Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
5
aspek pengalaman intervensi militer, sistem presidensialisme juga memiliki persentase yang lebih besar. Berikut adalah tabel penjelasannya:
Tabel I.A.2 Perbandingan Sistem Presidensialisme dengan Parlementer dalam Konteks
Intervensi Militer
Regime Type During Democracy
Pure Parlemantary
Pure Presidentialism
Semi- Presidentialism
Total non OECD countried democratic for
at least one year during 1973-1989
28 25
Number of Countries from Above set Having
Experience a Military Coup While a
Democracy 5
10
Military Coup Susceptibility Rate
18 40
NA Sumber:
Stephan dan Skatch , Constitutional Framework, 12. Berdasarkan tabel diatas, intervensi militer pada sistem presidensialisme
mencapai angka 40 pada interval tahun 1973 – 1989, sedangkan dalam sistem
parlementer hanya sekitar 18. Hal tersebut terjadi karena sistem presidensialisme dalam konteks pemisahan kekuasaan memungkinkan terjadinya
kegaduhan saat eksekutif tidak mendapatkan dukungan kuat di legislatif, sehingga berpotensi pada terjadi krisis dan pada kondisi tersebut kekuatan militer bisa saja
muncul ke permukaan disaat eksekutif dan legislatif memiliki ketidaksepahaman yang menyebabkan destabilitas pemerintahan.
11
11
Stephan dan Skatch, ―Constitutional Framework,‖ 19.
6
Selain dua data tersebut, Stephan dan Skatch juga menunjukan betapa sulitnya pengalaman eksekutif dalam sistem prsidensialisme untuk mendapatkan
dukungan mayoritas di lembaga legislatif. Tabel I.A.3 dibawah ini menjelaskan persentase kemampuan eksekutif untuk mendapatkan dukungan mayoritas di
legislatif dalam sistem presidensialisme dan sistem parlementer.
Tabel I.A.3 Perbandingan Sistem Presidensialisme dengan Parlementer dalam Konteks
Kemampuan Eksekutif dalam Memperoleh Kekuatan Dominan di Legislatif
Total Year of Democracy
Total Democracy Year in Which
Executive Had a Majority
Legislative Percentage of
Democracy year in Which
Executive Had a Majority
Legislative Parliamentary
Years 208
173 83
Presidential Years 122
58 48
Sumber: Stephan dan Skatch , Constitutional Framework, 16.
Dengan menggunakan tiga indikator yakni: 1 intervensi milier, 2 keberlangsungan sistem demokrasi dan 3 kemampuan eksekutif mendapatkan
dukungan mayoritas, studi Stephan dan Skach dalam rentan waktu tahun 1973- 1989 berkesimpulan bahwa sistem presidensialisme yang awalnya bertujuan untuk
membuat lembaga eksekutif yang kuat, justru berakhir dengan terjadinya kegaduhan pemerintahan. Berbeda hal dengan sistem parlementer yang mana
kepala pemerintahan merupakan mandat penuh yang diberikan oleh parlemen,
7
sehingga mekanisme konstitutional dalam sistem parlementer mampu meminimalisir kegaduhan dalam relasi ekeskutif-legislatif.
12
Studi Stephan dan Skach sebagaimana yang dikutip diatas, banyak merujuk fenomena di Amerika Latin yang sebelumnya juga dituduhkan oleh Scott
Mainwaring dan Mathew Shugart yang melihat fokus pada maraknya studi presidensialisme pada kawasan Amerika Latin. Berbeda dengan arus mainstrem
para peneliti-peneliti sebelumnya yang mengidentifikasikan studi presidensialisme pada kawasan Amerika Latin, penelitian ini berupaya untuk menganalisa sistem
presidensialisme di Indonesia, yang posisinya jauh dari kawasan Amerika Latin, yang cukup unik karena dikombinasikan dengan sistem multipartai,
13
kombinasi ini yang menurut Scott Mainwaring sebagai sesuatu yang sulit dan complicated.
14
Dalam konteks Indonesia, perkembangan studi presidensialisme dalam satu dekade terakhir mengalami perdebatan di kalangan ilmuan mengenai berhasil atau
tidaknya berjalannya sistem presidensialisme-multipartai di Indonesia.
15
Karena
12
Stephan dan Skatch, ―Constitutional Framework,‖ 18.
13
Seperti yang sudah diketahui, dalam pasal 4 UUD 1945 digarisbawahi bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensialisme, pilihan tersebut menjadi salah satu kesepakatan
politik di sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR yang pada saat yang sama sejak sebelum pemilu 1999 telah berkembang sistem multipartai ekstrim sebagai konsekuensi logis
meluasnya kebebasan berserikat. Setelah tumbangnya orde baru, orang beramai-ramai untuk mendirikan partai politik. Hal tersebut menjadi tuntutan era reformasi yang meniscayakan adanya
jumlah partai yang lebih dari dua partai dominan, sistem ini merupakan produk dari struktur masyarakat yang majemuk, baik secara kultural maupun secara sosial ekonomi. Sehingga pilihan
politik terhadap presidensialisme harus di impementasikan dalam konteks sistem multipartai, sehingga kombinasi yang antara presidensialisme dan sistem multipartai menjadi realitas politik
yang tak terhindarkan pasca amandemen konstitusi UUD 1945. Lihat, disertasi Valina Singka
Subekti, ―Menyusun Konstitusi Transisi; Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945
,‖ dalam A.M Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945 Jakarta: Penerbit Kompas, 2011 hlm xiii.
14
Scott Mainwaring dan Matthew Shugart, ―Juan Linz, Presidentialism and Democracy: A Critical Appraisal
,‖ The Hellen Kellogg Institute for International Studies, University of Notre Dame, Working Paper 200, Juli 1993, 26.
15
Terjadi perdebatan mengenai berhasil atau tidaknya sistem presidensialisme multipartai diterapkan di Indonesia. Pertama
, Hanta Yuda dalam ―Presidensialisme Setangah Hati; Dari
8
hal itu tidak saja terkait dengan problematika teoritis tetapi juga menyangkut persoalan efektifitas pemerintahan. Namun studi tentang berhasil atau tidaknya
sistem presidensialisme di Indonesia hanya berkisar pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono saja, sebagaimana nanti yang akan dijelaskan pada bagian
tinjauan pustaka dalam penelitian ini. Pengalaman Indonesia dalam sistem presidensialisme-multipartai pasca
amandemen UUD 1945 selalu menghasilkan partai koalisi pemerintahan the ruling coalition party diatas single majority 50+1. Sehingga ini yang menurut
Djayadi Hanan menjadi salah satu faktor mengapa sistem presidensialisme- multipartai di Indonesia dapat berjalan, hal itu dikarenakan terpenuhinya syarat
bagi sikap akomodatif dari presiden terhadap banyak partai di legislatif.
16
Dengan adannya sikap akomodatif tersebut maka membuat eksekutif dan legislatif tidak
mengalami kesulitan dalam membangun kesepakatan, meskipun dalam realitanya seringkali partai yang tergabung dalam koalisi pemerintahan sering berbeda
pendapat tetapi selalu berakhir dengan kesepakatan bersama dan tanpa terjadi
Dilema ke Kompromi‖ menunjukan bahwa sistem presidensialisme multipartai di Indonesia rentan terjadi konflik kelembagaan dan tarik menarik kewenangan antara Presiden dengan DPR sehingga
berujung pada adanya kewenangan Presiden yang dipangkas oleh DPR sebagai dampak dari tarik menarik kepentingan dengan banyak partai. Kedua, Djayadi Hanan dalam disertasinya
―Making Presidentialism Work; Legislative and Executive Interacton in Indonesian Democracy
”, terj Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari Format Demokrasi yang
Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia. Temuannya menunjukan bahwa hubungan eksekutif dan legislatif tetap stabil. Hal tersebut dikarenakan praktek politik mengisyaratkan
adanya lobi-lobi antara eksekutif dan legislatif dalam bentuk koalisi. Presidensialisme Multipartai berhasil diterapkan dengan adanya karakter presiden yang mau berkompromi sehingga agenda-
agenda kebijakan eksekutif tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan persetujuan legislatif.
16
Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia; Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia Bandung: Penerbit Mizan,
2014, 17.
9
suatu deadlock. Sikap akomodatif tersebut seperti yang dipaparkan oleh Kawamura dalam tabel 1.A.4 dibawah ini.
17
Tabel I.A.4 Relasi Eksekutif
– Legislatif Periode 1997 - 2009 Periode
Habibie Gus Dur Megawati
SBY SBY
Pemilu 1997
1999 2004
2009 Presidensiali
sme Dominasi
Eksekutif Dominasi Legislatif
Perimbangan tiga cabang kekuasaan
eksekutif-legislatif- yudikatif
Multiprtai Predominan
Pluralisme Partai
penguasa 65
10,2 30,6
10,2 26,8
Partai Presiden
Wapres ----
40,8 42,1
33,3 26,8
Partai Koalisi
Pemerintaha n
97,8 94,8
83,2 73,4
75,1 Jumlah
Partai Koalisi
2 Partai 1 Faksi
7 partai 1 Faksi
5 Partai 1 Faksi
7 Partai 6 Partai
Komposisi Partai
Koalisi Golkar
PPP Militer
PKB, PDIP. Golkar,
PAN, PPP, PBB, PK,
Militer PDIP,
PPP, PBB, PAN,
Golkar, Militer
Demokrat, Golkar,
PKS, PAN,
PBB, PKPI, PPP
Demokrat, Golkar,
PKS, PAN,
PPP, PKB Sumber: Kawamura, Is Indonesian President strong or weak?, 17.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa persentase partai koalisi pemerintahan di masing-masing presiden selalu mencapai angka diatas single majority 50 + 1
atau lebih dari lima partai pendukung di legislatif, tidak terkecuali juga setelah pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kali pada tahun 2004.
17
Koichi Kawamura, ―Is Indonesian President strong or weak?,‖ Institute of Developing Economic Disscusion Paper, No 235, Japan, Mei 2010, 18.
10
Sehingga tuduhan akan kesulitan presiden dalam membangun partai koalisi pemerintahan the ruling coalition party dengan angka diatas single majority
50+1 atau kekuatan mayoritas cenderung tidak terbukti pada masa era reformasi hingga periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, atau
komposisi antar eksekutif dan legislatif sering disebut dengan unified government. Dalam penelitian ini, karena berbeda dengan periode kepresidenan
sebelumnya, sejak dilantik pada 20 Oktober 2014 pemerintahan Joko Widodo –
Jusuf Kalla justru melahirkan kekuatan minoritas di legislatif dan dikuasainya eksekutif dan legislatif oleh dua kelompok yang berbeda, seperti dugaan yang
dipaparkan para teoritisi sebelumnya yang mengatakan bahwa sistem presidensialisme-multipartai berpotensi melahirkan pemerintahan terbelah
divided government,
18
dengan indikator pengukuran melalui persentase partai koalisi pemerintahan the ruling coalition parties yang tak mencapai single
majority 50+1. Dibawah ini adalah tabel penjelasan mengenai komposisi koalisi pemerintahan Joko Widodo
– Jusuf Kalla.
Tabel I.A.5 Komposisi Koalisi Pemerintahan Joko Widodo
– Jusuf Kalla
Periode Joko Widodo
– Jusuf Kalla
Pemilu 2014
Presidensialisme
Perimbangan tiga cabang kekuasaan eksekutif-legislatif-yudikatif
Sistem Multipartai
Pluralisme
Partai Penguasa
18,95
18
Divided Government adalah suatu kondisi dimana eksekutif gagal mendapatkan kekuatan mayoritas di legislatif, sehingga antara eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang
berbeda. Lihat, Robert Elgie, ed., Divided Government in Comparative Perspective New York: Oxford University Press Inc, 2001, v.
11
Partai Presiden Wapres 18,95
Partai Koalisi Pemerintahan
46,48
Jumlah Partai Koalisi
5 Partai
Komposisi Partai Koalisi PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, PPP
Sumber: Diolah dari berbagai sumber terjadi dualisme kepengurusan didalam PPP, namun penulis mengklasifikasikan
PPP sebagai bagian dari Koalisi Pemerintahan. Hal tersebut berdasarkan mekanisme hukum yang termaktub dalam SK Menkumham yang menyatakan
bahwa kepengurusan PPP yang sah adalah PPP versi Romahurmuzy. Yang sebelumnya menyatakan bergabung ke dalam Koalisi Indonesia Hebat pada saat
proses pemilihan piminan MPR-RI. Selain itu, keberadaan kader PPP dalam kabinet pemerintahan Joko Widodo juga memperkuat posisi PPP yang masuk ke
dalam koalisi pemerintahan.
Dalam penelitian ini, penulis tidak mengacu pada preferensi seorang presiden terhadap partainya sendiri the ruling party untuk mengukur terjadinya
divided government, tetapi berdasarkan partai koalisi pemerintah the ruling coalition parties untuk selanjutnya dihadapkan dengan kekuatan partai non-
pemerintah the opposition coalition parties di legislatif. Sehingga, divided government terjadi apabila jumlah kursi the ruling coalition parties lebih rendah
dari the opposition coalition parties di DPR. Oleh karenanya, berdasarkan kacamata tersebut, maka ini merupakan kali pertama Indonesia di era reformasi
mengalami divided government. Melalui tabel I.A.5 diatas, total partai koalisi pemerintahan the ruling
coalition parties Joko Widodo – Jusuf Kalla hanya mencapai 46,48 atau tidak
mencapai angka single majority 50+1 yang berarti ini menandakan kekuasaan mayoritas legislatif dikuasai oleh pihak oposisi pemerintah, yakni Koalisi Merah
Putih, atau pihak yang menjadi rival Joko Widodo – Jusuf Kalla pada saat
pemilihan presiden 2014, mengingat Pilpres 2014 hanya diikuti dua pasang
12
kandidat dan melahirkan polarisasi kuat dua kubu di legislatif yakni Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih, yang juga sempat terjadi adanya
dualisme pimpinan DPR yang berbasis pada pola koalisi tersebut.
19
Polarisasi tersebut juga terjadi pada antar lembaga eksekutif dan legislatif yang dikuasai
oleh dua kelompok yang berbeda atau dinamakan sebagai divided government. Penulis membatasi periode divided government ini dimulai sejak Presiden dan
DPR hasil pemilu 2014 dilantik sampai sesaat setelah pernyataan Ketua Umum Golkar versi Agung Laksono keluar dari Koalisi Merah Putih.
20
Pembatasan periode tersebut didasarkan pada konsepsi divided government itu sendiri.
Mengingat, sebagai pemenang kedua pada Pemilihan Legislatif 2014 yang mencapai suara 14,75 atau memiliki jumlah 91 kursi di DPR, membuat arah
koalisi Golkar memiliki dampak yang signifikan bagi muncul atau berakhirnya
19
Sebelumnya pernah terjadi juga perpecahan dalam tubuh DPR pada tahun 2004, kala itu koalisi di DPR terpecah menjadi dua kubu, yakni koalisi kebangsaan dan koalisi kerakyatan.
Koalisi kebangsaan beranggotakan lima fraksi, yakni Partai Golkar, PDI-Perjuangan, PKB, Partai Bintang Reformasi, dan Partai Damai Sejahtera. Sedangkan koalisi kerakyatan beranggotakan
Partai Demokrat, PKS, Partai Bintang Pelopor Demokrasi, PPP dan PAN. Dalam merebut kursi pimpinan DPR, terjadi persaingan sengit diantara keduanya, setelah PPP yang sebelumnya
bergabung ke koalisi kebangsaan akhirnya memutuskan untuk merapat ke koalisi kerakyatan, dan mencalonkan kadernya Endin AJ Soefihara sebagai calon ketua DPR, bersama EE Mangindaan
Partai Demokrat, Ahmad Farhan Hamid PAN dan Ali Maskour Musa PKB. Sedangkan koalisi kebangsaan mengusung Agung Laksono Golkar sebagai ketua DPR, bersama Soetarjo
Soerjogoeritno PDI-
Perjuangan, Muhaimin Iskandar PKB dan Zaenal Ma’arif PBR. Akhirnya setelah melalui voting, koalisi kebangsaan mengungguli koalisi kerakyatan dengan
perolehan 280 suara dan 250 suara untuk koalisi kerakyatan. Sehingga Agung Laksono Golkar dinobatkan sebagai ketua DPR 2004-2009. Namun pada tahun 2004, polarisasi tersebut tidak
sampai pada munculnya dualisme pimpinan DPR sebagaimana yang terjadi pada tahun 2014 yang mana muncul deklarasi pimpinan DPR tandingan versi KIH. Sehingga menurut penulis, meskipun
perpecahan di DPR bukanlah hal baru, tetapi kasus dualisme kepemimpinan DPR yang terjadi pasca pilpres 2014 bisa dibaca sebagai kasus yang baru dan pertama dalam sejarah Indonesia era
reformasi.
20
Ketua Umum DPP Partai Golkar Hasil Musyawarah Nasional IX Ancol, Agung Laksono memastikan akan mengubah arah politik Golkar dengan keluar dari Koalisi Merah Putih dan
mendukung pemerintahan Joko Widodo. Lihat, ―Agung Laksono Pastikan Golkar Keluar dari KMP
dan Dukung
Pemerintahan Joko
wi,‖ Kompas,
10 Maret
2015, http:nasional.kompas.comread2015031015452001Agung.Laksono.Pastikan.Golkar.Keluar.d
ari.KMP.dan.Dukung.Pemerintahan.Jokowi Diunduh pada 3 April 2015.
13
periode divided government. Karena dengan dukungan Golkar ke Pemerintahan, maka kekuatan partai koalisi pemerintahan the ruling coalition parties sudah
mencapai single majority 50+1. Dengan kondisi tersebut maka komposisi eksekutif-legislatif sudah tidak lagi mengalami divided government.
Namun, sengketa dualisme kepengurusan Golkar versi Munas Ancol dan Munas Bali yang terjadi menjadi kompleksitas tersendiri dalam penelitian ini.
Sebagaimana diketahui, Golkar versi Munas Bali diketuai oleh Aburizal Bakrie dan Golkar versi Munas Ancol diketuai oleh Agung Laksono, yang mana
keduanya memiliki preferensi yang berbeda mengenai arah koalisi. Namun untuk memecahkan persoalan dualisme tersebut, karena ini berkaitan juga dengan arah
koalisi Partai Golkar, maka penulis mengacu pada mekanisme hukum yang berdasarkan pasal 3 dan 4 dalam UU No 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik bahwa partai politik yang sah adalah partai yang mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM, dan
pengesahan itu yang diperoleh Agung Laksono, terlepas dari latar belakang politik munculnya SK Menkumham tersebut. Sebagaimana diketahui, Kementerian
Hukum dan HAM telah mengesahkan kepengurusan Agung Laksono melalui surat No
:
M. HH-01.AH.11.01 tanggal 23 Maret 2015,
21
yang kemudian disusul pernyataan Agung Laksono yang mendukung pemerintahan Joko Widodo
– Jusuf Kalla.
22
Mengingat, SK Menkumham tersebut berlaku sejak tanggal diputuskan, yakni 23 Maret 2015. Meskipun seiring waktu berjalan, SK tersebut digugat oleh
21
―Menkumham Sahkan Kepengurusan Golkar Adung Laksono,‖ Kompas, 23 Maret 2015, http:nasional.kompas.comread2015032313034331Menkumham.Sahkan.Kepengurusan.Golk
ar.Agung.Laksono. Diunduh pada 4 April 2015.
22
―Agung Laksono Pastikan Golkar Keluar KMP,‖ Kompas, 10 Maret 2015.
14
Aburizal Bakrie ke Pengadilan Tata Usaha Negara PTUN dan berakhir dengan diterimanya gugatan tersebut pada tanggal 18 Mei 2015.
23
Tetapi yang harus digarisbawahi adalah keputusan PTUN tersebut tidak bersifat Inkracht.
24
Sehingga dengan sendirinya, sejak SK Menkumham itu diterbitkan pada tanggal 23 Maret 2015 sampai putusan PTUN pada tanggal 18 Mei 2015 maka secara
hukum yang tertera dalam UU No 2 tahun 2008 adalah Agung Laksono sebagai ketua umum Golkar. Mengingat SK Menkumhan tersebut bersifat final and
binding dan berlaku sejak tanggal diputuskan. Namun, terkait dengan proses pengadilan yang terjadi setelah SK Menkumham dikeluarkan, itu adalah
fenomena yang terjadi setelahnya dan tidak menjadi objek kajian dalam penelitian ini.
Oleh karenanya, terlepas dari konflik dualisme dan dinamika hukum yang sedang berjalan pasca putusan PTUN yang menyangkut partai Golkar, dan terikat
dengan SK Menkumham pada tanggal 23 Maret 2015 itu telah membuat batasan periode divided government dalam penelitian ini, karena dengan fenomena
tersebut, per tanggal 23 Maret 2015, struktur kekuatan eksekutif dan legislatif sudah tidak lagi menunjukan kondisi divided government, karena kekuatan oposisi
pemerintah di DPR berkurang dan sudah tidak lagi mencapai angka single majority 50 + 1.
23
―PTUN Kabulkan Gugatan Aburizal Bakrie,‖ Kompas, 18 Mei 2015, http:nasional.kompas.comread2015051815072551PTUN.Kabulkan.Gugatan.Aburizal.Bakrie
Diunduh pada 20 Mei 2015.
24
Inkracht adalah suatu perkara yang telah berkekuatan hukum tetap karena telah diputus oleh hakim dan tidak ada lagi upaya hukum lain yang lebih tinggi.
15
Seperti yang dipaparkan oleh Jose Antonio Cheibub bahwa konseptualisasi hubungan antara eksekutif dan legislatif akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian
dalam studi perbandingan politik.
25
Sehingga dengan sendirinya, penelitian ini akan berusaha mengekplorasi relasi eksekutif-legislatif sejak Presiden dan DPR
dilantik sampai pada keluarnya SK Menkumham No
:
M. HH-01.AH.11.01 yang kemudian diikuti dukungan Agung Laksono terhadap pemerintah, telah melalui
proses masa persidangan I dan II dalam tahun sidang 2014-2015 atau yang penulis sebut sebagai periode divided government.
Permasalahan ini menjadi penting untuk dikaji, mengingat terjadinya divided government telah memunculkan banyak asumsi akan sulitnya Joko
Widodo dalam membangun kesepakatan dengan DPR, seperti yang dipaparkan dalam rilis survey Indikator Politik Indonesia pada 19 Oktober 2014.
26
Tidak hanya itu, dalam literatur tentang divided government juga banyak pihak yang
khawatir akan terjadinya kebuntuan dalam relasi eksekutif-legislatif, seperti yang akan dijelaskan pada bab II nanti. Oleh karenanya, penulis akan menguji asumsi
teoritik tersebut melalui analisa terhadap faktor yang memicu terjadinya divided government melalui pendekatan koalisi presidensial serta mengekplorasi relasi
legislatif dan eksekutif pada periode divided government tersebut yang nantinya akan dijadikan pusaran analisis untuk menilai apakah terjadi kebuntuan dalam
relasi eksekutif-legislatif dalam fenomena divided government di Indonesia. Oleh
25
Jose Antonio Cheibub, Zachary Elkins dan Tom Ginsburg, ―Beyond Presidentialism and Parliamentaris,‖ British Journal of Political Science, DOI:10.1017S000712341300032. 14
November 2013: 1.
26
Indikator Politik Indonesia, Rilis Survey Indikator Politik Indonesia, Divided Goverment: Pemberantasan Korupsi dan Tantangan Pemerintahan Jokowi-JK Jakarta: Gedung Joeang 45, 19
Oktober 2014.
16
karenanya penelitian ini berjudul: Analisis Sistem Presidensialisme-Multipartai di Indonesia; Studi atas
Divided Government dalam Relasi Eksekutif –
Legislatif Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.