Perkembangan Sistem Presidensialisme di Indonesia
55
pemberian amnesti dan abolisi tanpa konfirmasi
DPR
3. Otoritas Presiden dalam
pemeberiann grasi dan rehabilitasi
tanpa konfirmasi MA
4. Pengaturan
BPK ditetapkan UU
abolisi melalui
pertimbangan DPR 3.
Pemberian grasi dan rehabilitasi
melalui pertimbangan MA
4. Pemilihan anggota BPK
melalui pertimbangan
DPD Sumber: Harris, Praktik Parlementer, 99.
Atas dasar amandemen UUD 1945 maka pelaksanaan Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif secara langsung di era reformasi menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam memperkuat sistem presidensial meskipun penguatan tersebut masih dalam perdebatan, karena masih adanya anggapan bahwa presidensialisme
yang dianut di Indonesia cenderung setengah hati karena adanya kewenangan eksekutif dalam aturan main sistem presidensial murni yang dipangkas oleh
legislatif seperti perluasan otoritas DPR dalam memilih anggota lembaga negara seperti BPK, Gubernur Bank Indonesia, KPK, KPU, Komnas HAM dan lain-lain
yang dalam praktinya justru melebihi desain konstitutional sistem presidensial murni seperti yang sudah dijelaskan dalam bab II.
7
Tak hanya itu, kewenangan DPR juga tampak dalam keterlibatannya dalam proses perumusan Anggaran Pendapatan Belanja Negara APBN, keterlibatan
DPR dalam APBN menjadi urgent karena DPR yang menjadi penentu akhir
7
Dalam kerangka sistem presidesialisme murni, seharusnya wewenang dalam menentukan pejabat lembaga negara seperti Gubernur Bank Indonesia, KPK, KPU, Kapolri, Komnas HAM dll
diserahkan sepenuhnya atau hak prerogatif presiden. Dalam konteks Indonesia, pengangkatan pejaban-pejabat tersebut harus melalui restu DPR yang dalam hal ini justru mereduksi kewenangan
Presiden itu sendiri sebagai pelaksana tugas Negara, terlebih hal tersebut menjadi tambah problematik karena DPR dihuni oleh banyak partai sistem multipartai yang menyebabkan
kegaduhan-kegaduhan karena ada banyak beragam kepentingan yang terhimpun di lembaga legislatif. Lihat, Yuda, Presidensialisme Setengah Hati, 5.
56
struktur anggaran negara yang diajukan pemerintah. Sehingga pemerintah seringkali tidak berkutik saat ada perubahan rencana alokasi APBN yang datang
dari DPR.
8
Menurut Syamsuddin Harris, format baru relasi Presiden-DPR pasca amandemen UUD 1945 yang sarat dengan DPR-heavy menjadi problematik
karena menyimpan potensi konflik antara eksekutif dan legislatif dan berdampak pada tidak efektifnya sistem pemerintahan.
9
Hanta Yuda menyebutnya sebagai sistem presidensial yang tepurifikasi atau
„presidensialisme setengah hati’.
10
Kondisi DPR-heavy tersebut menjadi tambah problematik karena Indonesia menganut sistem multipartai, menurut Hamdi Muluk, sistem multipartai
mengindikasikan ada banyak kepentingan yang terhimpun di DPR, kepentingan tersebut yang harus ditampung oleh Presiden guna mendapatkan restu DPR dalam
menjalankan program kerjanya, sehingga membuat sistem presidensial di Indonesia menjadi problematik.
11
Terlepas dari perdebatan relasi kelembagaan tersebut, kita perlu bersyukur bahwa Indonesia dalam upaya penguatan sistem presidensial, telah melewati
beberapa proses pemilihan Presiden secara langsung pada tahun 2004, 2009, dan 2014, hal yang sebelumnya sangat sulit dilakukan sebelum adanya amandemen
UUD 1945. Sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam bab II bahwa proses pemilihan Presiden secara langsung adalah salah satu ciri yang tak bisa dipisahkan
dalam sistem presidensial, berbeda hal dengan sistem parlementer yang mana
8
Harris, Praktik Parlementer, 106.
9
Harris, Praktik Parlementer, 107.
10
Yuda, Presidensialisme Setengah Hati, 1.
11
Wawancara dengan Hamdi Muluk, Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia dan Ketua Perhimpunan Survey Opini Publik Indonesia PERSEPI, tanggal 3 Maret 2015.
57
kepala pemerintahan atau perdana menteri dipilih oleh parlemen, perbedaan tersebut yang seringkali meresahkan bagi ilmuan politik seperti Juan Linz, yang
menilai sistem presidensial sebagai ‘dual democratic legitimacy’ atau legitimasi
demokrasi ganda karena eksekutif dan legislatif sama-sama dipilih oleh rakyat.
12
Selain itu, perkembangan sistem presidensialisme di Indonesia era reformasi juga sering memunculkan presiden dengan dukungan minoritas jika dilihat dari
preferensi seorang presiden terhadap jumlah kursi partainya di legislatif the rulling party. Misalnya di pemilu 2004 saat Susilo Bambang Yudhoyono
memenangkan Pilpres namun partainya hanya memiliki 55 kursi di DPR, sedangkan tiga partai yang mengusungnya yakni PKS, PBB dan PKPI masing-
masing hanya memiliki 45 kurrsi, 11 kursi dan 1 kursi. Jika ditotal maka jumlah basis dukungan hanya 113 dari 550 kursi atau 20,5 .
13
Dengan kondisi tersebut maka SBY membuka peluang koalisi bagi partai-partai lain untuk bergabung ke
dalam kabinet, hal tersebut disadari guna mengamankan kebijakan-kebijakannya. Keterbukaan dan sikap kompromi SBY menghasilkan tergabungnya Golkar 128
kursi, PPP 58, PAN 53, dan PKB 52 yang secara total jumlah pendukung pemerintah the rulling coalition parties mencapai 403 kursi atau 73,4.
Sehingga SBY yang awalnya merupakan Presiden dengan kekuatan minoritas di legislatif berubah secara total menjadi Presiden dengan kekuatan mayoritas. Hal
tersebut terjadi berkat sikap kompromi SBY untuk mengajak partai politik untuk bergabung ke dalam koalisi pemerintahan. Dengan begitu maka, feedback yang
12
Juan Linz, ―Presidential or Parliamentary Democracy: Does it Make a Difference,‖ dalam Juan Jose Linz dan Arturo Valenzuela, ed., The Failure of Presidential Democracy: Comparative
perspective Baltimore, Maryland: John Hopkins University, 1994, 6.
13
Harris, Praktek Parlementer, 150.
58
diperoleh SBY yakni tingginya dukungan legislatif terhadap kebijakannya,
14
terlepas dari ketidakstabilan partai koalisi pada pemerintahan SBY. Sama halnya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilu
2009 yang mana Partai Demokrat the ruling party hanya mendapatkan 150 kursi atau 26,4. Namun lagi-lagi SBY berusaha membangun kekuatan koalisi
presidensial dengan mengajak banyak partai untuk bergabung di pemerintahan guna memperoleh dukungan kebijakan di lembaga legislatif. Dari yang semula
menperoleh kekuatan minoritas di parlemen, SBY memperoleh kekuatan tambahan dengan merangkul banyak partai seperti Golkar 107 Kursi, PPP 37,
PAN 43, PKS 57 dan PKB 27 sehingga kekuatannya mencapai 421 kursi atau 75,1 dukungan di legislatif the ruling coalition parties. Namun dalam
melihat kasus presiden minoritas dalam penelitian ini, penulis tidak mengacu pada preferensi seorang presiden terhadap partainya sendiri the ruling party, tetapi
berdasarkan kacamata koalisi presidensial atau perpaduan antara partainya presiden dengan partai pendukungnya the ruling coalition parties. Berbeda
dengan realitas yang terjadi sebelumnya, pemerintahan Joko Widodo justru menghasilkan partai koalisi pemerintahan the ruling coalition parties dibawah
single majority atau terjadi divided government. Atas dasar tersebut, selanjutnya penulis akan menjelaskan konfigurasi
politik terbentuknya pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla sebagai hasil dalam
pemilu 2014 yang dilakukan melalui dua tahap yakni, pertama adalah pemilu legislatif yang dilakukan pada 9 April 2014 dan kedua adalah pemilu presiden
14
Harris, Praktek Parlementer, 150.
59
pada 9 Juli 2014. Penjelasan tersebut dimaksudkan untuk memahami proses mengapa sampai pada akhirnya fenomena divided government terjadi pada
pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla, sebagaimana yang diutarakan oleh
Robert Elgie bahwa peluang terjadinya divided government lebih besar terjadi dalam sistem presidensial.
15
Sehingga Indonesia sebagai negara yang menganut sistem presidensial besar kemungkinan terjadi divided government terlebih
dikombinasikan dengan sistem multipartai, pemerintahan Joko Widodo – Jusuf
Kalla adalah contoh terbaik dalam penjelasan tersebut.