kekuasaan atas
struktur sosial
maupun arsitektur.
Namun, dalam
perkembangannya, gereja Katolik melalui proses inkulturasi, dituntut untuk tidak hanya berkontribusi pada kebudayaan setempat, melainkan belajar dari budaya
setempat dan memperkaya diri dengan nilai-nilai setempat. Inkulturasi dalam konteks agama Kristen dan budaya setempat kemudian menjadi perhatian utama
gereja Katolik, seperti tercantum pada dokumen-dokumen Konsili Vatikan II, 1962-1965 Schineller, 1990.
Ciri arsitektur Gotik semakin ditinggalkan dan arsitektur gereja Katolik semakin bernafaskan arsitektur setempat. Gereja ditujukan untuk mengantarkan
kebenaran, keyakinan dan membawa para penganutnya kepada tindakan yang diharapkan sesuai ajaran agama Katolik, sehingga arsitektur gereja selalu menjadi
simbol kesakralan, membawa makna atau berperan langsung dalam pembentukan sebuah makna bagi komunitas Kristen. Makna-makna ini tertuang baik dalam
wujud arsitekturnya secara keseluruhan, maupun dalam elemen-elemen simbolik yang ada pada objek arsitekturnya Sutrisno, 1983.
Arsitektur gereja harus mampu membawa umat pada keyakinan bahwa mereka memasuki sebuah tempat yang istimewa, yang menyadarkan orang pada
kenyataan bahwa mereka memasuki area sakral, di mana Tuhan tinggal rumah Tuhan, bukan memasuki rumah tinggal biasa, melainkan ruang yang memiliki
nilai kosmologis berupa titik pusat yang berkaitan dengan pengalaman religius, mengandung nilai spiritual, kesucian dan ritual
. Bangunan gereja berperan
membawa penggunanya menjalani pengalaman religius, mempengaruhi
perilakunya dalam ruang sakral, membentuk respon emosionalnya Thomas, 1994.
5. Interior Gereja
Mikke Susanto 2012: 102 menjelaskan bahwa interior merupakan desain, dekorasi dan penyelenggara alat-alat atau perlengkapan sebuah ruang dari sebuah
ruang. Seperti halnya bangunan pada umumnya, interior gereja juga menjadi dekorasi, alat, maupun perlengkapan yang bersifat fungsional maupun simbolik.
Setiap gereja memiliki sebuah meja bernama altar yang ditempatkan langsung di depan atau di bawah mimbar untuk menekankan kesatuan antara sakramen
perjamuan kudus atau altar dan firman khotbah atau mimbar. Altar gereja mengingatkan baik pada tempat persembahan kurban dalam Perjanjian Lama
maupun pada meja perjamuan Paskah Yesus dengan murid-muridnya pada malam sebelum ia disalibkan. Penggunaan altar baik sebagai meja perjamuan kudus
maupun sebagai tempat persembahan kolekte masih mencerminkan makna ganda tersebut. Selain itu, altar biasanya dihias dengan simbol-simbol lain seperti
salib, alkitab, lilin, dan bunga Heuken, 1995. Interior khas lain yang dimiliki gereja selain altar adalah adanya
tabernakel. Tabernakel adalah sebuah lemari kecil, tempat menyimpan sakramen Maha Kudus. Letak tabernakel berada di bagian gereja yang layak dan mencolok,
selalu dihias dan dibuat dari bahan yang kuat. Tabernakel dapat berbentuk lonjong atau persegi panjang, dan dibuat dari kayu, batu, atau logam. Dinding-dinding
tabernakel biasanya dilapisi logam mulia dan dihiasi sutera serta dipasang lampu
suci Heuken, 1995. Selain altar dan tabernakel, dekorasi interior yang paling nampak dalam bangunan gereja adalah adanya salib, baik itu dua dimensi yang
dapat berupa lukisan dan mozaik pada kaca, maupun tiga dimensi yang berupa dekorasi eksterior ataupun interior gereja.
Pada masa awal kekristenan, umat sering menggunakan ayam jago Matius 26: 74-75 dan ikan sebagai simbol. Ada dua hal yang dilambangkan dengan ikan.
Pertama, dalam bahasa Yunani kata “ikan” ditulis dengan huruf-huruf: I-KH-TH- U-S. huruf tersebut ditafsirkan oleh umat Kristen sebagai akronim dari Iesous
Yesus, Khristos Kristus, Theou Allah, huios Anak, Soter Juru selamat, yang artinya: Yesus Kristus Anak Allah Juru selamat. Kedua, ikan juga
melambangkan kisah Yunus, yang selama tiga hari berada di dalam perut ikan.Peristiwa ini dianggap menunjuk pada kematian dan kebangkitan Yesus
Kristus Matius 12: 40 Kelompok Kerja PAK-PGI, 2009.
6. Dekorasi Pada Bangunan Tradisional Jawa
Dekorasi berkaitan dengan banyak istilah, antara lain ornamen dan ragam hias. Masing-masing memiliki arti yang hampir sama. Dekorasi berasal dari kata
benda decoration yang berarti “sesuatu yang digunakan untuk menghias”
Hornby, dalam Sunarmi, Guntur, dan Tri, 2007: 129. Sunarni, Guntur, dan Tri Prasetyo Utomo 2007 menjelaskan perbedaan
dekorasi dan ornamen dengan mengacu pada pendapat Meyer 1957 bahwa yang disebut ornamen adalah sekedar gambar di atas kertas dan tidak diterapkan.
Elemen-elemen tersebut secara abstrak dianggap sebagai ornamen, sedangkan jika
diterapkan untuk menghias atau memperindah suatu objek disebut elemen dekorasi. Ornamen tidak terbatas pada penggambaran elemen-elemen hias yang
bersifat dua dimensi, tetapi juga mencakup penerapannya pada benda-benda yang bersifat tiga dimensi.
Menurut Tim Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah 1982, dekorasi atau hiasan pada bangunan rumah jawa tradisional pada dasarnya
ada dua macam, yaitu dekorasi konstruksional dan dekorasi yang tidak konstruksional. Maksud dari dekorasi konstruksional adalah dekorasi yang
menjadi satu dengan bangunan, jadi tidak dapat dilepaskan dari bangunannya, sedangkan dekorasi yang tidak konstruksional ialah dekorasi bangunan yang dapat
terlepas dari bangunannya dan tidak berpengaruh apa-apa terhadap konstruksi bangunannya. Dekorasi yang terdapat pada bangunan rumah Jawa tradisional pada
umumnya bersifat konstruksional. Bangunan rumah Jawa tradisional pada umumnya menggunakan bahan
kayu, bambu, tembikar, batu dan logam. Fungsi dekorasi pada suatu bangunan adalah untuk memberi keindahan pada bangunan. Keindahan yang terdapat pada
bangunan itu diharapkan dapat memberikan ketentraman dan kesejukan. Ketentraman abadi hanya terdapat di surga, berdasarkan pernyataan tersebut
dekorasi yang dipakai juga menggunakan dekorasi yang dapat menggambarkan surga, yang pada umumnya bersifat fantasi atau benda dunia yang diperindah dari
bentuk aslinya. Kiblat dekorasi yang menggambarkan surga bagi masyarakat Jawa adalah dekorasi yang terdapat pada bangunan candi, yang merupakan bangunan
yang dipergunakan untuk menempatkan patung-patung para dewa.
7. Unsur-Unsur Dekorasi Candi Hinduisme di Jawa
Di Jawa, banyak terdapat peninggalan-peninggalan sejarah pada masa kerajaan Hindu Buddha, yang tentunya memiliki unsur-unsur Budhisme dan
Hinduisme khususnya dalam arsitektur bangunan dan elemen hias atau dekorasinya. Candi merupakan salah satu karya arsitektur Hinduistik dan
Budhistik yang sampai sekarang masih banyak terdapat di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Jawa. Istilah candi merujuk pada bangunan suci
peninggalan zaman Hindu Buddha di Indonesia. Candi merupakan bangunan kuno yang tersusun dari batu. Di India candi disebut dewa graha yang berarti rumah
dewa dimana menurut kepercayaan bangsa India pada waktu dulu gunung kosmis adalah Mahameru, dan candi merupakan semacam pencerminan dari tempat
tinggal para dewa, oleh karena itu candi juga berfungsi sebagai tempat pemujaan Arifin, 1986: 52.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, candi diartikan sebagai bangunan kuno yang dibuat dari batu, berupa tempat pemujaan atau tempat penyimpanan
abu jenazah raja-raja atau pendeta-pendeta Hindu atau Buddha. Dalam bahasa Sanskerta, candi berasal dari kata candika yang merupakan nama salah satu dewi,
yaitu Dewi Durga yang merupakan dewi maut atau dewi kematian. Candi dihubungkan dengan kematian yaitu makam, lebih tepatnya sebagai tempat
menyimpan abu jenasah para raja pada masa lalu. Dalam bahasa Jawa kuno, candi atau cinandi atau sucandi b
erarti „yang dikuburkan‟ Mukhlis, 2009: 165.