Menurut Hukum Islam Hak Keperdataan Anak Di Luar Perkawinan

Pengakuan yang dilakukan sepanjang perkawinan tersebut oleh suami atau isteri atas kebahagiaan anak luar kawin, yang sebelum kawin olehnya diperbuahkan dengan seorang lain daripada isteri atau suaminya tak akan membawa kerugian bagi baik suami atau isteri itu, maupun bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka. Artinya pengakuan anak di luar perkawinan yang dilangsungkan dalam suatu perkawinan, dimana dalam perkawinan itu ada ahli waris maka anak diluar perkawinan itu tidak berhak mewaris sekalipun telah diakui secara sah. Tetapi bila dalam perkawinan di mana anak diluar perkawinan itu diakui ternyata tidak ada ahli waris, maka pengakuan itu menurut Pasal 285 ayat 2 tersebut akan memperoleh akibatnya. Akibat yang dimaksudkan tersebut adalah adanya hak untuk mewaris. Bahkan menurut Pasal 865 K.U.H.Perdata, anak di luar perkawinan yang telah diakui dapat mewaris seluruh harta peninggalan orang tua yang mengakuinya jika tidak ada pun ahli waris yang sah. 214

3. Menurut Hukum Islam

Konsep Islam perihal anak, bahwasanya anak tersebut dilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu kondisi awal yang suci yaitu berkecendrungan kepada kebaikan tetapi secara pengetahuan ia belum tahu apa-apa. Kendatipun demikian, modal dasar bagi pengembangan pengetahuan dan sikapnya telah diberikan Allah SWT yaitu berupa alat indera, akal dan hati. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT, dalam surat An-Nahl ayat 78 sebagai berikut : 214 Ibid Universitas Sumatera Utara “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. QS. An-Nahl : 78 215 Melihat betapa pentingnya keluarga dalam pembentukan anak-anak, maka orang tua bertanggung jawab mengurusi anak dimulai sebelum kelahirannya saat masih berupa janin di dalam kandungan sampai anak mengalami masa perkembangan hingga anak dewasa selalu berada di dalam keluarga. Bahkan sebelum anak berinteraksi dengan orang lain, anak tersebut sudah dibentuk oleh orang tua. Oleh karena itu orang tua keluarga memiliki peranan yang sangat besar terhadap perkembangan anak, baik dalam aspek kesehatan, pendidikan dan akhlak anak. Orang tua juga memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap pembentukan karakter, kebiasaan sampai agama yang dianut oleh anak. Orang tua yaitu ibu dan ayah juga memegang peranan yang penting terhadap pendidikan anak-anaknya. Sejak anak lahir, ibunyalah yang selalu ada di sampingnya, oleh karena itu ia meniru sesuatu yang selalu ada di sampingnya. Selain ibu, ayah mempunyai pengaruh yang besar pula terhadap anaknya. 216 215 Soenarjo dkk, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : Toha Putra, 1989, hal. 413 Dengan demikian yang dimaksud dengan pendidikan dalam kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang memungkinkan kemampuan dan dedikasi hidup yang dibekali dengan kemampuan dan kecakapan sesuai dengan pembawaan bakat anak tersebut yang akan 216 Zakiah Darajad, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1995 hal. 215 Universitas Sumatera Utara dikembangkan di tengah – tengah masyarakat Indonesia sebagai landasan hidup dan penghidupannya setelah ia lepas dari tanggung jawab orang tua. 217 Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama bagi seseorang dan orang tua sebagai kuncinya. Pendidikan dalam keluarga terutama berperan dalam pengembangan watak, kepribadian, nilai-nilai budaya, nilai-nilai keagamaan dan moral, serta keterampilan sederhana. Pendidikan dalam konteks ini mempunyai arti pembudayaan, yaitu proses sosialisasi dan enkulturasi secara berkelanjutan dengan tujuan untuk mengantar anak agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlakluhur, mandiri, kreatif, inovatif, beretos kerja, setia kawan, peduli akan lingkungan dan sebagainya. 218 Orang tua mendidik anak dengan memperhatikan potensi yang dimilikinya. Karena itu, peran orang tua dalam mendidik anak dilakukan dengan cara membimbing, membantu atau mengarahkannya agar ia mengenal norma dan tujuan hidup yang hendak dicapainya. 219 217 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Medan : Zahir Trading, 1975 hal. 204 Tidak saja peranan ibu tetapi juga pengaruh ayah terhadap anaknya besar pula, di mata anaknya ia seorang yang menjadi panutan tertinggi dan menjadi tumpuan di antara orang – orang yang dikenalnya. Sehingga apa yang diperbuat ayahnya akan mempengaruhi sikap anak-anaknya, termasuk ketika ayah melakukan pekerjaannya sehari-hari ia akan mempengaruhi pada cara pekerjaan anaknya. 218 Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta : Lantabora Press, 2005, hal. 48 219 Ibid Universitas Sumatera Utara Menurut Syaiful Bahri Djamarah keluarga adalah sebagai sebuah institusi yang terbentuk karena ikatan perkawinan. Didalamnya hidup bersama pasangan suami- istri secara sah karena pernikahan. Mereka hidup bersama sehidup semati, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, selalu rukun dan damai dengan suatu tekad dan cita-cita untuk membentuk keluarga bahagia dan sejahtera lahir dan batin. 220 Keluarga merupakan wadah yang sangat penting diantara individu dan group dan merupakan kelompok sosial yang pertama di mana anak-anak menjadi anggotanya. Keluargalah sudah barang tentu yang pertama-tama pula menjadi tempat untuk mengadakan sosialisasi kehidupan anak-anak, ibu, ayah dan saudara- saudaranya serta keluarga-keluarga yang lain, dan orangtualah yang pertama di mana anak-anak mengadakan kontak dan yang pertama pula untuk mengajar pada anak- anak itu sebagaimana ia hidup dengan orang lain. Sehingga apapun yang diajarkan orang tua terhadap anak akan diikuti oleh anak-anak mereka, termasuk agama. 221 Kenyataan-kenyataan yang dikemukakan di atas berlaku dalam kehidupan keluarga atau rumah tangga. Hal itu menunjukkan ciri-ciri dan watak rasa tanggung jawab setiap orang tua atas kehidupan anak-anak mereka untuk masa kini dan mendatang. Bahkan para orang tua umumnya merasa bertanggung jawab atas segalanya dari kelangsungan hidup anak-anak mereka. Karenanya tidaklah diragukan bahwa tanggung jawab pendidikan secara mendasar dipikul kepada orang tua. 220 Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga, Jakarta : Rineka Cipta, 2004, hal. 16 221 Zakiah Darajad, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Kasara, 1996, hal. 35 Universitas Sumatera Utara Apakah tanggung jawab pendidikan itu diakuinya secara sadar atau tidak, diterima dengan sepenuh hatinya atau tidak, hal itu adalah merupakan fitrah yang telah dikodratkan Allah SWT kepada setiap orang tua. Mereka tidak bisa mengelakkan tanggung jawab itu karena telah merupakan amanah dari Allah yang dibebankan kepada mereka. 222 Perihal warisan dalam Hukum Islam yang diperoleh anak di luar perkawinan adalah tergantung dari dengan bersama-sama siapa anak di luar perkawinan itu mewarisatau dengan golongan ahli waris yang mana anak di luar perkawinan itu mewaris yaitu : Selanjutnya dari uraian di atas dapat diketahui bahwa tangung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak secara mendasar dipikul oleh kedua orang tua berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan tanggung jawab terhadap anak pengadilan yang memberi keputusan. 223 “Jika yang meninggalkan keturunan yang sah atau seorang suamiisteri, maka anak-anak di luar perkawinan mewaris sepertiga dari bagian yang mereka terima, andaikata mereka anak-anak yang sah”. 224 Jika pewaris tidak meninggalkan keturunan maupun suamiisteri, tetapi meninggalkan keluarga sedarah dalam garis keatas ataupun saudara laki- lakiperempuanketurunan mereka, maka mereka mewaris setengah dari warisan. Jika 222 Ibid, hal. 36 223 Effendi Perangin, Hukum Warisan, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1997, hal. 65-66 224 Lihat Pasal 863 KHI Universitas Sumatera Utara hanya ada sanak saudara dalam derajat yang lebih jauh, anak di luar perkawinan mewaris tiga perempat dari warisan. 225 Hukum Islam tidak ada aturan khusus mengatur kekuasaan orang tua dan perwalian terhadap anak. Namun berdasar kaidah-kaidah yang sudah ada dapat diketahui bahwa yang berhak dan wajib melaksanakan kekuasaan dan perwalian terhadap anak secara berurut dalam urutan pertama adalah bapak atau kakek atau buyut yang masih hidup dan mampu dan tidak ada halangannya. Tidak sah suatu perkawinan tanpa wali dari calon pengantin perempuan, yaitu terdiri dari kerabat pria terdekat dari pihak bapak. 226 Menurut hukum Islam syarat untuk menjadi wali adalah yang beragama Islam, sudah dewasa, berakal sehat dan dapat berlaku adil, dan terutama ditarik menurut garis lelaki patrilineal. 227 Hanya ayah dan kakek ayah dari ayah mempunyai kekuasaan yang lebih besar untuk mengawinkan anak atau cucunya yang perempuan dengan tekanan, apabila dipenuhi syarat-syarat yang tertentu. Kedua wali ini disebut dalam istilah hukum Fiqh wali mujbir. Kekuasaan wali mujbir lebih besar dari wali yang lain. Jika anaknya sudah pernah kawin atau cucunya pernah kawin hak tekanan atau ijbar tidak ada lagi pada sang wali. Perempuan tersebut berkuasa menetapkan pilihannya sendiri. 228 Adapun susunan wali itu dan tertibnya adalah sebagai berikut : 229 225 Ibid 226 T.Jafizham, Op.Cit hal. 263 227 Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal 155 228 T.Jafizham, Op. Cit., hal. 264 229 Ibid Universitas Sumatera Utara a. Ushul ascendent yang terdekat dari pihak bapak, yaitu ayah dan setelah itu kakek ayah dari ayah; b. Anak laki-laki dari gadis ayah yang terdekat, yaitu saudara laki-laki seibu sebapak dan kemudian saudara laki-laki sebapak, kemudian anaknya yang laki- laki; c. Anak laki-laki yang terdekat dari keturunan kakek dari pihak ayah, yaitu paman seibu sebapak dan setelah itu paman sebapak, kemudian anak paman seibu sebapak dan setelah itu anak paman sebapak. d. Wanita yang tidak mempunyai keluarga sama sekali maka yang menjadi walinya adalah Pemerintah. Kesemua urutan yang berhak tersebut tidak ada sama sekali, tidak mampu atau berhalangan semua, maka yang dapat menjalankan kekuasaan orang tua dan perwalian terhadap anak adalah pejabat pemerintahan, atau Kadhi Hakim, sebagaimana hadis riwayat Abu Daud, Tarmizi dan Ibnu Hibban bahwa Nabi menyatakan,”Sultan itu wali bagi orang yang tidak mempunyai wali”. Bahkan menurut mazhab Maliki dan Hambali kalau wali hakim tidak ada tidak mampu atau berhalangan maka setiap orang Islam yang dapat adil dapat menjadi wali. 230

4. Menurut Hukum Adat