Bentuk dan Makna Dekorasi Ragam Hias Jawa

Gambar 3: Saton Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 129 Tlacapan pada gambar 4 berbentuk segi tiga sama kaki yang dapat diisi dengan lung lungan, dedaunan, maupun bunga yang distilisasikan. Tlacapan memiliki maksud kecerahan atau keagungan, sehingga digambarkan sebagai cahaya sorot atau menggambarkan sinar matahari. Gambar 4: Tlacapan Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 135 Wajikan memiliki nama yang berasal dari kata wajik yang juga merupakan nama makanan di Jawa terbuat dari beras ketan berbentuk belah ketupat sama sisi lihat gambar 5. Wajikan selain memiliki fungsi keindahan, juga berfungsi mengurangi kesan tinggi pada tiang bangunan. Gambar 5: Wajikan Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 131 Macam ragam hias fauna yang didapati pada bangunan tradisioanl Jawa tidak sebanyak seperti dekorasi flora. Macam fauna yang berupa dekorasi selalu dalam bentuk yang telah distilisasi, seperti yang banyak ditemukan dalam candi dan pewayangan, misalkan garuda, kala, makara, ular, harimau, gajah, dan sebagainya. Dalam penggambaran dan perwujudannya pun ada yang utuh, hanya sebagian, dan ada pula yang hanya karakteristiknya saja, misalkan pada bentuk burung hanya sayapnya saja yang diwujudkan. Sayap tersebut biasa dikenal dengan istilah :lar. Bentuk ragam hias fauna yang biasa dijumpai antara lain Peksi garudha dan jago. Ragam hias peksi garudha pada gambar 6 menunjukkan bentuk garuda, dimana burung ini adalah burung terbesar yang menjadi kendaraan Batara Wisnu dan sebagai lambang pemberantas kejahatan. Gambar 6: peksi garudha Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 147-148 Jago yang dimaksud dalam ragam hias ini adalah bentuk ayam jantan yang dapat dilihat pada gambar 7, dimaksudkan agar penghuni rumah memiliki andalan pada berbagai bidang berkaitan dengan kata jago itu sendiri. Gambar 7: jago Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 152 Macam ragam hias alam yang didapati pada bangunan tradisional Jawa tidak sebanyak seperti dekorasi flora dan fauna. Perwujudan dekorasi alam inipun juga secara stilisasi. Kelompok alam ini perwujudannya antara lain berupa gunung, matahari, bulan, hujan petir, air, api, dan lain sebagainya. Contoh ragam hias yang biasa dijumpai antara lain gunungan, praba, dan mega mendung. Gambar 8 menunjukkan bentuk dekorasi gunungan atau yang juga disebut dengan kayon. Gunungan atau kayon ini merupakan lambang alam semesta dengan puncaknya yang melambangkan keagungan dan keesaan. Sehingga diharapkan penghuni mendapatkan ketentraman dan keselamatan dari Tuhan Yang Mahaesa. Gambar 8: gunungan Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 157-158 Praba dalam bahasa sansekerta memiliki arti cahaya atau sinar, dimaksudkan agar dapat memberi cahaya atau sinar pada tiang bangunan karena memang penempatan praba terdapat pada tiang bangunan baik saka guru, saka pananggap, maupun saka panitih. Contoh pengaplikasian praba dapat dilihat pada gambar 9. Gambar 9: praba Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 163 Gambar 10 menunjukkan ragam hias dekorasi mega mendhung yang memiliki bentuk menyerupai awan berbentuk bolak balik dan bersifat gelap terang, melambangkan sifat saling bertolak belakang seperti hidup mati, siang malam, laki-laki perempuan, baik buruk yang merupakan sifat hakiki dunia. Gambar 10: mega mendhung Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 169 Macam ragam hias yang mengandung unsur agama dan kepercayaan pada bangunan rumah Jawa tradisional, kita dasarkan pada bangunan rumah sejak jaman mataram islam hingga sekarang, yang memiliki unsur kepercayaan peradaban Hindu dan Buddha maupun unsur kepercayaan masyarakat Jawa jaman prasejarah. Perwujudannya dapat berupa tulisan seperti kaligrafi pada gambar 11 sebagai contohnya, lambang ataupun gambar lain yang mengandung makna keagamaan atau kepercayaan. Gambar 11: kaligrafi pada dekorasi ragam hias Jawa Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 177

B. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimana latar belakang sejarah awal dan bentuk bangunan Gereja Ganjuran? b. Bagaimana latar belakang bangunan dan bentuk Gereja Ganjuran pasca gempa tahun 2006? c. Bagaimana karakteristik arsitektur joglo tumpangsari beralih fungsi menjadi tempat ibadah? d. Apa jenis dan fungsi berbagai bangunan di komplek Gereja Ganjuran? e. Bagaimana bentuk dekorasi pada komplek Gereja Ganjuran? f. Apa makna simbolis dekorasi pada komplek Gereja Ganjuran?

BAB III CARA PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan kualitatif deskriptif, artinya pendekatan ini mampu mengungkap berbagai informasi kuantitatif, menjelaskan sesuatu yang ada lebih terinci. Metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang Prastowo Andi, 2012: 186. Ditegaskan bahwa penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan “apa adanya” tentang suatu variabel, gejala, atau keadaan Suharsimi Arikunto, 2003: 310, dalam Prastowo Andi, 2012: 186. Karena bentuk penelitian ini adalah studi kasus tunggal, maka studi ini akan berusaha melakukan evaluasi, menerangkan, dan membahas simbol –simbol yang ada pada dekorasi Gereja Ganjuran. Pengumpulan datanya terarah pada berbagai aspek fokus atau variabel.

B. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini diambil dari Informan utama, yakni Romo FX Wiyono Pr, dan petugas sekertariat Ganjuran serta arsip dan dokumen yang berkaitan dengan sejarah gereja, serta foto –foto yang berkaitan dengan simbol dan dekorasi di Gereja Ganjuran. Tempat meliputi Gereja Ganjuran, lingkungan Gereja Ganjuran, dan masyarakat di sekitar gereja.

C. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang akan digunakan sebagai berikut: 1. Wawancara Wawancara secara umum adalah proses memperoleh keterangan dan data yang dibutuhkan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman guide wawancara, teknik wawancara ini dilakukan dengan cara luwes, akrab, dan terbuka. Dengan cara ini diharapkan dapat menangkap informasi secara lengkap, detail, dan menyeluruh. Teknik ini digunakan untuk menjaring data tentang sejarah berdirinya gereja, termasuk pendiri dan latar belakangnya, bagaimana dekorasi yang ada di gereja, dan pandangan –pandangan informan tentang simbolisme dekorasi yang ada di gereja serta makna yang berkaitan dengan ajaran Nasrani khususnya Katolik. Narasumber wawancara dalam penelitian ini adalah Romo FX Wiyono Pr, yang dulunya merupakan Romo Paroki Ganjuran ketika pembangunan gereja pasca gempa tahun 2006. 2. Observasi Berkaitan dengan objek penelitian yang meliputi berbagai dekorasi yang ada di komplek Gereja Ganjuran, maka observasi yang akan digunakan adalah observasi alami atau observasi terhadap objek selain manusia. Sesuai dengan pendapat Sutrisno Hadi dalam Prastowo 2012: 220, observasi merupakan