Divided Government dalam Pendekatan Koalisi Presidensial

85 government dalam pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla melalui pendekatan koalisi presidensial.  Kegagalan Membangun Koalisi Presidensial Sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam bab II, pendekatan koalisi presidensial mengharuskan adanya sikap presiden yang akomodatif dan kemampuan komunikasi politik yang baik guna mengajak partai-partai lain untuk bergabung ke dalam struktur pemerintahan. Hal itu tentu mendapatkan feedback yakni dukungan pemerintah di legislatif, setidaknya untuk mencapai angka single majority 50 + 1. Menurut pendekatan koalisi presidensial, hal ini menjadi persoalan penting untuk menjaga relasi eksekutif dan legislatif nantinya akan berjalan baik. Namun, mekanisme ini yang tidak terlihat dalam proses penyusunan arsitektur kabinet pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Terlihat dari tidak adanya perubahan drastis dalam postur koalisi antara koalisi pemenangan presiden dan koalisi pemerintahan, kecuali hanya masuknya PPP dari yang sebelumnya berasal dari Koalisi Merah Putih, namun berpindahnya PPP tersebut bukan karena kecakapan eksekutif dalam mengajak koalisi, namun lebih dikarenakan ketidakpuasan PPP terhadap internal Koalisi Merah Putih karena tidak dilibatkan dalam proses pencalonan pimpinan MPR. 8 Terlebih pada saat itu juga terjadi konflik di internal PPP antara kubu Romahurmuzy dengan kubu Suryadharma Ali yang membuat PPP dengan mudah meninggalkan warisan saat dipimpin oleh 8 ―Alasan PPP Gabung Koalisi Indonesia Hebat,‖ Liputan 6, 11 Oktober 2014. http:news.liputan6.comread2117687alasan-ppp-gabung-koalisi-indonesia-hebat Diunduh pada 5 April 2015. 86 Suryadharma Ali yang bergabung dengan Koalisi Merah Putih karena Suryadharma Ali diberhentikan dari jabatan ketua umum karena tersangkut dugaan korupsi di Kementerian Agama. 9 Meskipun ditambah dengan masuknya PPP di koalisi pemerintah, tetap tidak mencapai dukungan legislatif terhadap eksekutif di atas single majority 50 + 1. Sehinggga oposisi pemerintah bisa dengan mudah memenangkan proses pemilihan pimpinan DPR dan MPR seperti yang sudah dijelaskan pada bab III. Upaya untuk memperkuat bangunan koalisi presidensial tidak terlihat dalam proses lobby-lobby yang dilakukan eksekutif, dalam hal ini PDI-P sebagai partai pemenang pemilu legislatif dan pemilu presiden. Hal itu disebabkan karena faktor elit yang berkuasa, yakni Megawati yang tidak melakukan pembukaan diri terhadap pendekatan-pendekatan yang datang dari luar, salah satunya yakni Partai Demokrat. Ini yang menjadi penyebab kekecewaan sebagian besar petinggi Partai Demokrat terhadap PDI-P karena seringkali pendekatan yang dilakukan oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua umum Partai Demokrat diabaikan oleh Megawati sebagai pemegang otoritas di PDI-P. 10 Sebagimana dalam pengakuan yang disampaikan, Ulil Abshar Abdalla mengatakan: ―SBY itu kan pada awalnya memang setuju dengan Jokowi dan ingin sekali koalisi dengan PDIP. Hal itu tidak terwujud karena ada faktor Megawati. SBY sangat ingin untuk damai dengan Megawati dan mengakhiri 9 Terjadi konflik di internal PPP yang diantaranya yakni terjadi aksi saling pecat antara pimpinan partai. Setelah SDA diberhentikan dari PPP dikarenakan statusnya sebagai tersangka dalam kasus korupsi di Kementerian Agama. Karena itu, SDA memecat balik 3 kader yang telah memberhentikannya. Mereka adalah Wakil Ketua PPP Emron Pangkapi dan Suharso Monoarfa, serta Sekjen PPP Romahurmuziy. Ketiganya dikeluarkan dari kepengurusan di DPP PPP sekaligus keanggotaan. Lihat, ―Suryadharma Ali Pecat Balik Para Petinggi PPP,‖ Liputan 6, 26 Oktober 2014 http:news.liputan6.comread2104613suryadharma-ali-pecat-balik-para-petinggi-ppp, Diunduh pada 21 April 2015. 10 Wawancara`dengan Ulil Abshar Abdalla, Ketua DPP Partai Demokrat bidang Kajian dan Strategis Kebijakan, tanggal 5 April 2015. 87 perseteruan implisit diantara kedua tokoh ini. Lagipula SBY juga realistis, kalau misalnya ada tokoh yang tak mungkin untuk dikalahkan. Maka ya sebaiknya kita bergabung disitu. Kan menurut survey publik saat itu Jokowi yang paling unggul. Selain itu juga ada masalah faktor pribadi SBY yang tak suka dengan Prabowo. Tapi pendekatan yang dilakukan oleh SBY diabaikan oleh Megawati. Dan itu yang membuat beberapa kader Partai Demokrat dibuat jengkel. ‖ 11 Ini yang menjadi kritik oleh pengamat politik seperti Philips J Vermonte terhadap sikap tertutup yang dilakukan PDI-Perjuangan dibawah komando Megawati yang seharusnya PDI-P sebagai partai pemenang pemilu bisa bersikap lebih progresive ketimbang defensive terhadap partai-partai lain, 12 karena tidak dipungkuri dalam sistem presidensial-multipartai, dukungan yang datang dari partai lain menjadi penting guna melancarkan pemerintah dalam menjalankan program kerjanya, sebagaimana yang diargumentasikan oleh William R. Liddle. ―Bagi saya, dalam sistem presidensial yang juga multi-partai seperti Indonesia, seorang presiden memerlukan dukungan mayoritas di DPR untuk memerintah secara efektif. Jadi masalahnya bukan polarisasi antara KIH dan KMP, melainkan bahwa KIH bukan merupakan mayoritas di DPR. ‖ 13 Meskipun, disadari bahwa ketertutupan Jokowi dan PDIP dalam membangun kekuatan koalisi presidensial, juga dipengaruhi oleh partai-partai yang mendukungnya sejak awal. Meskipun, partai yang bergabung di Koalisi Merah Putih secara masing-masing berupaya melakukan pendekatan terhadap Jokowi. Seperti yang yang diutarakan oleh salah satu Pokja Tim Transisi Jokowi- JK, Wandy N. Tuturoong. 11 Wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla. 12 ―Laporan: Membahas Arsitektur Kabinet Jokowi,‖ Freedom Institute, 4 Oktober 2014 http:www.freedom-institute.orgindex.php?option=com_contentview=articlei d=293:laporan- diskusi-publik-membahas-arsitektur-kabinet-jokowicatid=52:laporan-diskusi. Diunduh pada 23 Maret 2015. 13 Wawancara dengan William R. Liddle, Professor bidang Ilmu Politik, Ohio State University, USA, tanggal 5 Februari 2015. 88 ―Mengapa koalisi Jokowi tak mencapai single majority, itu kan proses yang tidak sepenuhnya Jokowi yang menentukan. Itu proses ditentukan oleh partainya dan partai yang mendukungnya sejak awal. Dan juga ada reaksi dari KMP kan. KMP ini kan agak susah membaca arah politiknya saat dipermukaan dan yang tidak dipermukaan. Kalau di permukaan kan mereka kumpul terus seperti menunjukan loyalitas. Walaupun sebenarnya saya tahu dibalik itu bahwa orang-orang KMP itu secara masing-masing juga ikut menghubungi Jokowi. ‖ 14 Ketidakcakapan komunikasi politik PDI-P sebagai komando dari Koalisi Indonesia Hebat untuk mencapai dukungan single majority 50+1 membuat posisi eksekutif berada dalam posisi rawan deadlock dalam pengambilan keputusan bersama legislatif seperti yang digambarkan oleh Jose Antomio Cheibub dalam gambar IV.A.1 diatas. Hal tersebut terjadi karena angka koalisi pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla hanya mencapai angka 43,6 kursi di legislatif, kurang memenuhi syarat untuk mencapai single majority 50+1 sebagaimana yang tergambar dalam tabel IV.A.2 dibawah ini. Tabel IV.A.1 Komposisi Kursi Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih di DPR dalam periode divided government. Koalisi Indonesia Hebat Pemerintah Koalisi Merah Putih Luar Pemerintah PDI-P: 109 Kursi Golkar: 91 Kursi PKB: 47 Kursi Gerindra: 73 Kursi Nasdem: 35 Kursi PAN: 49 Kursi Hanura: 16 Kursi PKS: 40 Kursi PPP: 39 Kursi Demokrat: 61 Kursi Total: 246 Kursi 43,9 Total: 314 56,1 Sumber: Diolah dari berbagai sumber PPP: Terjadi dualisme kepemimpinan PPP, yakni PPP versi Romahurmuzy dan PPP versi Djan Faridz. Untuk menyelesaikan problematika tersebut, penulis merujuk regulasi yang tertera dalam pasal 3 dan 4 UU No 2 Tahun 2008 tentang 14 Wawancara dengan Wandy N Tuturoong, Pokja Lembaga Kepresidenan Tim Transisi Jokowi-JK, tanggal 31 Maret 2015. 89 Partai Politik bahwa partai yang sah adalah yang mendapatkan legitimasi dari Kementerian Hukum dan HAM. Mengingat, pada tanggal 29 Oktober 2014 Kementerian Hukum dan HAM telah mengesahkan PPP versi Romuharmuzy sebagai pihak yang sah melaui SK No M.HH-07.AH.11.01 Tahun 2014, mengingat SK Menkumham tersebut berlaku sejak tanggal diputuskan, terlepas dari dinamika politik dan hukum yang berkembang selanjutnya. Sehingga penulis bisa mengklasifikasikan PPP sebagai bagian dari Koalisi Indonesia Hebat dengan landasan keputusan hukum mengikat tersebut. Mengingat, sebelumnya Romahurmuzy juga mendeklarasikan partainya sebagai bagian dari KIH. Selain itu indikator lain yang memperkuat PPP sebagai bagian dari KIH adalah saat proses pemilihan pimpinan MPR-RI periode 2014-2019 yang bergabung pada paket pimpinan yang diusung KIH dan keberadaan kader PPP di kabinet pemerintahan juga mengindikasikan keberadaan PPP sebagai bagian dari pemerintah. Meskipun disadari ada sebagian anggota partai yang mengaku masih menjadi bagian dari Koalisi Merah Putih, seperti mantan ketua umum PPP, Suryadharma Ali. Namun, sebetulnya bila dilihat secara matematis dari jumlah kursi PPP di DPR yang tidak signifikan atau hanya 39 kursi sehingga keberadaan PPP tidak menjadi aktor yang menentukan bagi muncul dan berakhirnya periode divided government, karena dengan bergabungnya PPP di KIH tetap tidak membuat partai koalisi pemerintahan the ruling coalition parties mencapai single majority 50+1 sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk mencegah terjadinya divided government. Partai Demokrat: Terjadi perdebatan di anggota Partai Demokrat terkait arah koalisi yang ingin dilakukan. Berkali-kali SBY melakukan pendekatan ke PDI-P namun berkali-kali pula diabaikan oleh Megawati. Meskipun, Partai Demokrat seringkali mengaku sebagai pihak ketiga, tetapi penulis tetap mengklasifikasikan Partai Demokrat sebagai bagian diluar pemerintahan, hal itu dibuktikan dari tidak adanya anggota Partai Demokrat yang duduk dijajaran kabinet dan untuk mempermudah pengklasifikasian dalam penelitian ini, penulis memasukan Partai Demokrat sebagai bagian dari KMP, terlepas dari ketidaksetujuan penggunaan nomenklatur KMP oleh sebagian anggota Partai Demokrat. Partai Golkar: Terjadi dualisme kepemimpinan Golkar pasca Munas. Yakni Golkar versi ARB dan Golkar versi Agung Laksono. Untuk menyelesaikan problematika pengklasifikasian ini, penulis mengacu pada mekanisme hukum yang tertera dalam UU No 2 tahun 2008 tentang Partai Politik dalam pasal 3 dan 4 bahwa partai politik yang sah adalah partai yang mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. Sehingga, Golkar dengan sendirinya berada diposisi KMP saat kepengurusan ARB sebelum SK Menkumham No: M. HH- 01.AH.11.01 diterbitkan dan SK tersebut berlaku sejak tanggal diputuskan. Mengingat, Agung Laksono yang dimenangkan dalam SK Menkumham tersebut mendeklarasikan dukungannya terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Meskipun pada tanggal 18 Mei 2015, PTUN menunda SK Menkumham tersebut dan putusan PTUN tidak bersifat inkrahct. Terlepas dari proses pengadilan yang terjadi setelahnya, maka per tanggal 23 Maret 2015 relasi eksekutif-legislatif sudah menunjukan berakhirnya periode divided government. Terkait dengan proses 90 pengadilan yang terjadi setelah SK Menkumham dikeluarkan, itu adalah fenomena yang terjadi setelahnya dan tidak menjadi objek kajian dalam penelitian ini. Berubahnya arah koalisi dalam sistem presidensialisme-multipartai memungkinkan periode divided government tidak terjadi dalam waktu yang lama. Hal ini yang sebagaimana dikatakan oleh David Altman bahwa ada beberapa faktor yang menentukan solid atau tidaknya koalisi dalam sistem presidensial, 15 diantaranya: 1 afinitas ideologis antara presiden atau kepala koalisi dengan kelompok partai politik lainnya, 2 Penilaian rakyat terhadap kepala koalisi atau presiden 3 afiliasi psikologis atau kedekatan pimpinan partai politik terhadap pimpinan partai koalisi 4 pertimbangan terhadap pemilihan umum di masa mendatang 5 keadilan insentif dalam perjanjian koalisi. Namun, penulis tidak sampai sejauh menjelaskan secara detail pertimbangan dan dinamika yang terjadi dari masing-masing anggota partai dalam proses perubahan arah koalisi. Sebagaimana yang diutarakan oleh Jose Antonio Cheibub, penulis hanya ingin menegaskan bahwa koalisi dalam sistem presidensial tidak cukup memiliki kesolidan yang kuat jika dibanding sistem parlementer. 16 Hal itu juga tercermin pada fenomena berpindahnya beberapa partai politik dari yang sebelumnya berada di Koalisi Merah Putih ke Koalisi Indonesia Hebat, yang didalamnya juga dipengaruhi oleh preferensi ketua partai. 17 15 David Altman, ―The Politics of Coalition Formation and Survival in Multiparty Presidential Democraties ,‖ The International Journal for the Study of Political Parties and Political Organizations, Vol 6. No 3, Sage Publications, 2000: 259. 16 Jose Antonio Cheibub dan Fernando Limongi, ―Democratic Institutions and Regime Survival: Parliamentary and Presidential Democracies Reconsidered ,‖ Forthcoming in Annual Review of Political Science, 2002, 4. 17 Terjadi tarik menarik arah koalisi di Internal partai politik, misalnya Golkar dibawah ketua Agung Laksono yang memiliki preferensi terhadap Koalisi Indonesia Hebat dan Golkar versi 91 Terlepas dari ketidaksolidan koalisi dalam sistem presidensial, kembali kepada gambar IV.A.1 bahwa eksekutif berada dalam kendalinya sendiri saat berhubungan dengan legislatif apabila berhasil mengakomodir partai-partai setidaknya melewati batas M atau 50 dari skala 0-100 jumlah kursi yang akan dibagikan kepada partai-partai sebagai feedback koalisi. Sedangkan dalam periode divided government, Joko Widodo – Jusuf Kalla hanya mampu mencapai angka koalisi sekitar 46,48 berdasarkan perolehan suara saat pemilihan legislatif atau 43,9 dukungan berdasarkan perolehan kursi partai pendukung di DPR. Jika dilihat melalui teoritisi Cheibub, maka pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla diprediksi akan mengalami jalan sulit atau dalam potensi deadlock dalam membangun relasi dengan legislatif yang dikuasai oleh pihak oposisi. Selain itu, meskipun sebelumnya Partai Demokrat seringkali mengaku berada dipihak ketiga, atau tidak berada dalam Koalisi Indoneia Hebat dan Koalisi Merah Putih, penulis tetap mengklasifikasikan Partai Demokrat sebagai pihak di luar koalisi pemerintahan, hal ini dikarenakan dalam pendekatan koalisi presidensial fokusnya adalah peran Presiden yang memiliki kewenangan untuk memerintah terhadap keberadaan banyak partai di legislatif, sedangkan Partai Demokrat tidak memiliki ikatan koalisi tersebut yang membuat Presiden tidak memiliki wewenang terhadap arah kebijakan Partai Demokrat karena bukan Aburizal Bakrie yang memiliki preferensi terhadap Koalisi Merah Putih. Begitu juga halnya dengan PPP versi Romahurmuzy yang memiliki preferensi terhadap Koalisi Indonesia Hebat dan PPP versi Djan Faridz yang memiliki preferensi terhadap Koalisi Merah Putih. Namun untuk menyelesaikan problematika dualisme yang menyulitkan penulis dalam proses klasifikasi, penulis merujuk pada legitimasi yang tertuang dalam SK Menkumham. Mengingat berdasarkan UU No 2 Tahun 2008 dijelaskan bahwa partai yang sah adalah partai yang mendapatkan legitimasi dari Kemenkumham, Mengingat SK tesebut bersifat final and binding serta berlaku sejak tanggal diputuskan. Terkait perkara yang terjadi setelah SK Menkumham tersebut diterbitkan, itu adalah fenomena yang terjadi selanjutnya dan tidak menjadi objek kajian dalam penelitian ini. 92 bagian dari partai pemerintah yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat. Begitu pula yang disampaikan oleh Ulil Abshar Abdhalla bahwa sikap Partai Demokrat terhadap suatu pembahasan bergantung pada persoalan yang dibahas, apabila ide dan gagasan pemerintah baik dan sesuai dengan ekspektasi Partai Demokrat akan didukung, begitu pula sebaliknya. 18 Sehingga penulis tetap mengklasifikasikan Partai Demokrat sebagai bagian dari Koalisi Merah Putih atau lebih tepatnya di luar pemerintah pemerintahan. Kegagalan eksekutif dalam membangun koalisi presidensial menjadi faktor yang membuat oposisi menguasai pimpinan legislatif dan memiliki kekuatan mayoritas sehingga terjadilah divided government yang dalam studi-studi presidensialisme berpotensi akan terjadinya tarik menarik kepentingan dan berujung kondisi deadlock karena sulitnya eksekutif dalam membangun kesepakatan dengan legislatif. Hal tersebut senada dengan William R Liddle yang mengatakan: ―Divided government yang dialami sekarang adalah konsekuensi dari kegagalan Presiden Terpilih Jokowi membuat koalisi mayoritas di DPR. Tentu saya khawatir bahwa tanpa mayoritas Jokowi sulit sekali memerintah secara efektif. Sekali lagi, SBY tidak menghadapi divided government, meski parlemennya multi-partai sebab dia memang mengerti dari awal bahwa dia memerlukan koalisi mayoritas. ‖ 19 Oleh karenanya dalam penelitian ini, pendekatan koalisi presidensial menjadi kunci dalam melihat apakah suatu pemerintahan terjadi divided atau tidak, sebagaimana yang digambarkan oleh Robert Elgie mengenai tiga gelombang studi presidensialisme pada bab II penelitian ini. 18 Wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla. 19 Wawancara dengan William R. Liddle. 93 Selain itu, ada juga yang menganggap bahwa divided government adalah wujud dari prinsip check and balances yang sebagaimana dibangun dalam landasan filosofis trias politica agar tidak terjadi kekuasaan yang sewenang- wenang. Menurut penulis anggapan tersebut tidak seutuhnya tepat. Dalam konteks sistem presidensial, tujuan yang ingin dicapai memang untuk memperkuat prinsip check and balances. Beberapa aspek terkait pemisahan kekuasaan seperti tugas eksekusi yang dijalankan oleh pemerintah dan tugas kontrol dilakukan oleh legislatif. Sehingga prinsip check and balances termaktub dalam peran yang terpisah antara eksekutif dan legislatif, hal itu yang tertuang dalam sistem presidensialisme murni sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab II. Namun yang menjadi persoalan adalah identitas partai atau kelompok yang membuat fenomena divided government dipandang memiliki potensi kebuntuan. Meskipun partai yang duduk di legislatif secara filosofos adalah mewakili rakyat, tetapi kelompok tersebut memiliki ciri khas seperti kepentingan, identitas, platform dan ciri programnya masing-masing dan sebagai entitas kelompok tentu akan selalu memperjuangkan apa yang diyakini. Sehingga tetap terjadi dikotomi antara eksekutif dan legislatif saat terjadi divided government, terkebih jika dikotomi tersebut dihubungkan dalam proses relasi eksekutif-legislatif yang didalamnya menyangkut mekanisme persetujuan bersama. Ini yang kemudian banyak analis yang mengatakan untuk menghindari kebuntuan, maka antara eksekutif dan legislatif dianjurkan untuk dikuasai oleh kelompok dengan identitas yang sama, tanpa mengurangi prinsip check and balances. Hal yang sama juga diakui oleh 94 Hamdi Muluk jika dalam pendekatan psikologis, pihak yang berbeda identitas cenderung mudah bersitegang, seperti yang dikutip dalam wawancara berikut: ―Kalau dalam psikologis diakui kalau seseorang atau kelompok berbeda identitas menang gampang musuhan, walaupun tidak dalam sudut pandang objektif. Tetapi kan itu melalui sudut pandang subjektif. Ibarat: ―dia kan bukan orang kita, lalu kenapa kita harus dukung dia? kira-kira begitu. ‖ 20 Sehingga, terminologi check and balances dengan divided government memiliki pendefinisian yang berbeda. Apabila check and balances lebih kepada persoalan rule aturan yang harus ditempuh antara eksekutif dan legislatif dalam pengambilan kebijakan, sedangkan divided government lebih kepada persoalan wacana relasi eksekutif-legislatif yang berbasis pada identitas atau kepentingan yang saling kooperatif atau konfrontatif. Pada bagian selanjutnya, penulis akan mengeksplorasi relasi eksekutif dan legislatif dalam periode divided government yang terhitung pada masa persidangan I dan II dalam tahun sidang 2014-2015 DPR-RI, untuk selanjutnya dilihat apakah terjadi suatu kebuntuan seperti yang diasumsikan oleh teoritisi sebelumnya mengenai relasi eksekutif-legislatif dalam konteks divided governnment.

B. Divided Government dalam Relasi Eksekutif-Legislatif Pemerintahan

Joko Widodo – Jusuf Kalla Seperti yang tertuang dalam pasal 20 2 UUD 1945 bahwa proses perundang-undangan mengharuskan adanya persetujuan bersama antara eksekutif dengan legislatif, sehingga relasi keduanya tidak saling menjauhi antar kewenangan. Eksekutif memiliki kekuasaan legislasi dalam proses perundang- 20 Wawancara dengan Hamdi Muluk. 95 undangan, seperti kekuasaan menyusun anggaran, mengajukan RUU, mengeluarkan dekrit. Selain itu legislatif juga memiliki kekuasaan untuk menyetujui usulan-usulan ekekutif seperti pengangkatan panglima TNI, Kapolri, dan Gubernur Bank Indonesia dan lain-lain. 21 Selain itu eksekutif pun juga tak memiliki kewenangan untuk membubarkan legislatif, kedua lembaga tersebut bekerja secara berkaitan. Keterkaitan tersebut menjadi sesuatu yang diharuskan dalam sistem politik di Indonesia, misalnya dalam hal pengesahan RUU menjadi UU. Baik eksekutif maupun legislatif pada dasarnya memiliki hak untuk mengajukan RUU. Jika RUU tersebut diajukan oleh presiden maka harus mencapai persetujuan DPR untuk kemudian dilanjutkan ke pembahasan dengan komisi terkait atas persetujuan pimpinan DPR. Begitu pula dengan RUU yang diajukan oleh DPR maka harus mencapai persetujuan oleh Presiden untuk kemudian dilanjutkan ke pembahasan dengan menteri terkait atas persetujuan presiden. Baik eksekutif maupun legislatif terlibat dalam setiap proses pembahasan hingga tahap akhir saat sidang paripurna DPR dan kemudian dikirim kembali ke presiden untuk di sahkan sebagai Undang- Undang, sehingga terjadi interaksi dua arah. 22 Dalam konteks Indonesia, relasi proaktif antara eksekutif dan legislatif dalam sistem presidensialisme multipartai adalah sesuatu yang diharuskan, keharusan tersebut diiringi dengan potensi bagi munculnya divided government bila eksekutif gagal membangun jaringan koalisi presidensial seperti yang sudah dijelaskan dalam bab III sehingga antara eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda. 21 Hanan, Menakar Presidensialisme, 122. 22 Hanan, Menakar Presidensialisme, 123. 96 Sebagai suatu resiko yang harus dijalankan dalam sistem prsidensialisme multipartai di Indonesia, maka dalam kondisi divided government, baik eksekutif dan legislatif tetap harus duduk bersama untuk saling menyepakati antar usulan kebijakan melalui pembicaraan tingkat II atau Sidang Paripurna DPR-RI. Tabel di bawah ini adalah beberapa relasi eksekutif-legislatif dalam pembicaraan tingkat II paripurna DPR RI yang terhitung sejak periode divided government itu terjadi Tabel IV.B.1 Relasi Eksekutif - Legislatif dalam Periode Divided Government No Materi Tanggal Konsensus 1 RUU Perubahan atas UU no 17 Rahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD 5 Desember 2014 Disetujui 2 RUU tentang Perubahan Atas Undang-undang No 27 Tahun 2014 tentang APBN-P 2015 13 Februari 2015 Disetujui 3 RUU tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota 20 Januari 2015 Disetujui 4 RUU tentang Penetapan Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah 20 Januari 2015 Disetujui 5 RUU tentang Perubahan terhadap UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota 17 Februari 2015 Disetujui 6 RUU tentang Perubahan terhadap UU No 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2014 tentang 17 Februari 2015 Disetujui 97 Pemerintah Daerah 7 Pembicaraan Tingkat II Pengajuan Nama Kapolri 15 Januari 2015 Disetujui Sumber: Diolah dari Sekretariat Jenderal DPR-RI Dibawah ini adalah penjelasan dari beberapa interaksi eksekutif-legislatif yang terjadi selama pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla berlangsung saat periode divided government yang dibagi menjadi dua kategori berdasarkan fungsi DPR yakni politik anggaran dan fungsi legislasi Rancangan Undang-Undang RUU. Fungsi pengawasan tidak dimasukan dalam penelitian ini karena fungsi pengawasan seperti penggunaan hak angket, hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat tidak digunakan selama periode divided government dalam penelitian ini. Pemilihan beberapa interaksi ini penulis lakukan atas beberapa pertimbangan seperti 1 kasus relasi eksekutif - legislatif yang dibahas mendapatkan perhatian publik 2 memiliki pengaruh yang signifikan bagi implementasi kebijakan pembangunan pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla, 3 berkaitan dengan proses polarisasi kuat yang sebelumnya tampak pada beberapa revisi UU yang dilakukan sebelum pelantikan presiden tanggal 20 Oktober 2014. Pemilihan atas dasar pertimbangan tersebut penting guna melihat tingkat viabilitas guna mendapatkan kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan.

1. Fungsi Budgeting dalam Politik Anggaran APBN-P 2015

Pembicaraan tentang politik anggaran dalam sistem presidensial adalah salah satu yang krusial untuk dibahas dan cukup menyita perhatian publik karena ini menyangkut tentang proses pendanaan dalam pelaksanaan program 98 pemerintah, terlebih pembicaraan tentang politik anggaran dirumuskan bersama antara eksekutif dan legislatif, yang dalam teori sistem presidensial dinilai akan berpotensi pada kebuntuan apabila dirumuskan dalam kondisi divided government. Dalam prosesnya mengenai politik anggaran, sudah dijelaskan dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2 dan 3 bahwa APBN diusulkan oleh presiden untuk dibahas bersama dengan DPR, apabila DPR tidak menyetujui rancangan yang diusulkan oleh Presiden, maka pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu. Oleh karenanya pembahasan APBN tetap melalui jalur konsesus antara eksekutif dan legislatif, meskipun pengajuan RAPBN adalah hak istimewa presiden guna menjalankan program-programnya. Perumusan APBN pada dasarnya terbagi menjadi beberapa tahap, dimulai saat membangun level sumber daya yang tersedia untuk tahun anggaran berikutnya, hal tersebut diaktori oleh Menteri Keuangan yang mengambil asumsi- asumsi makro ekonomi dan perkiraan pembiayaan dalam anggaran, meskipun begitu DPR tetap dapat menggunakan kewenangannya untuk mengubah asumsi makro ekonomi tersebut. Setelah RAPBN diserahkan kepada pimpinan DPR maka RAPBN tersebut dibahas oleh Badan Banggaran Banggar dan masing-masing komisi terkait dengan mitra kerja pemerintah. Saat pembahasan di komisi DPR, para legislator dapat mengajukan beberapa pertanyaan kepada pemerintah terkait pendanaan yang diajukan, bila mereka tidak sepakat maka para legislator dapat memberikan tanda bintang sebagai tanda bahwa rencana anggaran tersebut belum disetujui. Jika komisi sudah menyelesaikan kesepakatan dengan mitra kerja pemerintah maka RAPBN diserahkan kembali ke Banggar dan kemudian diproses