Konfigurasi Politik Pemilihan Presiden 2014

77 Meskipun tidak memperoleh dukungan mayoritas dari partai politik, pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla berhasil memenangkan presiden adalah bukti bahwa sistem presidensial berhasil dikuatkan dalam amanat reformasi, karena pasangan presiden terpilih adalah mereka yang memperoleh dukungan sepenuhnya dari rakyat secara langsung. Selanjutnya ini adalah pengalaman pertama di Indonesia bahwa partai pemenang pengusung pasangan calon Presiden-Wakil Presiden tidak saling menentukan arah koalisi baru dalam pembentukan pemerintahan selanjutnya setelah pemilu berakhir. 60 Yang terjadi setelah Pemilu 2014 berakhir sampai proses pembentukan kabinet pemerintahan, justru kedua koalisi saling menunjukan kesolidannya. Kesolidan masing-masing partai politik dalam menentukan arah koalisi kerap kali dipandang sebagai hal temporal, mengingat di dalam tubuh partai politik itu sendiri juga terdapat banyak faksi yang menyuarakan pendapat yang berbeda dengan petinggi partai politik. Misalnya yang terjadi dalam Partai Golkar yang beberapa kadernya justru mendeklarasikan dukungannya terhadap Joko Widodo – Jusuf Kalla, padahal secara kelembagaan dukungan Golkar mengarah pada pasangan Prabowo – Hatta. Seperti yang dilakukan oleh politisi Golkar, Indra J Piliang yang mengatakan: 60 Tahun 2014 ini adalah kali pertama terbangunnya koalisi saat proses pemenangan pilpres dan koalisi pemerintahan tak ada ubahnya. Berbeda dengan proses pembentukan koalisi pemerintahan pasca pemilu 2004 dan pemilu 2009. Misalnya pada tahun 2004, koalisi pemenangan pilpres yang dibangun oleh Susilo Bambang Yudhoyono hanyalah berjumlah 33,3 dari suara pileg, namun pada saat membangun koalisi pemerintahan, SBY berhasil mengakomodir partai-partai hingga mencapai angka koalisi sebesar 63,8 begitu juga pada pemilu tahun 2009, SBY yang hanya mengantongi dukungan koalisi sebesar 26,8 saat pilpres berhasil membangun koalisi dengan banyak artai hingga mencapai 75,5 kekuatan di legislatif. 78 ―Saya mendukung Jokowi-JK karena ada beberapa alasan. alasan pertama saya adalah seharusnya yang capres diusung oleh partai adalah kader Golkar. Dan ini adalah hasil dari penafsiran saya kepada hasil rapimnas Golkar. Karena kan hasil rampimnas golkar diantaranya: 1 Mengajukan ARB sebagai capres atau cawapres 2 memberikan mandat kepada ARB untuk melakukan komunikasi politik guna mencapai acuan diatas 3 apabila keduanya atak terpenuhi maka hasil rapimnas batal. Nah tafsiran saya adalah mandat penuh yang diemban oleh ARB adalah menjadi caprres atau cawapres. Nah ketika ARB tak menjadi capres atau cawapres maka saya tak perlu lagi mematuhi hasil rapimnas. Oleh karenanya saya memiliki Jokowi- JK yang mana Pak JK adalah kader Partai Golkar. ‖ 61 Adanya sebagian pengurus partai yang mengarahkan dukungannya secara berbeda dengan sikap partai membuat kesolidan koalisi dalam sistem presidensial di Indonesia menjadi hal yang dipertanyakan, hal ini sebagaimana yang paparkan oleh Jose Antonio Cheibub bahwa koalisi dalam sistem presidensial dipandang tidak stabil bila dibanding dalam sistem parlementer, 62 sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam bab II. Selain itu, Presiden dalam sistem presidensialisme memiliki hak prerogatif dalam menyusun kabinetnya tanpa adanya campur tangan DPR. Sebagaimana yang sudah dilakukan, Joko Widodo – Jusuf Kalla sudah menentukan postur kabinetnya yang terdiri atas 34 Menteri. Proses pemilihan Menteri melibatkan Tim Transisi JKW-JK guna melakukan selektifitas dan masukan mengenai kriteria-kriteria ideal terhadap para calon Menteri namun dalam menentukan komposisi perseorangan kembali diserahkan kepada Presiden. 63 Susunan kabinet 61 Wawancara dengan Indra J. Piliang, Ketua DPP Golkar bid. Penelitian dan PengembanganKetua Tim Ahli Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, tanggal 27 Maret 2015. 62 Jose Antonio Cheibub dan Fernando Limongi, ―Democratic Institutions and Regime Survival: Parliamentary and Presidential Democracies Reconsidered ,‖ Forthcoming in Annual Review of Political Science, 2002, 4. 63 Wawancara dengan Wandy N Tuturoong, Pokja Lembaga Kepresidenan Tim Transisi Jokowi-JK, tanggal 31 Maret 2015. 79 pemerintah merupakan kombinasi antara profesional dan partai politik yang menempatkan 15 menteri di isi oleh kalangan partai politik guna melengkapi feedback koalisi dan 19 menteri diisi oleh kalangan non partai. Selain itu, Joko Widodo juga menghapus posisi Wakil Menteri kecuali pada Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Keuangan. 64 Berikut adalah susunan kabinet pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Tabel III.C.3 Komposisi Kabinet Kerja Jokowi - JK No Nama Jabatan Asal 1 Tedjo Edhy Purdijatno Menkopolhukam Nasdem 2 Sofyan Djalil Menko Perekonomian Non-Partai 3 Indroyono Susilo Menko Kemaritiman Non-Partai 4 Puan Maharani Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan PDI-P 5 Pratikno Mensesneg Non-Partai 6 Tjahjo Kumolo Mendagri PDI-P 7 Retno Lestari Menlu Non-Partai 8 Ryamizard Ryacudu Menteri Pertahanan Non-Partai 9 Yasonna Laoly Menkumham PDI-P 10 Bambang Brodjonegoro Menteri Keuangan Non-Partai 11 Sudirman Said Menteri ESDM Non-Partai 12 Saleh Husin Menteri Perindustrian Hanura 13 Rachmat Gobel Menteri Perdagangan Non-Partai 14 Amran Sulaiman Menteri Pertanian Non-Partai 15 Siti Nurbaya Menteri Lingkungan Hidup Nasdem 16 Ignasius Jonan Menteri Perhubungan Non-Partai 17 Susi Pudjiastuti Menteri Kelautan dan Perikanan Non-Partai 18 Hanif Dhakiri Menteri Ketenagakerjaan PKB 19 Marwan Jaf’ar Menteri Desa, PDT PKB 20 Basuki Hadiuljono Menteri Pekerjaan Umum Perumahaan Rakyat Non-Partai 64 Untuk Wakil Menteri Luar Negeri diisi oleh AM Fachir dan Wakil Menteri Keuangan diisi oleh Ma rdiasmo. Lihat, ―Selain Menteri, Jokowi Juga Lantik 2 Wakil Menteri,‖ Metro TV, 27 Oktober 2014 http:news.metrotvnews.comread20141027310721selain-menteri-jokowi-juga- lantik-2-wakil-menteri. Diunduh pada 23 April 2015. 80 21 Nila Djuwita F. Moeloek Menteri Kesehatan Non-Partai 22 Anis Baswedan Menteri Pendidikan Kebudayaan Non-Partai 23 Muhammad Nasir Menteri Riset, Teknologi Pendidikan Tinggi Non-Partai 24 Khofifah Indar Parawansa Menteri Sosial PKB 25 Lukman H. Saifuddin Menteri Agama PPP 26 Arief Yahya Menteri Pariwisata Non-Partai 27 Rudiantara Menkominfo Non-Partai 28 Agung Gede Ngurah Puspayoga Menteri Koperasi UKM PDI-P 29 Yohana Yambise Menteri Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Non-Partai 30 Yuddy Chrisnandi Menteri PAN RB Hanura 31 Andrinof Chaniago Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Non-Partai 32 Ferry Mursyidan Baldan Menteri Agraria Tata Ruang Nasdem 33 Rini Soemarno Menteri BUMN PDI-P 34 Imam Nahrawi Menpora PKB Sumber: Diolah dari berbagai sumber 81

BAB IV ANALISIS

DIVIDED GOVERNMENT DALAM RELASI EKSEKUTIF- LEGISLATIF PEMERINTAHAN JOKO WIDODO - JUSUF KALLA Pada bab ini, penulis akan menganalisis faktor yang memicu terjadinya divided government melalui pendekatan koalisi presidensial dan menganalisis proses relasi eksekutif-legislatif yang terjadi dalam pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla, terhitung mulai sejak Presiden dilantik pada tanggal 20 Okrober 2014 sampai keluarnya Golkar dari Koalisi Merah Putih pada Maret 2015, atau yang penulis sebut sebagai periode divided government. 1 Analisis yang dibangun oleh penulis menekankan kontinuitas dan konvergensi dari waktu ke waktu, mengingat unit analisis dalam penelitian ini tergolong relatif sedang berjalan.

A. Divided Government dalam Pendekatan Koalisi Presidensial

Seperti yang sudah dijelaskan dalam bab II, mengenai tiga periodesasi studi presidensialisme yang dipaparkan oleh Robert Elgie bahwa pemetaan studi presidensialisme telah mengalami perkembangan yang cukup mendalam jika 1 Pembatasan periode tersebut diambil berdasarkan konsepsi divided government itu sendiri, sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam bab II bahwa melalui pendekatan koalisi presidensial, divided government terjadi ketika eksekutif tidak mendapatkan dukungan lebih dari 50 kursi di Legislatif. Sedangkan dalam kasus konflik internal Partai Golkar yang membuat Agung Laksono mengambil alih otoritas dalam Golkar dari yang sebelumnya dipimpin oleh Aburizal Bakrie berdasarkan SK Menkumham Nomor: M. HH-01.AH.11.01 tanggal 23 Maret 2015 dan keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Kemenangan kubu Agung Laksono tersebut membuat Golkar menyatakan keluar dari Koalisi Merah Putih. Terlepas dari dualisme kepengurusan yang terjadi di internal Golkar, penulis mengacu pada mekanisme hukum yang tertera dalam UU No 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No 2 tahun 2008 tentang Partai Politik dalam pasal 3 dan 4 bahwa partai politik yang sah adalah partai yang mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM, terlepas dari pertimbangan politik yang melatarbelakangi keputusan Menkumhan tersebut. Berdasarkan fenomena tersebut maka relasi eksekutif dan legislatif sudah tidak lagi menunjukan konsep divided government. Meskipun, terlepas dalam perkembangannya, SK Menkumham tersebut ditunda seiring diterimanya gugatan Aburizal Bakrie di PTUN pada tanggal 18 Mei 2015, meskipun putusan PTUN tersebut bukan keputusan yang bersifat Inkracht. 82 dibandingkan dengan studi-studi di tahun 1990-an. Jika perdebatan di sekitar tahun 1990-an lebih karena persoalan bahaya sistem presidensial secara kelembagaan, seperti tesis Juan Linz yang mengatakan bahwa sistem presidensial adalah sistem yang berbahaya karena menciptakan konflik kelembagaan antara eksekutif dan legislatif yang sama-sama dipilih oleh rakyat. 2 Atau penjelasan Manwaring yang lebih mendetail terkait sistem multipartai yang menjadi penyebab complicated dalam sistem presidensial. 3 Meskipun penjelasan Manwaring lebih mendalam karena berhasil menarik sistem kepartaian dalam studi presidensialisme, kesimpulan yang dibawa oleh kedua tokoh tersebut kurang lebih sama, yakni sistem presidensialisme merupakan sistem yang kurang kondusif dalam menciptakan efektivitas pemerintahan, meskipun Mainwaring menggarisbawahi sistem multipartai sebagai faktor utama penyebab sulitnya sistem presidensialisme, hal berbeda apabila sistem presidensialisme dikombinasikan dengan sistem dwiparty atau triparty. 4 Berbeda dengan kesimpulan dua tokoh tersebut, pendekatan terbaru dalam studi presidensialisme saat ini lebih difokuskan melalui perilaku aktor dalam membangun koalisi presidensial sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam bab II bahwa pendekatan koalisi presidensial inilah yang nantinya akan menentukan muncul atau tidaknya suatu divided government. Menurut pendukung tesis koalisi 2 Juan Linz, ―The Perils of Presidentialism,‖ Journal of Democracy, Vol 1, No 1, 1990: 62. 3 Scott Mainwaring dan Matthew Shugart, ―Juan Linz, Presidentialism and Democracy: A Critical Appraisal,‖ The Hellen Kellogg Institute for International Studies, University of Notre Dame, Working Paper No 200, Juli 1993, 26. 4 Mainwaring dan Shugar t, ―Juan Linz, Presidentialism,‖ 26. Lihat juga wawancara dengan Hamdi Muluk, Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia dan Ketua Perhimpunan Survey Opini Publik Indonesia PERSEPI, tanggal 3 Maret 2015. 83 presidensial, adanya bangunan partai koalisi pemerintah the ruling coalition parties yang mencapai single majority menjadi hal penting guna mengamankan agenda-agenda eksekutif dan menghindari deadlock jika berhadapan dengan legislatif. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Jose Antonio Cheibub yang sudah dijelaskan dalam bab II, bahwa potensi deadlock itu terjadi apabila presiden tidak bisa mencapai batas single majority 50 +1 dukungan di legislatif. Untuk mencapai angka tersebut, tentu koalisi tidak akan tercapai tanpa adanya power sharing yang dihadapkan kepada banyak partai. 5 Hal itu menjadi konsekuensi sebagai feedback dalam ikatan koalisi. Sebagaimana yang dijelaskan dalam gambar di bawah ini: Gambar IV.A.1 Peluang deadlock dan Dominasi Oposisi dalam Sistem Presidensial Sumber: Cheibub, Minority President, Deadlock Situations, 21. Dalam gambar diatas dapat dipahami bahwa untuk menghindari kondisi opposition dominates dan deadlock situation, maka Presiden harus melakukan akomodasi politik terhadap banyak partai di legislatif terutama untuk penguatan 5 José Antonio Cheibub, ―Minority Presidents, Deadlock Situations, and the Survival of Presidential Democracies, ‖ Yale University, 3. 84 struktur di kabinet pemerintahan atau spoils system sistem bagi-bagi kursi. Hal itu dilakukan, guna memenuhi batas minimal dukungan eksekutif di legislatif yakni single majority 50+1 dan mampu menghindari kebuntuan dan problematika hubungan antara eksekutif dan legislatif sebagaimana yang dituduhkan oleh Juan Linz dan Scott Mainwaring sebelumnya. Karena dalam sistem multipartai, sulit bagi partainya presiden untuk mencapai lebih dari 50 kursi di legislatif secara mandiri. Itulah sebabnya mengapa pemerintahan SBY dalam dua periode kepemimpinan selalu mengajak partai-partai politik untuk bergabung ke dalam koalisi di pemerintahannya. Berbeda dengan dua periode pemerintahan SBY, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla justru melahirkan kekuatan partai koalisi pemerintah the ruling coalition parties dibawah 50 yang membuat oposisi pemerintah berhasil mendapatkan kekuatan mayoritas dan menguasai pimpinan DPR dan MPR. Sehingga terjadi apa yang dalam literatur ilmu politik sebagai divided government pemerintahan terbelah. Hal tersebut senada dengan Robert Elgie yang mengatakan bahwa peluang terjadinya divided government lebih besar terjadi dalam sistem presidensial. 6 Hal yang sama juga dipaparkan oleh Hamdi Muluk yang mengatakan bahwa divided government lebih kental dalam resiko sistem presidensial, dan jika berharap kecil kemungkinan menghasilkan divided government, maka sistem presidensial dikombinasikan dengan sistem dwipartai. 7 Dibawah ini, penulis akan menjelaskan faktor yang memicu terjadinya divided 6 Robert Elgie, ed., Divided Government in Comparative Perspective New York: Oxford University Press Inc, 2001, 12. 7 Wawancara dengan Hamdi Muluk. 85 government dalam pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla melalui pendekatan koalisi presidensial.  Kegagalan Membangun Koalisi Presidensial Sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam bab II, pendekatan koalisi presidensial mengharuskan adanya sikap presiden yang akomodatif dan kemampuan komunikasi politik yang baik guna mengajak partai-partai lain untuk bergabung ke dalam struktur pemerintahan. Hal itu tentu mendapatkan feedback yakni dukungan pemerintah di legislatif, setidaknya untuk mencapai angka single majority 50 + 1. Menurut pendekatan koalisi presidensial, hal ini menjadi persoalan penting untuk menjaga relasi eksekutif dan legislatif nantinya akan berjalan baik. Namun, mekanisme ini yang tidak terlihat dalam proses penyusunan arsitektur kabinet pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Terlihat dari tidak adanya perubahan drastis dalam postur koalisi antara koalisi pemenangan presiden dan koalisi pemerintahan, kecuali hanya masuknya PPP dari yang sebelumnya berasal dari Koalisi Merah Putih, namun berpindahnya PPP tersebut bukan karena kecakapan eksekutif dalam mengajak koalisi, namun lebih dikarenakan ketidakpuasan PPP terhadap internal Koalisi Merah Putih karena tidak dilibatkan dalam proses pencalonan pimpinan MPR. 8 Terlebih pada saat itu juga terjadi konflik di internal PPP antara kubu Romahurmuzy dengan kubu Suryadharma Ali yang membuat PPP dengan mudah meninggalkan warisan saat dipimpin oleh 8 ―Alasan PPP Gabung Koalisi Indonesia Hebat,‖ Liputan 6, 11 Oktober 2014. http:news.liputan6.comread2117687alasan-ppp-gabung-koalisi-indonesia-hebat Diunduh pada 5 April 2015.