BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 mengatakan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
1
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan,
sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang.
Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, disamping memiliki budi pekerti
yang luhur dan moral yang baik. Suatu pendidikan dikatakan baik atau berkualitas jika proses
pembelajarannya berlangsung secara menarik dan menantang sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak mungkin melalui proses belajar yang berkelanjutan.
Proses pendidikan yang berkualitas akan membuahkan hasil pendidikan yang
1
Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag, 2003, Cet. Ke- 2, h. 34
1
2
berkulitas sehingga demikian akan makin meningkatkan kualitas kehidupan bangsa.
Dalam pendidikan di sekolah, ada alur yang searah dan sebanding antara input pendidikan, proses pembelajaran, dan hasil belajar output. Porses
pembelajaran yang berkualitas adalah proses pembelajaran yang memberi perubahan atas input menuju output hasil yang lebih baik dari sebelumnya.
Karenanya, pembenahan yang menyeluruh dan sistematis perlu dilakukan terhadap input, proses, termasuk di dalamnya sistem evaluasi pendidikan,
sehingga dapat menjamin terciptanya kualitas hasil yang tinggi dan merata. Dengan kualitas pendidikan yang optimal diharapkan akan diperoleh manusia-
manusia berkualitas baik sebagai sumber daya unggul yang dapat menguasai pengetahuan, keterampilan, dan keahlian sesuai dengan tuntutan perkembangan
ilmu dan teknologi. “Di antara sejumlah faktor yang sangat penting dalam mewujudkan sistem
pendidikan yang berkualitas dan efesien, guru merupakan ujung tombak frontier dalam melaksanakan misi pendidikan di lapangan. Pendidik guru adalah sebuah
jabatan profesional yang memiliki visi, misi, dan aksi yang khusus sebagai pemeran utama dalam pengembangan manusia sebagai sumber daya”.
2
Akan tetapi banyak kritik yang ditujukan pada cara guru mengajar yang terlalu menekankan pada penguasaan sejumlah informasi atau konsep belaka.
Penumpukan informasi atau konsep pada subjek didik dapat saja kurang bermanfaat bahkan tidak bermanfaat sama sekali kalau hal tersebut hanya
dikomunikasikan oleh guru kepada subjek didik melalui satu arah seperti menuang air kedalam sebuah gelas. Tidak dapat disangkal, bahwa konsep
merupakan suatu hal yang sangat penting, namun bukan terletak pada konsep itu sendiri, tetapi terletak pada bagaimana konsep itu dipahami oleh subjek didik.
Pentingnya pemahaman konsep dalam proses belajar mengajar sangat mempengaruhi sikap, keputusan, dan cara-cara memecahkan masalah. Untuk itu
2
Anggota IKAPI, Pengelolaan Kelas yang Dinamis, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007, h. 9-10
3
yang terpenting terjadi belajar yang bermakna dan tidak hanya seperti menuang air dalam gelas pada subjek didik.
Kenyataan di lapangan siswa hanya menghafal konsep dan kurang mampu menggunakan konsep tersebut jika menemui masalah dalam kehidupan
nyata yang berhubungan dengan konsep yang dimiliki. Lebih jauh lagi bahkan siswa kurang mampu menentukan masalah dan merumuskannya.
Berbicara mengenai proses pembelajaran dan pengajaran yang sering membuat kita kecewa, apalagi dikaitkan dengan pemahaman siswa
terhadap materi ajar. Walaupun demikian kita menyadari bahwa ada siswa yang mampu memiliki tingkat hafalan yang baik terhadap materi yang
diterimanya, namun kenyataan mereka sering kurang memahami dan mengerti secara mendalam pengetahuan yang bersifat hafalan tersebut
Depdiknas 2002 : 1.
3
Pemahaman yang dimaksud ini adalah pemahaman siswa terhadap dasar kualitatif di mana fakta-fakta saling berkaitan dengan kemampuannya untuk
menggunakan pengetahuan tersebut dalam situasi baru. Sebagian besar siswa kurang mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan
bagaimana pengetahuan tersebut akan dimanfaatkan atau diaplikasikan pada situasi baru.
Menurut Arends 1997 : 243 yang di kutip dari buku “Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif” : “It is strange that we expect students to
learn yet seldom teach then about learning, we expect student to solve problems yet seldom teach then about problem solving”, yang berati dalam
pengajaran guru selalu menuntut siswa untuk belajar dan jarang memberikan pelajaran tentang bagaimana siswa untuk belajar, guru juga
menuntut siswa untuk menyelesaikan masalah, tapi jarang mengajarkan bagaimana siswa seharusnya menyelesaikan masalah.
4
Persoalan sekarag adalah bagaimana menemukan cara yang terbaik untuk menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan sehingga siswa dapat
menggunakan dan mengingat lebih lama konsep tersebut. Bagaimana guru dapat berkomunikasi baik dengan siswanya. Bagaimana guru dapat membuka wawasan
berfikir yang beragam dari seluruh siswa, sehingga dapat mempelajari berbagai konsep dan cara mengaitkannya dalam kehidupan nyata. Bagaimana sebagai guru
3
Trianto, S. Pd., M. Pd, Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007, Cet. Ke- 1, h. 65
4
Trianto, S. Pd, M. Pd, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif, Jakarta: Kencana, 2009, Cet. Ke- 1, h. 90
4
yang baik dan bijaksana mampu menggunakan model pembelajaran yang berkaitan dengan cara memecahkan masalah problem solving.
Melalui model pembelajaran berdasarkan masalah yang merupakan suatu model pembelajaran yang didasarkan pada banyaknya permasalahan yang
membutuhkan penyelidikan autentik yakni penyelidikan yang membutuhkan penyelesaian nyata dari permaslahan yang nyata. Jadi dari contoh permasalahan
nyata jika diselesaikan secara nyata, memungkinkan siswa memahami konsep bukan sekedar menghapal konsep.
“Pengajaran berdasarkan masalah dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah dan keterampilan
intelektual; belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi; dan menjadi pembelajar yang otonom dan
mandiri”.
5
Meminjam pendapat Bruner yang dikutip dari buku yang berjudul Model- Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik karangan
Trianto
, bahwa berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-
benar bermakna. Suatu konsekwensi logis, karena dengan berusaha untuk mencari pemecahan masalah secara mandiri akan memberikan suatu
pengalaman konkret, dengan pengalaman tersebut dapat digunakan pula memecahkan masalah-masalah serupa, karena pengalaman itu memberikan
makna tersendiri bagi peserta didik.
6
Dengan demikian Model Pengajaran Berdasarkan Masalah Problem Based Intruction dapat diterapkan pada mata pelajaran apapun yang
membutuhkan penyelesaian autentik dari masalah yang dihadapai pada mata pelajaran tersebut. Contohnya seperti mata pelajaran IPA, Matematika, dan Ilmu-
ilmu Sosial. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sosiologi
kiranya tepat bila menggunakan Model Pengajaran Berdasarkan Masalah PBI, karena sosiologi merupakan ilmu pengetahuan sosial yang secara teoritis memiliki
posisi strategi dalam membahas dan mempelajari masalah-masalah sosial, politik
5
Trianto, Model-model…, h. 70
6
Trianto, Model-model…, h. 67
5
dan budaya yang berkembang dalam masyarakat realita dan selalu siap dengan pemikiran kritis dan alternatif menjawab tantangan yang ada. Melihat masa depan
masyarakat kita, sosiologi dituntut untuk tanggap terhadap isu globalisasi yang didalamnya mencakup demokratisasi, desentralisasi dan otonomi, penegakan
HAM, good govermance tata kelola pemerintahan yang baik, emansipasi, kerukunan hidup bermasyarakat, masyarakat yang demokratis dan lain-lain.
Sehingga dalam pengajaran ini siswa dapat diarahkan untuk terlibat langsung dalam menyelesaikan masalah nyata yang terjadi di masyarakat.
“Namun disisi lain siswa beranggapan bahwa ilmu-ilmu sosial itu membosankan karena sajiannya bertele-tele dan untuk menguasainya dibutuhkan
kemampuan menghafal yang luar biasa. Seteriotip yang kurang mengesankan ini terajut dari impresi sosiologi sebagai produksi masa lampau yang dalam
penyajiannya tidak relevan dengan konteks sosial siswa”.
7
Ditambah lagi kurangnya kreatifitas dan pegetahuan guru sosiologi pada umumnya dalam
mencari dan mengembangkan model pembelajaran yang efektif, sehingga siswa tidak termotivasi dan tidak menyenangi terhadap mata pelajaran tersebut. Hal ini
dapat menyebabkan hasil belajar siswa yang kurang maksimal. Adanya indikasi kegagalan siswa dalam pembelajaran sosiologi mendesak
penulis untuk mencari jalan alternatif pemecahan yang boleh ditempuh dalam proses pembelajaran yaitu melalui penerapan Model Pengajaran Berdasarkan
Masalah Problem Based Instruction, sehingga ada harapan bagi guru bahkan siswa sendiri untuk bisa menghengkangkan persepsi negatif tersebut dan
diharapkan hasil belajar siswa pada pembelajaran sosiologi dapat lebih baik lagi. Dengan demikian dari permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya,
penulis memilih untuk mengadakan penelitian yang berjudul:
“ PERBEDAAN TINGKAT EFEKTIVITAS PELAKSANAAN METODE PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH PROBLEM BASED
INSTRUCTION DENGAN METODE DISKUSI PADA PEMBELAJARAN SOSIOLOGI DI SMAN 5 BEKASI ”.
7
Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009, Cet. 5, h. 214
6
Alasan penulis memilih judul tersebut sebagai subyek penelitian dalam skripsi ini, antara lain:
1. Pengajaran berdasarkan masalah Problem Based Instruction merupakan
pembelajaran yang belum banyak digunakan oleh para akademisi di bidang pendidikan sosial khususnya sosiologi.
2. Penulis tertarik untuk mengetahui tingkat efektivitas penerapan pengajaran
berdasarkan masalah Problem Based Instruction pada pembelajaran sosiologi.
B. Identifikasi Masalah