E. Faktor-faktor yang Mendasari Kerukunan
Dalam agama, ketentraman dan kebahagiaan batin bukan hanya untuk pribadi saja, tetapi untuk seluruh manusia yang disebut kemaslahatan atau
kesejahteraan umum. Mewujudkan kerukunan dan toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama merupakan bagian usaha menciptakan kelancaran
hubungan antara manusia yang berlainan agama, sehingga setiap golongan umat beragama dapat melaksanakan bagian dari tuntutan agama masing-
masing. Kerukunan yang berpegang kepada prinsip masing-masing agama
menjadikan setiap golongan umat beragama sebagai golongan umat beragama sebagai golongan terbuka, sehingga memungkinkan dan memudahkan untuk
saling berhubungan. Bila anggota dari suatu golongan umat beragama telah berhubungan baik dengan anggota dari golongan agama lain, akan terbuka
kemungkinan untuk mengembangkan hubungan dalam berbagai bentuk kerjasama dalam bermasyarakat dan bernegara.
43
Selanjutnya penulis akan memaparkan pendapat Said Aqil tentang beberapa faktor yang mempengaruhi terjalinnya sebuah harmoni kerukunan di
suatu daerah. Said Aqil meneliti kerukunan sebuah daerah di pulau Sumatra, adapun faktor-faktor tersebut di antaranya yaitu:
1. Adanya sistem kekerabatan di daerah yang termodifikasi berhubungan
perkawinan. Sistem kekerabatan tersebut adalah bertumpu pada konsep Dalihan natolu yang menegaskan bahwa semua orang dalam satu
43
Said Aqil Husin Al-Munawar. Fikih Hubungan Antar Agama, h. 19-22.
kampung buta, kuria berad\a dalam satu ikatan kekerabatan yang besar terdiri dari hula-hula di Tapanuli Utara atau Mora di Selatan , Dongan
Tubu di Utara atau Kabanggi di Selatan dan Boru di Utara atau Anak Boru di Selatan. Orang yang semula bukan orang batak pun akan terkait
dengan Dalihon na Tolu demikian juga dengan orang tidak terikat hubungan perkawinan namun diterima sebagai orang Batak. Tentunya hal
ini semua terlaksana setelah mengikuti berbagai ketentuan persyaratan yang telah ditetapkan.
2. Tipologi masyarakat yang dapat memilah-milah situasi di mana
seseorang sedang berada sebagaimana dengan konsep Dalihan natolu itu seseorang tidaklah permanen berada pada satu posisi akan sangat
tergantung di lingkungan Marga apa ia sedang berada. Hal ini dapat mendorong munculnya sikap egaliter, dalam memandang stratifikasi
sosial. Dalam lingkup yang lebih jauh hal ini akan membangun semangat toleransi dan saling menghargai sesama manusia sekalipun berbeda etnis
maupun agama. Dinamika kehidupan ini kemudian membawa pengaruh kepada masyarakat perkotaan, di Sumatera Utara bahwa sekalipun
mereka berada pada suasana kemajemukan yang sangat kentara, namun dinamika ini justru dapat menimbulkan sikap saling menjaga
ketersinggungan antara
satu dengan
yang lain.
Kasus-kasus persinggungan antara masyarakat di daerah ini justru bukan terjadi antara
orang Batak dengan bukan orang Batak akan tetapi malah antara orang Batak sendiri. Ini menunjukan bahwa kemajemukan etnis tidak
merupakan pemicu munculnya konflik.
Dalam kaitan itulah, homogenitas
44
suatu masyarakat tidaklah selalu menjadikan ekilibrium.
45
3. Bahwa sekalipun masyarakatnya di daerah ini memiliki perbedaan karena
agama akan tetapi mereka masih memiliki titik temu lain yaitu adat dan budaya masyarakat. Adat ini sendiri pada dasarnya sudah lebih dahulu
ada sebelum agama-agama dunia masuk ke daerah ini. Oleh karena itu, faktor kesamaan marga akan menimbulkan harmoni di dalam masyarakat
Sumatra Utara. Untuk hal ini dapat di kemukakan paling tidak tiga contoh yang merupakan fakta sosial. Meninggalnya seorang kepala Kuria
di Kampung Sigalangan Tapanuli Sealatan pada tahun 1960-an yang bernama Sutan Syarif Muda Dalimunthe yang beragama Islam, ternyata
rakyatnya orang Kristen juga mengadakan upacara kebaktian di tempat yang sama untuk menghormati jenazah tersebut. Kasus Kepala Desa
Parausorat di Sipirok yang beragama Islam bersaudara dengan vorhanger HKBP di kampung yang sama dan tidak pernah terjadi konflik. Kasus
dua desa di Tapanuli Tengah yang satu mayoritas beragama Kristen akan tetapi lebih memilih calon kepala desa yang Kristen, demikian juga ada
calon yang beragama Islam. Setelah di telusuri, faktor utama dari munculnya sikap itu menunjukan bahwa kesamaan marga dan budaya
dapat menjadi alternatif lain menjadi pendorong harmoni masyarakat manakala terjadi perbedaan iman.
44
Homogenitas adalah persamaan macam atau jenis. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, h. 312
45
Said Aqil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, h. 171.
4. Adanya hubungan pergaulan yang akrab antara pemuka agama. Kalangan
pemuka Kristen baik dari Pastor maupun pendeta telah terbiasa mengunjungi pemuka Islam dari hari besar keagamaan demikian juga
pemuka Hindu dalam upacara adat perkawinan yang sudah barang tentu dicampuri ajaran agama untuk hadir dalam upacara mereka. Pemuka
Islam ikut menyampaikan pidato pada perayaan ulang tahun PGI, perayaan Natal, Dharma Shanti, acara WALUBI, dan lain sebagainya.
Pemuka Islam juga diminta berbicara pada perayaaan perkawinan putra seorang Katolik pemuka Islam juga pernah diundang untuk berbicara
pada pertemuan Pendeta HKBP di Distrik Sumatra Timur-Aceh, pertemuan Pastor-Pastor Katolik se-Sumatra Utara di Pematang Siantar.
Wadah lembaga pengkajian umat beragama LPKUB perwakilan Sumatera Utara sangat berperan membangun keakraban itu. Lembaga ini
telah berhasil menerbitkan semacam buku saku yang diberi nama Ensiklopedia Kerukunan yang ditulis oleh lima pemuka agama yang
berbeda dan telah mendapat sambutan dari MUI, PGI, Keuskupan, PMDI dan WALUBI.
46
5. Suasana toleransi antar umat beragama telah menjadi tradisi pada
sebagian besar di daerah ini. Masyarakat Karo misalnya sangat toleran dalam memahami perbedaan agama. Dalam sebuah penelitian yang
dilakukan oleh mahasiswa FISIP USU pada suatu desa ditemukan suatu kenyataan bahwa ada perbedaan anutan agama pada sebuah rumah
46
Said Aqil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, h. 172.
tangga telah menjadi pengalaman mereka sejak lama. Di Sumatra Utara agaknya, suku asli yang ada yang menjadi penganut Islam, Kristen,
Hindu, dan Budha pada masyarakat, Karo,s elain dari itu, mereka juga masih memiliki agama lokal yang disebut dengan Pemena sebagaimana
agama Parmalin pada masyarakat Batak Tiba.
47
6. Disadari betul bahwa kerukunan sosial di daerah ini bukanlah barang jadi
yang artinya akan terus menerus menjadi rukun. Hal itu akan sangat tergantung dari sikap dan respon masyarakat di daerah ini telah
menyadari hal itu. Untuk itu, mereka seakan telah sepakat bahwa pola hubungan kerukunan ini harus di bangun melalui intervensi dan rekayasa
sesuai yang diharapkan oleh masyarakat itu sendiri. Untuk itu, kelak dilakukan upaya membangun komunikasi yang intens para pemuka
agama yang secara otomatis dan administratif telah menjadi representasi dari kelima majelis agama yang berbeda yaitu MUI, PGI, KAM, PMD,
WALUBI. Adanya perbedaan teologi suatu agama dengan yang lain tidak mungkin dapat dinaifkan karena masing-masing agama datang
dengan latar belakang kesejajaran yang berbeda. Untuk itu, maka setiap pemuka agama hendaknya selalu menyadarkan kepada umatnya, bahwa
setiap agama memiliki dua kebenaran sekaligus yaitu kebenaran normatif adalah yang hanya dipahami , dirasakan dan diamalkan oleh penganut
agama yang tidak hanya dapat dirasakan manfaatnya oleh penganut agama itu sendiri. Sedang kebenaran praktis agama diraskan manfaatnya
47
Said Aqil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, h. 173.