Pertanyaan Penelitian Tujuan dan Manfaat Penelitian
20
1985. Penelitiannya berfokus pada tantangan yang dihadapi oleh setiap presiden di Brazil yakni bagaimana seorang presiden bisa mempertahankan konsistensi
dukungannya terhadap kongres. Ames menggunakan analisanya dalam menjawab sulitnya membangun otoritas kuat presiden di Brazil. Hal tersebut ditenggarai
karena tidak adanya hubungan dekat antara warga negara dengan partai politk.
30
Selain itu, sistem presidensialisme yang meniscayakan adanya tugas-tugas politik bagi presiden nampak jauh dari prinsip meritrokasi, pekerjaan politik yang
harusnya dilakukan oleh kabinet justru diserap oleh partai politik dan beberapa kelompok kepentingan. Sebagai contoh pada kabinet presiden José Sarney 1985-
1990, Fernando Collor 1990-1992, Itamar Franco 1992-1995 dan Fernando Henrique Cardoso 1995-2003 yang seharusnya presiden memiliki nilai strategis
kepada seluruh kekuatan administrasi dan konstruksi kabinetnya, namun hal tersebut tak begitu nampak. Bisa dilihat dari percampuran bidang keahlian di
kabinetnya yang terdiri dari teknokrat dan politisi justru terlihat tanpa ada kuasa. Hal itu dijadikan analisa kuat Ames dalam menilai begitu rapuhnnya sistem
presidensial di Brazil karena berpotensi deadlock. Kasus di Brazil juga seringkali dijadikan rujukan utama dalam melihat resiko buruk dalam sistem
presidensialisme.
31
Penelitian lainnya yang terkait, juga dilakukan oleh Djayadi Hanan dalam disertasi doktoralnya di Ohio State Un
iversity yang berjudul ―Making Presidentialism Work; Legislative and Executive Interacton in Indonesian
30
Barry Ames, The Deadlock of Democracy in Brazil Michigan: University of Michigan Press, 2001, 273.
31
Ames, The Deadlock of Democracy, 274.
21
Democracy ‖ yang sudah diterjemahkan oleh Mizan dengan judul ―Menakar
Presidensialisme Multipartai; Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dunamis dalam Konteks Indonesia
‖ yang terbit tahun 2014. Djayadi berusaha membantah teori-teori umum tentang hubungan eksekutif dan legislatif dalam
sistem presidensialisme multipartai. Menurut teori-teori umum, kombinasi presidensialisme dengan multipartai akan cenderung gagal. Penyebab utamanya
adalah suasana konflik yang cenderung terjadi antara eksekutif dan legislatif yang membuat keduanya sulit kerjasama dalam landasan dasar Tria Politica.
Banyaknya partai yang ada dalam legislatif juga membuat presiden sulit untuk mengamankan agenda-agenda pemerintahannya dari gangguan legislatif. Maka,
sistem presidensialisme multipartai cenderung berakhir dengan konflik antar keduanya. Berbeda dari prediksi para teoritisi terdahulu, Djayadi melihat sistem
presidensialisme-multipartai di Indonesia relatif berjalan stabil dan normal. Hubungan tegang antara eksekutif dan legislatif memang terjadi, namun tidak
mencapai jalan buntu. Dukungan legislatif terhadap agenda-agenda pemerintah relative masih terbangun.
32
Djayadi menilai hal tersebut bisa terbangun karena keberadaan dua faktor yang saling mendukung. Mekanisme kelembagaan formal anara eksekutif dan
legislatif seperti mekanisme persetujuan bersama membuat keduanya harus menyelesaikan perbedaan satu sama lain dengan mengutamakan kerjasama.
Mekanisme kelembagaan informal yakni koalisi menjadi jalan keluar dari
32
Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia; Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia Bandung: Penerbit Mizan,
2014, 17.
22
kebuntuan. Selain itu juga terdapat mekanisme non-kelembagaan seperti presiden yang cenderung akomodasionis, para elit politik yang pragmatis dan budaya
konsensus turut mengurangi potensi kebuntuan antara eksekutif dan legislatif.
33
Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang memfokuskan diri pada sistem presidensialisme-multipartai sebelum pemilu 2014, maka penelitian
ini berfokus pada telaah atas divided government melalui pendekatan koalisi presidensial dan mengeksplorasi proses relasi antara eksekutif dan legislatif pada
periode divided government dalam pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.