kelas VII, meskipun telah dilaksanakan layanan orientasi di sekolah namun masih banyak yang belum mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolahnya. Ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri ini ditandai dengan sikap tidak tenang, apatis, ragu-ragu, mengundurkan diri, terisolasi, rendah diri, bersikap agresif seperti mengacau, merusak dan memberontak sehingga hal ini akan menghambat dan merugikan proses kegiatan belajar siswa di sekolah. Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka mendorong peneliti untuk mengadakan suatu penelitian yang diharapkan dapat mengungkap lebih lanjut tentang penyesuaian diri siswa baru kelas VII SMP Negeri 37 Semarang setelah mengikuti MOS Masa Orientasi Siswa.

1.2 Rumusan Masalah