Pemilihan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat 2014-2019

75 presidential threshold dalam proses pemenangan calon presiden, di lain sisi berdasarkan hasil pemilihan legislatif 2014 tak ada satupun partai politik yang mendapatkan suara nasional diatas 20. Oleh karena itu mekanisme koalisi menjadi keharusan guna memenuhi syarat administratif proses pencalonan Presiden. Mengenai kritik terhadap keberadaan koalisi karena identik dengan sistem parlementer, penulis sudah menjabarkan hal tersebut dalam bab II. Koalisi yang dibangun saat pilpres melahirkan polarisasi dua kubu pasangan calon, yakni Koalisi Indonesia Hebat yang mengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Koalisi Merah Putih yang mengusung Prabowo Subianto – Hatta Rajasa. Berikut adalah komposisi kekuatan kedua koalisi tersebut berdasarkan hasil pemilihan legislatif 2014: Tabel III.C.1 Komposisi Koalisi Indonesia Hebat Koalisi Merah Putih Saat Pemilihan Presiden 2014 Koalisi Indonesia Hebat Joko Widodo - Jusuf Kalla Koalisi Merah Putih Prabowo – Hatta PDI-P: 23.681.471 18,95 Golkar: 18.432.312 14,75 PKB: 11.298.957 9,04 Gerindra: 14.760.371 11,81 Nasdem: 8.402.812 6,7 PAN: 9.481.621 7,59 Hanura: 6.579.498 5,26 PKS: 8.480.204 6,7 PKPI: 1.143.094 0,91 PPP: 8.157.488 6,53 Demokrat: 12.728.913 10,19 PBB: 1.825.750 1,46 Total: 40,86 Total: 59,03 Sumber: diolah dari kpu.go.id Berdasarkan tabel di atas, Koalisi Merah Putih memiliki kekuatan mayoritas di legislatif dengan 59,03. Proses penentuan sikap partai politik dalam menentukan arah koalisi cenderung alot, misalnya Partai Demokrat yang awalnya 76 mengaku akan menjadi penyimbang dan tidak memihak pada kedua pihak akhirnya melakukan deklarasi dukungannya terhadap pasangan Prabowo-Hatta. 57 Dukungan dari Partai Demokrat membuat pasangan Prabowo-Hatta kala itu semakin berada di atas angin dengan tingginya dukungan di legislatif. Melalui pembelahan dukungan tersebut, maka sejak awal proses pemilihan presiden, pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla adalah pasangan calon dan wakil presiden yang tidak memiliki dukungan mayoritas single majority 50 + 1 di legislatif. Namun, karena Indonesia menganut sistem presidensialisme yang memiliki ciri bahwa pemilihan presiden dilakuan secara langsung oleh rakyat sehingga besarnya dukungan di legislatif tidak akan mempengaruhi proses pemilihan presiden. 58 Dengan dukungan legislatif yang tak mencapai single majority 50+1, pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla berhasil memenangkan Pilpres 2014. 59 Berikut adalah tabel perolehan persentase suara pemilihan presiden 2014: Tabel III.C.2 Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 Norut Pasangan Total Suara Persentase 1 Prabowo Subianto – Hatta Rajasa 62.576.444 46,85 2 Joko Widodo – Jusuf Kalla 70.997.833 53,15 Sumber: kpu.go.id 57 ―Partai Demokrat Resmi Dukung Prabowo-Hatta,‖ Kompas, 30 Juni 2014, http:nasional.kompas.comread201406301659074partai.demokrat.resmi.dukung.prabowo- hatta. Diunduh pada 30 November 2014. 58 C.F Strong, ―Modern Political Constitutions,‖ dalam Sulardi, ―Presidensiil Dengan Sistem Multi Partai ,‖ Jurnal Konstitusi, Pusat Studi Konstitusi Universitas Muhamamdiyah Malang, Vol lll, No 2. November 2010: 16. 59 ―Keputusan Komisi Pemilihan Umum KPU Nomor: 535KptsKPUTahun 2014 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Hasil Pemilihan Umum Pr esiden dan Wakil Presiden 2014,‖ Komisi Permilihan Umum Republik Indonesia, http:www.kpu.go.idkoleksigambarSK_KPU_535_227201 4.pdf. Diunduh pada 1 Desember 2014. 77 Meskipun tidak memperoleh dukungan mayoritas dari partai politik, pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla berhasil memenangkan presiden adalah bukti bahwa sistem presidensial berhasil dikuatkan dalam amanat reformasi, karena pasangan presiden terpilih adalah mereka yang memperoleh dukungan sepenuhnya dari rakyat secara langsung. Selanjutnya ini adalah pengalaman pertama di Indonesia bahwa partai pemenang pengusung pasangan calon Presiden-Wakil Presiden tidak saling menentukan arah koalisi baru dalam pembentukan pemerintahan selanjutnya setelah pemilu berakhir. 60 Yang terjadi setelah Pemilu 2014 berakhir sampai proses pembentukan kabinet pemerintahan, justru kedua koalisi saling menunjukan kesolidannya. Kesolidan masing-masing partai politik dalam menentukan arah koalisi kerap kali dipandang sebagai hal temporal, mengingat di dalam tubuh partai politik itu sendiri juga terdapat banyak faksi yang menyuarakan pendapat yang berbeda dengan petinggi partai politik. Misalnya yang terjadi dalam Partai Golkar yang beberapa kadernya justru mendeklarasikan dukungannya terhadap Joko Widodo – Jusuf Kalla, padahal secara kelembagaan dukungan Golkar mengarah pada pasangan Prabowo – Hatta. Seperti yang dilakukan oleh politisi Golkar, Indra J Piliang yang mengatakan: 60 Tahun 2014 ini adalah kali pertama terbangunnya koalisi saat proses pemenangan pilpres dan koalisi pemerintahan tak ada ubahnya. Berbeda dengan proses pembentukan koalisi pemerintahan pasca pemilu 2004 dan pemilu 2009. Misalnya pada tahun 2004, koalisi pemenangan pilpres yang dibangun oleh Susilo Bambang Yudhoyono hanyalah berjumlah 33,3 dari suara pileg, namun pada saat membangun koalisi pemerintahan, SBY berhasil mengakomodir partai-partai hingga mencapai angka koalisi sebesar 63,8 begitu juga pada pemilu tahun 2009, SBY yang hanya mengantongi dukungan koalisi sebesar 26,8 saat pilpres berhasil membangun koalisi dengan banyak artai hingga mencapai 75,5 kekuatan di legislatif.