Divided Government Pemerintahan Terbelah

48 Tabel II.D.2 Veto dalam Sistem Presidensial Sumber: Cheibub, Minority Presidents, 23. Menurut tabel diatas, untuk mencapai president rules dan menghindari terjadinya veto, maka dimungkinkan presiden memiliki koalisi yang berdampak pada bagi-bagi kursi yang dilakukan oleh partai presdien diatas 50, angka tersebut menjadi indikator penting, mengingat dalam lembaga legislatif berlaku mekanisme collective collegial yang membuat proses kesepakatan mengharuskan adanya dukungan diatas 50 suara, terlebih apabila keputusan tersebut diambil melalui mekanisme voting. Sehingga dengan sendirinya kebijakan presiden dimungkinkan akan menghadapi tantangan di legislatif apabila tidak memiliki dukungan yang mencapai 50 suara, begitupun juga sebaliknya dalam proses Rancangan Undang-Undang yang diajukan legislatif juga harus melalui proses duduk bersama dengan eksekutif, sehingga keduanya berada dalam posisi saling membutuhkan. Oleh karenanya, veto dalam konteks Indonesia bisa dilakukan oleh eksekutif maupun legislatif dengan cara untuk tidak bersedia hadir dalam proses pembahasan bersama. 49 Menurut Robert Elgie, divided government bisa terjadi karena dua pendekatan yang mempengaruhinya, yakni 1 pendekatan perilaku pemilih 2 pendekatan institusional. 51 Perbedaan diantara keduanya berkisar pada mekanisme yang terjadi bagi munculnya divided government, bagi pendekatan perilaku, munculnya divided government terjadi karena perilaku pemilih dalam sebuah negara dalam pemilu memilih dua partai yang berbeda pada saat pemilu legislatif dan pemilu presiden, Amerika Serikat adalah contoh yang tepat guna menjelaskan dalam konteks ini. Berbeda hal dengan pendekatan institusional yang menjelaskan bahwa divided government lebih karena persoalan sistem yang menyebabkan hal tersebut terjadi, seperti sistem pemilu, mekanisme pemilihan pimpinan kongres, dan koalisi. 52 Bagi Elgie, kasus divided government seringkali dikaitkan dengan situasi krisis serta ketegangan dan tensi politik yang tinggi sehingga menimbulkan momentum untuk melakukan reformasi di bidang politik. 53 Menurut Jeffrey Fine, pasca Perang Dunia II fenomena divided government sudah menjadi hal umum, namun tingkat perselisihan antara eksekutif dan legislatif terjadi dengan beberapa bervariasi. 54 Salah satu variasi adalah perselisihan yang mungkin terjadi karena adanya perbedaan pandangan secara ekstrim antara dua kelompok berbeda yang menguasai eksekutif dan legislatif yang bisa berujung pada kemacetan dalam proses pengambilan keputusan. Namun, Jeffrey Fine yang turut andil dalam perdebatan mengenai topik ini 51 Elgie, ed., Divided Goverment, 214. 52 Elgie, ed., Divided Goverment, 214-219. 53 Elgie, ed., Divided Goverment, 221-222. 54 Jeffrey A. Fine, ―The Problem of Divided Government in an Era of Polarized Parties,‖ Clemson, South Carolina: Balance of Power Between Congress and the President, 31. 50 memiliki kesimpulan berbeda dengan teoritisi yang disebutkan diatas. Menurutnya divided government yang selalu dianggap mengakibatkan hubungan politik yang buruk antara presiden dan legislatif belum teruji secara empiris, meskipun dirinya tetap meyakini bahwa potensi ketegangan dalam divided government itu selalu ada. 55 Sebagaimana yang paparkan oleh Mayhew dalam perhatiannya selama periode 1946-2002, bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara jumlah undang-undang yang disahkan di negara yang mengalami kondisi divided government. Sehingga, berbeda dengan asumsi pada umumnya, Mayhew berpandangan bahwa divided government tidak selalu menyajikan lingkungan politik yang merugikan antara presiden dan legislatif . 56 Hal yang sama juga dipaparkan oleh Scott Morgenstern dan Pilar Domingo yang mengatakan bahwa eksekutif dan legislatif dalam aktivitasnya akan selalu menghindari kemacetan untuk melindungi kepentingannya masing-masing. 57 Oleh karenanya, bisa dilihat bahwa pandangan di kalangan ilmuan politik mengenai apakah divided government selalu menghasilkan dampak buruk keberlangsungan pemerintahan pada dasarnya juga tidak ada ketidaksamaan pendapat. Oleh karenanya dalam penelitian ini, penulis berusaha untuk masuk dalam perdebatan tersebut guna membuktian terhambat atau tidaknya relasi eksekutif dengan legislatif pada periode divided government dalam pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla. 55 Fine, ―The Problem of Divided Government,‖ 33. 56 David R. Mayhew, ― Divided We Govern: Party Control, Lawmaking and Investigations, 1946-2002, ‖ dalam Fine, ―The Problem of Divided Government,‖ 33. 57 Scott Morgenstern dan Pilar Domingo, ―The Success of Presidentialism? Breaking Gridlock in Presidential Regime ,‖ Working Paper, Mexico: CIDE, 1997, 97. 51

BAB III KONFIGURASI TERBENTUKNYA PEMERINTAHAN JOKO WIDODO

– JUSUF KALLA DALAM SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI

A. Perkembangan Sistem Presidensialisme di Indonesia

Salah satu amanat reformasi yang tak bisa diabaikan adalah dengan adanya penguatan sistem presidensial di Indonesia, 1 meskipun unsur presidensialisme sudah ada dalam UUD 1945 sebelum diamandemen namun prinsip check and balances tidak berlaku karena adanya dominasi presiden yang terlalu besar dalam relasi eksekutif dan legislatif, karena saat itu sebagian anggota DPR dan MPR pada saat era Orde Baru diangkat oleh Presiden sehingga tidak ada peluang bagi adanya kontrol legislatif terhadap eksekutif executive heavy. 2 Sebagai bentuk evaluasi terhadap sistem presidensial maka proses pemilihan eksekutif dan legislatif dilakukan secara langsung dan terpisah adalah keniscayaan. Selain itu dalam konteks Indonesia, produk amandemen UUD 1945 yang membatasi masa jabatan presiden dan pengalihan kekuasaan legislasi dari Presiden ke DPR sebagai warisan semangat reformasi dimaksudkan sebagai upaya penguatan sistem presidensial murni seperti yang sudah dijelaskan dalam bab II. Ketika UUD 1945 belum diamandemen, corak pemerintahan Indonesia terlihat semu dan dalam prakteknya lebih mendekati sistem parementer. 3 Hal tersebut terlihat dengan mekanisme pemberhentian presiden yang lebih disebabkan atas dasar 1 Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Bandung: Mizan, 2007, 337. 2 Syamsuddin Harris, Praktek Parlementer Demokrasi Presidensial di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2014, 102. 3 Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati; dari Dilema ke Kompromi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010, 2. 52 pertimbangan politis. Seperti kasus pemberhentian Presiden Soekarno yang diawali dengan permintaan Pimpinan DPR kepada Presiden agar mengundurkan diri. Pemberhentian Presiden Soekarno juga berawal dari permintaan DPR kepada MPR untuk melaksakan Sidang Istimewa agar meminta pertanggungawaban Presiden. MPR akhirnya mencabut mandat Presiden Soekarno sesuai resolusi DPR. Sama halnya dengan pemakzulan Presiden Abdurahman Wahid melalui Sidang Istimewa MPR yang dipandang hanya formalitas prosedur sekadar mengesahkan pandangan di DPR. Tak bisa dipungiri semua presiden yang berkuasa saat sebelum amandemen UUD 1945 diberhentikan karena alasan politik yang diinisiasi oleh DPR. 4 Sistem pemerintahan Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 juga mengharuskan Presiden bertanggngjawab kepada MPR serta melaksanakan tugas sesuai dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara GBHN yang ditetapkan MPR, melalui kontruksi tersebut seringkali Presiden disebut sebagai mandataris MPR, saat itu juga tak mengenal istilah oposisi. 5 Namun pada saat Orde Baru, komposisi legislatif adalah hal yang by design, karena sebagian anggota DPR dan MPR pada saat itu diangkat oleh Presiden. Berbeda dengan hal tersebut, konstitusi hasil amandemen memutarbalikan itu semua dengan memperkuat sistem presidensialisme dan reformasi sistem kelembagaan di Indonesia guna memperkuat prinsip check and balances untuk menghindari kewenangan yang tumbang tindih seperti yang terjadi saat Orde Baru antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sebagaimana yang digambarkan oleh Kawamura bahwa antara ekesektiif, legislatif dan yudikatif berada dalam 4 Yuda, Presidensialisme Setengah Hati, 3. 5 Yuda, Presidensialisme Setengah Hati, 3. 53 posisi yang sejajar dan tidak bisa saling menjatuhkan. 6 Dibawah ini adalah sistem politik di Indonesia setelah amandemen UUD 1945 yang digambarkan oleh Kawamura: Gambar III.A.1 Sistem Politik Indonesia Setelah Amandemen UUD 1945 Sumber: Kawamura, Is Indonesian President strong or weak?, 9. Selain itu, amandemen UUD 1945 tidak hanya mengubah sistem politik di Indonesia, namun juga ada perubahan mengenai regulasi pembatasan waktu kekuasaan presiden yang hanya 5 tahun untuk batas maksimal 2 periode kepemimpinan, serta memperluas otoritas DPR dalam proses legislasi, terutama dalam relasi dengan eksekutif. DPR juga memiliki otoritas kontrol terhadap Presiden melalui pelembagaan hak yakni hak interpelasi, hak angket dan hak 6 Koichi Kawamura, ―Is the Indonesian President Strong or Weak?,‖ Institute of Developing Economies Discussion, No 235, Japan, Mei 2010, 9-10. 54 menyatakan pendapat Pasal 20A ayat 2. Tabel dibawah ini adalah perbandingan UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen. Tabel III.A.1 Perbandingan UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen No Unsur Sebelum Amandemen Sesudah Amandemen 1 Locus Kedaulatan Berada di tangan rakyat, dilakukan oleh MPR Berada di tangan rakyat, dilakukan menurut UUD 2 Masa Jabatan Presiden bersifat tetap Lima tahun dan dapat dipilih kembali tanpa kejelasan berapa kali Lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan 3 Pemilihan Presiden dan Wapres Dilakukan oleh MPR Dipilih secara langsung oleh rakyat 4 Kedudukan menteri Pembantu Preisiden, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Tetap 5 Kekuasaan membentuk UU Berada di tangan Presiden atas persetujuan DPR Berada di tangan DPR atas persetujuan Presiden 6 Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA menurut UU Kekuasaan kehakiman bersifat merdeka, dilakukan oleh MA dan MK 7 Kekuasaan MPR Memilih Presiden dan wapres, menetapkan GBHN, menetapkan UUD Kecuali menetapkan UUD, kekuasaan MPR yang lain dihapus 8 Hubungan Presiden- DPR Presidenn tidak dapat membubarkan DPR dan sebaliknya Tetap 9 Fungsi pengawasan DPR Tidak ada DPR memiliki hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat 10 Pemakzulan DPR bisa mengusulkan pemakzulan Presiden kepada MPR atas dasar pertimbangan politik DPR bisa mengusulkan pemakzulann Presiden kepada MPR tetapi hanya atas dasar pertimbangann hukum dari MK 11 Pembatasan kekuasaan Presiden 1. Pengangkatan duta dan penerimaan duta negara lain tanpa konfirmasi DPR 2. Otoritas Presiden dalam 1. Pengangkatan duta dan penerimaan duta negara lain melalui pertimbangan DPR 2. Pemberian amnesti dan 55 pemberian amnesti dan abolisi tanpa konfirmasi DPR 3. Otoritas Presiden dalam pemeberiann grasi dan rehabilitasi tanpa konfirmasi MA 4. Pengaturan BPK ditetapkan UU abolisi melalui pertimbangan DPR 3. Pemberian grasi dan rehabilitasi melalui pertimbangan MA 4. Pemilihan anggota BPK melalui pertimbangan DPD Sumber: Harris, Praktik Parlementer, 99. Atas dasar amandemen UUD 1945 maka pelaksanaan Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif secara langsung di era reformasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam memperkuat sistem presidensial meskipun penguatan tersebut masih dalam perdebatan, karena masih adanya anggapan bahwa presidensialisme yang dianut di Indonesia cenderung setengah hati karena adanya kewenangan eksekutif dalam aturan main sistem presidensial murni yang dipangkas oleh legislatif seperti perluasan otoritas DPR dalam memilih anggota lembaga negara seperti BPK, Gubernur Bank Indonesia, KPK, KPU, Komnas HAM dan lain-lain yang dalam praktinya justru melebihi desain konstitutional sistem presidensial murni seperti yang sudah dijelaskan dalam bab II. 7 Tak hanya itu, kewenangan DPR juga tampak dalam keterlibatannya dalam proses perumusan Anggaran Pendapatan Belanja Negara APBN, keterlibatan DPR dalam APBN menjadi urgent karena DPR yang menjadi penentu akhir 7 Dalam kerangka sistem presidesialisme murni, seharusnya wewenang dalam menentukan pejabat lembaga negara seperti Gubernur Bank Indonesia, KPK, KPU, Kapolri, Komnas HAM dll diserahkan sepenuhnya atau hak prerogatif presiden. Dalam konteks Indonesia, pengangkatan pejaban-pejabat tersebut harus melalui restu DPR yang dalam hal ini justru mereduksi kewenangan Presiden itu sendiri sebagai pelaksana tugas Negara, terlebih hal tersebut menjadi tambah problematik karena DPR dihuni oleh banyak partai sistem multipartai yang menyebabkan kegaduhan-kegaduhan karena ada banyak beragam kepentingan yang terhimpun di lembaga legislatif. Lihat, Yuda, Presidensialisme Setengah Hati, 5.