BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Sejarah penguasaan tanah dan pembaharuan agraria bukanlah gagasan baru. Usianya sudah lebih dari 2500 tahun. ”Land Reform” yang pertama didunia,
terjadi di Yunani Kuno, 594 tahun Sebelun Masehi SM, Slogan land-to-the-tiller tanah untuk penggarap, itu sudah berkumandang 565 tahun Sebelum Masehi,
selanjutnya melalui tonggak-tonggak sejarah penguasaan tanah di jaman Romawi Kuno 134 SM, gerakan pencaplokan tanah-tanah pertanian oleh peternak biri-
biri di Inggris selama lebih kurang 5 abad dan Revolusi Perancis tahun 1789- 1799
1
, dari mulai adanya roda sampai mesin uap. Mesin uap dapat mengakomodir satu usaha industri tekstil. Bahkan Italia, Perancis, Jerman mulai merasa
mempunyai kepentingan terhadap revolusi tekstil. Mereka ini mampu mempercepat revolusi tekstil yang sebelumnya, bahkan sebelum revolusi industri
itu sendiri, sudah menghasilkan enclosures movement penggusuran kaum tani dari tanah-tanah mereka untuk digunakan sebagai ladang biri-biri, sebagai bahan
wool -kain linen waktu itu belum ada, liberian catoon belum dikenal. Dengan adanya mesin uap ditemukan 1777 maka produktivitas kemudian menjadi lebih
tinggi, konsekuensinya dibutuhkan domba lebih banyak, tanah lebih luas, dan penyingkiran tani dari tanah-tanahnya untuk padang rumput
2
Gerak sejarah tak bisa ditahan sesuai dengan perjalanan sejarah. Capital mulai masuk desa-desa. Kaum feodal mulai beralih menjadi industriawan. Seperti
kata Marx, peasants beralih menjadi farmers. Dengan berkembangnya .
1
Gunawan Wiradi, Masalah Pembaharuan Agraria Dampak Land Reform Terhadap Perekonomian Negara
, Bogor, Makalah Pada Peringatan “Satu Abad Bung karno”, 2001, hal. 1.
2
Serikat Tani Nasional, Babon Tani, Materi Pendidikan Dasar Kaum Tani, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
kapitalisme, berarti berubahnya sistem pertanian feodal menjadi sistem pertanian agro industri. Dalam sistem agro industri, otomatis menggunakan teknologi
sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan lebih sedikit. Selain itu terjadi pula perampasan lahan sehingga semakin sedikit lapangan pekerjaan bagi kaum tani,
jumlah yang menganggur semakin banyak. Karena itulah lambang tengkorak di Inggris lahir dari petani di desa. Yaitu serikat petani yang pertama
3
Perbincangan tentang sifat kepemilikan tanah dan cara bagaimana basis agraria ini memberikan surplus bagi pemilik modal sudah dimulai sejak akhir
abad ke-18 dan berlanjut hingga sekarang. Pemahaman akan kepemilikan tanah dalam perspektif sejarah untuk melihat bagaimana kapitalisme senantiasa
mengalami perubahan bentuk dan selalu merampas kepemilikan tanah dari tanaga petani dengan berbagai cara. Hak petani akan tanah menjadi terpinggirkan karena
terjadi ekspansi besar-besaran dari modal yang difasilitasi oleh hukum dan kebijakan pemerintah
.
4
Tetapi kesadaran itu kemudian termanipulasi sedemikian oleh banyak factor, tapi yang terutama adalah factor masuknya modal, kedalam kehidupan
. Keadaan geografis Indonesia yang berada diwilayah tropis memberikan
konsekwensi positif bahwa keadaan tanahnya subur, lautan kaya dengan beragam kehidupan, isi buminya beragam mulai dari bahan-bahan tambang yang potensial
untuk digunakan dan dimamfaatkan. Hal ini menimbulkan kesadaran dalam benak para penghuninya, bahwa untuk melangsungkan kehidupan, bangsa ini kemuadian
memantapkan diri sebagai bangsa yang agraris, bangsa yang mudah bertahan hidup dengan mengandalkan keadaan alam.
3
Ibid, hal 2.
4
Onghokham Institute, Property Rights Di Indonesia Dalam Tinjauan Sejarah, Medan: Makalah Pada Simposium Agraria Nasional I, 2006, hal. 1-2.
Universitas Sumatera Utara
bangsa lewat kaki tangannya Imperialisme, bekerja sama dengan raja-raja yang memiliki watak tuan tanah, sejak jaman itulah, kekayaan Indonesia dikeruk dan
dipindahkan pemamfaatannya oleh kekuatan Imperialis. Kenyataan ini berlanjut selama 350 tahun dan berlanjut sampai saat ini.
Di Indonesia, sejumlah persoalan mendasar dalam lapangan agrarian yang muncul dalam struktur agraria saat ini pada akhirnya turut menyumbang konflik-
konflik yang berkepanjangan, struktur penguasaan tanah yang timpang dan tata hukum agraria “kacau” pada lemahnya ekonomi rakyat dan rapuhnya ekonomi
bangsa. Disisi lain sejumlah persoalan agraria menunjukkan bahwa praktek politik dan tatanan hukum di negeri ini sudah tidak memberikan tempat yang layak bagi
rakyat untuk mengambil peran yang sesungguhnya dalam proses perkembangan masyarakat, karena dominasi negara kekuasaan eksekutif sudah terlampau
besar dan tidak bisa lagi terkontrol. Krisis ekonomi yang terjadi sekarang ini ternyata juga tidak bisa
dilepaskan jalannya strategi agraria seperti yang telah dipertontonkan oleh pemerintahan Orde Baru selama ini, yang secara langsung pula menjadikan tanah
sebagai komoditas strategis. Fred Harisson 1983 melakukan studi mengenai krisis ekonomi di berbagai negara, yang pernah terjadi sepanjang sejarah
menyimpulkan bahwa sumber yang paling utama adanya monopoli tanah dan spekulasi tanah. Gejala monopoli dan spekulasi ini yang kita lihat juga merebak
dengan hebat di Indonesia dalam beberapa tahun sebelum krisis melanda. Penjelasan Harisson adalah sebagai berikut: ketika tanah menjadi komoditi, maka
diantara seluruh komoditi yang ada, tanah adalah komoditi yang sangat menguntungkan utnuk dijadikan ajang spekulasi. Spekulasi kemudian yang
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan harga makin lama makin tinggi sampai pada puncaknya yang “menggila”. Sampai pada akhirnya lonjakan harga tanah yang “gila” itu tidak
dapat dijelaskan dengan argument sederhana, seperti yang ada dalam teori pasar. Selanjutnya masih menurut Harisson, dampak negatif dari kegiatan ini
akan bersifat ganda. Petani akan tergusur secara intensif, yang berarti kesempatan kerja dipedesaan dan sector pertanian banyak yang hilang. Sementara tanah-tanah
yang sudah terbebaskan tidak dimamfaatkan, tetapi malah ditelantarkan, karena akan justru akan meningkatkan nilai kekayaan nominal dalam catatan keuangan
atau kekayaan dari penguasa atau pemiliknya akibat praktek spekulasi. Menelantarkan untuk tujuan spekulasi ini, menghilangkan kesempatan kerja bagi
buruh-buruh bangunan atau calon-calon pengisi kesempatan kerja. Disisi lain tanah terlantar itu jelas menghilangkan potensi produktif aktifitas pertanian yang
seharusnya bisa dilakukan diatas tanah-tanahlahan-lahan tersebut.
5
Memang secara keseluruhan, spekulan tanah bukan penyebab tunggal tenyadinya krisis ekonomi, tetapi penjelasan Harisson memperkaya pengetahuan
kita bahwa penerapan tanah sebagai komoditas mengandung ancaman yang mungkin tidak bisa diketahui. Meskipun demikian, perspektif pembaharuan
agraria yang menempatkan rakyat pada pusat-pusat aktivitas lapangan agrarian memilih argument bahwa ketimpangan struktur penguasaan tanah atau umber-
sumber agraria akan menimbulkan kesenjangan pendapatan dalam suatu negara.
6
5
Noer Fawzi, Isu-isu Utama Pembaruan Agraria Dewasa ini Menuju Membesarnya Peran Masyarakat Sipil
. Makalah dalan Seminar Nasional Agraria , 21 September 1998 di Bandar Lampung, hal. 7.
6
Ibid, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya gejala konflik dalam hubungan-hubungan agraria ini berakar pada pertentangan klaim yang menyangkut tiga hal berikut
7
1. Siapakah yang berhak menguasai sumber-sumber agraria dan kekayaan
alam yang menyertainya. :
2. Siapakah yang berhak memamfaatkan sumber-sumber agraria dari
kekayaan alam itu 3.
Siapakah yang berhak mengambil keputusan atas penguasaan dan pemamfaatan sumber-sumber agraria dan kekayaan alam tersebut.
Berbagai kosepsi dasar mengenai kompleksitas persoalan agraria diatas secara nyata menggambarkan realita keagrariaan yang ada di Indonsia dewasa ini.
Menurut Wiradi 2000
8
1. Ketimpangan dalam hal struktur ‘ pemilikan” dan “penguasaan” tanah.
, realitas keagrariaan di Indonesia secara mendasar bersiifat konfliktual, suatu kondisi yang berakar pada ketimpangan atau
incompatibilities menyangkut sumber-sumber agrarian dalam bentuk sebagai
berikut:
2. Ketimpangan dalam hal “peruntukan” tanah, dan
3. Incompability dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria.
Persoalan ketimpangan pertama sudah sering disoroti selama ini, dengan mencermati hasil sensus pertanian tahun 1973, 1983, dan 1993, tampak jelas
bahwa fenomena ketimpangan struktur pemilikan dan penguassan tanah menunjukkan peningkatan yang makin tajam. Ketimpangan kedua, yakni masalah
peruntukan lahan, cukup sulit untuk diperoleh data yang akurat. Selain karena belum adanya aturan yang memadai, proses pembangunan nasional selama ini
7
Konsorsium Pembaharuan Agraria, Reforma Agraria Prasyarat Utama Bagi Reitalisasi Pertanian dan Pedesaan
, Bandung: September 2005, hal. 6.
8
Ibid .
Universitas Sumatera Utara
yang sangat bisa sektoral dan memarjinalkan sector pertanian juga menyebabkan perubahan fungsi lahan berkembang dengan sedemikian cepat, terutama dalam
bentuk konversi lahan-lahan pertanian ke non-pertanian. Adapun penyebab ketimpangan ketiga menyangkut perbedaan persepsi
dan konsepsi, yaitu antara mereka yang menggunakan konsep hukum-hukum positip formallegal dari barat dan mereka yang termasuk masyarakat adat yang
mengenal berbagai macam hak yang berbeda atas tanah yang berasal dari tradisi dan budaya mereka. Ketimpangan terjadi ketika tata cara penguasaan dan
pemamfaatan sumber agraria yang bersumber dari hukum-hukum positif sering kali menafikan apa yang telah lama dipraktekkan dan dikenal oleh masyarakat
setempat. Kebijakan agrarian yang dipraktikan pada masa Orde baru yang bertumpu
pada penguasaan tanah dan pengelolaan kekayaan alam skala besar dalam bentuk proyek-proyek yang dijalankan baik oleh instansi dan perusahaan pemerintah
maupun swasta. Hal ini disertai dengan sektoralisme kebijakan agrarian melalui berbagai undang-undang , seprti undang-undang pokok kehutanan No. 5 tahun
1967 dan Udang-undang Pokok Pertambang No. 11 Tahun 1967, yang kesemuanya ini memandulkan UUPA No. 5 tahun 1960 sebagi perundangan
payung.
9
Pintu dibuka sangat lebar oleh rejim orde baru lewat Undang-undang Penanaman Modal Asing pada awal periode kekuasaannya, disisi lain keberadaan
para tuan tanah yang merupakan ciri khas feodalisme tidak juga hilang, sehingga dari dulu sampai sekarang, kedua kekuatan yang sebetulnya bertentangan itu
9
Ibid, hal. 22.
Universitas Sumatera Utara
malah bekerja sama menjadi penindas bagi rakyat. Dalam kurum waktu 32 tahun orde baru berkuasa, sebuah program yang menjadi biang keladi kehancuran dasar
kehidupan rakyat dilangsungkan yaitu; Revolusi hijau. Masuknya produk-produk asing dalamn asing pertanian dipaksakan oleh pemerintahan Orde Baru, terjadi
pemaksaan terhadap rakyat yang tadinya hanya berwatak subsisten menjadi pertanian yang berwatak eksploitatif. Secara prosuksi petani dipaksa untuk
memilih sarana produksi yang jauh diluar jangkauannya. Dampak dari hal ini adalah petani kemudian rela kehilangan lahannya, sehingga konsentrasi
kepemilikan lahan ditangan segelintir orang malah semakin menjadi-jadi.
10
Selain itu kaum tani juga telah mengalami penindasan selama puluhan tahun, menjadi korban perampasan tanah. Perampasan tanah yang terjadi erat
kaitannya dengan perkembangan kapitalisme Orde Baru yang hingga kini tak kunjung ada penyelesaian yang adil bagi kaum tani. Salah satu basis dari
perkembangan kapitalisme Orde baru adalah melalui cara-cara perampasan tanah untuk kepentingan keberlangsungan dan perluasan kapitalisme perkebunan,
pembangunan pabrik-pabrik manufaktur terutama tanah di pinggiran kota, proyek infrastruktur jalan, bendungandam dsb, real estate, lapangan golf, dan
pembukaanperluasan areal pertambangan. Ini adalah model pertama dari terjadinya pengkonsentrasian tanah model Orde Baru.
11
Secara spesifik ada sejumlah populasi kaum tani yang menjadi korban perampasan tanah akibat penyelewengan Orde Baru terhadap pelaksanaan UU
Pokok Agraia 1960, terutama tanah-tanah perkebunan yang hak erpachtHGUnya
10
Ibid , hal. ii-iii
11
Serikat Tani Nasional, Kondisi Pertanian dan Perjuangan Kaum Tani di Tengah Serangan Imperialisme
, Materi Situasi Nasional, Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional KPP-STN, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
habis dan seharusnya menjadi obyek dari UUPA yaitu dibagi-bagikan kepada kaum tani, ternyata HGU-nya diperpanjang. Atau yang sudah dibagikan dirampas
kembali, terutama paska Tragedi 65. Dalam kurun waktu antara tahun 1970 hingga tahun 2001 terjadi tidak
kurang dari 1.753 sengketa agraria. Terdapat 344 kasus konflik yang terjadi akibat pengembangan areal perkebunan besar, pembukaan kebun-kebun baru maupun
penanaman kembali lahan-lahan yang selama ini tidak dipergunakan oleh perusahaan. Keseluruhan jumlah konflik di areal perkebunan meliputi 1.311.971
Ha lahan yang disengketakan dan menimpa tidak kurang 257.686 keluarga petani sebagai korban langsung dari konflik tersebut.
12
Hal ini diperkuat dari data yang kumpulkan oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria 2004, per 30 desember 2001
telah tercatat 1.753 kasus konflik pertanahan di seluruh Indonesia yang mencakup luas 10.892.203 ha tanah dan melibatkan 1.189.482 keluarga.
13
Yang menjadi masalah adalah struktur kekuasaan selalu menindas perjuangan kaum tani yang menjadi korban dari ketidakadilan dalam kasus-kasus
tanah yang terjadi. Bahkan kaum imperialis, kapitalis, juga perusahaan- Tanah-tanah yang dirampas oleh kaum tani itu berubah menjadi industri-
industri modern, menjadi perkebunan, areal pertambangan, pabrik, bendungan, jalan dsb. Jika perubahan itu menjadi lapangan golf menjadi lebih mudah, karena
kaum tani tidak membutuhkan lapangan golf maka dapat dirubah kembali menjadi lahan pertanian. Apakah yang demikian ini juga akan diterapkan jika itu
sudah berupa pabrik, bendungan, areal pertambangan, jalan, bendungan.
12
Ibid, hal. 5
13
http:www.google tenure.org20080220 Syahyuti, Kendala Pelaksanaan Land Reform di Indonesia: Analisa terhadap berbagai Analisa dan Perkembangan Berbagai Faktor
Prasyarat Pelaksanaan Reforma Agraria , 2007, hal. 2
Universitas Sumatera Utara
perusahaan Negara yang memperalat dan menggunakan instritusi kekerasan Negara TNIPolri dan para preman dalam menghadapi perjuangan kaum tani
untuk merebut hak-haknya. Dalam kasus-kasus tanah yang terjadi keterlibatan TNIPolri ini sangat menonjol
Akibat dari kebijakan agrarian yang berorientasi pada pertumbuhan dan kepentingan modal besar ini, maka proses diferensiasi social dan proletarisasi
yang sudah terjadi pada masa kolonial menjadi berkembang makin luas dan mendalm dengan rangkain konflik yang tidak kunjung henti sebagai
konsekwensinya. Tabel 1. Karakteristik Konflik Agraria di Indonesia
Provinsi Angka
Kasus Luas Tanah
Sengketa Hektar
Angka Korban
KK Pihak-Pihak Yang Bersengketa Dengan Pengguna
Tanah Pemerintah Militer
Perusahaan Negara
Perusahaan Swasta
Jawa Barat 484
184.484 237.482
197 12
60 225
DKI Jakarta
175 60.615
117.194 96
5 9
66
Jawa Timur
169 390.296
187.428 77
9 31
59
Sumatera Selatan
157 305.323
71.830 27
1 18
116
Sumatera Utara
121 509.100
89.548 39
8 26
57
Jawa tengah
99 32.417
72.494 57
1 23
25
Sulawesi Tengah
58 1.036.589
51.955 21
1 4
34
Universitas Sumatera Utara
Lampung 54
320.716 120.840
23 3
4 25
Sulawesi selatan
48 54.555
16.994 25
3 4
17
NAD 47
362.067 61.059
11 1
9 26
NTT 44
472.751 2.955
28 2
4 22
Riau 33
134.170 14.056
8 2
23 Kalimantan
Timur 33
1.676.614 22.684
13 1
5 16
Sumatera Barat
32 266.597
29.134 14
1 4
15
Papua 28
4.012.224 35.943
15 2
12 Provinsi
Lain 171
1.073.904 57.885
68 9
16 95
Total 1.753
10.892.202 1.189.481
719 59
219 833
Sumber: Konsorsium Pembaharuan Agraria, Refoma Agraria Prasyarat Utama Bagi Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan, 2005, Hal. 23.
Hal ini diperkuat oleh Fauzi
14
1. Ketimpangan struktur penguasaan sumber-sumber agraria yang secara
sengaja dibiarkan berkembang dengan dijalankannya politik pembangunan agraria yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan diabdikan pada
keadilan social. 2003, meringkas berbagai problem agraria
selama masa Orde Baru sebagai berikut:
2. Politik agraria yang dijalankan oleh Orde Baru selama ini juga
menciptakan berkembangnya konflik-konflik dan atau sengketa agraria yang massif dan mendalam sifat kekerasannya.
14
Konsorsium Pembaharuan Agraria, Op.Cit, hal. 23-24
Universitas Sumatera Utara
3. Politik pembagunan agraria yang mengandalkan penanaman dan
penumpukan modal pada sector-sektor pokok ekonominya yang terutama dibiayai hutang asing telah gagal membangun modal dlaam negeri sebagai
jaminan dari berkelanjutan pembangunan. 4.
Politik sentralisme maupun sektoralisme hokum keagrarian telah menghasilkan pengambilalihan sumner-sumber agrariia yang menjadi hak
rakyat dan terjadinya konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria dengan mengorbankan kemakmuran kehidupan rakyat pedesaan serta
menjadikan pertanian menjadi sector yang dibelakangkan. Bukan hanya potret ketimpangan penguasaan tanah, kemiskinan serta
pemaksaan yang menjadi gambaran petani, melainkan juga petani menjadi pihak yang kerap harus dihilangkan factor produksi terpenting yang mereka kuasai yaitu
tanah. Petani harus berjuang keras mempertahankan secuil tanah yang selama ini mereka kuasai bahkan dalam banyak kasus mereka harus diperhadapkan dengan
berbagai macam kekerasan fisik.
15
Masalah terbesar agraria
16
15
Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni, Petani dan Konflik Agraria, Bandung: Yayasan AKATIGA, 1998, hal. x
16
http:www.okezone.com20080220, Joko Ryanto SH, Pembaharuan Agraria dan Hak Asasi Petani
, Jakarta; Artikel, 2007.
saat ini dapat diringkaskan sebagai berikut: 1 Ketidakadilan penguasaan tanah dan kekayaan alamnya antarkelompok sosial
ekonomi yang menggantungkan hidup atasnya. 2 Ketidakadilan penggunaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan di atas tanah. 3 ketidakadilan dalam
pengambilan putusan perkara dengan penguasa, penggunaan dan pemanfaatan tanah, serta kekayaan alam.
Universitas Sumatera Utara
Ketidakadilan itu merupakan faktor penyebab konflik sosial dan atau pelanggaran HAM di berbagai daerah konflik sosial di beberapa daerah.
Seharusnya, hak petani diakui sebagai HAM, baik oleh pemerintah maupun pemerhati HAM. Sayangnya, hal itu sama sekali belum tercermin dalam
Rancangan Undang-Undang RUU tentang Pertanahan sedang disusun Badan Pertanahan Nasional BPN untuk menggantikan Undang-Undang Pokok Agraria
UUPA No 51960 yang kini genap berusia 47 tahun. Upaya BPN merevisi UUPA 1960 itu diperkirakan hanya melanggengkan
ketidakadilan sosial di atas. Bukan saja karena BPN cenderung tidak mengefektifkan hukum agraria nasional sebagai landasan pelaksanaan pembaruan
agraria secara komprehensif, lebih dari itu BPN cenderung menyederhanakan tiga masalah ketidakadilan sosial itu sebagai masalah pertanahan semata, bukan
sebagai masalah agraria yang cakupan telaahnya jauh lebih luas. Ada beberapa kelemahan dalam UUPA yang meliputi: a Hak menguasai
sumber daya alam SDA yang berada di tangan negara harus direvisi agar tidak ditafsirkan bersifat mutlak, tapi lebih ditafsirkan sebagai negara mempunyai
wewenang untuk mengatur kepentingan dan pengabdian pada masyarakat. b Masyarakat adat atau komunitas desa mempunyai wewenang untuk memecahkan
masalah agraria. Akumulasi persoalan dari perubahan situasi ekonomi dan politik yang
terus berkembang yang memaksa kaum tani Indonesia harus terus menerima beban berat dari eksploitasi tanah dan sumber-sumber alam lainnya yang
semakin menyempit dan hancur kesuburannya, de-politisasi massal semasa Orde Baru, hingga kebijakan neo-liberalisme pemerintahan pasca reformasi seperti
Universitas Sumatera Utara
perdagangan bebas, pencabutan subsidi, kenaikan harga BBM, pupuk, obat- obatan, traktor dan impor beras yang semakin menghancurkan daya produksi
pertanian nasional dan mencampakkan kaum tani Indonesia ke jurang kemiskinan dan kebodohan.
17
Tahun Sensus Pertanian
Situasi ini menyebabkan hasil produksi kaum tani tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Oleh karena itu sangat sering
kaum tani berlahan sempit ini terpaksa harus menjadi buruh musiman di perkotaan terdekat, menjadi buruh untuk tetangganya sendiri petani berlahan sempit
lainnya yang tetap membutuhkan tenaga kerja terutama pada saat musim tanam dan musim panen. Masih harus diselidiki apakah sempitnya penguasaan lahan
menjadi problem pokok dari kaum tani di Indonesia? Dalam pengertian sederhana bahwa semakin luas lahan yang dimiliki kaum tani akan semakin meningkatkan
kesejahteraannya.
Tabel 2. Jumlah Petani dan Rata-rata penguasaan tanah di Jawa dan Madura.
Jumlah Petani di Jawa dan Madura
Rata-Rata Penguasaan Tanah Ha 1963
7,95 Juta 0,71
1973 8,27 Juta
0,60 1983
10,27 Juta 0,30
Sumber : Serikat Tani Nasional, Kondisi Pertanian dan perjungan Kaum Tani di Tengah Serangan Imperialisme,2006, Hal. 1.
17
Serikat Tani Nasional, Pidato Menyambut Hari Tani Nasional 2006. Bogor: Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional, 2006, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
Asumsi sementara yang menjadi alat analisis memahami fakta sempitnya skala udaha tani adalah realitas terjadinya ketimpangan struktur penguasaan
agraria. Ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia sudah terjadi sejak masa colonial sekitar abad ke-19, ketimpangan struktur penguasaan tanah yang semakin
tajam tersebut ditunjukkan secara berlanjut yakni semakin sempitnya skala usaha tani dan semakin meningkatnya jumlah tunakisma ironisnya seperti yang tercatat
dalam sensus pertanian tahun 1993, sebagian besar tanah pertanian 69 dikuasai oleh sekelompok kecil rumah tangga pedesaan 16, dan sebaliknya sebagian
kecil tanah atau sisanya 31 dikuasai oleh sebagian besar 84 rumah tangga pedesaan. Mereka ini adalah rumah tangga yang menguasai tanah tidak lebih dari
1 Ha dab petani tunakisma. Sehubungan dengan petani tunakisma ini, Kano 1988:4 menemukan dua faktor yang menyebabkan adanya perbedaan yang
paling jelas dan menentukan munculnya petani tunakisma di masyarakat pedesaan jawa, menurut Kano factor demografi yakni tingginya man land ratio
18
dan factor ekonomi yakni komersialisasi pertanian yang terjadi di Jawa meupakan factor
yang tidak bisa disangkal lagi sebagai penyebab munculnya tunakisma dan semakin sempitnya areal luas lahan yang dapat dikuasai petani.
19
Konsentrasi tanah adalah melalui pembukaan hutan dan pemanfaatan tanah adat. Yang menikmatinya adalah sejumlah konglomerat kroni Suharto.
Sampai tahun 1998, kurang dari 666 unit produksi yang mengontrol kurang lebih 48,3 juta ha hutan HPHHPTI, yang bila dirata-ratakan, masing-masing unit
menguasai kurang lebih 72,6 ribu ha. Di antara perusahaan yang menguasai HPHHPTI itu, tidak lebih dari 12 konglomerat yang mengontrol sekitar 16,7 juta
18
Man Land Ratio adalah Perbandingan jumlah penduduk dengan jumlah luas lahan pertanian.
19
Endang Suhendar dan Yohana budi Winarni, Op.Cit, hal. 12
Universitas Sumatera Utara
ha lahan hutan. Di samping itu, Perhutani perusahaan milik negara mengklaim menguasai tiga juta ha lahan hutan. Kemudian pada tahun 2000 ketahui terdapat
2,178 perusahaan yang menguasai perkebunan besar dengan total lahan seluas 3,52 juta ha.
20
Walaupun demikian menurut Wiradi 1990, persoalan skala usaha tani dan satuan luas usaha sampai sekarang sebenarnya menjadi perdebatan akademis
yang panjang. Menurut Nasikun, seperti dikutib Wiradi 1990:2 yang menjadi persoalan adalah mengapa ketika berhadapan dengan semakin gencarnya
intervensi kapitalisme agraria, petani kecil masih bias bertahan utamanya dengan modal keterbatasannya itu. Masalah ini menjadi persoalan yang menarik ketika
sampai pada pembahasan cara petani bertahan dari intervensi akumulasi modal para kapitalis yang termanifestasi dalam konflik-konflik agrarian yang
berkepanjangan dan sangat bertentang dengan cara hidup petani yang secara prinsipil hidup sederhana.
Dengan demikian kecilnya skala usaha tani yang dimiliki sebagian besar petani menunjukkan pola hidup petani di Indonesia yang subsisten. Dikatakan
demikian karena keterbatasan berproduksi disebabkan kecilnya usaha tani yang dimiliki. Keadaan ini menjadi indicator yang jelas dalam mengukur kemampuan
petani dalam mengelola dari produksi. Dalam arti, kemampuan berproduksi menjadi indicator dari sikap petani yang lebih mengutamakan kebutuhan untuk
komsumsinya sendiri agra terpenuhinya dahulu daripada mencari untung dan suplus yang dapat dihasilkan dari fartor produkasi yang sangat terbatas.
21
20
Serikat Tani Nasional, Kondisi Pertanian dan Perjuangan Kaum Tani di Tengah Serangan Imperialisme
, Materi Situasi Nasional, Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional KPP-STN, hal. 5
21
Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni, Op.Cit, hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
Tanggal 16 Agustus 2006, Presiden SBY menyatakan tingkat kemiskinan berhasil diturunkan. Hal ini adalah bertentangan dengan kenyataan bahwa
menurut data dari lembaga mandiri, hingga bulan April 2006, tingkat kemiskinan sudah mencapai angka 22 dari total penduduk Indonesia. Itu artinya, sekitar 40-
an juta rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Namun jika kita merujuk pada tingkat pendapatan 2 dollarhari ±Rp. 19.000, kita akan lebih
terkejut lagi dengan kenyataan bahwa separuh atau sekitar 110 juta dari penduduk kita yang sudah mencapai 220 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan.
22
Sekitar 70 atau hampir ¾ dari rakyat miskin tersebut adalah: kaum tani
23
Di dalam penyelesaian persoalan kurang berkembangnya dan keterbelakangan tenaga produktif pertanian dan juga dalam penyelesaian sengketa
agraria kedudukan dari Pemerintahan SBY-Kalla adalah wakil kekuasaan yang berdiri dipihak-pihak yang memusuhi kepentingan kaum tani yaitu kaum
. Dari gambaran ini seharusnyalah ditetapkan kebijakan yang menguntungkan kaum tani. Tapi kenyataan selalu jauh dari harapan dan impian .
Bukannya hidup yang lebih baik, malah terus dibebani dan ditimpakan beban yang lebih berat lagi. Kenaikan harga eceran pupuk pertengahan tahun 2006
semakin membuat masih beratnya kita menanggung kenaikan semua biaya produksi dan kehidupan sehari-hari akibat kenaikan harga BBM. Sesak inipun
masih harus ditambah dengan kebijakan pemerintah untuk mengimpor beras yang akan menghantam harga jual gabah. Berbagai persoalan ini masih juga harus
ditambah dengan masih banyaknya represifitas yakni kekerasan aparat negara secara langsung atau tidak yang dihadapi oleh perjuangan kaum tani di Indonesia.
22
Serikat Tani Nasional, Pidato Menyambut Hari Tani Nasional 2006, Loc.Cit.
23
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
imperialis dan kapitalisimperialis yang menyerobot tanah-tanah yang menjadi hak kaum tani. Demikian juga kedudukan dari struktur dan elit penguasa yang
menjadi bawahannya militer, pengadilan, juga pemerintahan daerahm juga institusi parlemen.
Kasus beras impor, gula impor, kenaikan harga BBM, Tarif Dasar Listrik, ndustri pupuk, mahalnya harga pupuk, tak adanya bantuan kredit murah untuk
kaum tani, tak adanya bantuan teknologi yang murah dan tepat guna bagi kaum tani, peranan Bulog yang tidak mampu menjadi distributor pangan nasional yang
menguntungkan kaum tani dan memangkas habis rente yang dinikmati kaum tengkulak adalah bukti dari sikap bermusuhan dari pemerintahjan SBY-JK
terhadap kepentingan kaum tani. Pemerintahan SBY-JK justru dengan sikap melaksanakan pesanan kebijakan dari kaum imperialis untuk meliberalkan
peraturan yang menyangkut pemilikan dan pemanfaatan sumberdaya air, juga perkebunan melalui berbagai RUU.
Didalam penyelesaian kasus-kasus sengketa agrarian kita tidakpernah mendengar penyelesaian yang menguntungkan kaum tani. Yang sering kita dengar
justru Pemerintah SBY-JK menggunakan institusi dan aparat TNIPolri untuk menindas perjuangan kaum tani.
Problem yang sesungguhnya adalah kapitalisme Indonesia dan kaum imperialis memang berkepentingan untuk tetap membuat tenaga produktif kaum
tani dan pertanian Indonesia tidak berkembang dan tetap terbelakang. Program industrialisasi nasional secara massif dan massal, sosialisasi dalam pengelolaan
aktifitas industri modern, program pendidikan dan kesehatan gratis yang dapat menjadi jembatan perbaikan nasib kaum tani untuk masuk ke jajaran kelas pekerja
Universitas Sumatera Utara
modern menjadi terhambat. Nasib kaum tani menjadi bertambah buruk karena kelas penguasa bekerjasama dengan kepentingan kaum imperialis menindas kaum
tani. Sehingga konflik agraria yang melibatkkan petani selalu terjadi
disepanjang sejarah dan petani tetap berada pada posisi yang lemah, baik secara ekonomi maupun politik. Secara ekonomi posisi petani lemah karena sebagai
produsen. Secara politik posisi petani sangat lemah karena tidak memiliki kesempatan untuk mandiri dan berorganisasi dan beraliansi dengan kekuatan
politik yang dapat mengangkat aspirasi mereka. Tentunya dari persoalan pokok yang dihadapi oleh kaum tani, yakni
kebutuhan akan tanah sebagai sumber penghidupannya bertahan hidupalat produksi terjadi gejolak terhadap ketimpangan struktur agraria yang ada sehingga
timbulnya penuntutan-penuntutan bahkan perlawanan gerakan tani untuk penyelesaian sengketa yang menimpa mereka selama berpuluh-puluh tahun
lamanya telah kehilangan tanah sebagai simbol kesejahteraannya. Dalam melakukan perlawanannya Kaum Tani terorganisir dalam sebuah
kolektif kerja untuk melakukan penyusunan strategi dan taktik perlawanan terhadap pemegang otoritas negara, karena sepanjang sejarah sejak bedirinya Orde
Baru tak satupun institusi negara bahkan Badan Pertanahan Nasional sekalipun tidak memiliki niatan baik dalam menyelenggarakan amanat Undang-Undang
Pokok Agraria No. 05 Tahun 1960 dalam menyelesaikan ketidakadilan agraria di Indonesia Khususnya di Sumatera Utara. Karena, gerakan sosial petani harus
dibangun dengan landasan kolektif dan segaris massa seta membangun kedisplinan dalam melakukan perlawan terhadap hegemoni negara melalui
Universitas Sumatera Utara
apparatus pemerintahannya yang telah berselingkuh dengan pemilik modalpengusaha. Tentunya ini akan membangun hubungan yang kontradiktif
sehingga melahirkan konflik yang berkepanjangan. Berbagai kasus penggusuran yang terjadi hampir diseluruh tanah air pada
dekade 1980-an, dapat dipastikan memunculkan dan menyebabkan terjadinya konflik di masyarakat seperti halnya di desa Pematang Lalang Kec. Percut Sei
Tuan Kab. Deli Serdang, yang persoalannya menimpa masyarakat yang tergabung dalam Serikat Tani Nasional Desa Pematang Lalang. Sebuah konflik klasik yang
berawal dari sengketa tanah seluas 360 Ha dilokasi HGU PT.Anugerah Tambak Perkasindo Tbk dan menempatkan petani STN-Pematang Lalang pada posisi
yang berhadap-hadapan dengan negara dan pengusaha PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk, bahkan tidak jarang tindakan refresif menyertainya dengan
menggunakan alat negara TNIPOLRI dan juga preman bayaran untuk melakukan tindakan diluar batas kemanusiaan dalam upaya melakukan
penggusuran dari lahan sengketa. Konflik yang dimulai sejak tahun 1988 dimana PT. Anugerah Tambak
Perkasindo ATP yang bergerak dalam pertambakan udang telah menguasai tanpa membayar tanah rakyat yang diperoleh dengan surat panitia Landreform
pada 1967 melalui organisasi Persatuan Tani Islam Indonesia PERTISI yang kemudian tanah dibagikan seluas 360 Ha kepada 161 warga dengan surat Kohir
IPEDA serta Peta Persil suguhan. Barulah pada tahun 1995 muncul izin Hak Guna Usaha untuk melegitimasi
praktek pertambakan udang yang telah dilakukan PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk selama ini. Izin Hak Guna Usaha tersebut diatur dalam keputusan
Universitas Sumatera Utara
Kanwil BPN Sumatera Utara No. 1HGU22.0495 tertanggal 21 Maret 1995 untuk pengaturan 95,04 Ha serta Keputusan Kepala BPN Nasional
No.19HGUBPN2001 tertanggal 7 Agustus 2001 untuk 335,8 Ha. Setelah beberapa tahun perampasan tanah yang dilakukan oleh PT.
Anugerah Tambak Perkasindo Tbk maka untuk kepentingan memperjuangkan kasus sengketa tanah tersebut kemudian, pada tahun 2004 masyarakat desa
Pematang Lalang kemudian membangun kembali sebuah organisasi tani yang bernama PERTISI Persawahan Terindah Seluruh Indonesia yang dipimpin oleh
Kamelia Hasibuan. Dalam proses perjuangannya, tepatnya pada bulan Mei 2005, PERTISI melalui Kamelia Hasibuan mengundang elemen mahasiswa yaitu Liga
Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi wilayah Sumatera Utara Eksekutif Wilayah LMND Sumut untuk ikut terlibat mendampingi proses perjuangan
sengketa tanah tersebut yang saat itu sedang membangun sekolah tani de Desa Pematang Lalang. Hingga, Tahun 2005 terbentukalah Serikat Tani Nasional Desa
Pematang Lalang yang merupakan hasil kesepakatan bersama petani setelah kepergian Kamelia dengan alasan karirnya.
Merujuk pada masalah diatas, penulis tertarik untuk menganalisa lebih mendalam mengenai gerakan perlawanan petani Pematang Lalang yang
merupakan gambaran perlawanan dan bentuk protes kaum tani melalui organisasi Serikat Tani Nasional Pematang Lalang terhadap ketidakadilan agraria yang
sedang menimpa warga desa Pematang Lalang. Gerakan ini secara Spontan mengejutkan warga desa ketika hadirnya perusahaan yang bergerak di bidang
budidaya tambak udang bernama PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk, pengusahanya bernama Ishak Charlie. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa
Universitas Sumatera Utara
ketenangan kaum tani yang selama ini dalam bekerja di lahan yang mereka kuasai dan kelola produksi sebagai sebuah areal persawahan dengan sendirinya telah
terusik oleh keberadaan PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk. Ketika modalInvestasi memasuki wilayah pedesaan maka dibutuhkan lahan yang luas
untuk dapat menghasilkan keuntungan yang lebih maksimal. Perlahan-lahan posisi kaum tani di desa pematang lalang telah terjepit dan tergusur dari tanahnya
sendiri oleh karena lahan yang selama ini mereka kuasa dan mereka kelola sebagai sumber mata pencaharian pokok bagi hidup mereka telah di rampas oleh
kekuatan uang Pemilik Modal yang berkolaborasi dengan negara untuk memaksa petani keluar dari areal kelola produksinya. Tentunya ini merupakan
tragedi kemanusiaan dimana telah terjadi pemiskinan secara struktural dipedesaan Pematang Lalang karena tanah telah dimonopoli oleh PT. Anugerah Tambak
Perkasindo Tbk.
1. Perumusan Masalah