Pengertian Dan Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan Menurut Hukum Adat

b. Anak syubhat kedudukannya tidak ada hubungan nasab laki-laki yang menggauli ibunya, kecuali kalau laki-laki itu mengakuinya. Kitab Al-Ahwal al Syakhshiyyah karangan Muhyidin sebagaimana dikutip oleh Muhammad Jawad Mughniyah 182 ditemukan bahwa nasab tidak dapat ditetapkan dengan syubhat macam mana pun, kecuali orang yang melakukan syubhat itu mengakuinya, karena ia sebenarnya lebih mengetahui tentang dirinya. Tentang hal yang terakhir ini disepakati oleh para ahli hukum di kalangan sunny dan syi’ah. 183

4. Pengertian Dan Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan Menurut Hukum Adat

Sehingga dapat disimpulkan bahwa menurut Hukum Islam juga mengenal anak luar kawin yang hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Masyarakat hukum adat lazim mengatakan, bahwa seorang yang dilahirkan mempunyai ibu seorang wanita yang melahirkannya dan ayahnya adalah laki-laki yang membangkitkannya dan menikah secara sah dengan wanita tersebut. Rumusan tersebut merupakan rumusan hukum adat, dan dianggap sebagai rumusan yang bersifat umum. 184 182 Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqhu Madzahibil al-Khamasah, terjemahan Afif Muhammad, cet. I Jakarta : Basrie Press, 1994, hal.106 Bagaimana bila ada kejadian anak lahir di luar perkawinan, dan bagaimana hubungan si anak dengan wanita yang melahirkannya dan juga hubungannya dengan pria yang bersangkutan? Dalam hal ini tidak semua daerah mempunyai pandangan yang sama. Di Mentawai, Timor, Minahasa dan Ambon misalnya, wanita yang melahirkan anak itu dianggap sebagai ibu anak yang 183 Abdul Manan, Loc.Cit 184 Soerjono Soekamto, Op.Cit., hal. 49 Universitas Sumatera Utara bersangkutan. Jadi biasa seperti kejadian normal seorang wanita melahirkan anak dalam perkawinan yang sah. 185 Tetapi di beberapa daerah lainnya ada pendapat yang wajib mencela keras si ibu yang tidak kawin itu beserta anaknya. Bahkan mereka semula lazimnya dibuang dari persekutuan artinya tidak diakui lagi sebagai warga persekutuan, kadang-kadang malah dibunuh atau seperti halnya kerajaan dahulu mereka itu dipersembahkan kepada raja sebagai budak. Apakah sebabnya dahulu kala itu timbul tindakan- tindakan yang keras seperti terjadi di beberapa daerah. Sebabnya adalah takut melihat adanya kelahiran yang tidak didahului oleh perkawinan beserta upacara-upacara dan selamatan-selamatan yang diperlukan. 186 Untuk mencegah nasib ibu beserta anaknya yang malang ini maka dibuatlah suatu tindakan adat yang memaksa si pria yang bersangkutan untuk kawin dengan wanita yang telah melahirkan anak itu, jadi si pria yang bersangkutan diwajibkan melangsungkan perkawinan dengan wanita yang karena perbuatannya menjadi hamil dan kemudian melahirkan anak itu. Tindakan demikian ini selalu diambil oleh rapat marga di Sumatera Selatan. Demikian juga di Bali, bahkan di daerah ini apabila orang yang dimaksud tidak mau mengawini yang telah melahirkan anak itu, ia dapat dijatuhi hukuman. 187 Di samping kawin paksa tersebut diatas, adat mengenal juga usaha yang lain, yaitu dengan cara mengawinkan wanita yang sedang hamil itu dengan salah seorang 185 Bushar Muhammad, Op.Cit., hal. 7 186 Ibid 187 Ibid Universitas Sumatera Utara laki-laki lain. Maksudnya supaya anak dapat lahir dalam masa perkawinan yang sah, sehingga anak itu menjadi anak yang sah. Cara demikian ini banyak dijumpai di desa- desa di Jawa disebut nikah tambelan dan di tanah suku Bugis disebut pattongkong sirik.Meskipun telah dilakukan upaya-upaya adat seperti hal tersebut semuanya tidak dapat menghilangkan perasaan dan pandangan yang tidak baik terhadap anak yang dilahirkan itu. Anak demikian ini dijawa disebut “anak haram jaddah”, di Bali disebut “astra”. Kadang-kadang diperlukan adanya pembayaran ataupun sumbangan adat, supaya diperbolehkan hidup tetap dalam persekutuan. 188 Lalu bagaimanakah hubungan anak dengan pria yang tidakbelum kawin dengan wanita yang melahirkannya itu ? Di Minahasa hubungan antara anak dengan pria dimaksud adalah seperti antara anak dengan ayah seperti biasanya. Bagi ayah demikian untuk menghilangkan keragu-raguan, bahwa dialah ayahnya lazimnya memberikan satu hadiah yang disebut “lilikur” kepada ibu dan anak yang bersangkutan apabila wanita ini tidak berdiam serumah dengannya. 189 Sehingga dapat dilihat mengenai pengakuan anak di luar perkawinan tidak ada diatur dalam hukum adat maupun lembaga pengakuan anak di luar perkawinan. Karena di dalam Hukum Adat berusaha agar anak yang lahir di luar perkawinan tersebut dapat lahir di dalam perkawinan yang sah walau bagaimanapun keadaannya. 188 Ibid 189 Ibid Universitas Sumatera Utara

C. Perkembangan Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan Menurut Hukum Positif