Kerangka teori berisi uraian tentang telaahan teori dan hasil penelitian terdahulu yang terkait. Telaahan ini bisa dalam arti membandingkan,
mengkontraskan atau meletakkan tempat kedudukan masing-masing dalam masalah yang sedang diteliti, dan pada akhirnya menyatakan posisi atau pendirian
peneliti disertai dengan alasan-alasannya. Dan bukan bermaksud untuk memamerkan teori dan hasil penelitian ilmiah para pakar terdahulu dalam satu
adegan verbal sehingga pembaca ‘diberitahu’ mengenai sumber tertulis yang telah dipilih oleh peneliti. Hal ini juga dimaksudkan untuk menampilkan mengapa dan
bagaimana teori hasil penelitian para pakar terdahulu digunakan peneliti dalam penelitiannya, termasuk dalam merumuskan asumsi-asumsi dalam
penelitiannya.
27
27
O. Setiawan Djuaharie, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi, Bandung: Yrama Widya, 2001, hal. 55
Teori-teori atau tinjauan pustaka yang dipakai oleh penulis sebagai landasan berfikir dan titik tolak menyoroti masalah yang diteliti adalah sebagai
berikut:
5.1. Teori Gerakan Sosial Petani.
Pada hakikatnya, gerakan sosial merupakan jawaban spontan maupun terorganisir dari massa rakyat terhadap negara yang mengabaikan hak-hak rakyat,
yang ditandai oleh penggunaan cara-cara di luar jalur kelembagaan negara atau bahkan yang bertentangan dengan prosedur hukum dan kelembagaan negara
gerakan sosial juga bisa dilihat sebagai upaya bersama massa rakyat yang hendak melakukan pembaruan atas situasi dan kondisi sosial politik yang dipandang tidak
berubah dari waktu ke waktu atau juga untuk menghentikan kondisi status quo.
Universitas Sumatera Utara
Sesuai dengan istilahnya maka pelaku gerakan adalah rakyat atau kalangan masyarakat tertentu khususnya petani. Gerakan sosial pada varian yang lain ada
kalanya untuk pertama kali dijalankan oleh negara. Lalu dalam prosesnya menjadi gerakan sosial dalam masyarakat. Varian lain mengatakan bahwa bisa saja
awalnya dilakukan masyarakat namun kemudian diadopsi dan dijalankan oleh negara. Proses adopsi oleh negara ini juga dapat bersifat kooptasi sehingga
melenceng dari tujuan dan maksud semula, namun bagaimanapun variannya yang paling utama adalah masyarakat atau petanila dalam hal ini yang menjadi subjek
atau pelaku utamanya. Berdasarkan dari sifat dari penindasan yang bersifat global saat ini, maka
gerakan sosial termasuk kaum tani semestinya mempunyai gagasan-gagasan, prinsip, nilai-nilai dan tujuan yang radikal sejak dari awal kemunculan hingga
tercapainya tujuan itu sendiri. Gerakan sosial berusaha menghilangkan akar structural dari penindasan itu baik secara langsung maupun tidak langsung.
Organisasi tani harus mempunyai gagasan-gagasan yang mampu secara konseptual mengganti konsepsi dunia pertanian yang dipaksakan oleh kalangan
neoliberalisme. Organisasi tani harus berada posisinya berada di depan sebagai kekuatan anti neoliberalisme. Perannya sangat menentukan karena petanila pilar
kehidupan. Organisasi petani adalah organisasi keluarga petani. Maka setiap anggota keluarga petani, khususnya petani miskin dan tertindas adalah “sel-sel
tempur” melawan neoliberalisme. Itulah inti gerakan sosial kaum tani.
28
28
Muhammad Haris Putra, Posisi dan Peran Organisasi Petani sebagai “Gerakan Sosial” Social Movement melawan Neoliberalism,
Suara USU, Agustus 2006, hal. 58.
Universitas Sumatera Utara
Menurut pemikir dan aktivis radikal Italia, Antonio Gramsci
29
Menurut Sadikin Gani menyatakan
tidak dapat disepelekan, dan tidak dapat dianggap kurang penting dibandingkan dengan gerakan kelas menengah dan gerakan kaum muda terpelajar, yang terlalu
dielu-elukan dalam tradisi liberal. Juga tidak dapat disepelekan dibandingkan dengan gerakan kaum buruh, yang selalu menjadi idola kaum Kiri. Dewasa ini,
justru sinerji di antara berbagai gerakan kemasyarakatan social movements yang perlu dilihat dan diperjuangkan, untuk memperkuat dampak politik transformatif
gerakan petani baik gerakan petani gurem peasant movement maupun gerakan bangsa-bangsa pribumi indigenous peoples movement .
30
Karena rumusan sebuah istilah senantiasa dikendalikan oleh paradigma pemikiran atau landasan filosofis yang mendasarinya, kedudukan dan
, gerakan sosial dapat bermacam-macam pengertianya, ini merupakan konsekuensi logis dari:
1 Realitas sosial yang selalu berubah;
2 Beranekaragamnya latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan politik
masyarakat yang hendak “dijelaskannya” positivisme, “dipahaminya” interpretatif, dan “diubahnya” kritisisme;
3 Adanya hubungan timbal-balik antara realitas sosial yang “diteorikan”
dengan teori sosial yang “direalitaskan”; dan khusus untuk konteks Indonesia adalah
4 Adanya persoalan kekurangtepatan perangkat teoretis yang berasal dari
Barat untuk menjelaskan kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
29
George Junus Aditjondro, Ketika Petani Angkat Bicara, Dengan Suara Dan Massa: Belajar dari Sejarah Gerakan Petani di Indonesia dan Amerika Selatan
, Palu: Yayasan Tanah Merdeka, 2006, hal. 1.
30
http:rumahkiri.net 20080304 Sadikin Gani, Perlawanan Petani dan Konflik Agraria dalam Diskursus Gerakan Sosial
, artikel, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
perkembangan studi gerakan sosial dalam khasanah perkembangan ilmu sosial. Pembahasan masalah ini penting, mengingat perkembangan ilmu sosial, demikian
pula realitas sosial yang membentuk dan dibentuknya senantiasa dipengaruhi oleh tekanan-tekanan internal dan eksternal. Tekanan internal adalah teka-teki yang
masih tersembunyi dan belum terjawab di dalam paradigma sebuah cabang ilmu pengetahuan tertentu. Tekanan eksternal terjadi pada dua tataran. Pertama,
terjadinya pergeseran-pergeseran di dalam gaya pemikiran intellectual fashions dan aliran pemikiran intellectual currents; dan kedua, datang dari perubahan
yang terhadi dalam gejala-gejala itu sendiri. Kaitan antara pergeseran-pergeseran internal dan eksternal di dalam ilmu pengetahuan dengan pola-pola aliran
pemikiran yang lebih luas; dan dengan gejala itu sendiri disebut sebagai ruang lingkup sejarah.
Menurut Peter Burke
31
31
Aliansi Masyarakat Adat Nasional, Masyarakat Adat sebagai Basis Politik Gerakan Sosial
, Boladangko: Makalah Seminar, 2007, hal. 1.
, seorang sosiolog Amerika, ada dua tipe gerakan sosial. Pertama, gerakan sosial untuk memulai perubahan. Kedua, gerakan sosial
yang dilakukan sebagai reaksi atas perubahan yang terjadi. Bila dikaitkan maknanya dengan gerakan di Indonesia, maka dapat dikategorikan menjadi
sebelum dan sesudah 1966. Pada masa sebelum 1966, mobilisasi gerakan sosial mengarah pada pemberian dukungan terhadap legitimasi negara yang baru
berdiri. Sedangkan pasca 1966, gerakan yang terjadi lebih mengarah pada kritik atau reaksi terhadap kebijakan negara, seperti peristiwa Malari, Kedung Ombo,
Tanjung Priok, gerakan reformasi 1998, dan sebagainya. Sebenarnya masih cukup banyak pendapat pakar-pakar ilmu sosial tentang wacana gerakan sosial,
yang relevan secara praksis dengan perkembangan gerakan sosial di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Gerakan sosial di Indonesia sesungguhnya memiliki akar sejarah yang kuat. Dimulai sejak perlawanan rakyat Indonesia pada masa kolonialisme Belanda
gerakan sosial sebetulnya masih berlanjut sampai sekarang, era Neoliberalisme dengan benderanya Globalisasi. gerakan petani, buruh, pemuda dan mahasiswa
telah menghiasi catatan sejarah gerakan sosial Indonesia. Lihat bagaimana militannya perlawanan kaum tani terhadap kolonialisme Belanda pada 1926
walaupun dapat dipatahkan, kemudian perjuangan bawah tanah para pemuda melawan fasisme Jepang pada masa revolusi kemerdekaan, lihat juga bagaimana
perjuangan kaum buruh menuntut nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing. Dan masih banyak lagi berbagai perlawanan dari masing-masing sector
gerakan sosial Indonesia. Sejarah terkini menunjukkan, gerakan petani memiliki kekuasaan yang
signifikan dalam mengorganisir, memobilisasi, dan mengintervensi masyarakat sipil untuk mempromosikan perubahan yang positif dalam penguasaan lahan,
memblok kebijakan perdagangan babas yang menghancurkan dan bahkan menjatuhkan rejim yang korup. Dalam konteks nasional, baik di tingkat federal
maupun provinsi, gerakan tani telah menjadi musuh bersama bagi negara dan pemodal.
Di banyak negara tapi tidak semunya Amerika Latin, gerakan taninya memainkan peran politik yang utama dalam mempengaruhi kebijakan nasional
sepanjang abad ke-21. Di Bolivia, Brazil, Kolombia, Ekuador, Peru, Amerika Tengah, Paraguay dan Mexico, petani, tukang kebun dan organisasi-organisasi
petani-Indian secara instrumental memiliki momen yang berbeda dalam seting agenda nasional. Agar menjadi jelas, di semua negara persentasi penduduk
Universitas Sumatera Utara
pedesaan kian menurun, namun dalam banyak kasus kualitas organisasi sosial dan kepemimpinan mereka semakin meningkat, paling tidak jika dibandingkan dengan
organisasi-organisasi penduduk perkotaan. Ada beberapa alasan obyektif dan subyektif yang menyebabkan gerakan
tani saat ini begitu maju
32
Secara subyektif, pemimpin tani yang baru lahir memiliki pendidikan yang lebih baik, terpolitisasi dan independen dari pengaruh elite perkotaan dan mesin
partai, lebih mengerti tentang politik nasional dan internasional dan bebas dari . Pertama, kebijakan neoliberal demikian menjepit
kehidupan petani: di satu sisi membanjirnya barang-barang impor sebagai pengganti makanan dan di sisi lain produk-produk agrikultur lainnya harganya
melorot drastis sehingga menyebabkan petani penghasil jatuh bangkrut; di sisi lain terdorong untuk mengakumulasi keuntungan dari pertukaran luar negeri, rejim
neoliberal menempuh kebijakan untuk memperluas sektor agroekspor, serta memimpin pengusiran paksa petani penghasil dari tanahnya. Kebangkrutan dan
pengusiran tidak hanya berarti meningkatnya angka pengangguran atau merosotnya jumlah pendapatan tapi, juga penduduk yang kehilangan tempat
tinggal, kehilangan komunitas dan keluarganya yang terdekat. Itu juga berarti, kehancuran, sebuah pengalaman keterasingan yang mendalam. Ancaman dan
kenyataan yang diakibatkan oleh neoliberalisme secara khusus ditemukan di wilayah pedesaan, dimana tidak ada alternatif untuk tempat tinggal, komunitas
dan pekerjaan. Dampak yang paling menghancurkan dari neoliberalisme semakin terasa kuat di wilayah pinggiran ketimbang di perkotaan.
32
James Petras, Strategi-strategi Perjuangan: Sentralisasi Gerakan Tani di Amerika Latin,
Bacaan Organizer Serikat Tani Nasional, 2005, hal. 3-4.
Universitas Sumatera Utara
pengaruh hegemoni pengacara provinsi dan pemimpin-pemimpin petani profesional lainnya di masa lalu. Selain itu, tidak seperti serikat buruh lama dan
kepemimpinannya yang terbirokratisasi dan menjadi bagian yang menyatu dengan komisi tri-partite, gerakan tani yang baru lahir di atas basis kelas yang
independen dan perjuangan etnis menentang persetujuan dagang antara kelas penguasa lokal dan negara imperial.
Untuk kedua alasan subyektif dan obyektif ini, gerakan tani diasumsikan pada waktu dan negara yang tepat untuk menjadi peloporvanguard, sebagai
pemicu ledakan perubahan sosial besar-besaran dalam menentang elite neoliberal. Masyarakat petani di negara-negara Dunia Ketiga yang baru merdeka
1950-1960-an sudah lama menjadi perhatian kalangan ilmuwan sosial Barat. Kajian terhadap masalah petani terutama berpusat pada hubungan mereka petani
dengan negara, terutama jika mereka menimbulkan masalah bagi negara revolusioner dan membangkang. Konteks hubungan petani dan negara tersebut
secara spesifik adalah konteks penetrasi kapitalisme Barat terutama Amerika Serikat ke negara-negara Dunia Ketiga yang baru merdeka.
Tumbuhnya perhatian besar terhadap masalah petani, terutama gerakan perlawanan mereka bukan semata-mata didorong oleh minat dan kehausan
intelektual, melainkan karena tekanan internal dan eksternal dalam ilmu sosial
33
33
, yakni kehendak untuk mewujudkan ilmu sosial yang memiliki relevansi teoretis
dan politis. Dengan kata lain, perhatian tersebut didasari oleh kehendak untuk mewujudkan ilmu sosial yang sesuai dengan kepentingan ideologi-politik yang
www.prp-indonesia.org20080304 Sadikin Gani ,
Posisi Petani dalam Penelitian Sosial: Arena Pertempuran Kuasa
, 2007, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
dominan maupun marjinal dalam sebuah masyarakat. Pertempuran antara kubu ekonomi moral lawan ekonomi rasional yang muncul dalam konteks “Perang
Vietnam” misalnya, bukan semata-mata perdebatan antara kubu kaum substantifis dan rasionalis yang murni muncul karena pertimbangan-pertimbangan teoretis,
melainkan dipicu oleh pertempuran kapitalisme lawan sosialisme; kaum revolusioner lawan kontra-revolusioner. Demikian pula perdebatan antara
intelektual pengusung gagasan reforma agraria lawan pendukung revolusi hijau dalam konteks Perang Dingin dan era state-led-development tahun 1960-1970-
an pada dasarnya merupakan pertempuran antara kubu kapitalisme lawan sosialisme dan populisme. Sampai pada titik ini kita bisa menyepakati Scott yang
mengatakan, bahwa perdebatan ilmiah bukanlah sebuah proses yang berdiri sendiri, melainkan ditentukan oleh konteks historis dan politisnya.
Menurut James C. Scott “ Perlawanan resistensipenduduk desa dari kelas yang lebih rendah adalah tiap semua tindakan para anggota kelas itu dengan
maksud untuk melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan misalnya: sewa, pajak, penghormatan. Yang dikenakan oleh kelas itu pada kelas diatasnya
misalnya:negara, tuan tanah, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang atau untuk megajukan tuntutan sendiri misalnya:pekerjaan, rumah, lahan, kemurahan hati
dan penghargaan terhadap kelas-kelas diatasnya.”
34
1. Tidak ada keharusan bagi perlawan untuk mengambil bentuk aksi bersama
Dari defenisi diatas ada 3 hal yang perlu dijelaskan:
2. Perlawanan merupakan permasalahan yang sangat pelik
34
James C. Scott, Perlawanan Kaum Tani, Jakarta: Diterjemahkan oleh Yayasan Obor Indonesia, 1993, hal. 302.
Universitas Sumatera Utara
3. Defenisi ini mengakui apa yang dapat dikatakan perlawanan simbolis atau
ideologis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perlawanan berdasarkan kelas.
Lebih lanjut Scott menjelaskan tentang perlawanan yang sesungguhnya bersifat:
35
1. Terorganisir, sistematis dan kooperatif
2. Berprinsip atau tanpa pamrih
3. Mempunyai akibat-akibat revolusioner
4. Mengandung gagasan dan tujuan yang meniadakan dasar dari dominasi itu
sendiri Sebaliknya Scott menjelaskan juga perlawanan yang bersifat insidental
yaitu: 1.
Tidak terorganisir, tidak sistematis dan individual 2.
Bersifat untung-untungan dan berpamrih 3.
Tidak mempunyai akibat-akibat revolusioner 4.
Maksud dan logikanya mengandung arti penyesuaian dengan sistem dominasi yang ada
Perbedaan ini penting bagi setiap analisis yang bertujuan untuk mencoba menggambarkan berbagai bentuk perlawanan kaitannya satu sama lain dan
kaitannya dengan bentuk dominasi yang di dalamnya terjadi semuanya itu. Selanjutnya dalam pandangan Scott, posisi ini secara fundamental memberikan
gambaran yang salah mengenai dasar perjuangan ekonomi politik yang sebenarnya, yang sehari-hari dilakukan oleh kelas-kelas bawahan tetapi juga para
35
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
petani dan pekerja. Posisi ini didasarkan atas gabungan yang ironis dari asumsi kaum Leninis dan borjuis tentang apa yang membentuk aksi politik. Harus
dimengerti bahwa perlawanan itu bukannya apa yang sekedar yang dilakukan kaum tani untuk mempertahankan diri serta rumah tangganya. Banyak dari apa
yang mereka perbuat itu harus dimengerti sebagai suatu kerelaan sekalipun disertai gerutuan. Dapat bertahan hidup sebagai produsen komuditi kecil atau
pekerja, dapat memaksa beberapa dari mereka untuk menyelamatkan diri dengan mengorbankan teman-temannya. Bagi Scott meyakini bahwa para petani
senantiasa berperilaku menghindari resiko yang dinilainya sebagai karakter dari masyarakat tradisional, masyarakat tradisional mempunyai suatu tertib moral yang
tak dapat dipisahkan dari masalah subsistensi. Tatanan sosial dari kehidupan petani telah menghasilkan system jaminan keamanan hidup internal yang secara
normatif dapat ditegakkan untuk memenuhi semua orang desa. Kolonialisme telah mengukir eksploitasi tanpa batas yang dikenakan pada para petani sedemikian
rupa sehingga terbentuklah diferensiasi sosial yang baru, dislokasi agraria, kemorosotan dari moral mengutamakan kebersamaan, dan kapitalisme agraria
yang rakus kesemuanya ini sungguh mengancam keberlangsungan hidup petani. Scott selanjutnya menekankan moralitas dan kemarahan petani sebagai respon
yang niscaya begitu adanya menghadapi hilangnya jaminan keamanan subsistensi minimum. Alhasil, pemberontakan petani pada dasarnya bersifat dari keinginan
konservatif dan restoratif mempertahankan dan atau mengembalikan tatanan yang terdahulu. Selain Scott, Jeffry Paige 1975
36
36
Jeffry Paige, Revolusi Agraria: Gerakan Sosial dan Pertanian Ekspor di Negara- negara Dunia Ketiga
, Pasuruan: Pedati, 2004, hal. 75.
dengan karyanya “Revolusi Agraria, Gerakan Sosial dan Pertanian di Negara-negara Dunia Ketiga “ yang
Universitas Sumatera Utara
tidak memperdulikan soal-soal moralitas, rasionalitas. Paige menggunakan analisis kepentingan kelas pada situasi pedesaan yang diistilahkannya menjadi
“Objektive Vector of Capitalism” . Ia merujuk pada situasi nyata orang-orang desa lakukan dalam proses kerja, misalnya organisasi dan struktur kerja, ekologi
produksi dan lainnya. Selanjutnya Paige mempermasalahkan kondisi-kondisi yang memungkinkan pemberontakan agraria dan bentuk-bentuk ekspresi atau tampilan
politik petani. Model analisa Marxis menjadi rujukan Paige ini memperkirakan kemungkinan gerakan petani akan terjadi manakala:
1. Suatu kelas penguasa tanah berkuasa terus atas dasar penguasaan
tanahnya 2.
Para petani dihambat kemungkinan mobilitas naik ke atas 3.
Kondisi kerja dan karakter pekerjaan para petani memungkinkan pembentukan solidaritas
Sadikin Gani
37
37
Sadikin Gani, Perlawanan Petani dan Konflik Agraria dalam Diskursus Gerakan Sosial, Op. Cit
. hal. 1.
, dalam artikelnya didasari oleh 3 pengandaian tentang perlawanan tkaun tani: Pertama, perlawanan petani merupakan upaya-upaya yang
dilakukan petani untuk menentang dan menolak segala bentuk keputusan yang mengakibatkan hilangnya hak penguasaanpemilikan mereka atas sebidang tanah–
merupakan salah satu bentuk gerakan sosial. Gerakan sosial yang dimaksud di sini adalah upaya-upaya yang dilakukan sekelompok orang untuk melakukan
perubahan, atau mempertahankan keadaan yang menyangkut kehidupan sosial, ekonomi dan politik dalam sebuah masyarakat. Kedua, konflik agraria tanah
merupakan gejala danatau peristiwa yang timbul dari adanya perlawanan dari sekelompok orang yang mengidentitaskan dirinya sebagai petani–termasuk pihak-
Universitas Sumatera Utara
pihak yang mendukung perlawanan petani–terhadap kelompok masyarakat lain, atau institusi–pemerintah maupun perusahaan–yang tidak mengakui danatau
merebut hak penguasaanpemilikan petani atas sebidang tanah yang mereka akui dan yakini sebagai miliknya. Ketiga, jika konflik agraria diletakkan dalam
kerangka gagasan reforma agraria, maka konflik dalam konteks reforma agraria lebih bermakna sebagai strategi perjuangan petani untuk mendorong pelaksanaan
reforma agraria. Berdasarkan tiga pengandaian tersebut, dapat ditarik dua kesimpulan
hipotetis. Pertama, gejala dan peristiwa konflik agraria pada dasarnya merupakan “manufactured product”, bukan “primordial matter” sebuah gerakan sosial,
karena gejala dan peristiwa tersebut merupakan insiden yang memang direncanakan terjadi merupakan bagian dari strategi dan taktik perjuangan petani
untuk mewujudkan reforma agraria. Kedua, karena perlawanan petani dan konflik yang ditimbulkannya merupakan bagian dari taktik dan strategi gerakan, maka
konflik dalam kerangka perjuangan reforma agraria bukan sesuatu yang menuntut penyelesaian layaknya penyakit yang harus disembukan, melainkan harus terus
dikobarkan sehingga menjadi kekuatan yang dapat mendorong pelaksanaan refor ma agraria.
5.2. Teori Hegemoni Negara