Divided Government dalam Pendekatan Koalisi Presidensial
85
government dalam pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla melalui pendekatan
koalisi presidensial.
Kegagalan Membangun Koalisi Presidensial
Sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam bab II, pendekatan koalisi presidensial mengharuskan adanya sikap presiden yang akomodatif dan
kemampuan komunikasi politik yang baik guna mengajak partai-partai lain untuk bergabung ke dalam struktur pemerintahan. Hal itu tentu mendapatkan feedback
yakni dukungan pemerintah di legislatif, setidaknya untuk mencapai angka single majority 50 + 1. Menurut pendekatan koalisi presidensial, hal ini menjadi
persoalan penting untuk menjaga relasi eksekutif dan legislatif nantinya akan berjalan baik.
Namun, mekanisme ini yang tidak terlihat dalam proses penyusunan arsitektur kabinet pemerintahan Joko Widodo
– Jusuf Kalla. Terlihat dari tidak adanya perubahan drastis dalam postur koalisi antara koalisi pemenangan presiden
dan koalisi pemerintahan, kecuali hanya masuknya PPP dari yang sebelumnya berasal dari Koalisi Merah Putih, namun berpindahnya PPP tersebut bukan karena
kecakapan eksekutif dalam mengajak koalisi, namun lebih dikarenakan ketidakpuasan PPP terhadap internal Koalisi Merah Putih karena tidak dilibatkan
dalam proses pencalonan pimpinan MPR.
8
Terlebih pada saat itu juga terjadi konflik di internal PPP antara kubu Romahurmuzy dengan kubu Suryadharma Ali
yang membuat PPP dengan mudah meninggalkan warisan saat dipimpin oleh
8
―Alasan PPP Gabung Koalisi Indonesia Hebat,‖ Liputan 6, 11 Oktober 2014. http:news.liputan6.comread2117687alasan-ppp-gabung-koalisi-indonesia-hebat Diunduh pada
5 April 2015.
86
Suryadharma Ali yang bergabung dengan Koalisi Merah Putih karena Suryadharma Ali diberhentikan dari jabatan ketua umum karena tersangkut
dugaan korupsi di Kementerian Agama.
9
Meskipun ditambah dengan masuknya PPP di koalisi pemerintah, tetap tidak mencapai dukungan legislatif terhadap
eksekutif di atas single majority 50 + 1. Sehinggga oposisi pemerintah bisa dengan mudah memenangkan proses pemilihan pimpinan DPR dan MPR seperti
yang sudah dijelaskan pada bab III. Upaya untuk memperkuat bangunan koalisi presidensial tidak terlihat dalam
proses lobby-lobby yang dilakukan eksekutif, dalam hal ini PDI-P sebagai partai pemenang pemilu legislatif dan pemilu presiden. Hal itu disebabkan karena faktor
elit yang berkuasa, yakni Megawati yang tidak melakukan pembukaan diri terhadap pendekatan-pendekatan yang datang dari luar, salah satunya yakni Partai
Demokrat. Ini yang menjadi penyebab kekecewaan sebagian besar petinggi Partai Demokrat terhadap PDI-P karena seringkali pendekatan yang dilakukan oleh
Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua umum Partai Demokrat diabaikan oleh Megawati sebagai pemegang otoritas di PDI-P.
10
Sebagimana dalam pengakuan yang disampaikan, Ulil Abshar Abdalla mengatakan:
―SBY itu kan pada awalnya memang setuju dengan Jokowi dan ingin sekali koalisi dengan PDIP. Hal itu tidak terwujud karena ada faktor Megawati.
SBY sangat ingin untuk damai dengan Megawati dan mengakhiri
9
Terjadi konflik di internal PPP yang diantaranya yakni terjadi aksi saling pecat antara pimpinan partai. Setelah SDA diberhentikan dari PPP dikarenakan statusnya sebagai tersangka
dalam kasus korupsi di Kementerian Agama. Karena itu, SDA memecat balik 3 kader yang telah memberhentikannya. Mereka adalah Wakil Ketua PPP Emron Pangkapi dan Suharso Monoarfa,
serta Sekjen PPP Romahurmuziy. Ketiganya dikeluarkan dari kepengurusan di DPP PPP sekaligus
keanggotaan. Lihat, ―Suryadharma Ali Pecat Balik Para Petinggi PPP,‖ Liputan 6, 26 Oktober 2014
http:news.liputan6.comread2104613suryadharma-ali-pecat-balik-para-petinggi-ppp, Diunduh pada 21 April 2015.
10
Wawancara`dengan Ulil Abshar Abdalla, Ketua DPP Partai Demokrat bidang Kajian dan Strategis Kebijakan, tanggal 5 April 2015.
87
perseteruan implisit diantara kedua tokoh ini. Lagipula SBY juga realistis, kalau misalnya ada tokoh yang tak mungkin untuk dikalahkan. Maka ya
sebaiknya kita bergabung disitu. Kan menurut survey publik saat itu Jokowi yang paling unggul. Selain itu juga ada masalah faktor pribadi SBY yang
tak suka dengan Prabowo. Tapi pendekatan yang dilakukan oleh SBY diabaikan oleh Megawati. Dan itu yang membuat beberapa kader Partai
Demokrat dibuat jengkel.
‖
11
Ini yang menjadi kritik oleh pengamat politik seperti Philips J Vermonte
terhadap sikap tertutup yang dilakukan PDI-Perjuangan dibawah komando Megawati yang seharusnya PDI-P sebagai partai pemenang pemilu bisa bersikap
lebih progresive ketimbang defensive terhadap partai-partai lain,
12
karena tidak dipungkuri dalam sistem presidensial-multipartai, dukungan yang datang dari
partai lain menjadi penting guna melancarkan pemerintah dalam menjalankan program kerjanya, sebagaimana yang diargumentasikan oleh William R. Liddle.
―Bagi saya, dalam sistem presidensial yang juga multi-partai seperti Indonesia, seorang presiden memerlukan dukungan mayoritas di DPR untuk
memerintah secara efektif. Jadi masalahnya bukan polarisasi antara KIH dan KMP, melainkan bahwa KIH bukan merupakan mayoritas di DPR.
‖
13
Meskipun, disadari bahwa ketertutupan Jokowi dan PDIP dalam
membangun kekuatan koalisi presidensial, juga dipengaruhi oleh partai-partai yang mendukungnya sejak awal. Meskipun, partai yang bergabung di Koalisi
Merah Putih secara masing-masing berupaya melakukan pendekatan terhadap Jokowi. Seperti yang yang diutarakan oleh salah satu Pokja Tim Transisi Jokowi-
JK, Wandy N. Tuturoong.
11
Wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla.
12
―Laporan: Membahas Arsitektur Kabinet Jokowi,‖ Freedom Institute, 4 Oktober 2014 http:www.freedom-institute.orgindex.php?option=com_contentview=articlei d=293:laporan-
diskusi-publik-membahas-arsitektur-kabinet-jokowicatid=52:laporan-diskusi. Diunduh pada 23 Maret 2015.
13
Wawancara dengan William R. Liddle, Professor bidang Ilmu Politik, Ohio State University, USA, tanggal 5 Februari 2015.
88
―Mengapa koalisi Jokowi tak mencapai single majority, itu kan proses yang tidak sepenuhnya Jokowi yang menentukan. Itu proses ditentukan oleh
partainya dan partai yang mendukungnya sejak awal. Dan juga ada reaksi dari KMP kan. KMP ini kan agak susah membaca arah politiknya saat
dipermukaan dan yang tidak dipermukaan. Kalau di permukaan kan mereka kumpul terus seperti menunjukan loyalitas. Walaupun sebenarnya saya tahu
dibalik itu bahwa orang-orang KMP itu secara masing-masing juga ikut menghubungi Jokowi.
‖
14
Ketidakcakapan komunikasi politik PDI-P sebagai komando dari Koalisi
Indonesia Hebat untuk mencapai dukungan single majority 50+1 membuat posisi eksekutif berada dalam posisi rawan deadlock dalam pengambilan
keputusan bersama legislatif seperti yang digambarkan oleh Jose Antomio Cheibub dalam gambar IV.A.1 diatas. Hal tersebut terjadi karena angka koalisi
pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla hanya mencapai angka 43,6 kursi di
legislatif, kurang memenuhi syarat untuk mencapai single majority 50+1 sebagaimana yang tergambar dalam tabel IV.A.2 dibawah ini.
Tabel IV.A.1 Komposisi Kursi Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih di DPR
dalam periode divided government.
Koalisi Indonesia Hebat Pemerintah
Koalisi Merah Putih Luar Pemerintah
PDI-P: 109 Kursi Golkar: 91 Kursi
PKB: 47 Kursi Gerindra: 73 Kursi
Nasdem: 35 Kursi PAN: 49 Kursi
Hanura: 16 Kursi PKS: 40 Kursi
PPP: 39 Kursi Demokrat: 61 Kursi
Total: 246 Kursi 43,9 Total: 314 56,1
Sumber: Diolah dari berbagai sumber PPP: Terjadi dualisme kepemimpinan PPP, yakni PPP versi Romahurmuzy dan
PPP versi Djan Faridz. Untuk menyelesaikan problematika tersebut, penulis merujuk regulasi yang tertera dalam pasal 3 dan 4 UU No 2 Tahun 2008 tentang
14
Wawancara dengan Wandy N Tuturoong, Pokja Lembaga Kepresidenan Tim Transisi Jokowi-JK, tanggal 31 Maret 2015.
89
Partai Politik bahwa partai yang sah adalah yang mendapatkan legitimasi dari Kementerian Hukum dan HAM. Mengingat, pada tanggal 29 Oktober 2014
Kementerian Hukum dan HAM telah mengesahkan PPP versi Romuharmuzy sebagai pihak yang sah melaui SK No M.HH-07.AH.11.01 Tahun 2014,
mengingat SK Menkumham tersebut berlaku sejak tanggal diputuskan, terlepas dari dinamika politik dan hukum yang berkembang selanjutnya. Sehingga penulis
bisa mengklasifikasikan PPP sebagai bagian dari Koalisi Indonesia Hebat dengan landasan keputusan hukum mengikat tersebut. Mengingat, sebelumnya
Romahurmuzy juga mendeklarasikan partainya sebagai bagian dari KIH. Selain itu indikator lain yang memperkuat PPP sebagai bagian dari KIH adalah saat
proses pemilihan pimpinan MPR-RI periode 2014-2019 yang bergabung pada paket pimpinan yang diusung KIH dan keberadaan kader PPP di kabinet
pemerintahan juga mengindikasikan keberadaan PPP sebagai bagian dari pemerintah. Meskipun disadari ada sebagian anggota partai yang mengaku masih
menjadi bagian dari Koalisi Merah Putih, seperti mantan ketua umum PPP, Suryadharma Ali. Namun, sebetulnya bila dilihat secara matematis dari jumlah
kursi PPP di DPR yang tidak signifikan atau hanya 39 kursi sehingga keberadaan PPP tidak menjadi aktor yang menentukan bagi muncul dan berakhirnya periode
divided government, karena dengan bergabungnya PPP di KIH tetap tidak membuat partai koalisi pemerintahan the ruling coalition parties mencapai
single majority 50+1 sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk mencegah terjadinya divided government.
Partai Demokrat: Terjadi perdebatan di anggota Partai Demokrat terkait arah koalisi yang ingin dilakukan. Berkali-kali SBY melakukan pendekatan ke PDI-P
namun berkali-kali pula diabaikan oleh Megawati. Meskipun, Partai Demokrat seringkali mengaku sebagai pihak ketiga, tetapi penulis tetap mengklasifikasikan
Partai Demokrat sebagai bagian diluar pemerintahan, hal itu dibuktikan dari tidak adanya anggota Partai Demokrat yang duduk dijajaran kabinet dan untuk
mempermudah pengklasifikasian dalam penelitian ini, penulis memasukan Partai Demokrat sebagai bagian dari KMP, terlepas dari ketidaksetujuan penggunaan
nomenklatur KMP oleh sebagian anggota Partai Demokrat.
Partai Golkar: Terjadi dualisme kepemimpinan Golkar pasca Munas. Yakni Golkar versi ARB dan Golkar versi Agung Laksono. Untuk menyelesaikan
problematika pengklasifikasian ini, penulis mengacu pada mekanisme hukum yang tertera dalam UU No 2 tahun 2008 tentang Partai Politik dalam pasal 3 dan 4
bahwa partai politik yang sah adalah partai yang mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. Sehingga, Golkar dengan sendirinya berada
diposisi KMP saat kepengurusan ARB sebelum SK Menkumham
No:
M. HH- 01.AH.11.01 diterbitkan dan SK tersebut berlaku sejak tanggal diputuskan.
Mengingat, Agung Laksono yang dimenangkan dalam SK Menkumham tersebut mendeklarasikan dukungannya terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Meskipun pada
tanggal 18 Mei 2015, PTUN menunda SK Menkumham tersebut dan putusan PTUN tidak bersifat inkrahct. Terlepas dari proses pengadilan yang terjadi
setelahnya, maka per tanggal 23 Maret 2015 relasi eksekutif-legislatif sudah menunjukan berakhirnya periode divided government. Terkait dengan proses
90
pengadilan yang terjadi setelah SK Menkumham dikeluarkan, itu adalah fenomena yang terjadi setelahnya dan tidak menjadi objek kajian dalam penelitian
ini.
Berubahnya arah koalisi dalam sistem presidensialisme-multipartai memungkinkan periode divided government tidak terjadi dalam waktu yang lama.
Hal ini yang sebagaimana dikatakan oleh David Altman bahwa ada beberapa faktor yang menentukan solid atau tidaknya koalisi dalam sistem presidensial,
15
diantaranya: 1 afinitas ideologis antara presiden atau kepala koalisi dengan kelompok partai politik lainnya, 2 Penilaian rakyat terhadap kepala koalisi atau
presiden 3 afiliasi psikologis atau kedekatan pimpinan partai politik terhadap pimpinan partai koalisi 4 pertimbangan terhadap pemilihan umum di masa
mendatang 5 keadilan insentif dalam perjanjian koalisi. Namun, penulis tidak sampai sejauh menjelaskan secara detail pertimbangan dan dinamika yang terjadi
dari masing-masing anggota partai dalam proses perubahan arah koalisi. Sebagaimana yang diutarakan oleh Jose Antonio Cheibub, penulis hanya ingin
menegaskan bahwa koalisi dalam sistem presidensial tidak cukup memiliki kesolidan yang kuat jika dibanding sistem parlementer.
16
Hal itu juga tercermin pada fenomena berpindahnya beberapa partai politik dari yang sebelumnya berada
di Koalisi Merah Putih ke Koalisi Indonesia Hebat, yang didalamnya juga dipengaruhi oleh preferensi ketua partai.
17
15
David Altman, ―The Politics of Coalition Formation and Survival in Multiparty Presidential Democraties
,‖ The International Journal for the Study of Political Parties and Political Organizations, Vol 6. No 3, Sage Publications, 2000: 259.
16
Jose Antonio Cheibub dan Fernando Limongi, ―Democratic Institutions and Regime Survival: Parliamentary and Presidential Democracies Reconsidered
,‖ Forthcoming in Annual Review of Political Science, 2002, 4.
17
Terjadi tarik menarik arah koalisi di Internal partai politik, misalnya Golkar dibawah ketua Agung Laksono yang memiliki preferensi terhadap Koalisi Indonesia Hebat dan Golkar versi
91
Terlepas dari ketidaksolidan koalisi dalam sistem presidensial, kembali kepada gambar IV.A.1 bahwa eksekutif berada dalam kendalinya sendiri saat
berhubungan dengan legislatif apabila berhasil mengakomodir partai-partai setidaknya melewati batas M atau 50 dari skala 0-100 jumlah kursi yang akan
dibagikan kepada partai-partai sebagai feedback koalisi. Sedangkan dalam periode divided government, Joko Widodo
– Jusuf Kalla hanya mampu mencapai angka koalisi sekitar 46,48 berdasarkan perolehan suara saat pemilihan legislatif atau
43,9 dukungan berdasarkan perolehan kursi partai pendukung di DPR. Jika dilihat melalui teoritisi Cheibub, maka pemerintahan Joko Widodo
– Jusuf Kalla diprediksi akan mengalami jalan sulit atau dalam potensi deadlock dalam
membangun relasi dengan legislatif yang dikuasai oleh pihak oposisi. Selain itu, meskipun sebelumnya Partai Demokrat seringkali mengaku
berada dipihak ketiga, atau tidak berada dalam Koalisi Indoneia Hebat dan Koalisi Merah Putih, penulis tetap mengklasifikasikan Partai Demokrat sebagai pihak di
luar koalisi pemerintahan, hal ini dikarenakan dalam pendekatan koalisi presidensial fokusnya adalah peran Presiden yang memiliki kewenangan untuk
memerintah terhadap keberadaan banyak partai di legislatif, sedangkan Partai Demokrat tidak memiliki ikatan koalisi tersebut yang membuat Presiden tidak
memiliki wewenang terhadap arah kebijakan Partai Demokrat karena bukan
Aburizal Bakrie yang memiliki preferensi terhadap Koalisi Merah Putih. Begitu juga halnya dengan PPP versi Romahurmuzy yang memiliki preferensi terhadap Koalisi Indonesia Hebat dan
PPP versi Djan Faridz yang memiliki preferensi terhadap Koalisi Merah Putih. Namun untuk menyelesaikan problematika dualisme yang menyulitkan penulis dalam proses klasifikasi, penulis
merujuk pada legitimasi yang tertuang dalam SK Menkumham. Mengingat berdasarkan UU No 2 Tahun 2008 dijelaskan bahwa partai yang sah adalah partai yang mendapatkan legitimasi dari
Kemenkumham, Mengingat SK tesebut bersifat final and binding serta berlaku sejak tanggal diputuskan. Terkait perkara yang terjadi setelah SK Menkumham tersebut diterbitkan, itu adalah
fenomena yang terjadi selanjutnya dan tidak menjadi objek kajian dalam penelitian ini.
92
bagian dari partai pemerintah yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat. Begitu pula yang disampaikan oleh Ulil Abshar Abdhalla bahwa sikap Partai
Demokrat terhadap suatu pembahasan bergantung pada persoalan yang dibahas, apabila ide dan gagasan pemerintah baik dan sesuai dengan ekspektasi Partai
Demokrat akan didukung, begitu pula sebaliknya.
18
Sehingga penulis tetap mengklasifikasikan Partai Demokrat sebagai bagian dari Koalisi Merah Putih atau
lebih tepatnya di luar pemerintah pemerintahan. Kegagalan eksekutif dalam membangun koalisi presidensial menjadi faktor
yang membuat oposisi menguasai pimpinan legislatif dan memiliki kekuatan mayoritas sehingga terjadilah divided government yang dalam studi-studi
presidensialisme berpotensi akan terjadinya tarik menarik kepentingan dan berujung kondisi deadlock karena sulitnya eksekutif dalam membangun
kesepakatan dengan legislatif. Hal tersebut senada dengan William R Liddle yang mengatakan:
―Divided government yang dialami sekarang adalah konsekuensi dari kegagalan Presiden Terpilih Jokowi membuat koalisi mayoritas di DPR.
Tentu saya khawatir bahwa tanpa mayoritas Jokowi sulit sekali memerintah secara efektif. Sekali lagi, SBY tidak menghadapi divided government,
meski parlemennya multi-partai sebab dia memang mengerti dari awal bahwa dia memerlukan koalisi mayoritas.
‖
19
Oleh karenanya dalam penelitian ini, pendekatan koalisi presidensial menjadi kunci dalam melihat apakah suatu pemerintahan terjadi divided atau tidak,
sebagaimana yang digambarkan oleh Robert Elgie mengenai tiga gelombang studi presidensialisme pada bab II penelitian ini.
18
Wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla.
19
Wawancara dengan William R. Liddle.
93
Selain itu, ada juga yang menganggap bahwa divided government adalah wujud dari prinsip check and balances yang sebagaimana dibangun dalam
landasan filosofis trias politica agar tidak terjadi kekuasaan yang sewenang- wenang. Menurut penulis anggapan tersebut tidak seutuhnya tepat. Dalam konteks
sistem presidensial, tujuan yang ingin dicapai memang untuk memperkuat prinsip check and balances. Beberapa aspek terkait pemisahan kekuasaan seperti tugas
eksekusi yang dijalankan oleh pemerintah dan tugas kontrol dilakukan oleh legislatif. Sehingga prinsip check and balances termaktub dalam peran yang
terpisah antara eksekutif dan legislatif, hal itu yang tertuang dalam sistem presidensialisme murni sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab II. Namun
yang menjadi persoalan adalah identitas partai atau kelompok yang membuat fenomena divided government dipandang memiliki potensi kebuntuan. Meskipun
partai yang duduk di legislatif secara filosofos adalah mewakili rakyat, tetapi kelompok tersebut memiliki ciri khas seperti kepentingan, identitas, platform dan
ciri programnya masing-masing dan sebagai entitas kelompok tentu akan selalu memperjuangkan apa yang diyakini. Sehingga tetap terjadi dikotomi antara
eksekutif dan legislatif saat terjadi divided government, terkebih jika dikotomi tersebut dihubungkan dalam proses relasi eksekutif-legislatif yang didalamnya
menyangkut mekanisme persetujuan bersama. Ini yang kemudian banyak analis yang mengatakan untuk menghindari kebuntuan, maka antara eksekutif dan
legislatif dianjurkan untuk dikuasai oleh kelompok dengan identitas yang sama, tanpa mengurangi prinsip check and balances. Hal yang sama juga diakui oleh
94
Hamdi Muluk jika dalam pendekatan psikologis, pihak yang berbeda identitas cenderung mudah bersitegang, seperti yang dikutip dalam wawancara berikut:
―Kalau dalam psikologis diakui kalau seseorang atau kelompok berbeda identitas menang gampang musuhan, walaupun tidak dalam sudut pandang
objektif. Tetapi kan itu melalui sudut pandang subjektif. Ibarat: ―dia kan bukan orang kita, lalu kenapa kita harus dukung dia? kira-kira begitu.
‖
20
Sehingga, terminologi check and balances dengan divided government memiliki pendefinisian yang berbeda. Apabila check and balances lebih kepada persoalan
rule aturan yang harus ditempuh antara eksekutif dan legislatif dalam pengambilan kebijakan, sedangkan divided government lebih kepada persoalan
wacana relasi eksekutif-legislatif yang berbasis pada identitas atau kepentingan yang saling kooperatif atau konfrontatif. Pada bagian selanjutnya, penulis akan
mengeksplorasi relasi eksekutif dan legislatif dalam periode divided government yang terhitung pada masa persidangan I dan II dalam tahun sidang 2014-2015
DPR-RI, untuk selanjutnya dilihat apakah terjadi suatu kebuntuan seperti yang diasumsikan oleh teoritisi sebelumnya mengenai relasi eksekutif-legislatif dalam
konteks divided governnment.