34
penentu perilaku koalisi partai, sikap permisif dalam pembentukan koalisi, tiadanya oposisi, hasil-hasil pemilu hampir tidak berpengaruh dalam menentukan
perilaku partai politik dan kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok.
20
Hal itu yang menurut Ambardi sebagai gambaran muram mengenai sistem multipartai di Indonesia. Namun, dalam
penelitian ini penulis tidak menggunakan tesis kartel sebagai konseptualisasi dalam basis analisis. Sebagaimana diketahui, dalam tesis kartel, persaingan antar
partai yang sehat bisa menciptakan check and balances dan berdampak baiknya kualitas demokrasi, namun dalam kasus Indonesia, sebagaimana yang dijelaskan
oleh Ambardi, ada kecenderungan partai-partai memiliki pola yang serupa dengan kartel yang berperilaku seperti layaknya satu kelompok dan menghilangkan
persaingan serta berakhir pada jauhnya dari prinsip check and balances.
21
Sehingga menurut tesis ini demokrasi di Indonesia jauh dari prinsip ideal. Tetapi, menurut penulis tesis tersebut tidak bisa menjelaskan dalam perspektif sistem
presidensialisme-multipartai yang dalam pendekatan koalisi presidensial, seperti yang akan dijelaskan pada sub-bab berikutnya, mengharuskan adanya koalisi guna
melancarkan pemerintahan agar bisa berjalan. Keberadaan koalisi itu secara tidak langsung mengharuskan adanya kerelaan dari partai politik untuk meninggalkan
basis ideologi dan platform masing-masing partai guna mencapai kesepahaman bersama dengan partai-partai lain yang tergabung dalam koalisi. Sehingga posisi
teoritik yang digunakan dalam penelitian ini bersebrangan dengan tesis kartel pada umumnya. Penulis menyadari bahwa ketegasan posisi teoritik dalam suatu
20
Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 3.
21
Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 366.
35
penelitian adanya hal yang tidak bisa diabaikan, karenanya ini menjadi suatu identitas yang melekat dalam sebuah penelitian.
C. Koalisi Presidensial Coalitional Presidentialism
Studi mengenai sistem presidensialisme pada dasarnya selalu mengalami perkembangan dari satu periode ke periode berikutnya. Dalam perkembangan
studi tersebut, Robert Elgie menjabarkannya kedalam tiga periode studi presidensialisme,
22
yakni: periode pertama ditandai dengan serangkaian artikel yang ditulis oleh Juan Linz.
23
Analisis yang dibawa oleh Linz mengacu pada resiko dalam sistem presidensial yang memicu destabilisasi politik karena rentan
terjadi dualisme legitimasi antara legislatif dan eksekutif karena keduanya sama- sama dipilih oleh rakyat. Periode pertama ini lebih menitikberatkan pada stabilitas
sistem parlementer ketimbang sistem presidensial. Dalam periode ini, pendekatan sistem multipartai belum muncul dalam penguatan argumentasi yang dibangun.
Selanjutnya periode kedua, ditandai dengan munculnya tulisan yang dibuat oleh Scott Manwaring beserta rekan-rekannya.
24
Kesimpulan yang dibangun dalam
22
Robert Elgie, ―From Linz to Tsebelis: Three Waves of PresidentialParliamentary Studies?
,‖ Working Papers in Centre for International Studies, Dublin City University, 2004, 2 - 25.
23
Beberapa tulisan Juan Linz yang dikategorikan dalam periode pertama studi presidensialisme oleh Robert Elgie diantaranya
―The Perils of Presidentialism‖, Journal of Democracy, Vol 1, No 1, 1990.
―Democracy: Presidential or Parliamentary Does It Make Difference
‖, Latin American Program of the Woodrow Wilson International Center for Scholar and the World Peace Foundation, 1985. Kesimpulan umum yang dijadikan pijakan dalam
periode ini adalah sistem presidensialisme cenderung berpotensi melahirkan dual democratic legitimacy yang berujung pada konflik kelembagaan antara eksekutif dan legislatif dan
mengabaikan aspek-aspek non intitutional seperti adanya komunikasi politik, jaringan koalisi, dan pendekatan sistem kepartaian belum menjadi topik yang disandingkan dengan sistem presidensial.
24
Klasifikasi Robert Elgie mengenai periode kedua studi presidensialisme merujuk pada karya-karya Scott Mainwaring,
―Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Equation
‖, Comparative Political Studies, Vol 26. Matheuw Shugart and John Carey, Presidents and Assemblies: Constitutional Design and Electoral Dynamic Cambridge, Cambridge University
Press, 1992 . Perbedaan mendasar dari periode sebelumnya yakni, studi-studi ini mulai mencakup
36
periode kedua adalah sistem presidensialisme pada dasarnya tidak complicated, menjadi complicated bila dikombinasikan dengan sistem multipartai. Karena
kombinasi tersebut membuat sulitnya presiden untuk mendapatkan dukungan mayoritas di legislatif dan berujung pada kendala dalam membangun relasi antara
eksekutif dengan legislatif. Periode ketiga studi presidensialisme melahirkan proses analisis yang
mendalam yang berbeda dengan dua periode sebelumnya. Periode ini ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh seperti George Tsabelis, Paul Chaisty, Nic
Cheeseman, Timothy Power.
25
Berbeda dengan periode sebelumnya, periode ketiga ditandai dengan munculnya istilah koalisi presidensial dan pendekatan
veto. Pendekatan veto digunakan guna memperkuat peran eksekutif ketika berhadapan dengan legislatif, Geroge Tsabelis mendefiniskan veto sebagai
―individual or collective actors whose agreement is necessary for a change of the status quo
” Diterjemahkan penulis: Individu atau aktor kolektif yang berwenang
pembahasan pada sistem multipartai. Yang kemudian dijadikan problem sulitnya presiden sebagai pimpinan eksekutif untuk mendapatkan dukungan maksimal di legislatif karena adanya banyak
partai dan kesulitan mencapai dukungan mayoritas.
25
Beberapa karya yang menjadi pijakan Robert Elgie dalam mengklasifikasi gelombang ketiga studi presidensial yakni: George Tsabelis,
―Veto Players; How Political Institutions Work‖, UCLA, Princeton and Sage Foundation. Paul Chaisty, Cheeseman Timothy Power
, ―Rethinking The Presidentialism Debate; Conceptualizing Coalitional Politics in Cross Regional Perspective‖,
Democratization, Routledge, UK, 2012. Ciri khas dari periode ini adalah munculnya pendekatan veto dan koalisi presidensial untuk mengurangi dampak destabilisasi seperti yang dikhawatirkan
oleh para pendahulu. Unsur-unsur tersebut yang nantinya akan menentukan seberapa efektif kombinasi sistem presidensialisme dengan sistem multipartai. Dengan mempertahankan tesis
koalisi presidensial berarti presiden memiliki akses dan banyak cara untuk membentuk koalisi dan mengamankan dukungan legislatif, atau Chaisty memperkenalkannya dengan istilah presidential
toolbox. Sehingga tugas presiden tidak hanya membentuk kabinet dan menjalankan kebijakan tetapi juga memiliki tugas untuk membangun kekuasaan untuk memerintah di lembaga legislatif.
Sehingga antara eksekutif dan legislatif dalam proses komunikasi tidak mengalami jalan terjal seperti yang dikhawatirkan oleh ilmuan-ilmuan di periode sebelumnya, seperti Mathew Shugart,
John Carey dan Scott Manwaring.
37
menyetujui kebutuhan untuk perubahan status quo.
26
Hal yang sama juga diutarakan oleh Mitchel A. Sollenberger bahwa otoritas veto yang dimiliki
Presiden adalah salah satu alat yang paling signifikan dalam proses legislasi ketika berhadapan dengan legislatif, hal ini tidak hanya efektif dalam mencegah
bagian undang-undang yang tidak diinginkan Presiden, tetapi juga menghindari Presiden dari ancaman yang seringkali memaksa legislatif untuk memodifikasi
undang-undang sebelum disajikan kepada Presiden.
27
Pendekatan veto umumnya banyak merujuk pada fenomena presidensialisme di Amerika Serikat.
Selain itu, pendekatan koalisi presidensial juga menjadi rujukan dalam klasifikasi periode ketiga studi presidensialisme.
Istilah „koalisi’ pada dasarnya berasal dari bahasa
latin yakni „coalescere’ yang secara harfiah berarti saling menempelkan atau saling mengikat. Koalisi pada umumnya merupakan aliansi
atau kerjasama untuk periode waktu terbatas dalam rangka demi mencapai tujuan tertentu seperti ambil alih kekuasaan dan memegang pemerintahan.
28
Sedangkan, yang dimaksud dengan koalisi presidensial adalah suatu pendekatan dimana
sistem presidensial bisa bekerja layaknya parlementer yang artinya presiden memiliki kerja memerintah dengan mampu membangun koalisi multipartai di
legislatif.
29
Sebagaimana yang ditulis Paul Chaisty dalam artikelnya:
26
George Tsabelis, Veto Players: How Political Institutions Work California: UP and Russell Sage Foundation, 2001, 36.
27
Mitchel A. Sollenberger, ―Congressional Overrides of Presidential Vetoes,‖ CRS Report
for Congress, 7 April 2014, 1.
28
Rainer Adam, Masa Depan Ada di Tengah; Toolbox Manajemen Koalisi Jakarta: Friedrich Naumann Stiftung Foundation, 2010, 11.
29
Paul Chaisty, Cheeseman dan Timothy Power, ―Rethinking The Presidentialism Debate;
Conceptualizing Coalitional Politics in Cross Regional Perspective, ‖ Democratization, Routledge,
UK, 2012: 1.
38
“Coalitional presidentialism is a strategic response to the institutional dilemmas posed by the coexistence of a presidential executive with a
fragmented multiparty legislature. In order to win support for the legislative agenda of the executive, presidents must behave much like prime ministers
in the multiparty democracies of Western Europe: they must first assemble and then cultivate interparty coalitions on the floor of the assembly. The
objective of the president is to foster the emergence of a legislative cartel which will reliably defend the preferences of the executive branch.
” Diterjemahkan penulis: Koalisi Presidensial merupakan respon strategis
terhadap dilema kelembagaan yang ditimbulkan terkait kompleksitas eksekutif atau presiden dengan legislatif yang terfragmentasi dengan
multipartai. Dalam rangka untuk memenangkan dukungan terhadap agenda legislasi yang bawa oleh eksekutif, presiden dalam sistem presidensial harus
berperilaku seperti perdana menteri dalam seperti yang terjadi di Eropa Barat dalam sistem multipartai: mereka eksekutif dan legislatif harus
terlebih dahulu duduk bersama dan kemudian menumbuhkan koalisi antar partai dalam proses perumusan. Tujuan dari presiden adalah untuk
mendorong munculnya kartel di legislatif yang nantinya akan membela preferensi kebijakan yang dibawa oleh eksekutif.
30
Menurut Djayadi Hanan, disinilah pentingnya koalisi dalam sistem presidensialisme-multipartai manakala presiden tetap memerlukan dukungan
legislatif dalam menjalankan pemerintahannya. Jika tidak, presiden mengalami kendala oleh lembaga legislatif melalui kekuasaan anggaran, legislasi dan fungsi
pengawasan yang diberikan undang-undang.
31
Untuk mendapatkan dukungan legislatif, tentu Presiden tidak bisa melakukan tanpa feedback yang harus
diserahkan kepada masing-masing partai politik. Oleh karenanya disini, power sharing menjadi konsekuensi dalam kombinasi sistem presidensialisme-
multipartai untuk menghindari terjadinya deadlock dan tingginya oposisi. Secara
30
Chaisty, Cheeseman dan Power, ―Rethinking The Presidentialism Debate,‖ 38.
31
Hanan, Menakar Presidensialisme, 68.
39
komprehensif, Jose Antonio Cheibub menjabarkannya potensi peluang deadlock dan dominasi oposisi dalam sistem presidensialisme pada gambar berikut:
32
Gambar II.C.1 Peluang
deadlock dan Dominasi Oposisi dalam Sistem Presidensial
Sumber: Cheibub, Minority Presidents, Deadlock Situations, 21. Melalui gambar diatas, dapat dipahami bahwa power sharing terutama pada
jajaran kabinet menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan untuk menghindari terjadinya deadlock antara eksekutif dan legislatif. Sehingga apabila presiden
sedikit melakukan power sharing, maka akan sedikit pula mendapatkan dukungan di legislatif atau opposition dominates. Oleh karenanya, disinilah pentingnya
koalisi presidensial guna eksekutif bisa mengamankan agenda serta program kerjanya dihadapan legislatif sebagaimana yang dipaparkan oleh Paul Chaisty
sebelumnya. Seperti yang kutip Hanan, buku yang ditulis oleh T. J Power dan M. Taylor
mengatakan koalisi presidensial adalah pilihan untuk mengimbangi dampak pemecah belah institutional antara eksekutif dan legislatif dengan mendukung
32
José Antonio Cheibub, ―Minority Presidents, Deadlock Situations, and the Survival of Presidential Democracies,
‖ Yale University, 3.