2. Gerakan Petani Dalam Perspektif Kepentingan Kelas.

Pematang Lalang Deli Serdang yang tergabung dalam organisasi Serikat Tani Nasional Desa Pematang Lalang. Namun gerakan tani ini kemudian mengalami perubahan bentuk oleh akibat etika subsistensi yang menjadi kebutuhan mereka hingga terbakarnya “Bara Api” kemarahan dan kejengkelan kaum tani terhadap situasi yang mereka alami yang terekpresikan melalui pembakaran-pembakaran yang dilakukan kaum tani di desa Pematang Lalang terhadap kantor dan inventarisasi PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk yang berdekatan dengan lahan sengketa 360 Ha tersebut, sehingga sifat dan bentuk gerakannya berubah menjadi lebih terbuka, massal, ekspresif, eksplosif, dan penuh dengan tindakan- tindakan diluar batas.

5. 2. Gerakan Petani Dalam Perspektif Kepentingan Kelas.

Jeffry Paige 1975 109 1. Suatu kelas penguasa tanah berkuasa terus atas dasar penguasaan tanahnya dengan karyanya “Revolusi Agraria, Gerakan Sosial dan Pertanian di Negara-negara Dunia Ketiga “ yang tidak memperdulikan soal- soal moralitas, rasionalitas. Paige menggunakan analisis kepentingan kelas pada situasi pedesaan yang diistilahkannya menjadi “Objektive Vector of Capitalism” . Ia merujuk pada situasi nyata orang-orang desa lakukan dalam proses kerja, misalnya organisasi dan struktur kerja, ekologi produksi dan lainnya. Selanjutnya Paige mempermasalahkan kondisi-kondisi yang memungkinkan pemberontakan agraria dan bentuk-bentuk ekspresi atau tampilan politik petani. Model analisa Marxis menjadi rujukan Paige ini memperkirakan kemungkinan gerakan petani akan terjadi manakala: 109 Jeffry Paige, Revolusi Agraria: Gerakan Sosial dan Pertanian Ekspor di Negara- negara Dunia Ketiga , Pasuruan: Op.Cit, hal. 113 Universitas Sumatera Utara 2. Para petani dihambat kemungkinan mobilitas naik ke atas 3. Kondisi kerja dan karakter pekerjaan para petani memungkinkan pembentukan solidaritas. Hal ini jelas terjadi di Desa Pematang Lalang dimana sejak masuknya modal investasi ke pedesaan dengan bertopengkan pembangunan, maka telah terjadi proletarisasi kemiskinan di tingkat pedesaan yang ditandai dengan status monopoli kepemilikan tanah oleh PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk sehingga petani dalam hal ini merupakan objek dari pada kapitalisme yang merongrong struktur dan tatanan social pedesaan yang akan melahirkan konflik kelas di tingkat pedesaan. Dalam perspertif kepentingan kelas ini, pada dasarnya mennggunakan tiga asumsi dasar, yaitu; pertama, rakyat dianggap memiliki sejumlah kepentingan dasar dimana mereka akan terus berupaya keras akan memenuhinya, kedua, kekuasaan menjadi inti dari struktur social dan ini akan melahirkan perjuangan untuk mendapatkannya, ketiga, nilai dan gagasana dalah senjajta konflik yang digunakan oleh berbagai kelompok untuk mencapai tujuan masing-masing, ketimbang sebagai alat mempertahankan identitas dan menyatukan tujuan masyarakat. Berakar dari pandangan Marxisme, yang didasarkan pada pandangan bahwa revolusi adalah sebagai sebuah kebutuhan yang disebabkan oleh memburuknya hubungan produksi yang memunculkan masa krisis ekonomi, depresi dan kehancuran. Memburuknya hubungan produksi di desa Pematang Lalang ditandai dengan awal perampasan tanah yang mereka kuasai, akumulasi produksi PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk telah mencapai batas yang Universitas Sumatera Utara maksimun dengan keuntungan yang berlipat ganda dengan komoditas tambak udang. Namun semua akumulasi keuntungan yang didapatkan oleh PT. ugerah Tambak Perkasindo Tbk berdiri diatas proyek dehumanisasi pedesaan yang merugikan bahkan mematikan kaum tani itu sendiri, karena ketiadaan akan kepemilikan tanah setelah terjadinya pencaplokan tanah-tanah petani Desa Pematang Lalang. Tanah dalam perspektif kepentingan kelas dianggap sebagai alat produksi dalam hubungan produksinya, maka telah menjadi kebutuhan absolutmutlak bagi masyarakat pedesaan untuk merebut dan mempertahankan tanahnya. Ada 2 posisi kelas yang berhadap-hadapan dalam hal kepentingan kelas terhadap penguasaan alat produksi tanah yaitu: pertama, kelas penindas PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk yang berkolaborasi dengan negara dan kedua, kelas tertindas para petani yang tergabung dalam organisasi Serikat Tani Naisonal Desa Pematang Lalang yang akan terjadi kemudian adalah perebutan alat produksi masyarakat masyaraat pedesaan yang dilakukan secara terorganisir dan terencana ada tahapannya untuk mencapai tujuannya. Dalam pandangan Jeffry Paige Petani Pematang Lalang yang tertindas merupakan objek dari pada akibat dari penetrasi capital di pedesaan yang diwakilkan oleh PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk, selanjutnya diekspresikan melalui legitimasi kekuasaan negara yang berhegemoni terhadap kelas dibawahnya, sehingga akibat daripada kondiri ketimpangan yang ada akan melahirkan krisis kelas dalam posisi yang teraniaya. Negara merupakan kaki tangan modal PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk yang digambarkan dengan kondisi dikeluarkannya HGU No. 01 Tahun 1995 Universitas Sumatera Utara dan HGU No. 04 Tahun 2001 yang jelas-jelas negara telah mengetahui posisi tanah sengketa telah dikuasai oleh petani Desa Pematang Lalang sejak Tahun 1967 dengan dikeluarkannya Surat Land Reform oleh Pemerintahan saat itu, bahkan bukan itu saja petani juga telah melakukan penanaman padi secara berulang-ulang sebagai produkstifitasnya dilahan sengketa. Dan yang tidak masuk akal adalah ketika posisi lahan 360 Ha dalam posisi sengketa pemerintahan melalui perpanjangan tangannya yaitu Badan Pertanahan Nasonal BPN mengeluarkan HGU No. 04 Tahun 2001, Seperti yang diungkapakan oleh Pak Nababan yang merupakan salah satu tokoh perlawanan petani Desa Pematang Lalang: “Kasus tanah ini dimulai sejak tahun 1988, dimana PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk masuk ke desa ini, dan menurut pengakuan mereka telah mengganti rugi tanah dengan pembuktian surat, dan ternyata surat tersebut palsu. Sudah sering PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk terutama sejak itu melakukan pemalsuan surat keterangan ganti rugi, yang lebih anehnya adalah tahun 2001 keluar HGU PT. Anugerah Perkasindo No. 04 oleh BPN sementara tanah yang diletakkan dalam HGU tersebut, itulah yang sedang bermasalah sejak dari dulu, jadi saya berpikir entah jadi apalah negara ini, kalau pemerintahnya saja sudah demikian, pemerintah kita ini bukan lagi perwakilan masyarakat kecil, tetapi sudah menjadi alat kekuatan perusahaan-perusahaan, jelas saja mereka diuntungkan dengan kehadiran investor, namun bagaimana dengan nasib kami yang hanya menggantungkan hidup kepada tanah dengan bertani, tidak ada jalan lain lagi kami harus melawan, dari pada Universitas Sumatera Utara mati kelaparan lebih baik mati berperang untuk bertahan dari hidup yang dibelenggu oleh kemiskinan, jadi intinya kita belum merdeka, merdeka itu bagi elitpejabat dan pemilik uang, yah, mereka-mereka sajalah yang merdeka dengan uang mereka. Tetapi tunggu saatnya pembalasan dan penghakiman rakyat” Disisi lain pemerintahan desa sebagai refresentasi negara di pedesaan, juga terlibat dalam upaya penggusuran secara permanen kepada warganya sendiri. Oleh karena keberpihakan Kepala Desa Pematang Lalang terhadap PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk, jelas hingga kestruktur pemerintahan negara yang terkecil di pedesaan pun seperti Kepala Desa merupakan boneka dari kekuatan modal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa negara berfungsi untuk melegalisasi penindasan terhadap rakyatnya kaum tani dan negara merupakan anjing penjaga modal yang seluruh kerjanya diabdikan dan diakumulasikan bagi Sang Tuan Kapitalis dalam hal ini adalah PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk pengusahanya Ishak Charlie. Meminjam sedikit tulisan Kwik Kian Gie 110 110 Happy Kurniawan, , bahwa setiap Country strategy Report, serta setiap keikutsertaan lembaga-lebaga donor dan lembaga-lembaga internasional dalam perumusan kebijakan pemerintah, kita tidak bisa melepaskan diri dari kenyataan bahwa yang memerintah Indonesia sudah bukan pemerintah Indonesia sendiri. Jelas sekali kita sudah lama merdeka secara politik, tetapi sudah kehilangan kedaulatan dan kemandirian dalam mengatur diri sendiri. Neoliberalisme: Penyempurnaan Liberalisasi Agraria dan Kematian Sektor Pertanian, artikel, Jakarta: Desember 2000, hal. 3. Universitas Sumatera Utara Sebagaimana pandangan Gramcy menggambarkan bagaimana hegemoni negara bekerja, yaitu: “Penggunaan hegemoni yang “normal” atas darah klasik regim parlementer sekarang bercirikan antara penggabungan kekuatan dan persetujuan, yang keseimbangan antara yang satu dengan yag lainnya timbal balik, tanpa kekuatan mendominasi secara luas atas persetujuan tentu saja upayanya selalu dibuat untuk memastikan bahwa kekuatan akan muncul berdaarkan persetujuan mayoritas.” Pandangan Paige kemudian bahwa petani revolusi agraris diakibatkan oleh perluasan pasar yang mengakitkanterbentuknya strata sosial baru, dan khususnya akan mendorong terjadinya revolusi, demikian juga menurut pandangan Sadikin Gani, dalam artikelnya didasari oleh 3 pengandaian tentang perlawanan kaun tani: Pertama , perlawanan petani upaya-upaya yang dilakukan petani untuk menentang dan menolak segala bentuk keputusan yang mengakibatkan hilangnya hak penguasaanpemilikan mereka atas sebidang tanah–merupakan salah satu bentuk gerakan sosial. Gerakan sosial yang dimaksud di sini adalah upaya-upaya yang dilakukan sekelompok orang untuk melakukan perubahan, atau mempertahankan keadaan yang menyangkut kehidupan sosial, ekonomi dan politik dalam sebuah masyarakat. Kedua, konflik agraria tanah merupakan gejala danatau peristiwa yang timbul dari adanya perlawanan dari sekelompok orang yang mengidentitaskan dirinya sebagai petani–termasuk pihak-pihak yang mendukung perlawanan petani–terhadap kelompok masyarakat lain, atau institusi–pemerintah maupun perusahaan–yang tidak mengakui danatau merebut hak penguasaanpemilikan petani atas sebidang tanah yang mereka akui dan yakini Universitas Sumatera Utara sebagai miliknya. Ketiga, jika konflik agraria diletakkan dalam kerangka gagasan reforma agraria, maka konflik dalam konteks reforma agraria lebih bermakna sebagai strategi perjuangan petani untuk mendorong pelaksanaan reforma agraria. Berdasarkan tiga pengandaian tersebut, dapat ditarik dua kesimpulan hipotetis. Pertama, gejala dan peristiwa konflik agraria pada dasarnya merupakan “manufactured product”, bukan “primordial matter” sebuah gerakan sosial, karena gejala dan peristiwa tersebut merupakan insiden yang memang direncanakan terjadi merupakan bagian dari strategi dan taktik perjuangan petani untuk mewujudkan reforma agraria. Kedua, karena perlawanan petani dan konflik yang ditimbulkannya merupakan bagian dari taktik dan strategi gerakan, maka konflik dalam kerangka perjuangan reforma agrarian untuk mengembalikan tanah-tanah rakyat yang dirampas oleh perusahan-peruhan yang mendapatkan legetimasi negara bukan sesuatu yang menuntut penyelesaian layaknya penyakit yang harus disembukan, melainkan harus terus dikobarkan sehingga menjadi kekuatan yang dapat mendorong pelaksanaan reforma agrarian sebagai sebuah perjuangan klas rakyat dipedesaan dalam upaya menyelesaikan ketimpangan status social yang merupakan ketimpangan kelas dipedesaan. Seperti halnya aksi-aksi protes yang merupakan bentuk perlawanan kaum tani di Desa Pematang Lalang, dalam riak-riak dijalanan meneriakkan wacana revolusi sebagai jalan keluar dari belenggu dari penindasan yang selama ini menjadi mimpi buruk bagi mereka. Gerakan petani Desa Pematang Lalang bisa di kategorikan gerakan petani yang radikal, karena dilakukan secara mendasar yaitu penguasaan alat produksi yaitu tanah yang satu-satunya merupakan sumber kehidupan mereka, sebab lain karena petani tersebut tidak memiliki tanah diluar Universitas Sumatera Utara tanah yang menjadi kelola produksi mereka, sehingga dengan kondisi dislokasi kepemilikan tanah tersebut perlawanan kaum tani desa Pematang Lalang menjadi sangat frontal dan siap selalu melakukan konfrontasi-konfrontasi dengan PT. Anugerah Tambak Perkasindo sebagai bagian dari perjuangan kaum tani Desa Pematang Lalang dalam perjungan menaikkan bargain position posisi tawar mereka dimata negara dan elit politik yang membuat kebijakan. Sebagai kaum proletar 111 Dilapangan perlawanan kaum tani Desa Pematang Lalang Deli Serdang terhadap PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk, petani yang tergabung dalam Serikat Tani Nasional Desa Pematang Lalang terlihat kompak dalam datu aksi dan pedesaan, petani Desa Pematang Lalang dalam kesehariannya sering berhadap-hadapan dan berkontradiksi dengan kekuatan negara alat refresif negara yaitu: polisi dan TNI disamping hadirnya paramiliter preman bayaran yang menjadi pioneer PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk. Dengan demikian, kondisi para petani yang sebelumnya tampak bodoh, pasif, diam dan sungkan mereka dapat dengan segera melakukan perlawanan secara bersama-sama tanpa di duga-duga terhadap kondisi yang tidak mereka sukai melalui berbagai cara, mulai dari cara diam-diam atau terselubung sampai pada cara terbuka dan massal bahkan dekstruktif. Sebab, petani Desa Pematang Lalang biasanya siap menghadapi resiko dengan mengadakan konfrontasi langsung bila mereka menganggap ketidakadilan tidak dapat lagi ditoleransi, dan apabila kebutuhan mereka melonjak secara tiba-tiba, serta bila institusi lokal dan nasional dan kondisi kultural cenderung meminta mereka untuk menggunakan kekutan kolektif. 111 Proletar adalah kelas yang termarjinalisasi sehingga tidak memiliki alat produksi. Universitas Sumatera Utara tuntutan atas pengembalian tanah mereka, namun ada kalanya dalam konteks kejadian lainnya petani mengalami perpecahan dan sering terjadi penghianatan, oleh karena taktik devide et impera pihak lawan PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk dengan iming-iming dan rayuan akan diberikan uang dalam jumlah banyak, tanah akan dikembalikan bagi mereka yang mau menghianati teman-temannya atau bahkan tawaran pekerjaan di PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk. Disamping itu persoalan mengiringinya adalah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para preman bayaran, namun perlawanan kaum tani Desa Pematang Lalang kemudian adalah dengan cara kekerasan pula yaitu mengejar preman dalam jumlah massal dan membakar inventarisasi PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk yaitu: sepeda motor, gedung perkantoran dan gudang-gudang yang ada dan berdekatan dengan lahan sengketa. Ketika petani berhasil membujuk para pekerja yang sedang menami sawit di lahan sengketa dan berhasil menduduki lahan sengketa serta mencabuti bibit- bibit sawit yang telah ditanami para pekerja PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk, seolah-olah rasa kekecewaan dan frustasi yang mereka alami selama bertahun-tahun lamanya terlampiaskan dan cair dalam bentuk pesta pora rakyat Desa Pematang Lalang yang terekspresikan melalui tindakan mencabuti tanaman sawit PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk bak telah berhasil memenangkan peperangan besar. Tindakan perlawan yang terbuka over action yang diserti dengan indakan agresi terhadap sasaran-sasaran yang ditujuakan dilakukan oleh seseorang dankelompok orang jikalau kondisi progressive deprivation telah mereka alami, Universitas Sumatera Utara seperti perusakan tanaman rakyat yang dilakukan oleh preman PT. Anugerah Tambak Perkasindo Tbk, untuk sampai pada progressive deprivation ini, Gurr mengungkapkan tahapan-tahanpan tertentu, yaitu: pertama, bertambahnya ketidakpuasan masyarakat, kedua, terjadinya upaya politisasi terhadap ketidakpuasan, ketiga, adanya gerakan yng mengaktualisasikan ketidakpuasan dalam bentuk aksi kekerasan kolektif terhadap yang dituju. Tindakan perlawanan yang massal dalam perspektif ini disebut dengan revolusi, tidak akan muncul tanpa adanya keinginan dari anggota masyarakat untuk melakukannya. Sebagai suatu fenomena sosial tentunya revolusi sangat berhubungan dengan karakteristik structural sosial yang dalam realitasnya memengaruhi keputusan individu untuk bergabung dalam gerakan revolusi. Artinya revolusi dapat dianalisis dalam level sosial dengan memfokuskan pada kondisi masyarakat yang menumbukan aksi revolusioner. Dalam aksi yang revolusioner kaum tani Pematang Lalang akan mampu menyeimbangkan posisi politisnya dengan lawannya bahkan dengan negara yang sudah tidak mampu berbuat apa-apa. Perlawanan melalui aksi-aksi yang revolusioner akan memimpin petani pada kesadaran kelas tertindas yang akan merebut kekuasaan superstruktur kemudian untuk memenuhi dan memperjungankan kepentingan kelasnya yang berhari depan. Universitas Sumatera Utara

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan.

Harus diakui, selama Orde Baru amanat dari cita-cita kemerdekaan nasional di lapangan agraria ini cenderung diingkari. Dan ketika hal ini diingkari, maka tidak mengherankan apabila persoalan agraria lantas hanya dilihat dalam bingkai perspektif sektoralisme. Dan dengan begitu, maka ia telah diposisikan sebagai non-faktor dari proses ekonomi-politik yang berlangsung. Ia tidak dilihat lagi sebagai independent variable bagi politik pembangunan dan agenda nasional yang dijalankan. Namun sebaliknya, problem-problem agraria yang sudah ada maupun baru muncul hanya dilihat sebagai dampak belaka, atau eksternalitas, dari sebuah proses ekonomi-politik yang disebut Pembangunan. Dengan kata lain, merupakan sebuah efek samping yang bisa dimengerti dan wajar-wajar saja. Pemahaman semacam ini sudah pasti salah besar karena apa yang disebut efek samping itu ternyata telah melahirkan 1.753 sengketa tanah struktural dengan luas lahan sengketa hampir 11 juta hektar dan menimbulkan kerugian pada lebih dari 1,1 juta KK data base KPA selama periode 1970-2001. Termasuk Padahal ini baru kasus yang manifes dan tercatat saja. Hal ini membuktikan bahwa pengabaian atas amanat cita-cita kemerdekaan di bidang agraria telah menimbulkan komplikasi-komplikasi yang jauh lebih mendalam dan meluas daripada kondisi di awal kemerdekaan. Sejarah terkini menunjukkan, gerakan petani memiliki kekuasaan yang signifikan dalam mengorganisir, memobilisasi, dan mengintervensi masyarakat sipil untuk mempromosikan perubahan yang positif dalam penguasaan lahan, Universitas Sumatera Utara