Usaha untuk menghindari keadaan seorang anak tidak mempunyai ayah anak haram jaddah, maka seorang perempuan yang hamil di luar perkawinan, agak di paksa kawin,
sedapat mungkin tentunya dengan seorang laki-laki yang pernah bersetubuh dengan si perempuan itu dan juga dapat dianggap menyebabkan hamilnya itu. Akan tetapi kalau ini
tidak mungkin, maka seringkali seorang perempuan yang hamil itu di paksa kawin dengan sembarangan orang laki-laki yang mau saja, misalnya dengan seorang laki-laki yang sudah
sangat tua usianya atau dengan seorang laki-laki yang sudah terang tidak pantas menjadi suami dari perempuan tersebut. Hal ini si suami ini hanya resmi menjadi suaminya, tetapi
sebetulnya diinsyafi betul-betul oleh semua orang lain dan oleh suami itu sendiri, bahwa pernikahan hanya dilakukan agar supaya anak yang lahir itu resmi mempunyai
ayah.
116
Berdasar atas harapan inilah, maka sudah selayaknya Hukum Islam dan Hukum Adat maupun Hukum BW menentukan, bahwa seorang anak yang lahir atau mulai
dikandung oleh ibunya pada waktu ibunya mempunyai suami, dalam keadaan biasa adalah anak dari suaminya juga. Dan perhubungan anak-ayah diantara mereka ini dianggap
sebagai suatu perhubungan yang sah artinya menurut hukum wettig.
117
2. Status Hukum Anak Dengan Adanya Pengakuan Anak.
Adanya kenyataan di masyarakat mengenai hubungan luar nikah terutama atas dasar saling cinta biasanya pasangan muda-mudi yang dimabuk asmara itu baru melakukan
hubungan badan apabila nantinya akan ada perkawinan di kemudian hari. Dengan kata lain
116
Hilman Hadikusuma, Op.Cit. hal. 135-136
117
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hal . 57
Universitas Sumatera Utara
hubungan tersebut dilakukan setelah mereka membuat “perjanjian” bahwa laki-lakinya akan mengawini perempuan yang akan datang. Umumnya yang meminta perjanjian dari
pihak perempuan karena resikonya besar, yaitu jangan sampai ia menjadi hamil dan kemudian melahirkan anak tanpa pernah melakukan perkawinan, sebab akan membuat
malu dirinya di mata keluarga dan masyarakat. Jika laki-laki tersebut menepati janji tentu tidak akan menjadi masalah tetapi jika si laki-laki ingkar janji dan pergi meninggalkannya
maka kepada siapa diminta pertanggungjawabannya secara hukum. Dari hubungan tersebut dalam hukum pidana hanya dilarang apabila salah satu atau dua-duanya dari mereka terikat
tali perkawinan dengan orang lain. Jika dari hubungan tersebut melahirkan seorang anak yang menurut Pasal 43 ayat 1 UUP 1974 anak luar kawin hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya saja, apakah laki-laki yang menghamili masih ada kesempatan untuk menjalin hubungan hukum dengan anak tersebut.
118
Apabila kita teliti dalam ketentuan K.U.H.Perdata terdapat lembaga pengakuan anak- anak luar kawin sebagaimana diatur pada Buku Kesatu Bab Kedua Belas Bagian Ketiga.
Lembaga ini dapat dipergunakan, mengingat Pasal 66 UUP 1974 masih memberi peluang, bahwa sepanjang belum di atur dalam Undang-Undang Perkawinan maka peraturan-
peraturan dalam K.U.H.Perdata masih berlaku. Dengan demikian Undang-undang
118
Gatot Supramono, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Kawin, Jakarta : Djambatan, 1998, hal. 72 dan hal 90.
Universitas Sumatera Utara
Perkawinan yang tidak mengatur lembaga pengakuan anak luar kawin, maka lembaga yang ada dalam K.U.H.Perdata tidak dicabut dan dapat diberlakukan.
119
Pasal 280 K.U.H.Perdata mengatakan bahwa dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak
atau ibunya. Pada UUP 1974 dijelaskan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa
yang mengakui anak tersebut ? Jika dicermati Pasal 41 UUP 1974, maka tidak akan terjadi pengakuan itu dilakukan oleh seorang ibu, melainkan harus dilakukan oleh seorang ayah
karena hubungan perdata antara anak dengan ibunya langsung secara otomatis sejak anak itu dilahirkan.
120
Baru setelah ada pengakuan, terbit suatu pertalian kekeluargaan dengan segala akibat-akibatnya terutama hak mewaris antara anak dengan orang tua yang
mengakuinya, demikian menurut Subekti. Jadi anak luar kawin tersebut berstatus sebagai anak yang diakui atau istilah hukumnya natuurlijk kind. Pasal 272 K.U.H.Perdata, yang
berbunyi sebagai berikut :
121
”Kecuali anak-anak yang dibenihkan dalam zina, atau dalam sumbang, tiap-tiap anak yang diperbuahkan di luar perkawinan, dengan kemudian kawinnya bapak dan ibunya
akan menjadi sah, apabila kedua orang tua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan-ketentuan undang-undang, atau apabila pengakuan itu dilakukan
dalam akta perkawinan sendiri”.
Kedua orang tua yang telah melangsungkan perkawinan belum memberikan
pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum perkawinan, pengesahan anak hanya dapat
119
Ibid
120
Tan Kamello, Op.Cit. hal. 69
121
Ibid
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dengan surat pengesahan dari Kepala Negara. Untuk hal ini Presiden harus meminta pertimbangan Mahkamah Agung. Pengakuan anak tidak dapat dilakukan secara
diam-diam, tetapi semata-mata dilakukan di muka Pencatatan Sipil dengan catatan dalam akta kelahiran anak tersebut, atau dalam akta perkawinan orang tua, atau dalam surat akta
tersendiri dari pegawai Pencatatan Sipil, bahkan dibolehkan juga dalam akta notaris. Menurut Hukum Perdata yang tercantum dalam BW, melihat adanya tiga tingkatan status
hukum daripada anak di luar perkawinan :
122
a. Anak di luar perkawinan, anak ini belum diakui oleh kedua ibu-bapaknya.
b. Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua orang tuanya.
c. Orang tuanya melangsungkan perkawinan sah.
Adapun status hukum anak yang dilahirkan di luar perkawinan sebagai unifikasi dalam bidang Hukum Perkawinan Nasional yang tercantum dalam Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang dinyatakan dalam Pasal 43 ayat 1 yang berbunyi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya atau keluarga ibunya.” Ini berarti anak tersebut mempunyai suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya,
terutama hak mewaris, jadi hampir sama dengan status kekeluargaan dengan anak sah, hanya perbedaannya anak luar kawin tersebut tidak ada hubungannya dengan ayahnya,
sebagai yang membangkitkannya. Jika ingin anak luar kawin memperoleh hubungan perdata dengan bapaknya, yaitu dengan cara memberi pengakuan terhadap anak luar kawin.
Pasal 280 sampai dengan Pasal 281 K.U.H. Perdata menegaskan bahwasanya dengan
122
Ibid
Universitas Sumatera Utara
pengakuan terhadap anak di luar nikah, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapaknya.
Pengakuan terhadap anak di luar nikah dapat dilakukan dengan suatu akta otentik, bila belum diadakan dalam akta kelahiran atau pada waktu pelaksanaan pernikahan
pengakuan demikian dapat juga dilakukan dengan akta yang di buat oleh Pegawai Catatan Sipil, dan didaftarkan dalam daftar kelahiran menurut hari penandatangan.
123
Syarat mutlak untuk pengesahan anak di luar perkawinan ialah bahwa pada waktu nikah itu atau sebelumnya harus ada pengakuan sebagai anak erkenning oleh ibu dan
bapak. Pasal 274 BW ditafsirkan oleh Mahkamah Agung sedemikian rupa, bahwa syarat mutlak bagi pengesahan anak ialah bahwa anak harus diakui oleh ibu dan bapaknya itu.
Pengesahan anak oleh pemerintah diperlukan suatu pertimbangan dari Mahkamah Agung, yang menurut Pasal 275 BW, kalau perlu akan mendengarkan pendapat sanak keluarga dari
bapak dan ibu dan juga dapat mengumumkan dulu permohonan pengesahan anak ini dalam surat-surat kabar, agar orang-orang yang berkepentingan ada kesempatan untuk memajukan
keberatan terhadap pengesahan anak ini. Mungkin sekali ada orang yang menyatakan bahwa anak yang dimintakan pengesahan itu sebetulnya bukanlah anak dari yang
mengakuinya sebagai anak, melainkan anak orang lain.
124
123
Tecky Waskito, Tentang Status Hukum Dan Pengakuan Anak Luar Nikah, http:teckywaskito.wordpress.comstatus-hukum-dan-pengakuan-anak-luar-nikahdiakses 07 Juni 2013 Pukul
20.00 Wib
124
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hal . 59-60
Universitas Sumatera Utara
Pengesahan terhadap anak luar kawin di atur di dalam Buku I Bab XII Bagian Kedua K.U.H.Perdata
125
, pengesahan anak luar kawin merupakan suatu cara untuk mengubah status anak luar kawin menjadi anak sah. Pengesahan anak luar kawin dapat dilakukan
dengan cara:
126
a. Perkawinan orang tua
127
b. Surat pengesahan
128
Pengesahan dengan surat pengesahan dapat dilakukan karena dua hal yaitu:
129
a. Orang tua lalai mengakui anak-anaknya sebelum atau pada saat dilangsungkannya
perkawinan
130
b. Jika salah satu orang tua sudah meninggal dunia, sehingga perkawinan tidak dapat
dilangsungkan. Berdasarkan ketentuan Pasal 272, unsur dari pengesahan anak luar kawin
adalah:
131
a. b.
Pengakuan ; Sebelum anak luar kawin dapat disahkan menjadi anak sah, anak tersebut harus terlebih dahulu mendapat pengakuan dari bapak dan ibunya.
Perkawinan ; Tidaklah cukup dengan pengakuan anak luar kawin mengubah status anak tersebut menjadi anak sah. Setelah dilakukan pengakuan oleh bapak
dan ibunya, bapak dan ibunya tersebut melangsungkan pernikahan.
125
Lihat Pasal 272-279 KUH.Pdt
126
R . S o e t o j o P r a w i r o h a mi d j o j o d a n A s i s S a f i o e d i n , Hukum Orang Dan
Keluarga,Bandung : Alumni, 1986, hal. 141
127
Lihat Pasal 272 KUH.Pdt
128
Lihat Pasal 274 KUH.Pdt
129
Ibid
130
Lihat Pasal 274 KUH.Pdt
131
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Pengesahan anak luar kawin tidak dapat dilakukan terhadap anak zina dan anak sumbang. Untuk anak sumbang dapat dilakukan pengesahan dalam akta nikah orang tuanya. Di mana
kedua orang tuanya untuk melangsungkan perkawinan harus mendapat dispensasi terlebih dahulu dari presiden.
132
Pengesahan anak luar kawin merupakan perbuatan hukum, sehingga jika dilakukan akan menimbulkan akibat bagi para pihak yang bersangkutan.
Akibat dari pengesahan anak luar kawin adalah:
133
a. Jika pengesahan dilakukan karena perkawinan kedua orangtuanya maka kedudukan
anak luar nikah tersebut sama dengan anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan.
134
b. Jika pengesahan dilakukan dengan surat pengesahan maka akan menimbulkan akibat
hukum yang terbatas, dengan pembatasan.
135
1 2
. Tidak akan merugikan anak-anak sebelumnya dalam hal pewarisan. . Pengesahan itu tidak berlaku terhadap keluarga sedarah lainnya dalam hal
pewarisan.
Menurut konsep hukum Islam pengakuan anak ada dua macam, yakni pengakuan anak untuk diri sendiri dan pengakuan anak untuk orang lain. Pada prinsipnya sama tujuannya,
hanya dalam pelaksanannya sendiri sedikit berbeda, yaitu :
136
132
Lihat Pasal 273 KUH.Pdt
133
Rita Manggala
,
Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Badan Peradilan Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 935KPdt1998, Tesis, Jakarta : UI Press, 2006,
hal. 71
134
Lihat Pasal 277 KUH.Pdt
135
Lihat Pasal 278 KUH.Pdt
136
Abdul Manan, Op.Cit., hal. 91
Universitas Sumatera Utara
a. Pengakuan anak untuk diri sendiri.
Pengakuan anak dengan cara ini dilaksanakan secara langsung, misalnya si Badu mengatakan bahwa anak itu adalah anakku. Jika pernyataan ini memenuhi ketentuan yang
telah ditetapkan oleh hukum Islam, maka anak tersebut menjadi anak sah bagi yang mengakuinya. Menurut Abdullah Ali Husein dalam hukum Islam dikenal beberapa syarat
untuk melaksanakan pengakuan seorang anak bagi dirinya sendiri, yaitu :
137
1 Orang yang mengetahui anak haruslah seorang pria sebab tidak ada alat bukti lain
menurut hukum Islam untuk membuktikan adanya hubungan kebapaan, sedangkan bagi wanita pembuktian dapat dilaksanakan dengan menyatakan ia mengandung dan
melahirkan anak tersebut;
2 Orang yang mengakui anak itu haruslah orang mukallaf, sedangkan pengakuan orang
gila, orang yang dipaksakan, dan orang yang belum cukup umur tidak dapat diterima; 3
Anak yang diakui itu haruslah anak yang tidak diketahui nasabnya, tidak sah pengakuan terhadap anak yang telah terbukti secara sah sebagai anak zina atau tidak
diakui sebelumnya dengan cara lain;
4 Pengakuan itu tidak disangkal oleh akal sehat, misalnya umur anak yang diakui lebih
tua dari yang mengakui, atau tempat tinggal mereka sangat jauh yang menurut hukum biasa tidak mungkin mereka mempunyai hubungan anak atau kebapaan;
5 Pengakuan itu dibenarkan oleh anak dewasa yang diakuinya, jika yang diakuinya
menyangkal terhadap pengakuan itu, maka pria yang mengakui itu harus membuktikannya atau anak yang diakui itu harus mengangkat sumpah kalau ia mau
maka hubungan nasab itu terbukti adanya. Pengakuan anak telah dilaksanakan sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana tersebut
diatas, maka anak yang diakui itu menjadi anak yang sah dan kedudukannya adalah sama dengan kedudukan anak kandung.
138
137
Abdullah Ali Husein, Al Muqaranah Tasyri’iyah Minal Qawaninul Wadh’iyyah wa Tasyri’il Islami Muaqaranatan Bainal Fiqhil Qanuniyah Faransiy wa Mazhabil Imani Malik, Darul Ihyail Kututb Arabiyah :
Cairo, 1947, hal. 236-237
138
Taufiq, Pengakuan Anak Wajar Menurut Hukum Perdata Tertulis dan Hukum Islam, Artikel dalam Majalah Mimbar Hukum No.15 Tahun V, Dirbinbaparais Dep.Agama, Jakarta : 1994, hal. 62
Universitas Sumatera Utara
Seorang pria bila telah melaksanakan pengakuan terhadap seorang anak dengan menyatakan bahwa ia adalah anaknya, maka pengakuan tersebut tidak boleh dicabut
kembali, sekali ia telah mengikrarkannya maka pengakuan itu berlaku terus sepanjang masa. Pengakuan anak itu dapat dilaksanakan kapan saja, walaupun setelah meninggalnya
orang yang diakui. Hanya saja hukum Islam menganggap bahwa pengakuan anak terhadap orang yang telah meninggal dunia bermotif yang tidak baik, biasanya karena ada warisan.
Dalam hukum Islam pengakuan anak yang seperti ini baru dapat diterima apabila anak yang diakui itu tidak mempunyai ahli waris dan harta peninggalannya hanya sedikit.
139
b. Pengakuan anak terhadap orang lain.
Pengakuan anak ini sering disebut dengan pengakuan secara tidak langsung, misalnya si Badu mengatakan bahwa si Budi adalah saudara kandungnya. Ini berarti bahwa si Badu
itu mengakui Budi sebagai anak dari Abdullah, di mana Abdullah itu ayah kandung dari yang bernama Badu. Jika syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum Islam sudah
terpenuhi, maka terjadilah hubungan nasab antara Badu dengan Budi sebagai saudaranya dan dengan Abdullah sebagai ayahnya.
140
Menurut Ahmad Husni syarat-syarat yang diperlukan dalam pengakuan anak secara tidak langsung adalah secara umum sama saja dengan syarat-syarat yang diperlukan dalam
pengakuan untuk diri sendiri, hanya ditambah dua poin lagi, yaitu :
141
139
Abdul Manan, Op.Cit. hal, 92
140
Ibid
141
Ahmad Husni, Ahkam Syar’iyah fi Ahwalisy Syashiyyah Ala Mazahibil Imam Abu Hanafiah, Kairo : Darul Qutub, 1960, hal.56
Universitas Sumatera Utara
1. Orang yang dihubungkan nasab kepadanya membenarkan bahwa ia betul mempunyai hubungan nasab dengan seseorang yang dihubungkan nasab kepadanya;
2. Ada saksi-saksi yang membenarkan pengakuan dari orang yang dihubungkan nasab kepadanya dan saksi-saksi ini diperlukan jika orang lain yang dihubungkan dengan
nasab kepadanya tidak membenarkan pengakuan tersebut.
Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam Indonesia disebutkan bahwa laki-laki yang menghamili wanita itu saja yang boleh menikah dengan wanita hamil tersebut. Hal ini
dimaksudkan agar tidak terjadi percampuran nasab anak yang lahir itu apabila wanita yang hamil itu kawin dengan orang yang bukan membuahinyamenghamilinya.
Jika terdapat alasan yang kuat tentang motivasi tentang pengakuan anak , baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, tidak ada salahnya hakim mengambil pendapat
asalkan membawa manfaat kepada semua pihak, tidak menimbulkan mudharat para generasi selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PENGAKUAN KEDUDUKAN ANAK DI LUAR
PERKAWINAN DALAM KAJIAN HUKUM POSITIF
A. Pengakuan Dan Pengesahan Anak Di Luar Perkawinan
Pengakuan terhadap anak luar kawin di atur di dalam Buku I Bab XII Bagian Ketiga Pasal 280-Pasal 289 K.U.H.Perdata. Pengakuan terhadap anak luar kawin
menurut ketentuan Pasal 280 dapat dilakukan oleh Bapak danatau ibunya. Berdasarkan ketentuan K.U.H.Perdata tersebut mengenal adanya pengakuan anak luar
kawin yang dilakukan oleh ibunya, hal ini berbeda dengan UUP 1974 yang tidak mengenal pengakuan anak luar kawin yang dilakukan oleh ibunya. Menurut Erna
Sofwan Sukrie yaitu :
142
“
Bahwa dalam pengertian formil pengakuan anak menurut hukum adalah merupakan suatu bentuk pemberian keterangan dari seorang pria yang
mengatakan pengakuan terhadap anak-anaknya. Sedangkan menurut pengakuan materiil yang dimaksud pengakuan anak adalah merupakan perbuatan hukum
untuk menimbulkan hubungan kekeluargaan antara anak dengan yang mengakuinya tanpa mempersoalkan yang membuahi atau membenihkan wanita
yang melahirkan anak tersebut”.
142
Erna Sofwan Sukrie, Perlindungan Hukum Anak di Luar Nikah Ditinjau dari Hak-hak Anak, makalah dalam seminar Kowani, Jakarta, 14 Mei 1996.
Awal dari pengakuan tersebut dimaksudkan adalah untuk mencipta adanya kaitan hukum kekeluargaan terhadap anak luar kawin, lambat laun dan seiring dengan
berkembangnya hukum keluarga di beberapa negara, pengertian tersebut diperluas sehingga mempunyai arti yang hampir sama dengan pengangkatan anak yang berlaku
Universitas Sumatera Utara