Fungsi Legislasi dalam Pembahasan RUU

110 menjadi undang-undang. Seperti dalam laporan yang dilakukan oleh Ketua Komisi II DPR-RI, Rambe Kamarul Zaman dalam Rapat Paripurna tanggal 20 Januari 2015. ―Secara umum apa yang dihasilkan di dalam Rapat Kerja Komisi II dengan Pemerintah yang diwakili oleh Mendagri, Menkumham, dan DPD-RI dalam dua hari kemarin sudah mencapai kesepakatan bahwa secara prinsip fraksi- fraksi menerima Perpu No 1 dan 2 Tahun 2014 untuk disahkan menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna Masa sidang II Tahun Sidang 2014- 2015 ini.‖ 41 Dengan adanya proses dan lobby yang cukup berlarut akhirnya seluruh fraksi menyepakatinya Perppu ini dan secara otomatis menganulir UU Pilkada melalui DPRD yang disahkan DPR pada 25 September 2014 lalu. Setelah disahkan, sejumlah fraksi di DPR mengusulkan revisi atas Undang-Undang tentang Pilkada langsung tersebut. Usulan untuk melakukan revisi juga ditanggapi dingin oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pihak yang menerbitkan Perpu tersebut asal revisi tersebut tidak mengubah substansi dari Pilkada langsung. 42 Begitu juga yang dipaparkan oleh Mendagri, Tjahjo Kumolo dalam pandangan yang dibacakan usai pengesahan Perppu tersebut mengatakan bahwa pemerintah membuka diri untuk membahas perubahan-perubahan yang diperlukan bersama DPR. 43 41 Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II tentang Pengambilan Keputusan tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU No 22 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang dan Penetapan Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menjadi Undang-Undang Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 13 Februari 2015, 31. 42 ―SBY Sebut Revisi UU Pilkada,‖ Detik, 21 Januari 2015. 43 Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II tentang Pengambilan Keputusan tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU No 22 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang dan Penetapan Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menjadi Undang-Undang, 45. 111 Setelah ditetapkan Pilkada secara langsung, sejumlah perubahan diberlakukan mulai dari penghapusan uji publik hingga penetapan paket kepala daerah dan wakilnya. 44 Proses saling interaksi ditunjukan untuk mendapatkan kesepahaman bersama dalam dinamika RUU Pilkada. Sampai pada pembahasan di Badan Legislatif Baleg, seluruh fraksi di DPR menyetujui RUU tentang Revisi UU Pilkada hasil pembahasan Panitia Kerja Panja Baleg. Hal tersebut diputuskan dalam Rapat Pleno Baleg yang dipimpin oleh Sareh Wiyono pada tanggal 9 Februari 2015 untuk dibawa ke proses selanjutnya melalui Rapat Paripurna dan terjadi kesepakatan. 45 Interaksi antara eksekutif dan legislatif juga berlangsung secara harmoni tak ada potensi deadlock. Interaksi harmoni tersebut juga ditujukan oleh anggota Fraksi Golkar, Mujib Rahmat, saat Sidang Paripurna tanggal 17 Februari 2015. ―Setelah mengikuti seluruh proses pembahasan tahapan-tahapannya dengan serius, dan memperhatikan kesepakatan di tingkat 1 di Komisi serta laporan dari ketua komisi II, dengan mengucapkan bismillahi rohmanirahoim, Fraksi Partai Golkar menerima dan menyetujui 2 RUU inisiatif DPR tersebut menjadi Undang-Undang. ‖ 46 44 Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II Pengambilan Keputusan tentang RUU Perubahan atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2014 Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU dan RUU Perubahan atas UU No 2 Tahun 2015 Tentang Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menjadi UU Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 17 Februari 2015, 27-28. 45 Laporan Singkat Rapat Pleno Badan Legislasi Baleg DPR-RI, Pengambilan Keputusan Harmonisasi RUU Tentang Perubahan atas UU No 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang Serta RUU Tentang Perubahan Kedua Atas UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Usulan Komisi II Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 9 Februari 2015, 5. 46 Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang RUU Perubahan atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2014 Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang dan RUU Perubahan atas UU No 2 Tahun 2015 Tentang Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menjadi Undang-Undang Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 17 Februari 2015, 33. 112 Selain itu, pembahasan mengenai RUU perubahan atas UU No.2 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai dampak dari hasil pembahasan RUU tentang perubahan Atas UU No.1 Tahun 2015 tentang Pilkada. Sehingga UU Pemda ini adalah penyesuaian dari UU Pilkada. Seperti yang dilaporkan oleh Ketua Komisi II DPR-RI, Rambe Kamarul Zaman. ―Penyesuaian pertama diawali dengan perubahan judul yang diubah menjadi RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemda, alasannya karena materi yang diubah dalam Perppu No.2 Tahun 2014 yang ditetapkan menjadi UU No.2 Tahun 2015 hanya terkait dengan satu pasal tentang kewenangan DPRD dalam memilih kepala daerah yang dihapus .‖ 47 Beberapa materi yang harus disesuaikan dengan hasil pembahasan RUU tentang Perubahan Atas UU No.1 Tahun 2015 adalah terkait dengan peran wakil kepala daerah akibat diputuskannya bahwa pilkada diikuti oleh pasangan calon yang terdiri atas kepala daerah dan wakil kepala daerah. Selain itu, RUU Pemda ini mencoba merumuskan agar hubungan antara kepala daerah dan wakilnya berjalan harmonis hingga akhir masa jabatan, sehingga diatur adanya kewajiban bagi wakil kepala daerah menandatangani fakta integritas serta melakukan tugasnya bersama kepala daerah hingga akhir masa jabatan. Pembahsan dalam revisi UU ini juga tidak memakan banyak waktu dan berakhir pada kepuasan bersama win-win solution antara eksekutif dan legislatif. 47 Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang RUU Perubahan atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2014 Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang dan RUU Perubahan atas UU No 2 Tahun 2015 Tentang Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menjadi Undang-Undang, 29-30. 113 b Revisi UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Undang-Undang ini merupakan salah satu yang menjadi titik islah antara Koalisi Indonesia Hebat dengan Koalisi Merah Putih yang sebelumnya sempat berseteru dengan adanya dualisme pimpinan DPR. Sebelumnya, DPR periode 2009-2014 telah melakukan revisi terhadap UU No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD MD3. Yang didalam revisi tersebut memuat perubahan dalam pasal 84 bahwa pimpinan DPR tidak secara otomatis dikuasai oleh partai pemenang pemilu tetapi dipilih melalui mekanisme demokratis. Proses perubahan dari UU No 27 Tahun 2009 menjadi UU No 17 Tahun 2014 kental dengan nuansa kepentingan politik. Bahkan, pembelahan antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat adalah buah dari desain yang tertuang dalam perubahan Undang- Undang tersebut. Revisi dari UU No 27 Tahun 2009 berjalan alot dan diwarnai perdebatan dari masing-masing fraksi yang terpolarisasi sebagai dampak dukungan Pilpres 2014. Salah satu perdebatan yang terjadi saat itu adalah terkait waktu pelaksanaan Rapat Paripurna yang dilakukan sehari sebelum Pemilihan Presiden 2014. Salah satu peserta Rapat Paripurna Erik Satrya Wardhana dari Fraksi Hanura menyampaikan: ―Tadi saya bicara dengan Pak Wakil Ketua, Pak Imam. Jadi sistem presidensial multipartai dimanapun selalu deadlock. Yang bisa berjalan relatif efektif sampai dengan saat ini cuma Indonesia. Pertanyaannya kenapa? Karena di Indonesia ada kompromi-kompromi yang terlembaga dan tak terlembaga. Nah ruang kompromi ini yang harusnya kita ciptakan. Kalau pengambilan keputusan kita paksakan sekarang tidak ada ruang kompromi. Saya khawatir deadlock. Kalau pun tidak deadlock, itu tadi. Ada proses pelembagaan, suasana, nilai yang tidak baik. Oleh karena itu saya usulkan 114 agar proses pengambilan keputusan ini ditunda sampai selesai Pilpres dan karena Pilpres itu nanti di masa reses, maka setelah reses pada masa sidang berikutnya. ‖ 48 Rapat Paripurna berjalan dengan perdebatan diantara masing-masing kelompok, seperti yang dilontarkan oleh Eva Kusuma Sundari dari Fraksi PDI-P dalam Rapat Paripurna yang mengatakan: ―Saya sangat menyesalkan bahwa bukannya kita makin dewasa tapi kemudian hanya kepentingan sesaat pilpres itu yang membuat suasana kita terbelah dan kemudian tidak meninggalkan nilai-nilai yang harusnya justru kita matangkan dan kita kembangkan. Jadi saya protes terhadap draft Undang-Undang ini karena tidak membawa kebaikan tapi justru mudaratnya banyak terutama apa yang kita inginkan sebagai praktek parlemen yang makin akutabel, makin berkeinginan dan makin menunjukan kepribadian itu hilang semua.‖ 49 Setelah terjadi perdebatan yang alot, akhirnya Rapat Paripurna diiirngi keputusan walkout dari fraksi PDI-P, Hanura dan PKB. 50 Meskipun terjadi walkout, Rapat Paripurna revisi UU no 27 Tahun 2009 menjadi UU No 17 Tahun 2014 tetap disahkan. Sehingga berdasarkan aturan baru ini membuat Koalisi Merah Putih tidak mengalami kesulitan dalam merebut kursi pimpinan DPR-RI seperti yang sudah dijelaskan dalam bab III. Namun, menurut Saldi Isra, pilihan untuk menguasai pimpinan DPR tak dapat sepenuhnya dikatakan sebagai strategi membangun check and balance dengan pemerintah, tetapi juga seperti hendak 48 Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang Pembicaraan Tingkat IIPengambilan Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 8 Juli 2014, 58. 49 Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang Pembicaraan Tingkat IIPengambilan Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 8 Juli 2014, 53. 50 Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang Pembicaraan Tingkat IIPengambilan Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, 102. 115 melembagakan pembelahan pola hubungan kedua lembaga. 51 Selain itu langkah politik Koalisi Merah Putih untuk menguasai pimpinan DPR pada satu kelompok telah menghadirkan pembelahan di internal DPR, dengan pengelompokan yang tercipta setelah pilpres, terjadi kebuntuan secara permanen yang ditandai dengan munculnya pimpinan DPR versi Koalisi Indonesia Hebat. Disfungsi DPR hampir dua bulan lebih sejak dilantik adalah dampak dari revisi UU No 27 Tahun 2019 menjadi UU No 17 Tahun 2014. Setelah melalui proses panjang, akhirnya UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3 di revisi kembali seiring dengan membaiknya hubungan diantara Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih. 52 Dalam pembahasan di Pansus UU MD3 yang diketuai oleh Saan Mustofa tersebut, pasal-pasal yang sempat menjadi perdebatan adalah pasal 74 ayat 3 - 6 dan pasal 98 ayat 7 - 9 yang memuat hak DPR dan sanksi administratif yang diberikan kepada pejabat negara. Namun, semua fraksi akhirnya sepakat pasal tersebut dihapus. 53 Setelah melalui rapat di Pansus, akhirnya Revisi UU No 17 Tahun 2014 berhasil disahkan dalam Rapat Paripurna DPR dengan hasil akhir win-win solution seperti yang dikatakan oleh 51 Saldi Isra, ―Revisi UU MD3,‖ Kompas, 26 November 2014. 52 Membaiknya hubungan antara Koalisi Merah Putih dengan Koalisi Indonesia Hebat terjadi pada tanggal 17 November 2014. Dalam pertemuan informal yang dilakukan oleh Hatta Rajasa yang mewakli Koalisi Merah Putih dan Pramono Anung mewakili Koalisi Indonesa Hebat, kedua kubu sepakat untuk islah dengan syarat dilakukan revisi terhadap UU MD3 dan juga ketersediannya posisi untuk Koalisi Indonesia Hebat untuk Alat Kelengkapan Dewan AKD DPR- RI. Lihat, ―Islah DPR Diteken dengan 5 Butir Kesepakatan,‖ Tempo, 17 November 2014 http:www.tempo.coreadnews20141117078622484Islah-DPR-Diteken-dengan-5-Butir- Kesepakatan. Diakses pada 20 April 2015. 53 Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang Pembicaraan Tingkat IIPengambilan Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 5 Desember 2014, 24-25. 116 Menteri Hukum dan HAM, Yassona Laoly yang mewakili Presiden dalam Rapat Paripurna tanggal 5 Desember 2014. ―Kami sampaikan kepada Pimpinan serta Anggota Dewan yang terhormat. Kami ucapkan terima kasih dan memberikan apresiasi yang setinggi- tingginya atas segala niat baik, perhatian, dan kontribusi selama berlangsungnya pembahasan RUU ini.‖ 54 Meskipun dalam prosesnya Revisi UU MD3 ini terjadi kegaduhan-kegaduhan, namun dalam akhir pembahasannya, kedua kubu sepakat untuk mengambil jalan islah dan kompromi yang membuat relasi antara eksekutif-legislatif bisa berjalan. Kompromi tersebut yang menurut William R Liddle sebagai salah satu kelebihan dari sistem presidenlisme di Indonesia bila dibandingkan dengan negara lain. 55 Meskipun kompromi itu terjadi dalam struktur kelembagaan yang mengalami divided government. c Pengangkatan Kapolri Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 11 ayat 1 UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI, bahwa dalam pengangkatan calon Kapolri, Presiden harus mendapatkan persetujuan dari DPR. Meskipun kerapkali, aturan ini dinilai berpolemik karena tidak sesuai dengan mekanisme sistem presidensialisme murni dan cenderung mengkooptasi hak prerogatif Presiden yang seharusnya ditentukan secara sendiri tanpa adanya campur tangan DPR dalam proses pengangkatan Kapolri. Dalam penelitian ini, penulis sengaja memasukan kasus pengangkatan Kapolri sebagai bagian dari interaksi eksekutif dan legislatif dalam klasifikasi 54 Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang Pembicaraan Tiingkat IIPengambilan Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, 28. 55 Wawancara dengan William R Liddle. 117 fungsi legislasi karena ini menyangkut persoalan implementasi Undang-Undang yang wajib dilaksanakan oleh Presiden dalam menjalankan tugasnya. Relasi eksekutif-legislatif dalam proses pengangkatan Kapolri menjadi perhatian publik karena calon Kapolri yang diusulkan oleh Presiden dalam surat nomor: R01Pres012015 pada tanggal 9 Januari 2015 yakni Budi Gunawan berstatus sebagai tersangka oleh KPK. 56 Dalam rapat yang dilakukan di Komisi III DPR dibentuk Tim Kecil yang bertugas untuk mempersiapkan tahapan uji kelayakan dan kepatutan terhadap Budi Gunawan yang terdiri dari wakil-wakil fraksi yakni Aziz Syamsyuddin Ketua Fraksi Golkar, Desmond Junaidi Mahesa Fraksi Gerindraunsur Pimpinan, Benny Karman Fraksi Demokratunsur Pimpinan, Mulfahcri Harahap Fraksi PANunsur Pimpinan, Junimart Girsang Fraksi PDI-P, John Kenedy Azis Fraksi Golkar, Sufmi Dasco Ahmad Fraksi Gerindra, Ruhut Sitompul Fraksi Demokrat, Muslim Ayub Fraksi PAN, Irmawan Fraksi PKB, Aboe Bakar Alhabsyi Fraksi PKS, Asrul Sani Fraksi PPP, Patrice Rio Capella Fraksi Nasdem dan Sarifuddin Sudding Fraksi Hanura. 57 Dalam rapat tersebut, terjadi perdebatan apakah dilanjutkan atau tidak pelaksanaan uji kelayakan dan kepatutan calon Kapolri yang berstatus tersangka oleh KPK. Dalam rapat tersebut, selurih fraksi menyetujui untuk diproses lebih 56 ―Akhirnya KPK Jadikan Budi Gunawan Tersangka,‖ Tempo, 13 Januari 2015 http:www.tempo.coreadnews20150113063634558Akhirnya-KPK-Jadikan-Budi-Gunawan- Tersangka Diunduh pada 4 Mei 2015. 57 Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang Pembicaraan Tingkat IIPengambilan Keputusan terhadap Hasil Pembahasan Calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia KAPOLRI Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 15 Januari 2015, 35. 118 lanjut kecuali Fraksi Partai Demokrat. 58 Bedasarkan rapat tersebut, Komisi III menyetujui usulan Presiden untuk mengangkat Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri dan memberhentikan Jendral Sutarman sebagai Kapolri. Kasus tersebut membuktikan bahwa relasi antara eksekutif dan legislatif berjalan dengan baik tanpa diiringi dengan deadlock, meskipun publik sempat dikejutkan dengan pemberian status tersangka kepada Komjen Budi Gunawan oleh KPK namun hal itu tidak mengganggu DPR untuk menyetujui usulan Presiden. Meskipun Budi Gunawan sudah disahkan oleh DPR sebagai Kapolri, Presiden melakukan tinjauan ulang tentang pengangkatan tersebut, mengingat publik banyak yang bersikap antipati terhadap usulan Presiden tersebut. Seriring berjalannya waktu, Presiden memutuskan untuk membatalkan pelantikan Komjen Budi Gunawan dan mengangkat calon Kapolri baru yakni Komjen Badrodin Haiti, sebagaimana yang dimaksud dalam surat Presiden No R-16Pres022015 tertanggal 18 Februari yang diajukan kepada DPR. 59 Pembatalan pelantikan Komjen Budi Gunawan ini yang membuat anggota DPR, Bambang Soesatyo mempertanyakan dan menujukan sikap protes terhadap keputusan Presiden tersebut, mengingat usulan presiden tersebut sudah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR. 60 Meskipun Presiden membatalkan Komjen Budi Gunawan yang 58 Laporan Komisi III DPR-RI, Hasil Pembahasan dan Persetujuan Mengenai Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri pada Rapat Paripurna DPR-RI Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 15 Januari 2015, 2. 59 Laporan Komisi III DPR-RI, Hasil Pembahasan dan Persetujuan Mengenai Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri pada Rapat Paripurna DPR-RI Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, Kamis, 16 April 2015, 1. 60 ―F-Golkar: Jika Jokowi Tak Lantik Budi Gunawan, Tamparan Keras bagi DPR,‖ Kompas, 6 Februari 2015 http:nasional.kompas.comread2015020611314831F- Golkar.Jika.Jokowi.Tak.Lantik.Budi.Gunawan.Tamparan.Keras.bagi.DPR Diunduh pada 4 Mei 2015. 119 telah melalui persetujuan dalam Rapat Paripurna DPR, usulan Presiden terkait calon Kapolri baru yakni Komjen Pol. Badrodin Haiti tetap disetujui dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 16 April 2015, yang sebelumnya sudah dibahas melalui pembicaraan tingkat 1 di Komisi III pada tanggal 8 April 2015. 61 Meskipun terjadi tarik-menarik antara Presiden dan DPR dalam proses pengangkatan Kapolri, kedua lembaga tersebut tetap bisa membuat kesepakatan bersama. Sehingga berbeda dengan asumsi teoritik yang sebagaimana dijelaskan pada bab II, dalam konteks Indonesia, divided government yang terjadi tidak menyulitkan eksekutif dan legislatif untuk mencapai kesepakatan bersama. Pada bagian selanjutnya, penulis akan menjelaskan pendekatan yang bisa menjelaskan mengapa divided government di Indonesia tidak berakhir dengan kebuntuan. Penjelasan ini berdasarkan proses-proses yang terjadi dalam perumusan kebijakan.

C. Model Pendekatan dalam Divided Government

Sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam paparan diatas, setidaknya dalam konteks divided government di Indonesia, relasi antara eksekutif dan legislatif bisa berjalan tanpa adanya deadlock dan saling menunjukan hasil win- win solution. Hal ini berbeda dengan asumsi teoritik sebelumnya yang memiliki pandangan pesimis dalam sistem presidensialisme-multipartai yang mengalami divided government. Berdasarkan paparan yang sudah dijelaskan diatas, penulis mengklasifikasikan beberapa pendekatan yang bisa menjelaskan mengapa hal tersebut terjadi, yakni pendekatan melalui prosedur konstitusi dan pendekatan 61 Laporan Komisi III DPR-RI, Hasil Pembahasan dan Persetujuan Mengenai Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri pada Rapat Paripurna DPR-RI Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 16 April 2015, 2. 120 diluar prosedur konstitusi. Kedua pendekatan tersebut berhasil mengurangi ketegangan eksekutif-legislatif yang biasanya terjadi dalam konteks divided government.

1. Pendekatan melalui Prosedur Konstitusi

Pendekatan ini berkaitan dengan mekanisme yang tercantum dalam konstitusi yang mengharuskan eksekutif dan legislatif duduk bersama dalam pengambilan keputusan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 20 2 Undang- Undang Dasar 1945 yang berbunyi: ―Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. ‖ Aturan tersebut mendorong eksekutif dan legislatif bisa saling meninggalkan ego dan kepentingannya masing-masing, hal tersebut terjadi dikarenakan konstitusi ini mengarahkan eksekutif dan legislatif untuk bernegosiasi, meskipun terjadi dalam konteks divided government. Sepintas, mungkin penjelasan ini agak mirip dengan tesis Djayadi Hanan ketika berbicara mengenai kelancaran sistem presidensialisme di Indonesia selama era SBY, namun penjelasan tersebut tidak mencakup periode divided government sebagai bahan pertimbangan untuk menjelaskan relasi eksekutif-legislatif. Padahal secara umum, terjadinya deadlock dalam sistem presidensialisme itu terlebih dahulu diawali dengan adanya proses divided govenment dalam stuktur penguasaan di lembaga eksekutif dan legislatif, karena tidak mungkin eksekutif dan legislatif terjadi dikotomi jika tidak ada pembelahan pemerintahan antara eksekutif dan legislatif yang dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda. Dan 121 mekanisme yang tertuang dalam pasal 20 2 UUD 1945 telah membantu mengurangi terjadinya deadlock yang sebagaimana dikhawatirkan oleh teoritisi sebelumnya yang berbicara mengenai divided government. Mekanisme ini berbeda bila dibanding dengan sistem presidensialisme di Amerika Serikat yang mana antara eksekutif dan legislatif tidak dijembatani secara bersama dalam proses perumusan Undang-Undang. Keberhasilan pendekatan melalui prosedur konstitusi dalam mekanisme perumusan Undang-Undang yang mampu mengurangi kekhawatiran deadlock dalam konteks divided government adalah prestasi bagi berlangsunganya sistem presidensialisme-multipartai di Indonesia. Mengingat, banyak asumsi teoritik sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab II mengenai hubungan yang dekat antara terjadinya deadlock dengan divided government. Keberhasilan ini berbeda halnya dengan kepemimpinan SBY yang juga tidak mengalami deadlock, sebagaimana yang ditulis Djayadi Hanan dengan menunjukan tesis adanya koalisi dengan jumlah besar atau diatas single majority 50+1 sebagai faktor yang ikut berperan dalam menghindari terjadi deadlock, pendekatan koalisi ini juga yang menurut William R. Liddle, fenomena divided government tidak terjadi dalam era SBY, 62 dan komposisi eksekutif dan mayoritas legislatif saat era SBY pada dasarnya dikuasai oleh kelompok yang sama yang dikoordinasikan dalam Sekretariat Gabungan Setgab sehingga pendekatan melalui prosedur konstitusi yang berlangsung pada era SBY adalah relasi yang dibangun oleh satu kelompok koalisi yang terpisah secara kelembagaan antara eksekutif dan legislatif sehingga 62 Wawancara dengan William R Liddle. 122 sulit untuk terjadi kegaduhan diantara kedua lembaga tersebut, karena eksekutif dan partai-partai mayoritas di DPR sudah diikat melalui pendekatan koalisi, meskipun koalisi tersebut seringkali tidak permanen atau dalam berbagai isu cenderung mengeluarkan sikap yang berbeda dengan pemerintah. Pada pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla yang mengalami divided government, pendekatan melalui prosedur konstitusi berhasil membantu relasi antara eksekutif-legislatif berjalan dengan interaktif dan tanpa terjadi deadlock. Sebagai contoh kasus dalam pembahasan APBN-P 2015 misalnya, hal tersebut nampak pada penolakan dan perubahan beberapa usulan RAPBN-P 2015 oleh DPR dari yang sebelumnya diusulkan oleh Presiden seperti yang tergambar pada Tabel IV.B.1.1 mengenai proses silang pendapat antara pemerintah saat rapat- rapat di Komisi DPR mengenai Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBN-P 2015. Sehingga menurut Adian Napitupulu tercipta negosiasi dalam proses politik, 63 dan berakhir pada win-win solution antara eksekutif dan legislatif. Kasus lain yang bisa dijadikan contoh adalah mengenai seluruh rangkaian pembahasan revisi UU MD3. Seperti yang sudah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, bahwa UU MD3 berkali-kali dilakukan revisi saat sebelum dan sesudah presiden dan DPR periode 2014-2019 dilantik. Misalnya saat DPR periode 2009-2014 masih menjabat telah dilakukan revisi terhadap UU No 27 Tahun 2009 menjadi UU No 17 Tahun 2014 yang didalamnya memuat perubahan dalam pasal 84 bahwa pimpinan DPR tidak secara otomatis dikuasai oleh partai pemenang pemilu tetapi dipilih melalui mekanisme demokratis. Proses perubahan tersebut kental dengan nuansa 63 Wawancara dengan Adian Napitupulu, Politisi PDI-Perjuangan dan Anggota Komisi III DPR-RI periode 2014-2019, tanggal 18 Mei 2015. 123 kepentingan politik. Bahkan, pembelahan antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat adalah buah dari desain yang tertuang dalam perubahan Undang- Undang tersebut. Sebagai pemenang dalam proses revisi tersebut, membuat Koalisi Merah Putih berhasil memenangkan perebutan kursi pimpinan DPR, dan tak ada satu pun kursi pimpinan diberikan kepada Koalisi Indonesia Hebat. Bisa dikatakan hal tersebut merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan dari proses divided government yang terjadi di intra-legislatif. Hal itu pula yang menjadikan Koalisi Indonesia Hebat sebagai representasi eksekutif di legislatif sangat menolak revisi tersebut dan memiliki walk out saat rapat paripurna. Praktis hal itu membuat PDI-P merugi karena sebagai partai pemenang pemilu tidak berhasil merebut kursi pimpinan DPR, bahkan MPR sekalipun. Proses penolakan tersebut nampak pada terbentuknya pimpinan DPR tandingan versi Koalisi Indonesia Hebat sehingga membuat fungsi dan tugas DPR dalam beberapa waktu mengalami tersendat. 64 Namun, tersendatnya fungsi dan tugas DPR tersebut perlahan bisa diselesaikan melalui mekanisme konstitusi dengan diadakannya revisi UU MD3 kembali di rapat paripurna DPR pada tanggal 5 Desember 2015, meskipun sebelumnya juga diselingi oleh pertemuan-pertemuan informal, yang nantinya akan disinggung pada sub-bab berikutnya mengenai pendekatan diluar 64 Berdasarkan Tata Tertib DPR, dalam Pasal 281 maupun Pasal 284 Ayat 1 tertera bahwa pengambilan keputusan DPR melalui musyawarah mufakat ataupun dengan suara terbanyak menjadi sah, jika didapat melalui forum rapat yang sesuai dengan syarat kuorum. Syarat itu diatur di Pasal 251, bahwa pertemuan harus dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur fraksi yang ada. Jika dilihat melalui mekanisme kuorum maka DPR dapat mengambil keputusan sah jika dihadiri anggota dari minimal enam fraksi. Aturan tersebut tidak bisa dipenuhi dikarenakan PPP yang semula bergabung ke Koalisi Merah Mutih berpindah ke Koalisi Indonesia Hebat, sehingga polarisasi di DPR semakin sengit dengan kedua kubu sama- sama memiliki lima fraksi. Melalui aturan yang tertera dalam tata tertib DPR pasal 254 dan 251, membuat keberadaan dualisme kepemimpinan DPR berakibat pada ketidakmampuan DPR dalam menjalankan tugas dan fungsinya.