Pendiri Gereja Ganjuran Latar Belakang Sejarah Dibangunnya Komplek Gereja Ganjuran

Ganjuran runtuh dan lebih dari 80 umat Katolik menjadi korban, mereka adalah para umat yang mengikuti misa pagi yang berlangsung pada saat itu dan lima orang meninggal atas insiden tersebut. Meskipun bangunan utama runtuh, namun candi, pasturan, dan pendopo tetap tegak berdiri. Posko Karina sebagai respon kepada para korban dibuka di Gereja Ganjuran. Melalui posko ini seluruh bantuan sosial dari mereka yang menyalurkan kepeduliannya ditampung dan diteruskan kepada masyarakat yang membutuhkan. Romo Jarot Kusnopriono Pr, menjadi koordinator langsung pengelolaan Posko Karina ini. Pada tahun 2007, dengan bantuan yang diterima dari berbagai pihak, umat Katolik Paroki Ganjuran bersama masyarakat mulai memperbaiki tempat tinggal dan infrastruktur yang rusak akibat gempa. Setelah umat dan masyarakat mulai berbenah pasca gempa, kapel-kapel wilayah mulai diperbaiki dan dibangun kembali. Bersamaan dengan itu, pembangunan kembali Gereja Ganjuran mulai dipersiapkan, dan dilaksanakan setelah kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar Gereja Ganjuran mulai pulih. Pada tahun 2008, rencana pembangunan kembali Gerja Ganjuran mendapat persetujuan dari Keuskupan Agung Semarang. Pada tanggal 22 Juni 2008, Bapak Uskup Agung Semarang, Mgr. I. Suharyo berkenan meletakkan batu pertama pembangunan kembali Gereja Ganjuran. Pembangunan kembali Gereja Ganjuran ini dilaksanakan oleh umat Paroki Ganjuran dan masyarakat sekitar. Pada tanggal 29 Agustus 2009, Gereja Ganjuran yang baru telah selesai dibangun dan diresmikan oleh Paduka Sri Sultan Hamengku Buwono X, dengan ditandai perayaan Misa Ekaristi Agung oleh Rm Prof. Mgr. Ign. Suharyo, Pr.

4. Dibangunnya Candi dan Berkat Tirta Perwitasari

Setelah pembangunan gereja, untuk memvisualkan penyertaan dan kehadiran Tuhan Yesus, keluarga Schmutzer ingin membangun sebuah monumen yang diharapkan dapat menarik perhatian umat untuk berbakti kepada Kristus yang selalu mengasihi dengan hati kudusnya. Berkenaan dengan kebudayaan Jawa pada saat itu yang masih banyak didominasi kebudayaan Hindu menggunakan candi sebagai tempat pemujaan, maka dipilihlah bentuk candi yang akrab dengan masyarakat pada saat itu. Di dalam candi terdapat sebuah patung yang memvisualisasikan Yesus dalam busana kebesaran seorang raja Jawa. Patung tersebut memiliki tinggi sekitar 75cm. Ketika pembangunan candi berlangsung tanpa diduga di sekitar candi tersebut muncul mata air yang terus mengalirkan air, maka dibuatlah Berkat Tirta Perwitasari. Selain digunakan dan diambil oleh para peziarah, air dari Berkat Tirta Perwitasari ini digunakan untuk pemberkatan umat dan untuk air pembaptisan yang merupakan upacara pemberkatan seseorang yang akan menjadi seorang Katolik.