Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

5 aspek pengalaman intervensi militer, sistem presidensialisme juga memiliki persentase yang lebih besar. Berikut adalah tabel penjelasannya: Tabel I.A.2 Perbandingan Sistem Presidensialisme dengan Parlementer dalam Konteks Intervensi Militer Regime Type During Democracy Pure Parlemantary Pure Presidentialism Semi- Presidentialism Total non OECD countried democratic for at least one year during 1973-1989 28 25 Number of Countries from Above set Having Experience a Military Coup While a Democracy 5 10 Military Coup Susceptibility Rate 18 40 NA Sumber: Stephan dan Skatch , Constitutional Framework, 12. Berdasarkan tabel diatas, intervensi militer pada sistem presidensialisme mencapai angka 40 pada interval tahun 1973 – 1989, sedangkan dalam sistem parlementer hanya sekitar 18. Hal tersebut terjadi karena sistem presidensialisme dalam konteks pemisahan kekuasaan memungkinkan terjadinya kegaduhan saat eksekutif tidak mendapatkan dukungan kuat di legislatif, sehingga berpotensi pada terjadi krisis dan pada kondisi tersebut kekuatan militer bisa saja muncul ke permukaan disaat eksekutif dan legislatif memiliki ketidaksepahaman yang menyebabkan destabilitas pemerintahan. 11 11 Stephan dan Skatch, ―Constitutional Framework,‖ 19. 6 Selain dua data tersebut, Stephan dan Skatch juga menunjukan betapa sulitnya pengalaman eksekutif dalam sistem prsidensialisme untuk mendapatkan dukungan mayoritas di lembaga legislatif. Tabel I.A.3 dibawah ini menjelaskan persentase kemampuan eksekutif untuk mendapatkan dukungan mayoritas di legislatif dalam sistem presidensialisme dan sistem parlementer. Tabel I.A.3 Perbandingan Sistem Presidensialisme dengan Parlementer dalam Konteks Kemampuan Eksekutif dalam Memperoleh Kekuatan Dominan di Legislatif Total Year of Democracy Total Democracy Year in Which Executive Had a Majority Legislative Percentage of Democracy year in Which Executive Had a Majority Legislative Parliamentary Years 208 173 83 Presidential Years 122 58 48 Sumber: Stephan dan Skatch , Constitutional Framework, 16. Dengan menggunakan tiga indikator yakni: 1 intervensi milier, 2 keberlangsungan sistem demokrasi dan 3 kemampuan eksekutif mendapatkan dukungan mayoritas, studi Stephan dan Skach dalam rentan waktu tahun 1973- 1989 berkesimpulan bahwa sistem presidensialisme yang awalnya bertujuan untuk membuat lembaga eksekutif yang kuat, justru berakhir dengan terjadinya kegaduhan pemerintahan. Berbeda hal dengan sistem parlementer yang mana kepala pemerintahan merupakan mandat penuh yang diberikan oleh parlemen, 7 sehingga mekanisme konstitutional dalam sistem parlementer mampu meminimalisir kegaduhan dalam relasi ekeskutif-legislatif. 12 Studi Stephan dan Skach sebagaimana yang dikutip diatas, banyak merujuk fenomena di Amerika Latin yang sebelumnya juga dituduhkan oleh Scott Mainwaring dan Mathew Shugart yang melihat fokus pada maraknya studi presidensialisme pada kawasan Amerika Latin. Berbeda dengan arus mainstrem para peneliti-peneliti sebelumnya yang mengidentifikasikan studi presidensialisme pada kawasan Amerika Latin, penelitian ini berupaya untuk menganalisa sistem presidensialisme di Indonesia, yang posisinya jauh dari kawasan Amerika Latin, yang cukup unik karena dikombinasikan dengan sistem multipartai, 13 kombinasi ini yang menurut Scott Mainwaring sebagai sesuatu yang sulit dan complicated. 14 Dalam konteks Indonesia, perkembangan studi presidensialisme dalam satu dekade terakhir mengalami perdebatan di kalangan ilmuan mengenai berhasil atau tidaknya berjalannya sistem presidensialisme-multipartai di Indonesia. 15 Karena 12 Stephan dan Skatch, ―Constitutional Framework,‖ 18. 13 Seperti yang sudah diketahui, dalam pasal 4 UUD 1945 digarisbawahi bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensialisme, pilihan tersebut menjadi salah satu kesepakatan politik di sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR yang pada saat yang sama sejak sebelum pemilu 1999 telah berkembang sistem multipartai ekstrim sebagai konsekuensi logis meluasnya kebebasan berserikat. Setelah tumbangnya orde baru, orang beramai-ramai untuk mendirikan partai politik. Hal tersebut menjadi tuntutan era reformasi yang meniscayakan adanya jumlah partai yang lebih dari dua partai dominan, sistem ini merupakan produk dari struktur masyarakat yang majemuk, baik secara kultural maupun secara sosial ekonomi. Sehingga pilihan politik terhadap presidensialisme harus di impementasikan dalam konteks sistem multipartai, sehingga kombinasi yang antara presidensialisme dan sistem multipartai menjadi realitas politik yang tak terhindarkan pasca amandemen konstitusi UUD 1945. Lihat, disertasi Valina Singka Subekti, ―Menyusun Konstitusi Transisi; Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945 ,‖ dalam A.M Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945 Jakarta: Penerbit Kompas, 2011 hlm xiii. 14 Scott Mainwaring dan Matthew Shugart, ―Juan Linz, Presidentialism and Democracy: A Critical Appraisal ,‖ The Hellen Kellogg Institute for International Studies, University of Notre Dame, Working Paper 200, Juli 1993, 26. 15 Terjadi perdebatan mengenai berhasil atau tidaknya sistem presidensialisme multipartai diterapkan di Indonesia. Pertama , Hanta Yuda dalam ―Presidensialisme Setangah Hati; Dari 8 hal itu tidak saja terkait dengan problematika teoritis tetapi juga menyangkut persoalan efektifitas pemerintahan. Namun studi tentang berhasil atau tidaknya sistem presidensialisme di Indonesia hanya berkisar pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono saja, sebagaimana nanti yang akan dijelaskan pada bagian tinjauan pustaka dalam penelitian ini. Pengalaman Indonesia dalam sistem presidensialisme-multipartai pasca amandemen UUD 1945 selalu menghasilkan partai koalisi pemerintahan the ruling coalition party diatas single majority 50+1. Sehingga ini yang menurut Djayadi Hanan menjadi salah satu faktor mengapa sistem presidensialisme- multipartai di Indonesia dapat berjalan, hal itu dikarenakan terpenuhinya syarat bagi sikap akomodatif dari presiden terhadap banyak partai di legislatif. 16 Dengan adannya sikap akomodatif tersebut maka membuat eksekutif dan legislatif tidak mengalami kesulitan dalam membangun kesepakatan, meskipun dalam realitanya seringkali partai yang tergabung dalam koalisi pemerintahan sering berbeda pendapat tetapi selalu berakhir dengan kesepakatan bersama dan tanpa terjadi Dilema ke Kompromi‖ menunjukan bahwa sistem presidensialisme multipartai di Indonesia rentan terjadi konflik kelembagaan dan tarik menarik kewenangan antara Presiden dengan DPR sehingga berujung pada adanya kewenangan Presiden yang dipangkas oleh DPR sebagai dampak dari tarik menarik kepentingan dengan banyak partai. Kedua, Djayadi Hanan dalam disertasinya ―Making Presidentialism Work; Legislative and Executive Interacton in Indonesian Democracy ”, terj Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia. Temuannya menunjukan bahwa hubungan eksekutif dan legislatif tetap stabil. Hal tersebut dikarenakan praktek politik mengisyaratkan adanya lobi-lobi antara eksekutif dan legislatif dalam bentuk koalisi. Presidensialisme Multipartai berhasil diterapkan dengan adanya karakter presiden yang mau berkompromi sehingga agenda- agenda kebijakan eksekutif tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan persetujuan legislatif. 16 Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia; Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia Bandung: Penerbit Mizan, 2014, 17. 9 suatu deadlock. Sikap akomodatif tersebut seperti yang dipaparkan oleh Kawamura dalam tabel 1.A.4 dibawah ini. 17 Tabel I.A.4 Relasi Eksekutif – Legislatif Periode 1997 - 2009 Periode Habibie Gus Dur Megawati SBY SBY Pemilu 1997 1999 2004 2009 Presidensiali sme Dominasi Eksekutif Dominasi Legislatif Perimbangan tiga cabang kekuasaan eksekutif-legislatif- yudikatif Multiprtai Predominan Pluralisme Partai penguasa 65 10,2 30,6 10,2 26,8 Partai Presiden Wapres ---- 40,8 42,1 33,3 26,8 Partai Koalisi Pemerintaha n 97,8 94,8 83,2 73,4 75,1 Jumlah Partai Koalisi 2 Partai 1 Faksi 7 partai 1 Faksi 5 Partai 1 Faksi 7 Partai 6 Partai Komposisi Partai Koalisi Golkar PPP Militer PKB, PDIP. Golkar, PAN, PPP, PBB, PK, Militer PDIP, PPP, PBB, PAN, Golkar, Militer Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PBB, PKPI, PPP Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, PKB Sumber: Kawamura, Is Indonesian President strong or weak?, 17. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa persentase partai koalisi pemerintahan di masing-masing presiden selalu mencapai angka diatas single majority 50 + 1 atau lebih dari lima partai pendukung di legislatif, tidak terkecuali juga setelah pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kali pada tahun 2004. 17 Koichi Kawamura, ―Is Indonesian President strong or weak?,‖ Institute of Developing Economic Disscusion Paper, No 235, Japan, Mei 2010, 18. 10 Sehingga tuduhan akan kesulitan presiden dalam membangun partai koalisi pemerintahan the ruling coalition party dengan angka diatas single majority 50+1 atau kekuatan mayoritas cenderung tidak terbukti pada masa era reformasi hingga periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, atau komposisi antar eksekutif dan legislatif sering disebut dengan unified government. Dalam penelitian ini, karena berbeda dengan periode kepresidenan sebelumnya, sejak dilantik pada 20 Oktober 2014 pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla justru melahirkan kekuatan minoritas di legislatif dan dikuasainya eksekutif dan legislatif oleh dua kelompok yang berbeda, seperti dugaan yang dipaparkan para teoritisi sebelumnya yang mengatakan bahwa sistem presidensialisme-multipartai berpotensi melahirkan pemerintahan terbelah divided government, 18 dengan indikator pengukuran melalui persentase partai koalisi pemerintahan the ruling coalition parties yang tak mencapai single majority 50+1. Dibawah ini adalah tabel penjelasan mengenai komposisi koalisi pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Tabel I.A.5 Komposisi Koalisi Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla Periode Joko Widodo – Jusuf Kalla Pemilu 2014 Presidensialisme Perimbangan tiga cabang kekuasaan eksekutif-legislatif-yudikatif Sistem Multipartai Pluralisme Partai Penguasa 18,95 18 Divided Government adalah suatu kondisi dimana eksekutif gagal mendapatkan kekuatan mayoritas di legislatif, sehingga antara eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda. Lihat, Robert Elgie, ed., Divided Government in Comparative Perspective New York: Oxford University Press Inc, 2001, v. 11 Partai Presiden Wapres 18,95 Partai Koalisi Pemerintahan 46,48 Jumlah Partai Koalisi 5 Partai Komposisi Partai Koalisi PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, PPP Sumber: Diolah dari berbagai sumber terjadi dualisme kepengurusan didalam PPP, namun penulis mengklasifikasikan PPP sebagai bagian dari Koalisi Pemerintahan. Hal tersebut berdasarkan mekanisme hukum yang termaktub dalam SK Menkumham yang menyatakan bahwa kepengurusan PPP yang sah adalah PPP versi Romahurmuzy. Yang sebelumnya menyatakan bergabung ke dalam Koalisi Indonesia Hebat pada saat proses pemilihan piminan MPR-RI. Selain itu, keberadaan kader PPP dalam kabinet pemerintahan Joko Widodo juga memperkuat posisi PPP yang masuk ke dalam koalisi pemerintahan. Dalam penelitian ini, penulis tidak mengacu pada preferensi seorang presiden terhadap partainya sendiri the ruling party untuk mengukur terjadinya divided government, tetapi berdasarkan partai koalisi pemerintah the ruling coalition parties untuk selanjutnya dihadapkan dengan kekuatan partai non- pemerintah the opposition coalition parties di legislatif. Sehingga, divided government terjadi apabila jumlah kursi the ruling coalition parties lebih rendah dari the opposition coalition parties di DPR. Oleh karenanya, berdasarkan kacamata tersebut, maka ini merupakan kali pertama Indonesia di era reformasi mengalami divided government. Melalui tabel I.A.5 diatas, total partai koalisi pemerintahan the ruling coalition parties Joko Widodo – Jusuf Kalla hanya mencapai 46,48 atau tidak mencapai angka single majority 50+1 yang berarti ini menandakan kekuasaan mayoritas legislatif dikuasai oleh pihak oposisi pemerintah, yakni Koalisi Merah Putih, atau pihak yang menjadi rival Joko Widodo – Jusuf Kalla pada saat pemilihan presiden 2014, mengingat Pilpres 2014 hanya diikuti dua pasang 12 kandidat dan melahirkan polarisasi kuat dua kubu di legislatif yakni Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih, yang juga sempat terjadi adanya dualisme pimpinan DPR yang berbasis pada pola koalisi tersebut. 19 Polarisasi tersebut juga terjadi pada antar lembaga eksekutif dan legislatif yang dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda atau dinamakan sebagai divided government. Penulis membatasi periode divided government ini dimulai sejak Presiden dan DPR hasil pemilu 2014 dilantik sampai sesaat setelah pernyataan Ketua Umum Golkar versi Agung Laksono keluar dari Koalisi Merah Putih. 20 Pembatasan periode tersebut didasarkan pada konsepsi divided government itu sendiri. Mengingat, sebagai pemenang kedua pada Pemilihan Legislatif 2014 yang mencapai suara 14,75 atau memiliki jumlah 91 kursi di DPR, membuat arah koalisi Golkar memiliki dampak yang signifikan bagi muncul atau berakhirnya 19 Sebelumnya pernah terjadi juga perpecahan dalam tubuh DPR pada tahun 2004, kala itu koalisi di DPR terpecah menjadi dua kubu, yakni koalisi kebangsaan dan koalisi kerakyatan. Koalisi kebangsaan beranggotakan lima fraksi, yakni Partai Golkar, PDI-Perjuangan, PKB, Partai Bintang Reformasi, dan Partai Damai Sejahtera. Sedangkan koalisi kerakyatan beranggotakan Partai Demokrat, PKS, Partai Bintang Pelopor Demokrasi, PPP dan PAN. Dalam merebut kursi pimpinan DPR, terjadi persaingan sengit diantara keduanya, setelah PPP yang sebelumnya bergabung ke koalisi kebangsaan akhirnya memutuskan untuk merapat ke koalisi kerakyatan, dan mencalonkan kadernya Endin AJ Soefihara sebagai calon ketua DPR, bersama EE Mangindaan Partai Demokrat, Ahmad Farhan Hamid PAN dan Ali Maskour Musa PKB. Sedangkan koalisi kebangsaan mengusung Agung Laksono Golkar sebagai ketua DPR, bersama Soetarjo Soerjogoeritno PDI- Perjuangan, Muhaimin Iskandar PKB dan Zaenal Ma’arif PBR. Akhirnya setelah melalui voting, koalisi kebangsaan mengungguli koalisi kerakyatan dengan perolehan 280 suara dan 250 suara untuk koalisi kerakyatan. Sehingga Agung Laksono Golkar dinobatkan sebagai ketua DPR 2004-2009. Namun pada tahun 2004, polarisasi tersebut tidak sampai pada munculnya dualisme pimpinan DPR sebagaimana yang terjadi pada tahun 2014 yang mana muncul deklarasi pimpinan DPR tandingan versi KIH. Sehingga menurut penulis, meskipun perpecahan di DPR bukanlah hal baru, tetapi kasus dualisme kepemimpinan DPR yang terjadi pasca pilpres 2014 bisa dibaca sebagai kasus yang baru dan pertama dalam sejarah Indonesia era reformasi. 20 Ketua Umum DPP Partai Golkar Hasil Musyawarah Nasional IX Ancol, Agung Laksono memastikan akan mengubah arah politik Golkar dengan keluar dari Koalisi Merah Putih dan mendukung pemerintahan Joko Widodo. Lihat, ―Agung Laksono Pastikan Golkar Keluar dari KMP dan Dukung Pemerintahan Joko wi,‖ Kompas, 10 Maret 2015, http:nasional.kompas.comread2015031015452001Agung.Laksono.Pastikan.Golkar.Keluar.d ari.KMP.dan.Dukung.Pemerintahan.Jokowi Diunduh pada 3 April 2015. 13 periode divided government. Karena dengan dukungan Golkar ke Pemerintahan, maka kekuatan partai koalisi pemerintahan the ruling coalition parties sudah mencapai single majority 50+1. Dengan kondisi tersebut maka komposisi eksekutif-legislatif sudah tidak lagi mengalami divided government. Namun, sengketa dualisme kepengurusan Golkar versi Munas Ancol dan Munas Bali yang terjadi menjadi kompleksitas tersendiri dalam penelitian ini. Sebagaimana diketahui, Golkar versi Munas Bali diketuai oleh Aburizal Bakrie dan Golkar versi Munas Ancol diketuai oleh Agung Laksono, yang mana keduanya memiliki preferensi yang berbeda mengenai arah koalisi. Namun untuk memecahkan persoalan dualisme tersebut, karena ini berkaitan juga dengan arah koalisi Partai Golkar, maka penulis mengacu pada mekanisme hukum yang berdasarkan pasal 3 dan 4 dalam UU No 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik bahwa partai politik yang sah adalah partai yang mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM, dan pengesahan itu yang diperoleh Agung Laksono, terlepas dari latar belakang politik munculnya SK Menkumham tersebut. Sebagaimana diketahui, Kementerian Hukum dan HAM telah mengesahkan kepengurusan Agung Laksono melalui surat No : M. HH-01.AH.11.01 tanggal 23 Maret 2015, 21 yang kemudian disusul pernyataan Agung Laksono yang mendukung pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla. 22 Mengingat, SK Menkumham tersebut berlaku sejak tanggal diputuskan, yakni 23 Maret 2015. Meskipun seiring waktu berjalan, SK tersebut digugat oleh 21 ―Menkumham Sahkan Kepengurusan Golkar Adung Laksono,‖ Kompas, 23 Maret 2015, http:nasional.kompas.comread2015032313034331Menkumham.Sahkan.Kepengurusan.Golk ar.Agung.Laksono. Diunduh pada 4 April 2015. 22 ―Agung Laksono Pastikan Golkar Keluar KMP,‖ Kompas, 10 Maret 2015. 14 Aburizal Bakrie ke Pengadilan Tata Usaha Negara PTUN dan berakhir dengan diterimanya gugatan tersebut pada tanggal 18 Mei 2015. 23 Tetapi yang harus digarisbawahi adalah keputusan PTUN tersebut tidak bersifat Inkracht. 24 Sehingga dengan sendirinya, sejak SK Menkumham itu diterbitkan pada tanggal 23 Maret 2015 sampai putusan PTUN pada tanggal 18 Mei 2015 maka secara hukum yang tertera dalam UU No 2 tahun 2008 adalah Agung Laksono sebagai ketua umum Golkar. Mengingat SK Menkumhan tersebut bersifat final and binding dan berlaku sejak tanggal diputuskan. Namun, terkait dengan proses pengadilan yang terjadi setelah SK Menkumham dikeluarkan, itu adalah fenomena yang terjadi setelahnya dan tidak menjadi objek kajian dalam penelitian ini. Oleh karenanya, terlepas dari konflik dualisme dan dinamika hukum yang sedang berjalan pasca putusan PTUN yang menyangkut partai Golkar, dan terikat dengan SK Menkumham pada tanggal 23 Maret 2015 itu telah membuat batasan periode divided government dalam penelitian ini, karena dengan fenomena tersebut, per tanggal 23 Maret 2015, struktur kekuatan eksekutif dan legislatif sudah tidak lagi menunjukan kondisi divided government, karena kekuatan oposisi pemerintah di DPR berkurang dan sudah tidak lagi mencapai angka single majority 50 + 1. 23 ―PTUN Kabulkan Gugatan Aburizal Bakrie,‖ Kompas, 18 Mei 2015, http:nasional.kompas.comread2015051815072551PTUN.Kabulkan.Gugatan.Aburizal.Bakrie Diunduh pada 20 Mei 2015. 24 Inkracht adalah suatu perkara yang telah berkekuatan hukum tetap karena telah diputus oleh hakim dan tidak ada lagi upaya hukum lain yang lebih tinggi. 15 Seperti yang dipaparkan oleh Jose Antonio Cheibub bahwa konseptualisasi hubungan antara eksekutif dan legislatif akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian dalam studi perbandingan politik. 25 Sehingga dengan sendirinya, penelitian ini akan berusaha mengekplorasi relasi eksekutif-legislatif sejak Presiden dan DPR dilantik sampai pada keluarnya SK Menkumham No : M. HH-01.AH.11.01 yang kemudian diikuti dukungan Agung Laksono terhadap pemerintah, telah melalui proses masa persidangan I dan II dalam tahun sidang 2014-2015 atau yang penulis sebut sebagai periode divided government. Permasalahan ini menjadi penting untuk dikaji, mengingat terjadinya divided government telah memunculkan banyak asumsi akan sulitnya Joko Widodo dalam membangun kesepakatan dengan DPR, seperti yang dipaparkan dalam rilis survey Indikator Politik Indonesia pada 19 Oktober 2014. 26 Tidak hanya itu, dalam literatur tentang divided government juga banyak pihak yang khawatir akan terjadinya kebuntuan dalam relasi eksekutif-legislatif, seperti yang akan dijelaskan pada bab II nanti. Oleh karenanya, penulis akan menguji asumsi teoritik tersebut melalui analisa terhadap faktor yang memicu terjadinya divided government melalui pendekatan koalisi presidensial serta mengekplorasi relasi legislatif dan eksekutif pada periode divided government tersebut yang nantinya akan dijadikan pusaran analisis untuk menilai apakah terjadi kebuntuan dalam relasi eksekutif-legislatif dalam fenomena divided government di Indonesia. Oleh 25 Jose Antonio Cheibub, Zachary Elkins dan Tom Ginsburg, ―Beyond Presidentialism and Parliamentaris,‖ British Journal of Political Science, DOI:10.1017S000712341300032. 14 November 2013: 1. 26 Indikator Politik Indonesia, Rilis Survey Indikator Politik Indonesia, Divided Goverment: Pemberantasan Korupsi dan Tantangan Pemerintahan Jokowi-JK Jakarta: Gedung Joeang 45, 19 Oktober 2014. 16 karenanya penelitian ini berjudul: Analisis Sistem Presidensialisme-Multipartai di Indonesia; Studi atas Divided Government dalam Relasi Eksekutif – Legislatif Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.

B. Pertanyaan Penelitian

Fokus penelitian ini adalah menganalisis munculnya divided government pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla serta mengeksplorasi proses interaksi eksekutif dan legislatif dalam konteks tersebut, adapun dengan pertanyaan penelitiannya adalah: 1. Apa faktor yang memicu terjadinya divided government pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam konteks sistem presidensialisme-multipartai? 2. Dalam periode divided government, bagaimana relasi antara legislatif dan eksekutif pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam proses perumusan kebijakan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Munculnya divided government pada pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla adalah fenomena yang masih tergolong baru dan pertama kali terjadi di era reformasi dalam pelaksanaan sistem presidensialisme-multipartai. Oleh karenanya penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengisi kekosongan tentang studi tersebut. Namun secara khusus penelitian ini memiliki beberapa tujuan diantaranya. 17 1. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor yang memicu terjadinya divided government pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam konteks sistem presidensialisme multipartai. 2. Untuk mengetahui bagaimana relasi antara legislatif dan eksekutif pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam proses perumusan kebijakan dalam periode divided government. Selain itu, ada dua manfaat utama dalam penelitian ini, diantaranya manfaat teoritis dan manfaat praktis. 1. Manfaat teoritis. Dalam penelitian ini, penulis berusaha menguji sejauh mana potensi deadlock terjadi dalam relasi eksekutif dan legislatif pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla yang mengalami divided government. Sehingga penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya perdebatan tersebut dalam kasus di Indonesia. Mengingat, ini adalah pertama kalinya di era reformasi, Indonesia mengalami divided government pasca penguatan sistem presidensialisme-multipartai sejak tahun 2004 yang ditandainya dengan adanya pemilihan presiden langsung. Selain itu studi tentang divided government lebih banyak merujuk pada fenomena di Amerika Latin. Sehingga penelitian ini bermanfaat untuk mengisi kekosongan studi tentang divided government di Indonesia. 2. Manfaat praktis. Dengan penelitian ini penulis berharap bisa menjadi rujukan bagi siapapun yang tertarik dengan studi sistem presidensialisme pada umumnya dan studi tentang divided governmennt pada khususnya. 18

D. Tinjauan Pustaka

Usaha teoritis untuk menganalisis munculnya divided goverment dalam kerangka sistem presidensialisme-multipartai pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla belum pernah dilakukan, hal tersebut terjadi karena kasus tersebut adalah baru dan pertama kali terjadi di era reformasi. Namun, secara umum studi mengenai sistem presidensialisme-multipartai di Indonesia pernah dilakukan oleh Hanta Yuda d alam bukunya ―Presidensialisme Setengah Hati: dari Dilema ke Kompromi‖. Dalam buku yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2008 tersebut, Hanta melakukan tracking terhadap formasi presidensialisme yang dianut oleh Indonesia sejak tahun 1998. Melalui penelitiannya ditemukan bahwa pemerintah Indonesia melakukan purifikasi sistem presidensial, yang diantaranya dengan mengurangi k uasa yang cenderung „koruptif’ pada lembaga kepresidenan, serta memberi porsi yang lebih banyak pada legislatif untuk melakukan fungsi kontrol terhadap kekuasaan presiden. Namun, hal tersebut menimbulkan masalah karena kekuasaan presiden menjadi dilematis karena sistem politik yan g „legislative heavy’ menimbulkan keharusan bagi Presiden untuk melakukan kompromi politik dengan legislatif. 27 Dalam penelitian Hanta Yuda, periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla adalah objek penelitiannya. Ditemukan bahwa telah terjadi tarik-menarik kepentingan antara eksekutif dan legislatif dalam berbagai hal. Tarik-menarik kepentingan tersebut dipetakan menjadi dua basis: kompromi 27 Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati; dari Dilema ke Kompromi Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010. 19 internal dan eksternal. Posisi presiden yang akomodatif dan posisi partai politik di legislatif yang intervensif menjadikan kompromi tersebut mereduksi kewenangan- kewenangan yang seyogianya dimiliki oleh presiden dalam sistem presidensial. Implikasi negatifnya, terjadi kerapuhan struktur politik dan beragam ancaman dari legislatif kepada presiden dalam berbagai kebijakan atau disebutnya sebagai sistem presidensialisme setengah hati. 28 Penelitian lainnya mengenai sistem presidensialisme multipartai pernah dilakukan oleh Syamsuddin Harris 2010, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI, dalam disertasinya yang berjudul ―Format Baru Relasi Presiden- DPR dalam Demokrasi Presidensial di Indonesia Pasca Amandemen Konstitusi 2004- 2008‖. Dalam disertasi doktoralnya di FISIP UI, Syamsuddin berfokus pada realitas empiris sulitnya membangun hubungan antara eksekutif dengan legislatif terlebih apabila mekanisme kerjasama dan konsultasi antara kedua lembaga tidak lakukan secara intens. Secara khusus Syamsuddin menilai sikap presiden kedepan harus lebih akomodatif jika tidak ingin ada deadlock antara eksekutif dan legislatif, jika sikap presiden kaku dalam membangun jaringan komunikasi dengan partai politik lainnya maka potensi konflik yang berujung deadlock akan semakin besar pula. 29 Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Barry Ames dalam bukunya ―Deadlock of Democracy in Brazil‖ terbitan Univeristy of Michigan Press tahun 2001 yang berusaha menelaah masalah presidensialisme di Brazil pasca tahun 28 Yuda, Presidensialisme Setengah Hati. 29 Syamsuddin Harris, Format Baru Relasi Presiden-DPR dalam Demokrasi Presidensial di Indonesia pasca Amandemen Konstitusi Disertasi Doktoral FISIP Universitas Indonesia, 2008. 20 1985. Penelitiannya berfokus pada tantangan yang dihadapi oleh setiap presiden di Brazil yakni bagaimana seorang presiden bisa mempertahankan konsistensi dukungannya terhadap kongres. Ames menggunakan analisanya dalam menjawab sulitnya membangun otoritas kuat presiden di Brazil. Hal tersebut ditenggarai karena tidak adanya hubungan dekat antara warga negara dengan partai politk. 30 Selain itu, sistem presidensialisme yang meniscayakan adanya tugas-tugas politik bagi presiden nampak jauh dari prinsip meritrokasi, pekerjaan politik yang harusnya dilakukan oleh kabinet justru diserap oleh partai politik dan beberapa kelompok kepentingan. Sebagai contoh pada kabinet presiden José Sarney 1985- 1990, Fernando Collor 1990-1992, Itamar Franco 1992-1995 dan Fernando Henrique Cardoso 1995-2003 yang seharusnya presiden memiliki nilai strategis kepada seluruh kekuatan administrasi dan konstruksi kabinetnya, namun hal tersebut tak begitu nampak. Bisa dilihat dari percampuran bidang keahlian di kabinetnya yang terdiri dari teknokrat dan politisi justru terlihat tanpa ada kuasa. Hal itu dijadikan analisa kuat Ames dalam menilai begitu rapuhnnya sistem presidensial di Brazil karena berpotensi deadlock. Kasus di Brazil juga seringkali dijadikan rujukan utama dalam melihat resiko buruk dalam sistem presidensialisme. 31 Penelitian lainnya yang terkait, juga dilakukan oleh Djayadi Hanan dalam disertasi doktoralnya di Ohio State Un iversity yang berjudul ―Making Presidentialism Work; Legislative and Executive Interacton in Indonesian 30 Barry Ames, The Deadlock of Democracy in Brazil Michigan: University of Michigan Press, 2001, 273. 31 Ames, The Deadlock of Democracy, 274.