Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Pembenihan Ikan Patin Di Kota Metro Lampung.

(1)

I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 6.400,36 km mulai dari Sabang sampai Merauke dengan garis pantai sepanjang 95.181 km dan terletak di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Jika dibandingkan antara luas daratan dan lautannya, maka luas lautan di Indonesia memiliki dominasi lebih besar yaitu mencapai 62 persen dari total wilayah Indonesia sedangkan luas daratan hanya 38 persen dari total wilayah Indonesia, dengan kondisi tersebut Indonesia dikenal sebagai Negara Maritim atau Negara Bahari.

Di era Kementerian Kelautan dan Perikanan periode 2009-2014, semangat bahari ditransformasikan ke dalam tindakan dan kegiatan ekonomi melalui revolusi biru. Revolusi biru merupakan perubahan mendasar cara berpikir dari daratan ke maritim dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Program minapolitan merupakan salah satu program pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan produksi, produktivitas dan kualitas perikanan. Minapolitan adalah konsep pembangunan kelautan dan perikanan yang berbasis wilayah dengan pendekatan sistem dan manajemen kawasan dengan prinsip integrasi, efisien, kualitas, dan akselerasi. Program minapolitan akan menjadikan suatu kawasan memiliki sentra-sentra produksi baik pembenihan maupun pembesaran serta perdagangan komoditas kelautan dan perikanan.1

Kurun waktu 2009-2014 kontribusi produksi dari sektor perikanan ditargetkan meningkat hingga 353 persen dari perikanan budidaya dan 6 persen dari perikanan tangkap. Peningkatan produksi ini akan diimplementasikan di 197 lokasi kabupaten/kota yang tersebar di 33 propinsi, 114 diantaranya berbasis perikanan budidaya dan 87 perikanan tangkap. Lahan yang digunakan merupakan lahan yang sudah ada, hanya dilakukan perluasan untuk perikanan budidaya. Total potensi lahan budidaya meningkat hingga 15,59 Ha yang terdiri dari budidaya air tawar (2,23 juta Ha), payau (1,22 juta Ha), dan laut (12,14 juta Ha), tetapi

1


(2)

pemanfaatannya masih sangat kecil, yaitu untuk tawar baru 10,01 persen, payau 40 persen, dan laut 0,01 persen2.

Laju pertumbuhan produksi perikanan nasional sejak tahun 2006-2010 mencapai 9,68 persen per tahun, dimana pertumbuhan perikanan budidaya sebesar 19,56 persen, sementara itu pertumbuhan perikanan tangkap hanya sebesar 2,78 persen. Hingga triwulan III tahun 2010, kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) sektor perikanan terhadap PDB nasional mencapai 3,14 persen, yakni sekitar Rp148,16 triliun. Pada tahun 2011 kontribusi PDB perikanan terhadap PDB nasional tanpa migas diharapkan meningkat menjadi 3,5 persen. Sedangkan produksi perikanan tahun 2011 ditargetkan mencapai 12,26 juta ton atau meningkat 13 persen dari tahun 2010 yang menghasilkan produksi perikanan sebesar 10,83 juta ton. Berikut ini Tabel Indikator Kinerja Utama (IKU) pembangunan kelautan dan perikanan yang akan dicapai tahun 2010-2014 yang dilihat dari aspek ekonomi.

Tabel 1. Indikator Kinerja Utama KKP 2010-2014 Rincian

Sasaran Rata-rata

kenaikan (%/tahun) 2010 2011 2012 2013 2014

Kontribusi PDB perikanan terhadap

PDB Nasional tanpa migas (%) 3,0 3,5 4,5 5,5 6,5 21,41 Produk perikanan (Juta Ton)

 Perikanan tangkap  Perikanan budidaya

5,38 5,38 5,41 6,85 5,44 9,42 5,47 13,02 5,50 16,89 0,55 20,19 Nilai eksnpor hasil perikanan (USD

miliar)

2,9 3,2 3,6 4,1 5,0 14,67

Konsumsi ikan (kg/kapita/tahun) 30,47 31,64 32,39 33,17 38,67 6,29 Jumlah unit pengolahan ikan 444 449 454 459 464 1,10 Nilai tukar nelayan/pembudidaya ikan 105 107 110 112 115 2,30 Sumber: KKP (2010)3

Tabel 1 menunjukan target kinerja KKP 2010-2014. Kontribusi PDB perikanan terhadap PDB nasional tanpa migas diharapkan meningkat menjadi 3,5 persen di tahun 2011, dan di tahun 2014 menjadi 6,5 dengan kenaikan rata-rata

2

Muhammad Fadel. 2011. Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia pada Acara Temu Koordinasi Pemantapan Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan Perikanan Budidaya. http://www.kkp.go.id/index.php/archives/c/2/3831/sambutan-menteri-kelautan-dan-perikanan- republik-indonesia-pada-acara-temu-koordinasi-pemantapan-pelaksanaan-kegiatan-pembangunan-perikanan-budidaya/ [22 februari 2011]

3

Muhammad Fadel. 2010. Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010-2014. http://www.kkp.go.id/upload/BUKU-RENSTRA-2010-FINAL.pdf [4 Maret 2011]


(3)

per tahun sebesar 21,42 persen. Target produksi perikanan tahun 2011 ditargetkan mencapai 12,26 juta ton, dan di tahun 2014 mencapai 20,16 juta ton dengan kenaikan rata-rata sebesar 20,16 persen per tahun.

Komoditas perikanan budidaya yang menjadi andalan dalam peningkatan produksi salah satunya adalah ikan patin. Peningkatan produksi perikanan ikan patin diproyeksikan menjadi penyumbang terbesar dalam pencapaian target pemerintah untuk meningkatkan produksi perikanan menjadi 353 persen. Hal ini dapat dilihat pada Tabel proyeksi produksi perikanan budidaya menurut komoditas utama tahun 2010-2014.

Tabel 2. Proyeksi produksi perikanan budidaya menurut komoditas utama 2010-2014 dalam satuan ribu ton

Rincian 2011 2012 2013 2014

Kenaikan rata-rata 2009-2014

(%)

Kenaikan 2009 ke 2014 (%) Rumput

laut

3.504,2 5.100 7.500 10.000 32 389

Catfish

- Patin 383 651 1.107 1.883 70 1.420`

- Lele 366 495 670 900 35 450

Nila 639 850 1.105 1.242,9 27 329

Bandeng 419 503 604 700 19 240

Udang 460 529 608 699 15 201

Mas 280,4 300 325 350 7 138

Gurame 42,3 44,4 46,6 48,9 5 127

Kakap 5,3 6,4 7,5 8,5 13 185

Kerapu 9 11 15 20 31 377

Lainnya 738,8 925,4 1.032,7 1.038 14 188

Jumlah 6.847,5 9.415,7 13.020,8 16.891 29 353

Sumber: KKP (2011a)4

Berdasarkan Tabel 2 produksi perikanan budidaya komoditas utama dari tahun 2010-2014. Peningkatan produksi ikan paling besar adalah ikan patin, produksi ikan patin diproyeksikan dapat mencapai 1.883.000 ton pada tahun 2014 dengan peningkatan 14,2 kali lipat dari tahun 2009. Kenaikan produksi rata-rata tiap tahunnya ditargetkan mencapai 70 persen atau sama dengan meningkatan produksi ikan patin sebesar 1.420 persen dari tahun 2009 hingga 2014.

4

Produksi rumput laut lampaui target.


(4)

Ikan patin memiliki potensi yang besar untuk dibudidayakan secara komersial, karena ikan konsumsi air tawar ini relatif lebih mudah dibudidayakan, bernilai ekonomis, dan banyak digemari oleh masyarakat terutama di Pulau Sumatera dan Kalimantan (Zelvina 2009).

Budidaya ikan patin di Indonesia secara umum berkembang di daerah Jawa Barat, Kalimantan, dan Sumatera. Pembenihan ikan patin lebih banyak berkembang di Jawa Barat dibanding daerah lain, hal ini dikarenakan oleh kondisi cuaca, iklim, dan pH air yang menunjang, serta pakan yang berupa cacing sutera banyak ditemukan di Jawa Barat. Selain itu teknologi penyuntikan dan pengekstraksian kelenjar hipofisa di Jawa Barat lebih berkembang. Hal ini berbeda dengan wilayah Kalimantan dan Sumatera yang lebih fokus pada usaha pembesaran (Bukit 2007).

Lampung merupakan salah satu sentra produksi perikanan di pulau Sumatera. Maka tidak salah jika pemerintah menargetkan produksi perikanan yang cukup besar di daerah tersebut. Tabel di bawah ini merupakan target produksi perikanan tahun 2011 berdasarkan propinsi di Indonesia.

Tabel 3. Target Produksi Menurut Propinsi Tahun 2011

No Propinsi Perikanan

Tangkap (Ton)

Perikanan Budidaya (Ton)

Total (Ton)

A. SUMATERA 1.551.540 1.232.490 2.784.030

1. Nanggroe Aceh Darussalam 142.373 96.937 239.310

2. Sumatera Utara 374.773 129.037 503.810

3. Sumatera Barat 212.033 168.370 380.403

4. Riau 125.743 100.728 226.471

5. Kepulauan Riau 205.893 59.339 265.232

6. Jambi 62.333 56.731 119.064

7. Sumatera Selatan 90.783 288.630 379.413

8. Kepulauan Bangka Belitung 129.683 76.718 206.401

9. Bengkulu 50.123 32.320 82.443

10. Lampung 157.803 223.680 381.483

B. JAWA 1.014.218 1.773.532 2.787.750

C. BALI-NUSA TENGGARA 339.679 1.311.891 1.651.570

D. KALIMANTAN 488.002 324.920 812.922

Sumber: KKP (2011b) 5

5

Mudho Yulistyo. 2011. Pacu ekonomi dengan minapolitan.

http://www.kkp.go.id/index.php/archives/c/34/3955/pacu-ekonomi-daerah-dengan-minapolitan/ [4 Maret 2011]


(5)

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat target produksi tiap propinsi yang menjadi daerah produksi perikanan. Pulau Jawa dan Pulau Sumatera menjadi target daerah produksi perikanan paling besar yaitu 2.787.750 ton dan 2.784.030 ton. Sumatera Selatan dan Lampung menjadi sentra produksi perikanan budidaya yang memberikan kontribusi paling besar di Pulau Sumatera. Di Pulau Jawa sentra produksi perikanan budidaya yang memberikan kontribusi terbesar adalah Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara di Pulau Bali–Nusa Tenggara produksi perikanan budidaya terbesar ditargetkan akan diberikan oleh Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Pemenuhan permintaan atas benih patin di Lampung untuk saat ini masih disuplai dari luar daerah, kondisi ini diduga dapat menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat peningkatan produksi ikan patin di Lampung, hal ini dikarenakan harga benih patin yang dibayar pembesar ikan patin relatif lebih mahal, dan kualitas benih yang kurang baik akibat transportasi yang jauh. Pengintegrasian antara lokasi pembenihan dan pembesaran merupakan salah satu usaha agar produksi ikan patin menjadi efisien. Salah satu wilayah yang menjadi basis produksi benih ikan patin di Lampung adalah Kota Metro. Berikut ini tabel mengenai produksi benih ikan patin di Kota Metro.

Tabel 4. Produksi Benih Ikan Patin di Kota Metro Tahun 2005-2009

No Tahun Produksi Benih Ikan Patin (ekor)

1 2005 1.208.000

2 2006 653.000

3 2007 831.000

4 2008 892.000

5 2009 1.782.000

Rata-rata Produksi Per Tahun 1.073.200 Sumber: Dinas Pertanian Bidang Perikanan Kota Metro (2009)

Berdasarkan tabel di atas rata-rata produksi benih patin pertahun dari tahun 2005-2009 adalah 1.073.200 ekor. Produksi benih patin di Kota Metro masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pembenihan di Jawa, dan daerah lainnya. Produksi ikan patin di Propinsi Lampung pada Tahun 2010


(6)

menunjukan angka 19.565 ton6, dengan target peningkatan produksi 70 persen pertahun, maka target produksi ikan patin di Propinsi Lampung pada tahun 2011 mencapai 33.260,5 ton, berdasarkan target tersebut maka jumlah kebutuhan benih ikan patin di Lampung pada tahun 2011 adalah 66.521.000 ekor. Jumlah tersebut didapat dari asumsi target produksi ikan patin di tahun 2011 yaitu 33.260.500 kg dengan ukuran konsumsi satu kilogram ikan patin adalah dua ekor, maka jumlah produksi ikan patin di Indonesia di targetkan sebanyak 66.521.000 ekor ikan patin. Jumlah kebutuhan tersebut masih sangat jauh berbeda dengan total produksi rata-rata benih ikan patin di Lampung, sehingga diperlukan usaha untuk meningkatkan produksi benih ikan patin di Lampung. Selain dengan mendatangkan benih dari luar daerah, usaha lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi benih ikan patin adalah dengan mengefisienkan kegiatan usahatani pembenihan, sehingga dalam melakukan usahataninya kombinasi input-input yang dibutuhkan oleh petani akan sangat berpengaruh terhadap jumlah produksi benih ikan patin yang dihasilkan. Tingkat efisiensi akan berdampak pada penerimaan, sehingga efisiensi dalam produksi sangat diperlukan oleh pembenih agar keuntungan yang diperoleh menjadi lebih besar. Tuntutan bekerja secara efisien tidak dapat dihindari dalam bisnis, termasuk budidaya perikanan, seringkali ditemukan bahwa biaya produksi dirasa semakin meningkat, sementara nilai produksi dirasakan relatif meningkat lebih lamban (Soekartawi 2003).

1.2 Perumusan Masalah

Pengembangan produksi benih ikan patin memiliki potensi yang luas untuk memenuhi permintaan pasar. Di dalam hal ini Lampung merupakan salah satu sentra pembesaran ikan patin, komoditas ini menjadi produksi perikanan budidaya terbesar jika dibandingkan dengan komoditas perikanan budidaya lainnya7. Namun ironisnya pengembangan produksi ikan patin ini belum didukung oleh perkembangan pembenihan di daerah tersebut. Hal ini sesuai dengan data

6

Taryono. 2011. Menggenjot Produksi Perikanan Budidaya (1).

http://lampung.tribunnews.com/2011/11/20/menggenjot-produksi-perikanan-budidaya [12 Desember 2011]

7

Sugih Gunung. 2010. Produksi ikan Patin di Lampung Tengah selama tahun 2010 ini mencapai 150 ton. http://lampung.tribunnews.com/m/read/artikel/18685/Produksi-Ikan-Patin-Lamteng-150-Ton [24 Maret 2011]


(7)

dari Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2011) yang menggambarkan bagaimana kondisi pembenihan ikan patin yang telah bersertifikat di Indonesia.

Tabel.5 Pembenihan yang Bersertifikat di Indonesia Tahun 2011

No Nama Kelompok

Usaha/Perusahaan Comodity Location

Production/ year

1 BPBAT Cijengkol Patin Sukamandi, Subang,

Jawa Barat 18.300.000

2 BBIS Sei Tibun Patin Padang Mutung,

Kampar, Riau 1.000.000 3 Ohara Sakti Indo

Pratiwi Patin

Padang Mutung,

Kampar, Riau 18.000.000 4 UPR Graha Pratama

Fish Patin

Koto Masjid, Kampar,

Riau 4.500.000

5 Dolphin Farm Patin Kec. Lima Puluh,

Pekanbaru, Riau 3.400.000 6 UPR Stanum Hatchery Patin Bangkinang,

Kampar,Riau 3.600.000

7 CV. Mika Distrindo Patin Kota Metro Lampung 3.000.000 Sumber : Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, KKP (2010)8

Berdasarkan Tabel di atas, hanya terdapat satu pembenih ikan patin bersertifikat di Lampung yaitu di Kota Metro. Salah satu fakotr yang menyebabkan masih sedikitnya pembenih ikan patin di Kota Metro adalah baru berkembangnya pembenihan ikan patin di Kota Metro, sehingga usaha ini dianggap belum stabil. Selain itu cukup besarnya modal awal untuk melakukan pembenihan menjadi faktor lain yang mempengaruhi jumlah pembenih dan produksi benih patin di Kota Metro, rata-rata modal yang harus diinvestasikan untuk pembenihan ikan patin adalah sebesar Rp.21.214.191. Besarnya modal awal yang diinvestasikan dalam pembenihan ikan patin dapat menjadi barrier to entry

dalam pembenihan ikan patin di Kota Metro. Risiko dalam pembenihan ikan patin pun tergolong tinggi. Menurut Penelitian Saputra (2011) terdapat beberapa sumber risiko produksi yang dihadapi oleh pembenih ikan patin yang memicu terjadinya kematian benih ikan patin (mortalitas rate) dan produksi telur oleh indukan diantaranya penyakit, perubahan suhu air yang ekstrim, musim kemarau, dan kanibalisme. Penyakit yang biasa menyerang benih ikan patin adalah jenis bakteri Aeromonas dan penyakit white spot. Kedua penyakit ini berasal dari lingkungan yang tidak terkontrol, sehingga menyebabkan benih ikan kehilangan


(8)

nafsu makan, dan lemas, hingga menyebabkan kematian. Perubahan suhu air yang ekstrim mengharuskan benih beradaptasi dengan lingkungan, namun benih yang lemah tidak dapat bertahan pada perubahan tersebut, sehingga menyebabkan kematian. Musim kemarau menyebabkan produksi telur oleh indukan berkurang, hal ini lebih disebabkan respon ikan terhadap lingkungannya, pengaruh musim kemarau dapat menurunkan produksi telur hingga 50 persen. Kanibalisme terjadi setelah telur menetas, ketika cadangan makanan (yolk suck) habis, benih ikan patin membutuhkan makanan dan dapat bersifat kanibal atau karnivora.

Jika dibandingkan dengan daerah lain, produksi benih patin di Kota Metro masih relatif sedikit, dalam satu pembenihan (hatchery) hanya mampu memproduksi 3.000.000 ekor benih patin per tahun, sedangkan menurut literatur potensi produktivitas indukan patin mampu mencapai 35.000-200.000 butir telur/kg indukan (Khairuman dan Amri 2008, Mahyudin 2010, dan Saparitno 2010). Kondisi pembenihan di Kota Metro berbeda jauh dengan pembenihan patin di Subang yang mampu memproduksi 18.300.000 ekor benih patin per tahun, dan di daerah Bogor yang mampu menghasilkan benih patin rata-rata per tahun sebesar 49.047.000. Berikut ini Tabel mengenai produksi benih patin di Kabupaten Bogor tahun 2007-2010.

Tabel.6Produksi Benih Ikan Patin di Kabupaten Bogor Tahun 2007-2010.

No Tahun Produksi Benih Ikan Patin (ekor)

1 2007 58.126.000

2 2008 79.893.000

3 2009 26.358.000

4 2010 32.047.000

Rata-rata Produksi Per Tahun 49.106.000 Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2011)

Berdasarkan tabel di atas, dapat dikatakan produksi benih patin di Kota Metro masih sangat jauh tertinggal dari daerah di Jawa Barat. Masih rendahnya produksi benih patin di Kota Metro diduga disebabkan masalah inefisiensi dalam usahatani pembenihan ikan patin yang merupakan masalah yang sering ditemui oleh para pembenih, seperti keterbatasan sumberdaya modal, ketersediaan cacing sutera, jumlah tenaga kerja pembenihan dan pengetahuan mengenai teknologi pembenihan yang terbatas, mengingat kondisi pembenihan di Lampung belum


(9)

berkembang jika dibandingkan dengan pembenihan di Jawa Barat, hal ini sesuai dengan pendapat Bukit (2007) dalam penelitiannya yaitu hal yang menyebabkan belum berkembangnya pembenihan di Lampung adalah dikarenakan oleh kondisi cuaca, iklim, dan pH air yang kurang menunjang pembenihan, serta pakan yang berupa cacing sutera yang terbatas.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang terjadi pada pembenihan di Lampung, diantaranya:

1) Faktor apa sajakah yang mempengaruhi produksi benih patin di Kota Metro?

2) Bagaimana efisiensi teknis usahatani pembenihan patin di Kota Metro?

3) Bagaimana tingkat pendapatan usahatani pembenihan ikan patin di Kota Metro?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi produksi patin di Kota Metro.

2) Menganalisis efisiensi teknis usahatani pembenihan ikan patin di Kota Metro.

3) Menganalisis tingkat pendapatan usahatani pembenihan ikan patin di Kota Metro.

1.4 Manfaat

Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi informasi bagi pembaca yang tertarik mengenai efisiensi teknis usahatani pembenihan dan analisis faktor yang mempengaruhi produksi benih ikan patin, penelitian ini juga diharapkan menjadi masukan bagi pemerintah dalam penyelenggaraan program pemerintah berkaitan dengan usaha peningkatan produksi perikanan, khususnya daerah Lampung dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.


(10)

1.5 Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis efisiensi teknis usahatani, faktor yang mempengaruhi produksi, dan tingkat pendapatan usahatani pembenihan ikan patin di Kota Metro. Untuk melihat pengaruh input produksi terhadap output (produksi) dapat dilihat melalui analisis regresi menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas Stochastic Frontier. Analisis ini berguna untuk melihat pengaruh dari input yang berpengaruh terhadap produksi, dan untuk melihat efisiensi teknisnya, maka digunakan perbandingan antara produksi observasi dengan produksi frontier. Responden utama dalam penelitian ini adalah pembenih patin di Kota Metro, Lampung adapun data-data pendukungnya berasal dari Dinas Pertanian Bidang Perikanan Kota Metro, Lampung, Kementerian Kelautan dan Perikanan.


(11)

II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Komoditas 2.1.1 Deskripsi Ikan Patin

Ikan merupakan salah satu mahluk hidup bertulang belakang (vertebrata) yang masuk ke dalam kelompok poiklilotermik (berdarah dingin) hidup di dalam air dan memiliki sirip. Sebagian besar ikan bernafas dengan insang, namun pada beberapa spesies ikan alat pernafasannya dibantu oleh organ pernafasan lain seperti labirin. Ikan dapat dibagi menjadi ke dalam beberapa golongan berdasarkan lokasi budidayanya, yaitu ikan air tawar, ikan air payau, dan ikan air laut. Berdasarkan klasifikasi taksonominya ikan dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu Ciprinid, siklid, salmonid, dan klaridid. Biasanya ikan dibagi menjadi ikan tanpa rahang (kelas Agnatha), ikan bertulang rawan (kelas

Chondrichthyes), dan sisanya tergolong ikan bertulang keras (kelas Osteichthyes). Ikan memiliki kandungan gizi yang lebih baik jika dibandingkan dengan sumber protein lainnya. Perbandingan kandungan nilai zat gizi pada ikan dan beberapa sumber protein dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 7. Perbandingan Kandungan Nilai Zat Gizi pada Beberapa Sumber Protein Hewani per Gram

Kandungan Satuan Ikan Daging

Sapi

Daging Ayam

Telur Utuh

Susu Sapi

Protein % 16-20 18 20 11,8 3,3

Lemak % 2-22 3 7 11,0 3,8

Karbohidrat % 0,5-1,5 1,2 1,1 11,7 4,7

Abu % 2,5-4,5 0,7 - -

-Vitamin A IU/g 50.000 600 - - 35

Vitamin D IU/g 20-200.000 - - -

-Air % 56,79 75,5 72,9 65,5 87,6

Kolesterol Mg/g 70 70 60 550 11

Asam Amino Esensial % 10 10 10 10 10

Asam Amino Non Esensial % 10 - 2 - 10

Sumber: Diskanlut Jawa Tengah (2010)9

9

Diskanlut Jawa Tengah. 2010. Meranda keamanan pangan produk hasil perikanan. http://diskanlut-jateng.go.id/index.php/read/news/detail/60. [4 Maret 2011].


(12)

Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat keunggulan kandungan nilai zat gizi yang dimiliki oleh ikan dibanding sumber protein hewani lainnya. Kandungan protein, lemak, vitamin A dan vitamin B tertinggi terdapat pada ikan yaitu 20 persen, 22 persen, 50.000 IU/g dan 20-200.000 IU/g.

Ikan patin (Pangasius hypophthalamus) merupakan ikan air tawar yang termasuk ke dalam golongan pangasidae yaitu catfish atau ikan yang memiliki kumis atau antenna. Ikan patin berasal dari Sungai Mekong di Vietnam sampai ke Sungai Chao Praya di Thailand dan diintroduksi masuk Indonesia melalui Bogor pada tahun 1975. Ikan patin termasuk ke dalam ikan yang memiliki sifat aktif pada malam hari (nocturnal) dan hidup di sungai-sungai terutama liang-liang di tepi sungai. Ikan patin atau sius memiliki bentuk kepala relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala bagian bawah, dan pada kedua sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek atau antenna yang berfungsi sebagai alat peraba atau radar saat berenang. Bentuk tubuh ikan patin memanjang dengan dominan warna putih seperti perak dan warna kebiru-biruan pada bagian punggung. Ketika dewasa, tubuh ikan patin dapat mencapai ukuran panjang 120 cm. Seperti halnya ikan lele (catfish) yang lain, ikan patin tidak memiliki sisik. Pada bagian punggung terdapat sirip yang berbentuk jari-jari lunak sebanyak 6-7 buah dan satu jari-jari keras. Pada bagian dada terdapat sirip sebanyak 12-13 jari-jari lunak dan sebuah jari-jari keras yang berfungsi sebagai patil. Pada bagian perut terdapat sirip yang terdiri dari 6 jari-jari lunak dan memiliki sirip anal yang tersusun dari 30-33 jari-jari lunak. (Khairuman 2002). Kriteria kualitas air budidaya ikan patin dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 8. Kriteria Kualitas Air Budidaya Ikan Patin

Parameter Nilai Batas

I Fisika

- Suhu 28-30C

II Kimia

- pH

- Oksigen terlarut - Amoniak - Alkalinitas

- Kandungan karbondioksida

5-9 3-6 mg/l < 1 mg/l 80-250 mg/l 9-20 ppm Sumber: Khairuman (2002)


(13)

2.1.2 Benih Ikan Patin

Ikan patin adalah salah satu ikan yang susah melakukan pemijahan sendiri jika berada di habitat aslinya. Hal ini menyebabkan perlu dilakukan pembenihan secara buatan melalui teknik kawin suntik yang menggunakan kelenjar hipofisa, sehingga benih dapat tersedia sepanjang waktu tanpa harus berada pada habitat aslinya atau tergantung musim. Ikan patin dapat memijah dengan dua cara, yaitu pemijahan secara alami dan pemijahan secara buatan. Pemijahan secara alami terjadi secara sendiri tanpa diberi perlakuan khusus dari manusia, sedangkan pemijahan secara buatan dilakukan dengan menyuntik ataupun dengan cara mengurut (stripping) perlakuan khusus pada ikan patin tersebut bertujuan untuk merangsang ikan patin agar ikan dapat memijah dengan cepat. Kegiatan pembenihan ikan patin secara buatan meliputi beberapa kegiatan, yaitu pemeliharaan calon indukan, pemilihan induk, pemberokan, penyuntikan,

striping, penetasan, pemeliharaan larva, dan panen. Induk yang akan dipijahkan dipelihara terlebih dahulu di dalam bak khusus. Selama masa pemeliharaan, induk diberi pakan indukan setiap pagi dan sore hari. Setelah dipelihara, induk yang akan dipijahkan dipilih sesuai dengan syarat-syarat tertentu, diantaranya umur ikan patin minimal tiga tahun untuk indukan betina dan dua tahun untuk indukan jantan, bobotnya 2 Kg/ekor untuk indukan betina dan 1,5 Kg/ekor untuk indukan jantan, Indukan betina akan memiliki perut yang membesar kearah anus dan terasa empuk jika disentuh, kloaka membengkak dan berwarna merah tua dan untuk indukan jantan akan mengeluarkan sperma yang berwarna putih jika perutnya diurut ke arah anus. Pemberokan adalah kegiatan yang dilakukan kepada induk patin ketika induk ikan tersebut dipuasakan selama satu hari atau 24 jam. Induk yang dipuasakan sebaiknya diletakan pada hapa agar indukan mudah ditangkap dan dipegang, sehingga memudahkan pelaksanaan penyuntikan hipofisa. Penyuntikan dilakukan pada bagian punggung ikan sedalam dua cm dan sudut penyuntikan 45°, setelah itu indukan betina dilepas kembali untuk pematangan gonad. Penyuntikan terhadap indukan dilakukan sebanyak dua kali dengan jeda waktu 12 jam. Masing-masing indukan membutuhkan 2,5 ml ovaprim untuk proses penyuntikan. Penyuntikan pertama dilakukan dengan menyuntikan sebanyak sepertiga dari kebutuaan yaitu 0,8 ml. Penyuntikan kedua diberikan


(14)

dosis 2/3 dari kebutuhan, yaitu 1,7 ml. Setelah disuntik, ikan akan diurut untuk pengeluaran telur dan sperma, proses ini dilakukan setelah 5-10 jam dari waktu penyuntikan. Strippingdilakukan dengan cara mengurut perut ikan dari arah dada sampai daerah kloaka. Telur yang dikeluarkan ditampung pada wadah plastik atau mangkuk kemudian dicampur dengan sperma. Pencampuran telur dan sperma dilakukan dengan menggunakan pengaduk yang halus dan elastis seperti bulu unggas. Hal ini dilakukan untuk mencegah pecahnya telur ketika diaduk. Setelah proses pencampuran, sperma dan telur yang telah tercampur tersebut siap untuk ditaburkan dalam media penetasan yang telah dipersiapkan. Media yang digunakan untuk penetasan misalnya akuarium yang beraerasi halus, hal ini bertujuan agar telur tidak berbenturan. Ketinggian air mencapai 20 cm dan penetrasi cahaya masuk hingga dasar. Waktu penetasan mencapai 18-28 jam setelah pemijahan. Setelah semua telur menetas, dilakukan penggantian air sebanyak 75 persen dengan air yang telah diinkubasi/diendapkan agar stabilitas suhu air terjaga. Larva yang menetas diberi pakan tambahan setelah berusia tiga hari dan pemberian pakan dilakukan setiap dua jam sekali. Pakan yang diberikan berupa artemia, dan untuk benih yang berusia 4-5 hari diberikan pakan berupa cacing sutera sebanyak tiga kali sehari. Pemeliharaan larva dilakukan hingga larva berukuran ¾ inchi. Kondisi suhu dan temperatur air adalah kunci yang harus diperhatikan dalam proses pemeliharaan larva. Suhu dijaga diantara kisaran 29-31°C. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai panjang benih sebesar ¾ inchi (2 cm) adalah sekitar 21 hari dari penetasan. Perawatan larva merupakan proses yang paling membutuhkan perhatian lebih, karena pada fase ini benih sensitif terhadap kualitas air. Panen dilakukan ketika benih berukuran ¾ inchi atau selama 21 hari. Kegiatan panen dilakukan dengan mengambil benih menggunakan serokan. Ikan disortir dan dihitung dengan menggunakan centong. Kemudian benih ikan tersebut dikemas ke dalam kantong plastik. Dalam satu kantong plastik ukuran 40x50 cm bisa menampung 1.000 ekor benih patin. Kantong tersebut diberikan oksigen sebanyak 25 persen dari isi kantong.

Input yang digunakan dalam kegiatan usaha pembenihan ikan patin dapat dilihat pada Tabel Rata-rata Sarana Produksi Kegiatan Usaha Pembenihan Ikan Patin di bawah ini.


(15)

Tabel 9. Rata-rata Sarana Produksi Kegiatan Usaha Pembenihan Ikan Patin di Desa Tegalwaru (52 Akuarium) Tahun 2009.

No Jenis Satuan Jumlah per Siklus

1 Pakan indukan Kilogram 67.5

2 Ovaprim Mili liter 25

3 Artemia Kilogram 10

4 Cacing sutera Kilogram 478.8

5 Alat suntik Unit 7

6 Obat (Elbay) Gram/Liter 5

7 Minyak tanah Liter 165

8 Listrik -

-9 Kantong plastic Kilogram 7

10 Karet gelang Kilogram 0.25

11 Oksigen Kantong 252

12 Tenaga kerja HOK 90.8

13 Transportsi -

-14 Garam Kilogram 165.5

Sumber: Zelvina (2009)

2.2 Penelitian Terdahulu

Studi mengenai pengukuran efisiensi telah dilakukan oleh Farrell tahun 1957 yang mengajukan pengukuran efisiensi yang terdiri dari dua komponen: efisiensi teknis, yang merefleksikan kemampuan perusahaan untuk mendapat output maksimum dari satu set input yang tersedia, dan efisiensi alokasi, yang merefleksikan kemampuan dari perusahaan menggunakan input dalam proporsi yang optimal, sesuai dengan harga masing-masingnya. Kedua ukuran efisiensi ini kemudian dikombinasikan akan menyediakan ukuran total efisiensi ekonomi. Pengukuran efisiensi ini mengasumsi bahwa fungsi produksi adalah produsen yang efisien secara penuh telah diketahui. Efisiensi teknis berdasarkan alat analisisnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu menggunakan pendekatan

stochastic frontier dan pendekatan perbandingan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) dan Net Profit Marjinal (NPM). Dalam penelitian ini, analisis efisiensi teknis akan dilakukan melalui pendekatan stochastic frontier. Kelebihan dari pendekatan stochastic frontier adalah bahwa setiap input yang digunakan dalam proses produksi mempunyai kapasitas maksimum dan optimal (Tasman 2008).

Di dalam model stochastic frontier, output diasumsikan dibatasi (bounded)

dari atas oleh suatu fungsi produksi stokastik. Pada setiap model frontier, simpangan yang mewakili gangguan statistik (statistical noise) diasumsikan


(16)

independen dan identik dengan distribusi normal. Distribusi yang paling sering disasumsikan adalah setengah normal (half normal). Jika dua simpangan diasumsikan independen satu sama lain serta independen terhadap input, dan dipasang asumsi distribusi spesifik (normal, dan setengah normal secara berturut-turut), maka fungsi likelihood dapat didefinisikan dan penduga maximum likelihood dapat dihitung. Cara lain yang dapat digunakan adalah melalui estimasi model dengan OLS dan mengoreksi konstanta dengan menambahkan penduga konsisten dari E (u) berdasarkan momen yang lebih tinggi dari residual kuadratik terkecil. Setelah model diestimasi, nilai-nilai (vi – ui) juga dapat diperoleh. (Adiyoga 1999)

Sedangkan analisis pendapatan usahatani dapat dibagi menjadi pendapatan usahatani atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Analisis tersebut dilakukan dengan membandingkan antara total penerimaan dengan pengeluaran atas biaya tunai dan pengeluaran atas biaya diperhitungkan.

2.2.1 Analisis Efisiensi Teknis

Beberapa penelitian terdahulu yang analisis efisiensi teknis dengan menggunkan pendekatan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) dan Net Profit

Marjinal (NPM) adalah Nugraha (2010). Penelitian tersebut menganalisis mengenai efisiensi produksi usahatani brokoli di Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Nugraha meneliti mengenai efisiensi produksi usahatani brokoli di Lembang. Tujuan dari penelitiannya adalah 1) menganalisis keragaan usahatani brokoli di Desa Cibodas, Kecamatan Lembang ditinjau dari pendapatan usahataninya dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi brokoli. 2) menganalisis efisiensi produksi brokoli di Desa Cibodas, Kecamatan Lembang. Dalam penelitain tersebut peneliti menggunakan metode pengumpulan data secara purposive sampling terhadap 36 petani brokoli. Faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi brokoli diantaranya: luas lahan, benih brokoli, pupuk kandang, pupuk NPK, pupuk urea, pestisida padat, pestisida cair, dan tenaga kerja. Analisis faktor yang digunakan adalah fungsi Cobb-Douglas dan analisis efisiensi yang digunakan adalah dengan membandingakan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) dan Net ProfitMarjinal (NPM).


(17)

Penelitian yang menggunakan stochastic frontier diantaranya Ekunwe P.A dan Emokaro C.O (2009) mengenai efisiensi teknis usahatani ikan lele di Kaduna (Nigeria) mengajukan beberapa variabel yang diduga berpengaruh terhadap produksi usahatani ikan lele diantaranya jumlah benih, jumlah jam kerja, jumlah pakan (pelet) dan luas kolam, sedangkan variabel yang diduga mempengaruhi efisiensi teknisbudidaya ikan lele diantaranya jenis kelamin, umur, jumlah anggota keluarga, pendidikan, dan pengalaman berusahatani.

Ugwumba C.O.A (2011) meneliti mengenai efisiensi teknis usahatani ikan lele di Propinsi Anambra (Nigeria), dalam penelitian ini beberapa variabel yang diduga berpengaruh terhadap produksi usahatani ikan lele diantaranya jumlah benih, jumlah hari kerja, modal, dan pakan, sedangkan variabel yang diduga mempengaruhi efisiensi teknis usahatani ikan lele diantaranya umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani, jumlah anggota keluarga, jenis kelamin, akses terhadap kredit, status usahatani, pola usahatani, dan jenis kolam.

Hasil dari penelitian Ekunwe P.A dan Emokaro C.O (2009) dan Ugwumba C.O.A (2011) memiliki beberapa kesamaan dalam hal variabel yang diuji diantaranya variabel jumlah pakan, modal, jumlah jam kerja, umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani, dan status usahatani. Dari penelitian Ekunwe P.A dan Emokaro C.O (2009) dan Ugwumba C.O.A (2011) didapatkan hasil bahwa faktor yang mempengaruhi terhadap produksi dan efisiensi usahatani ikan lele adalah pola usahatani, yaitu pola usahatani intensif akan meningkatkan efisiensi teknis pada usahatani ikan lele, dan jam kerja berpengaruh terhadap peningkatan produksi biomasa ikan lele.

Perbedaan yang mendasar antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah objek yang diteliti yaitu benih ikan patin sedangkan penelitian terdahulu lebih fokus pada produksi biomasa dari ika lele sehingga terdapat perbedaan pada jumlah dan jenis variabel yang digunakan.

2.2.2 Analisis Pendapatan Usahatani

Zelvina (2009) meneliti mengenai pendapatan usaha pembenihan dan pemasaran benih ikan patin di Desa Tegalwaru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Zelvina (2009) meneliti mengenai pendapatan usaha pembenihan dan


(18)

pemasaran benih ikan patin di Desa Tegalwaru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa benih patin yang dihasilkan sebesar 224.000 ekor dan harga benih patin per ekor Rp80, sehingga penerimaan usaha setiap siklusnya Rp17.920.000. Biaya total yang dikeluarkan sebesar Rp14.178.767, sehingga memberikan tingkat pendapatan sebesar Rp3.760.900 per siklus, R/C rasio 1,26. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan input-input, penerimaan, pengeluaran dan pendapatan usahatani yang dapat menjadi acuan dalam membandingkan antara pembenihan ikan patin di Bogor dan Kota Metro.

Penelitian Brajamusti (2008) menyebutkan hasil yang diperoleh dari perhitungan pendepatan usahatani tahun 2006 atas biaya tunai adalah sebesar Rp377.092.800, sedangkan pendapatan atas biaya totalnya adalah sebesar Rp298.901.800. Nilai imbangan penerimaan dan biaya atau R/C rasio tunai usahatani pembenihan larva ikan bawal air tawar sebesar 2,95. Sedangkan total R/C rasio usahatani pembenihan larva ikan bawal air tawar sebesar 2,10. Dan penerimaan usahatani pembenihan larva bawal tahun 2007 atas biaya tunai adalah sebesar Rp509.288.400, sedangkan pendapatan atas biaya totalnya adalah sebesar Rp431.097.400. Nilai imbangan penerimaan dan biaya atau R/C rasio tunai usahatani pembenihan larva ikan bawal air tawar sebesar 2,96. Sedangkan total R/C rasio usahatani pembenihan larva ikan bawal air tawar sebesar 2,28. Dari dua penelitian tersebut secara umum usahatani pembenihan di Bogor pada sektor perikanan masih memberikan keuntungan, namun rasio keuntungan yang diberikan pembenihan ikan bawal lebih besar jika dibandingan pembenihan ikan patin.


(19)

III

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Teori Produksi

Menurut Schroeder (1999), Pappas (1995), Joesran dan Fathorrozi (2003) dan Putong (2002) dalam Herawati (2008) produksi adalah kegiatan ekonomi yang memanfaatkan input untuk ditransformasikan menjadi barang atau jasa yang dihasilkan perusahaan untuk menambah kegunaan (nilai guna) barang tersebut. Input yang digunakan dalam kegiatan produksi merupakan faktor produksi atau korbanan produksi yang bersifat terbatas, sehingga faktor produksi perlu diperhatikan dari segi jenisnya, waktu penyediaan, jumlah, kualitas, dan efisiensi penggunaanya. Faktor produksi dianggap menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan dalam produksi (Soekartawi 1989). Kesenjangan produksi ini diakibatkan oleh adanya faktor produksi yang sifatnya sulit untuk diatasi oleh petani, seperti adanya teknologi yang tidak dapat dipindahkan dan adanya perbedaan lingkungan.

Menurut Soekartawi (1989, 2003) ada dua faktor utama yang menyebabkan adanya kesenjangan produktivitas, yaitu:

a. Faktor biologi (perbedaan varietas, adanya tanaman pengganggu, serangan hama dan penyakit, masalah tanah, perbedaan kesuburan tanah, dan sebagainya).

b. Faktor sosial-ekonomi (perbedaan biaya dan penerimaan usahatani, kredit, pengetahuan, pendidikan, faktor risiko dan ketidakpastian, dan sebagainya).

Kendala biologi dan kendala sosial-ekonomi akan berbeda untuk satu daerah dengan daerah yang lain, sehingga kendala tersebut bersifat lokal dan spesifik.


(20)

3.1.2 Fungsi Produksi

Soekartawi (1989, 2003) menjelaskan fungsi produksi merupakan hubungan fisik antara variabel independen (input) atau faktor produksi dengan variabel dependen (output) atau hasil produksi fisik. Secara sistematis fungsi tersebut dapat ditulis sebagai berikut:

Keterangan:

Y :Variabel dependen atau hasil produksi (output) X1, X2, X3, … , Xn :Variabel independen atau faktor produksi (input)

Berdasarkan fungsi di atas, maka petani mampu meningkatkan produksi (Y) dengan cara menambah jumlah salah satu dari input atau faktor produksi yang digunakan.

Berbagai macam fungsi produksi yang telah umum dikenal dan digunakan dalam penelitian diantaranya fungsi produksi linear, kudratik dan eksponensial. Di samping itu terdapat fungsi produksi yang lain seperti fungsi produksi Constant Elasticity of Subtitution, transendental dan translog.

Menurut Soekartawi et al. (1984), beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih fungsi produksi, yaitu:

a. Bentuk fungsi produksi harus dapat menggambarkan dan mendekati keadaan usahatani sebenarnya.

b. Bentuk fungsi produksi yang dugunakan mudah diukur atau dihitung secara statistik.

c. Fungsi produksi mudah diartikan secara ekonomi dari parameter yang menyusun fungsi produksi tersebut.

Untuk mengukur tingkat produktivitas dari suatu proses produksi dapat dilihat dari dua tolak ukur, yaitu produk marjinal atau Marginal Product(MP) dan produk rata-rata atau Average Product (AP). Marginal Product (MP) adalah tambahan produk yang dihasilkan dari setiap menambah satu-satuan faktor produksi yang dipakai. Sedangkan Average Product (AP) adalah tingkat produksi yang dicapai setiap satuan input. Kedua tolak ukur ini dapat dirumuskan sebagai berikut:


(21)

Perubahan dari produk yang dihasilkan oleh faktor produksi yang dipakai dapat dinyatakan dengan elatisitas produk. Elastisitas produk (EP) adalah persentase perubahan dari output atau hasil produksi akibat dari persentase perubahan input atau faktor produksi. Elastisitas produksi dapat dirumuskan sebagai berikut:

Doll dan Orazem (1978) membagi tiga daerah berdasarkan elastitisitas produksi. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1 mengenai kurva fungsi produksi klasik. Pada kurva tersebut terdapat tiga tahapan produksi, yaitu:

a. Daerah I: Daerah ini memiliki Ep > 1. Daerah ini memperlihatkan (Marginal Product) MP lebih besar dari Average Product (AP). Dalam daerah ini penambahan input sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan output lebih besar dari satu persen. Di daerah ini belum tercapai produksi optimal yang akan memberikan pendapatan yang layak. Oleh karena itu daerah ini tidak rasional (irrasional) atau inefisien dalam berproduksi.

b. Daerah II: Daerah II ini memiliki EPantara 0 dan 1 (0 < Ep< 1). Daerah ini memperlihatkan (Marginal Product) MP menurun lebih rendah dari

Average Product (AP). Dalam daerah ini penambahan ouput sebesar satu persen akan menghasilkan penambahan output paling tinggi satu persen dan paling rendah sebesar nol persen. Daerah ini dicirikan dengan penambahan hasil yang semakin menurun (Diminishing return). Di daerah


(22)

ini akan dicapai pendapatan masksimum. Daerah ini merupakan daerah yang rasional untuk berproduksi.

c. Daerah III: Daerah III memliki EP < 0. Dalam daerah ini penambahan faktor produksi akan menyebabkan penurunan produksi, juga akan mengurangi pendapatan, karena itulah daerah ini dinamakan daerah

irrasional.

Gambar 1. Fungsi produksi klasik dan tiga daerah tahapan produksi Sumber: Doll dan Orazem (1978)

Soekartawi (2003), mendefinisikan skala usaha (return to scale) sebagai penjumlahan dari semua elastisitas faktor produksi (Σbi). Skala usaha dibagi menjadi tiga yaitu:

Y Stage I Stage II Stage III

0 X

TP

PR

PM Y

X

X1 Ep=1 X3


(23)

Gambar 2. Return to Scale Sumber: fao.org10

a. Kenaikan hasil yang meningkat (increasing return to scale). Pada daerah

ini Σbi>1, artinya penambahan faktor produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang lebih besar.

b. Kenaikan hasil yang tetap (constant return to scale). Pada daerah ini

Σbi=1, artinya penambahan faktor produksi akan sama dengan penambahan produksi yang diperoleh. Pada daerah ini produk rata-rata mencapai maksimum atau produk rata-rata sama dengan produk marjinalnya.

c. Kenaikan hasil yang menurun (decreasing return to scale). Pada daerah ini

Σbi<1, artinya penambahan faktor produksi lebih besar dibanding penambahan produksi. Pada situasi yang demikian produk total dalam keadaan menurun, nilai produk marjinal menjadi negatif dan produk rata-rata dalam keadaan menurun.

3.1.3 Teori Efisiensi Produksi

Tersedianya sarana atau faktor produksi belum berarti produktivitas yang diperoleh petani akan tinggi. Namun dalam hal ini penting sekali bagaimana agar petani dapat melakukan usahanya secara efisien. Efisiensi produksi merupakan banyaknya hasil produksi fisik yang dapat diperoleh dari satu kesatuan faktor

10


(24)

produksi atau input (Mubyarto 1989). Menurut Soekartawi (1989) dan Coelli, Rao, dan Battese (1998) berkaitan dengan konsep efisiensi, dikenal adanya tiga konsep efisiensi, yaitu efisiensi teknis (technical efficiency), efisiensi harga/alokatif (price/allocative efficiency), dan efisiensi ekonomis (economic efficicency).

Efisiensi teknis berhubungan dengan kemampuan petani untuk menghindari penghamburan dalam memproduksi output semaksimal mungkin dengan sejumlah input tertentu. Efisiensi teknis (technical efficiency) akan tercapai jika petani mampu mengalokasikan faktor produksi yang tersedia untuk menghasilkan produksi yang tinggi. Efisiensi harga/alokatif (price/allocative efficiency) berhubungan dengan kemampuan petani untuk mengkombinasikan input dengan output dalam proporsi optimal pada tingkat harga tertentu. Efisiensi harga/alokatif tercapai apabila petani mendapat keuntungan yang besar akibat pengaruh harga. Efisiensi ekonomi (economic efficicency) merupakan kombinasi antara efisiensi teknis dengan efisiensi harga/alokatif. Efisiensi ekonomis akan tercapai apabila efisiensi teknis dan efisiensi harga terpenuhi. Maka produktivitas usaha pertanian akan tercapai jika petani mampu mengalokasikan faktor produksi secara efisiensi teknis dan efisiensi harga.

Menurut Doll dan Orazem (1978) mengenai efisiensi: “… economic efficiency is defined in terms of two conditions: necessary and sufficient”.

Hal tersebut berarti efisiensi secara ekonomi menyatakan terhadap dua kondisi yaitu keharusan dan kecukupan. Kondisi keharusan terjadi ketika proses produksi tidak memungkinkan lagi menciptakan produk dengan input yang lebih sedikit, kondisi ini lebih mengarah kepada hubungan fisik antara faktor produksi dengan produk atau input dengan output. Kondisi kecukupan dalam efisiensi menekankan kepada tujuan dan nilai individu atau sosial. Kondisi kecukupan bersifat subjektif, sehingga akan berbeda antar individu, kondisi ini dalam teori abstark disebut dengan choice indicator.

Berkaitan dengan proses produksi, efisien terjadi apabila jika tidak ada lagi alokasi ulang yang dapat meningkatkan produksi salah satu barang tanpa menurunkan produksi barang lain (Nicholson 1999). Asumsi dasar dari efisiensi adalah untuk mencapai keuntungan maksimum dengan biaya minimum sehingga


(25)

dalam melakukan produksi, seorang petani yang rasional akan bersedia menambah input selama nilai tambah yang dihasilkan oleh tambahan input tersebut sama atau lebih besar dengan tambahan biaya yang diakibatkan oleh penambahan sejumlah input tersebut.

Dua pendekatan efisiensi menurut Coelli, Rao, dan Battese (1998) yaitu pendekatan alokasi penggunaan input dan alokasi output yang dihasilkan. Pendekatan dari sisi input membutuhkan ketersediaan harga input dan kurva

isoquant yang menunjukan kombinasi input yang digunakan untuk menghasilkan output secara maksimal. Sedangkan pendekatan dari sisi output merupakan pendekatan yang digunakan untuk melihat sejauh mana jumlah output secara proporsional dapat ditingkatkan tanpa merubah jumlah input yang digunakan.

Keterangan :

P = input

R = efisiensi alokatif

Q = efisiensi teknis dan inefisiensi alokatif Q’ = efisiensi teknis dan efisiensi alokatif AA’ = kurva rasio harga input

SS’ = isoquant fully efficient

Gambar 3. Efisiensi teknis dan alokatif (alokasi penggunaan input) Sumber: Coelli, Rao, dan Battese (1998) dan Soekartawi (2003)

x1/y x2/y

0 A’

A

S’ S

Q’ R

Q


(26)

Pada Gambar 3 kondisi pendekatan berorientasi input, isoquant yang menunjukan kondisi yang efisien penuh (fully efficient) digambarkan oleh kurva SS’. Jika perusahaan menggunakan input sejumlah P untuk memproduksi satu unit output, maka nilai inefisiensi teknis dicerminkan oleh jarak 0Q/0P. Pada ruas garis QP jumlah input yang digunakan dapat dikurangi tanpa harus mengurangi jumlah output yang dihasilkan. Sedangkan nilai inefisiensi alokasi dicerminkan oleh jarak 0R/0Q.

`

Keterangan :

A = Output

B = Efisiensi teknis C = Efisiensi alokatif

ZZ’ = Kurva kemungkinan produksi DD’ = Isorevenue

Gambar 4. Efisiensi Teknis dan Alokatif (orientasi output) Sumber : Coelli, Rao, dan Battese (1998)

Metode pendekatan orientasi output (Gambar 4) dengan menggunakan kurva kemungkinan produksi ZZ’, sementara titik A menunjukan petani berada dalam kondisi inefisien. Garis AB menggambarkan kondisi yang inefisien secara teknis dengan ditunjukan adanya tambahan output tanpa membutuhkan input tambahan. Secara matematis, pendekatan output rasio efisiensi teknis ditulis sebagai berikut:

y1/x y2/x

0 Z’

Z

D’ C

B’ A

B D


(27)

Notasi 0 digunakan untuk menunjukan nilai efisiensi teknis dengan pendekatan orientasi output.

Dengan adanya informasi harga output yang digambarkan oleh garis

isorevenue DD’, maka efisiensi alokatif ditulis sebagai berikut :

Sedangkan kondisi efisien secara ekonomis yaitu :

Rasio dari ketiga nilai efisiensi tersebut berkisar antara 0 dan 1.

3.1.4 Fungsi Cobb-Douglas

Fungsi Cobb-Douglas merupakan salah satu fungsi eksponensial. Menurut Soekartawi (2003) fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, dimana variabel yang satu disebut variabel dependen, yang dijelaskan (Y), dan yang lain disebut variabel independen, yang menjelaskan (X).

Penyelesaian hubungan antara Y dan X adalah biasanya dengan cara regresi dimana variasi dari Y aka dipengaruhi oleh variasi dari X. Fungsi Douglas memiliki kemiripan dengan fungsi translog, hanya saja fungsi Cobb-Douglas memiliki nilai koefisien penduganya bernilai hampir sama dengan nol, atau bentuk persamaannya homogen. Sedangkan fungsi translog memiliki nilai koefisien penduganya cukup besar, atau memiliki nilai elastisitas yang bervariasi.


(28)

Keterangan :

TFP = Total Fisik Produksi

Gambar 5. Fungsi Produksi Cobb-Douglas Sumber: Soekartawi (2003)

Fungsi Cobb-Douglasdapat dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan :

Y = f(X1, X2,..., Xi,..., Xn), Y = variabel yang dijelaskan, X = variabel yang menjelaskan,

= besaran yang akan diduga,

u = kesalahan (disturbance term), dan e = logaritma natural, e = 2,718

Untuk memudahkan pendugaan tersebut maka persamaan di atas dapat diubah menjadi bentuk linier berganda dengan melogaritmakan persamaan tersebut menjadi seperti berikut :

Menurut Soekartawi (2003), karena penyelesaian fungsi Cobb-Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah fungsinya menjadi fungsi linear, maka ada

Y

X TFP


(29)

beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum peneliti menggunakan fungsi

Cobb-Douglas, yaitu :

a. Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol, sebab logaritma dari nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui (infinite).

b. Diperlukan asumsi dalam fungsi produksi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan (non-neutral difference in the respective technologies). Artinya jika fungsi Cobb-Douglas yang dipakai sebagai model dalam suatu pengamatan dan diperlukan analisis lebih dari satu model maka perbedaan model tersebut terletak pada intercept dan bukan pada kemiringan garis (slope) model tersebut.

c. Tiap variabel X adalah perfect competition.

d. Perbedaan lokasi (pada fungsi tersebut) seperti iklim adalah sudah tercakup pada faktor kesalahan.

Menurut Semaoen (1992) ada beberapa keunggulan dari fungsi Cobb-Douglas, diantaranya:

a. Bentuk fungsi sederhana, sehingga ekonomis dalam perhitungan pendugaan parameter, dan seringkali menghasilkan dugaan yang nyata menurut uji statistik.

b. Konsisten dengan teori ekonomi.

3.1.5 Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Pengukuran efisiensi produksi dapat dilakukan dengan menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA) dan stochastic frontier analysis, kedua metode ini menggunakan estimasi fungsi frontier (batas), bahwa setiap input yang digunakan dalam proses produksi mempunyai kapasitas maksimum dan optimal (Tasman 2008). Fungsi produksi stochastic frontiermemiliki definisi yang yang tidak jauh berbeda dengan fungsi produksi, dan umumnya digunakan untuk menjelaskan konsep pengukuran efisiensi. Frontier digunkan untuk lebih menekankan kepada kondisi output maksimum yang dapat dihasilkan (Coelli et al. 1998).

Menurut Soekartawi (2003) fungsi produksi frontier adalah fungsi produksi yang digunakan untuk mengukur suatu fungsi produksi yang sebenarnya terhadap posisi frontiernya. Fungsi produksi frontier merupakan hubungan fisik


(30)

faktor produksi dan produksi pada frontier yang terletak pada tempat titik-titik yang menunjukkan titik kombinasi penggunaan masukan produksi yang optimal (isokuan). Garis isokuan adalah tempat kedudukan titik-titik yang menunjukan titik kombinasi penggunaan masukan produksi yang optimal. Berikut ini gambar ukuran efisiensi meurut cara Farell.

Keterangan :

PP’ = Garis biaya

UU’ = Garis isokuan 0C = Tingkat teknologi A,B,C,D = Posisi produksi

Gambar 6. Ukuran Efisiensi Menurut Cara Farell Sumber: Soekartawi (1994)

Karena garis UU’ adalah garis isokuan, maka semua titik yang terletak di garis tersebut adalah titik yang menunjukan bahwa di titik tersebut terdapat produksi maksimum. Dengan demikian, bila titik tersebut berada di bagian luar dari garis isokuan, misalnya di titik C, maka dapat dikatakan bahwa teknologi produksi belum mencapai titk maksimum yang ada di garis isokuan.

Konsep berikutnya adalah stochastic frontier, dikatakan seperti itu karena nilai variabel X (dan mungkin juga Y) adalah berubah-ubah yang disebabkan karena faktor lain yang mempengaruhinya. Secara matematis konsep tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

D X2

Y

0 P

P’

U U’

A B

C

X1 Y

Efisiensi teknis = 0B/0C < 1 Efisiensi ekonomi = 0A/0C < 1 Efisiensi harga = 0A/0B


(31)

Dimana frontier produksi stokastik adalah f(X)exp(v), dan v mempunyai beberapa distribusi simetris untuk menangkap pengaruh random dari kesalahan pengukuran dan variabel lainnya yang mempengaruhi nilai X dan nilai Y. Inefisensi teknis relatif terhadap frontier produksi stokastik kemudian ditangkap oleh komponen satu-sisi exp(-u), u ≥ 0 (Forsund et al. 1980 dalam Soekartawi 2003).

Fungsi produksi frontier stochastic yang secara independent dirintis oleh Aigner, Lovell dan Shcmidt (1977) diacu dalam (Tasman 2008) merupakan fungsi produksi yang dispesifikasi untuk data silang (cross-sectional data) dengan error term yang memiliki dua komponen, yaitu random effects dan inefisiensi teknis. Model fungsi produksi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan :

Yi = produksi (logaritma dari produksi) dari perusahaan ke –i, Xi = vektor kx1 dari (transformasi) jumlah output perusahaan ke-i,

= vektor dari parameter yang tidak diketahui,

vi = variabel random yang diasumsikan iid (identically independenly distributed),

ui = variabel non negatif random yang diasumsikan disebabkan oleh

inefisiensi , N(0, σU2).

Model yang dinyatakan dalam persamaan di atas disebut sebagai fungsi produksi stochastic frontier karena nilai output dibatasi oleh variabel acak (stochastic) yaitu nilai harapan dari xiβ+vi atau exp(xi β+vi). Output dari

stochastic frontierbisa bernilai positif ataupun negatif.

Konsep perhitungan fungsi produksi frontier metode MLE pada stochastic frontier diawali dengan pendekatan perhitungan fungsi produksi rata-rata yang didefinisikan sebagai tingkat produksi maksimum yang dapat dicapai pada tingkat input tertentu pada sejumlah kelompok observasi. Tahap kedua menggunakan MLE untuk menduga keseluruhan parameter, yaitu parameter produksi ( m),


(32)

Gambar 7. Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Sumber: Coelli, Rao, Battase (1998)

Pada Gambar 7 dapat digambarkan struktur dasar dari model stochastic frontier dengan sumbu X mewakili input sedangkan sumbu Y mewakili output. Komponen deterministic dari model frontier, Y=exp (xi β), dengan asumsi berlakunya hukung diminishing return to scale untuk setiap input i. Pada gambar tersebut menunjukan kondisi dua petani i dan j dengan obeserved outputnya (output aktual) sebesar yi dan yj. Frontier output dari kegiatan produksi petani i dan j tidak dapat diamati atau diukur karena random error dari kedua petani tidak teramati. Namun produksi petani i dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan dimana variabel vi bernilai positif. Sedangkan petani j menggunakan input xj dan menghasilkan output sebesar yj yang berada di bawah fungsi produksi karena kegiatan produksi dipengaruhi oleh kondisi yang tidak menguntungkan dengan vj bernilai negatif. Jumlah output yang diamati dapat menjadi lebih besar dibandingkan dengan deterministik dari frontiernya apabila random error yang sesuai lebih besar dari efek inefesiensinya atau yi > exp (xi ) jika vi> ui.

yi y

yj

xi xj x

Frontier output (yi*),

exp (xi + vi), jika vi> 0

Fungsi produksi, y = exp (x )

Frontier output (yj*),

exp (xj + vj), jika vj< 0

×


(33)

Pada model stochastic, random error (vi) diakibatkan oleh kesalahan di dalam pengukuran (pengambilan data di lapangan) dan sifatnya tidak dapat dikontrol oleh manusia seperti curah hujan, bencana alam, dan lain-lain. Aigner, Lovell, dan Schmidt (1977) dalam Wahida (2005) mengasumsikan bahwa vi bersifat bebas dan mengikuti pola distribusi normal (i.i.d) dengan nilai tengal nol dan varian konstanta σv2 sedangkan ui diasumsikan bebas namun mengikuti pola sebaran setengah normal (truncated). Kondisi dimana ui > 0 menjamin bahwa seluruh observasi atau pengamatan (n) berada di titik atau di bawah fungsi produksi stochastic frontier (Kompas 2002 dalam Wahida 2005). Selain itu v digunakan untuk mengukur kesalahan pengukuran, variabel acak seperti iklim, curah hujan, dan variabel non ekonomi lainnya. Sedangkan u digunakan untuk mengukur efisiensi teknis. Dapat disimpulkan bahwa:

Disebut stochastic frontier model karena 1) umumnya yf besarnya beragam antar petani. 2) yo dibatasi oleh stochastic random dari yf. Pendekatan ekonometrika digunakan untuk mengukur nilai estimasi dari parameter, dengan menggunakan maximum likelihood (ML) nilai parameter estimasi yang yang dihasilkan lebih efisien dibandingkan OLS, intersep, dan varian lebih konsisten.

3.1.6 Konsep Usahatani

Usahatani adalah ilmu yang mempelajari tentang cara petani mengelola input atau faktor-faktor produksi dengan efektif, efisien, dan kontinu untuk menghasilkan produksi yang tinggi sehingga pendapatan usahataninya meningkat (Rahim dan Hastuti 2008). Menurut Soekartawi (2002a), Hadisaputo cit Prasetya (1996) dalam Rahim dan Hastuti (2008), Soekartawi et al. (1984) ilmu usahatani biasa diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana sistem organisasi produksi di lapangan pertanian dalam mengorganisasikan, mengkoordinasikan, dan mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Menurut Soekartawi et al. (1984) ciri-ciri usahatani di Indonesia adalah sebagai berikut:


(34)

a. Sempitnya lahan yang dimiliki petani b. Kurangnya modal

c. Pengetahuan petani yang masih terbatas secara kurang dinamis d. Rendahnya pendapatan petani

Rahim dan Hastuti (2008) mengklasifikasikan usahatani berdasarkan sudut pandang cara mengusahakannya, usahatani dapat dilihat dasar perbedaannya, yaitu organisasi, lembaga dan pengusahaan faktor produksi.

a. Usahatani perorangan: usahatani perorangan dilakukan secara perorangan dan faktor produksi dimiliki secara perorangan. Kelebihannya dapat bebas mengembangkan kreasinya, sedangkan kelemahannya kurang efektif. b. Usahatani kolektif: usahatani dilakukan bersama-sama atau kelompok dan

faktor produksi seluruhnya dikuasi oleh kelompok sehingga hasilnya dibagi kepada anggota kelompoknya.

c. Usahatani kooperatif: usahatani dikelola secara kelompok dan tidak seluruh faktor produksi dikuasai oleh kelompok, hanya kegiatannya yang dilakukan bersama-sama.

Berdasarkan sifat dan corak usahatani dapat dibedakan menjadi usahatani subsisten dan komersil. Usahatani subsisten merupakan usahatani yang hasil panennya digunakan untuk memenuhi kebutuhan petani atau keluarganya sendiri tanpa melalui peredaran uang. Sedangkan usahatani komersil merupakan keseluruhan hasil panennya dijual ke pasar atau melalui perantara maupun langsung ke konsumen.

Berdasarkan polanya, usahatani dibedakan menjadi tiga macam pola, yaitu khusus, tidak khusus, dan campuran. Pola usahatani khusus mengusahakan satu cabang usahatani. Pola usahatani tidak khusus meruapakan usahatani yang mengusahakan dua atau lebih cabang usahatani, tetapi batasnya tegas. Pola usahatani campuran merupakan usahatani yang mengusahakan dua atau lebih cabang usahatani yang batasnya tidak tegas.

Berdasarkan tipenya, tipe usahatani atau usaha pertanian merupakan jenis komoditas yang ditanam atau diusahakan, misalnya usahatani tanaman pangan, hortikultura, peternakan dan perikanan.


(35)

Menurut Soekartawi (2003) ada empat faktor yang mempengaruhi produksi usahatani, diantaranya:

a. Lahan, merupakan tanah yang dipersiapkan untuk usahatani. Lahan usahatani dapat berupa tanah pekarangan, tegalan, sawah dan sebagainya. Setiap jenis lahan memiliki harga yang tidak sama, hal ini dibedakan berdasarkan kesuburan tanah, lokasi, topografi, status lahan dan faktor lingkungan.

b. Tenaga Kerja, merupakan faktor produksi yang penting dan perlu untuk diperhatikan dalam proses produksi dari bentuk jumlah dan kualitas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada faktor produksi tenaga kerja, diantaranya: ketersediaan tenaga kerja, kualitas tenaga kerja, jenis kelamin, tenaga kerja musiman dan upah tenaga kerja. Besar atau kecilnya upah tenaga kerja dipengaruhi oleh: mekanisme pasar, jenis kelamin, kualitas tenaga kerja, umur tenaga kerja, lama waktu bekerja dan tenaga kerja bukan manusia.

c. Modal, dalam kegiatan produksi modal dibedakan menjadi modal tetap dan modal tidak tetap atau modal variabel. Modal tetap merupakan biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi yang tidak habis dalam sekali proses produksi tersebut. Modal variabel merupakan biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi dan habis dalam satu kali proses produksi tersebut. Besar atau kecilnya modal dalam usaha pertanian dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya: sekala usaha, jenis komoditas yang diusahakan, dan tersedianya kredit.

d. Manajemen, peran manajemen sangat penting dan strategis. Manajemen diartikan sebagai kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanankan, dan mengevaluai suatu proses produksi. Praktik manajemen dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya: tingkat pendidikan, tingkat keterampilan, skala usaha, besar-kecilnya kredit dan jenis komoditas.


(36)

3.1.7 Konsep Pendapatan Usahatani

Terdapat tiga variabel yang perlu diketahui saat melakukan analisis usahatani. Ketiga variabel tersebut antara lain adalah penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani. Cara analisis terhadap tiga variabel ini sering disebut dengan analisis anggaran arus uang tunai (cash flow analysis).

Menurut Soekartawi (2002a), penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi dengan harga jual. Biaya usahatani adalah semua pengeluaran yang dipergunakan dalam suatu usahatani. Sedangkan yang dimaksud dengan pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran.

Struktur biaya usahatani dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

a. Biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi, misalnya pajak tanah, sewa tanah, penyusutan alat-alat bangunan pertanian dan bunga pinjaman.

b. Biaya tidak tetap (variabel) adalah biaya yang berhubungan langsung dengan jumlah produksi, misalkan pengeluaran untuk bibit, pupuk, obat-obatan dan biaya tenaga kerja.

Berdasarkan perhitungan pengeluarannya, biaya dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Biaya tunai adalah biaya tetap dan biaya variabel yang dibayar tunai. Biaya tetap misalnya pajak tanah dan bunga pinjaman, sedangkan biaya variabel misalnya pengeluaran untuk bibit, pupuk, obat-obatan dan tenaga luar keluarga. Biaya tunai ini berguna untuk melihat pengalokasian modalyang dimiliki oleh petani.

b. Biaya tidak tunai (diperhitungkan) adalah pengeluaran yang secara tidak tunai dikeluarkan petani. Biaya yang diperhitungkan dapat berupa faktor produksi yang digunakan petani tanpa mengeluarkan uang tunai seperti sewa lahan yang diperhitungkan atas lahan milik sendiri, penggunaan tenaga kerja keluarga, penggunaan benih dari hasil produksi dan penyusutan dari sarana produksi.

Banyak cara untuk mengukur pendapatan (Soekartawi et al. 1984), diantaranya adalah pendapatan bersih usahatani dan pendapatan tunai usahatani. Pendapatan bersih usahatani diperoleh dari selisih antara penerimaan kotor


(37)

usahatani dengan pengeluaran total usahatani. Penerimaan kotor usahatani adalah nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Sedangkan pengeluaran total usahatani adalah nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi.

Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dan penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani. Pendapatan tunai usahatani merupakan selisih antara penerimaan tunai usahatani dengan pengeluaran tunai usahatani.

Penerimaan tunai usahatani didefinisikan sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani. Sedangkan pengeluaran tunai usahatani adalah jumlah yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani.

3.1.8 Konsep Rasio Penerimaan dan Biaya

Tingkat keuntungan relatif dari suatu kegiatan usahatani berdasarkan perhitungan finansial dapat diketahui dengan melakukan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio). Nilai R/C rasio atau return cost ratio

merupakan perbandingan antara penerimaan dengan biaya. R/C menunjukkan perbandingan pendapatan kotor yang diterima untuk setiap rupiah yang dikeluarkan untuk berproduksi. Nilai R/C yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa penambahan satu rupiah biaya akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar dari satu. Semakin besar nilai R/C maka semakin baik kedudukan ekonomi usahatani. Kedudukan ekonomi penting karena dapat dijadikan penilaian dalam mengambil keputusan dalam aktivitas usahatani.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Visi pemerintah untuk menjadi penghasil perikanan terbesar, menghasilkan agenda pemerintah untuk meningkatkan produksi perikanan budidaya nasional hingga 353 persen. Salah satu komoditas perikanan budidaya air tawar yang didorong pertumbuhannya adalah ikan patin, ikan patin ditargetkan meningkat produksinya mencapai 1.883.000 ton di tahun 2014 atau meningkat 1.420 persen di tahun 2014. Peningkatan produksi ini akan diimplementasikan di


(38)

197 lokasi kabupaten/kota yang tersebar di 33 propinsi, 114 diantaranya berbasis perikanan budidaya dan 87 perikanan tangkap. Lahan yang digunakan merupakan lahan yang sudah ada, hanya dilakukan perluasan untuk perikanan budidaya. Total potensi lahan budidaya meningkat hingga 15,59 Ha yang terdiri dari budidaya air tawar (2,23 juta Ha), payau (1,22 juta Ha), dan laut (12,14 juta Ha).

Lampung merupakan salah satu daerah yang dipacu produksinya, ikan patin menjadi salah satu komoditas perikanan unggulan di daerah ini. Namun untuk memenuhi kebutuhan benih patin untuk pembesaran masih disuplai dari daerah lain, salah satunya Bogor. Lokasi yang berjauhan antara Bogor dengan Lampung menyebabkan harga yang diterima oleh para petani pembesar di Lampung menjadi lebih tinggi yaitu sekitar 10-20 persen dari HPP benih ikan patin. Hal tersebut diduga dapat mempengaruhi produksi ikan patin di Kota Metro. Melakukan pembenihan di daerah merupakan salah satu pilihan atau solusi agar harga benih lebih murah dan kualitas benih yang lebih baik.

Terdapat dua analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu analisis efisiensi teknis usahasatani dan analisis pendapatan usahatani. Kedua analisis tersebut digunakan untuk mengetahui keragaan dari usahatani pembenihan ikan patin di Kota Metro. Kota Metro dipilih dalam penelitian ini karena Kota Metro merupakan basis pembenihan di Lampung. Efisiensi teknis usahatani pembenihan dilihat dengan membandingkan nilai output observasi (Y1) yang dibandingkan dengan output frontier (Y1*). Analisis ini melihat pengaruh input tersebut terhadap produksi benih patin dilakukan dengan menggunakan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas Stochastic Frontier. Selain itu dilakukan juga analisis mengenai tingkat pendapatan usahatani pembenihan ikan patin untuk melihat keragaan dan kelayakan usahataninya. Gambar 8 di bawah ini merupakan kerangka berpikir operasional dari penelitian ini.


(39)

Gambar 8. Kerangka pemikiran Operasional

 Peningkatan total produksi perikanan budidaya 353 persen di tahun 2014  Produksi ikan patin ditargetkan meningkat sebesar 1.420 persen dari tahun 2009  Lampung merupakan salah satu daerah pengembangan produksi ikan patin

Permasalahan produksi ikan patin di Lampung

 Bagaimana tingkat efisiensi teknis pembenihan di Kota Metro?

 Faktor apa saja yang mempengaruhi produksi benih di Kota Metro?

 Bagaimana tingkat pendapatan pembenih ikan patin di Kota Metro?

Keragaan usahatani dan efisiensi pembenihan ikan patin di Kota Metro.

Analisis efisiensi teknis model pendekatan fungsi produksi

Cobb-Douglas Stochastic Frontier

Analisis pendapatan usahatani pembenihan ikan

patin di Kota Metro

Gambaran efisiensi teknis usahatani pembenihan ikan patin di Lampung dan

tingkat pendapatan pembenih.

Upaya peningkatan efisiensi teknis usahatani pembenihan patin di


(40)

IV

METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian mengenai efisiensi teknis usahatani pembenihan ikan patin ini akan dilakukan di sentra pembenihan patin yang berlokasi di Lampung yaitu Kota Metro. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) karena mengingat Kota Metro, Lampung. Karena lokasi ini merupakan salah satu propinsi sentra produksi benih ikan patin di Lampung. Namun produksi benih patinnya masih rendah dibanding daerah lain di wilayah Jawa. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Februari hingga bulan Agustus 2011.

4.2 Metode Penentuan Responden

Responden utama dalam penelitian ini adalah populasi pembenih yang berada di Kota Metro, Lampung. Metode yang digunakan dalam penentuan responden penelitian ini adalah dengan metode sensus terhadap seluruh pembenih ikan patin di Kota Metro, Lampung. Hal ini dilakukan agar hasil analisis lebih mencerminkan keragaman yang berada di lapangan dan melihat dari jumlah responden yang memungkinkan untuk dilakukan secara sensus. Berikut ini daftar populasi pembenih di Kota Metro.

Tabel 10 Daftar Nama Pembenih Ikan Patin di Kota Metro Tahun 2011.

No Nama No Nama

1 Joni Pasyanto 13 M. Yusuf

2 Sarino 14 Ibnu Soim

3 Eko Haryono 15 Suwarto

4 Ujang Wisnu Wardhani 16 Eko Parwito

5 Supriadi 17 Roni

6 Dedi Anjarwanto 18 Maryadi

7 Hari Pratomo 19 Basuki

8 Suwanto 20 Heri

9 Azhardi Arifin 21 Suwarno

10 Suwandi 22 Mixa

11 Agus 23 Heru


(41)

4.3 Desain Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kasus yang termasuk dalam kategori metode deskriptif. Metode deskriptif merupakan metode penelitian untuk mendapat gambaran mengenai situasi atau kejadian. Metode kasus merupakan salah satu metode dalam metode deskriptif mengenai suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Subjek penelitian dapa berupa individu, kelompok, lembaga, maupun masyarakat. Tujuan dari penelitian studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter khas dari kasus, yang kemudian dari sifat-sifat khas tersebut akan dijadikan suatu yang bersifat umum (Nazir 2005). Atas dasar tersebut, metode ini dapat digunakan dalam menggambarkan karakteristik usahatani pembenih di Kota Metro, Lampung.

4.4 Data dan Instrumentasi

Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer berasal dari pengisisan kuisioner oleh para responden, wawancara dengan pihak terkait dan pengamatan secara langsung. Data primer yang dikumpulkan berupa data kondisi geografis, dan data mengenai karakteristik usahatani pembenihan ikan patin di Kota Metro, Lampung.

Data sekunder diperoleh dari dinas terkait seperti Dinas Pertanian Bidang Perikanan, KKP, studi pustaka hasil penelitian, buku teks, jurnal, dan literatur baik media cetak maupun elektronik yang berhubungan dengan topik penelitian.

4.5 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan selama satu minggu yaitu pada tanggal 10 Mei hingga 17 Mei 2011 di Kota Metro, Lampung. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kuisioner, yaitu pengumpulan data dengan menggunakan daftar pertanyaan atau daftar isian terhadap objek yang diteliti, kuisioner yang telah dibuat berisi mengenai karakteristik pembenih, biaya produksi, faktor produksi, produksi benih di pembenihan Kota Metro, Lampung. Daftar kuisioner akan diisi


(42)

langsung oleh peneliti berdasarkan data dari responden. Teknik wawancara (interview), yaitu cara pengumpulan data dengan melakukan komunikasi tanya jawab kepada objek yang diteliti dan yang bersangkutan dengan kebutuhan data. Teknik observasi atau pengamatan secara langsung, yaitu cara pengumpulan data dengan terjun dan melihat langsung ke lapangan terhadap objek yang diteliti. Kemudian penelusuran literatur, yaitu cara pengumpulan data dengan menggunakan sebagian atau seluruh data yang telah ada atau laporan data dari penelitian yang berhubungan.

4.6 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang digunakan merupakan data primer dan sekunder yang merupakan data kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan data secara kualitatif dilakukan terhadap karakteristik usahatani di Kota Metro, Lampung.

Analisi kuantitatif dilakukan terhadap penerimaan, pendapatan, dan pengeluaran dari usahatani pembenihan ikan patin. Data yang didapatkan dari 24 orang pembenih di lokasi penelitian di rata-ratakan nilainya manggunakan metode perataan untuk mendapatkan gambaran umum biaya dan penerimaan usahatani pembenihan ikan patin. Sedangkan analisis efisiensi teknis dilakukan dengan menggunakan metode OLS dan MLE. Konsep perhitungan fungsi produksi frontier metode MLE pada stochastic frontier diawali dengan pendekatan perhitungan fungsi produksi rata-rata yang didefinisikan sebagai tingkat produksi maksimum yang dapat dicapai pada tingkat input tertentu pada sejumlah kelompok observasi. Tahap kedua menggunakan MLE untuk menduga keseluruhan parameter, yaitu parameter produksi ( m), intersep ( 0), dan varians dari kedua komponen kesalahan vidan ui(σv2dan σv2).

Data yang didapat diolah menggunakan software pengolah angka

Microsoft Excel, Frontier 4.1, dan SPSS 11.5 for windows. Data dan informasi disajikan dalam bentuk tabulasi, grafik, dan diagram alir (flow chart) untuk mempermudah dalam menganalisis data.

Program Frontier versi 4.1 digunakan untuk mendapatkan estimasi nilai parameter dari maximum-likelihood untuk model fungsi produksi stochastic frontier. Program Frontier 4.1 terdiri dari tiga tahap, yaitu :


(43)

1) Mengkalkulasikan nilai estimasi dari dan σs2 menggunakan OLS (Ordinary Least Square) semua nilai estimasi kecuali 0 unbias.

2) Dua frase grid search dari fungsi likelihood digunakan untuk mengevaluasi nilai dari yang nilainya berkisar antara 0 dan 1.

3) Nilai diseleksi melalui tahap kedua digunakan sebagai nilai awal dalam prosedur iteratif untuk mengestimasi nilai akhir maximum-likelihood.

4.6.1 Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Analisis funggsi produksi dilakukan untuk menjelaskan hubungan antara input dengan output. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah fungsi produksi Cobb-Douglass Stochastic Frontier. Menurut Soekartawi (2002) Fungsi

Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, dimana variabel yang satu disebut dengan variabel dependent atau variabel yang dijelaskan (Y) dan variabel independent atau variabel yang menjelaskan (X). Bentuk ini dipilih karena sederhana dan dapat dibuat dalam bentuk fungsi linear. Tahap-tahap dalam menganalisis fungsi produksi, diantaranya:

1) Identifikasi Variabel Bebas dan Terikat

Identifikasi variabel dilakukan dengan mendaftar faktor-faktor produksi yang diduga berpengaruh dalam proses produksi benih patin.

a) Variabel bebas (Independet variable) dilambangkan dengan simbol X, yaitu faktor produksi benih patin yang diuji, terdiri dari (X1) Jumlah modal, (X2) Jumlah artemia, (X3) Jumlah cacing sutera, (X4) Jumlah pakan, dan (X5) Jumlah jam kerja.

b) Variabel terikat (Dependent variable) dilambangkan dengan simbol Y, yaitu produksi benih patin.

2) Analisis Regresi

Analisis regresi yang digunakan untuk menduga model menggunakan fungsi produksi Frontier Cobb-Douglas yang ditranformasikan ke dalam bentuk fungsi linier logaritma, maka model produksinya dapat ditulis sebagai berikut:


(44)

Keterangan:

Y = Produksi benih ikan patin (ekor) X1 = Jumlah modal (Rupiah)

X2 = Jumlah artemia (kaleng) X3 = Jumlah cacing sutera (liter) X4 = Jumlah pakan (Kg)

X5 = Jumlah jam kerja (jam kerja) u = Unsur sisa (galat)

ß0 = Intersep

ßi = Koefisien parameter penduga (i=1,2,3,4,5) vi-ui = error term

Nilai koefisien yang diharapkan μ 1, 2, 3, 4, 5 > 0. Variabel vimerupakan variabel acak bebas yang terdistribusi secara identik (iid) dengan rataan yang

bernilai nol dan ragam yang konstan (N(0,σv2)) serta bebas dari ui. Variabel ui yang menggambarkan inefisiensi dalam produksi yang diasumsikan terdistribusi secara bebas diantara setiap observasi dan nilai vi. Menurut Coelli, Rao, dan Battese (1998) nilai ui tidak boleh negatif dan terdistribusi normal dengan N

( i,σu2).

3) Pengujian Hipotesis

a) Pengujian terhadap Model Penduga (Uji-F)

Pengujian terhadap model penduga dilakukan untuk mengetahui apakah faktor produksi yang digunakan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi benih patin atau tidak. Uji statistik yang digunakan adalah uji-F.

Hipotesis:

H0 : ß1=ß2=ß3=ß4=ß5=0 H1 : salah satu dari ß ada ≠ 0

Keterangan:

k = Jumlah variabel termsuk intersep n = Jumlah pengamatan atau responden


(1)

129 4.6 Pengendalian Hama danPenyakit

1. Jenishamadan penyakit : Jenis Hama dan

Penyakit Jenis Obat Harga

Teknis Pengendalian

4.7 Panen

1. Benih mulai dipanen pada saat berumur atau panjang ……… hari atau cm

2. Waktu panen : pagi /sore 4.8 Pascapanen

1. Penyortiran : (a) Ya (b) Tidak

Proses penyortiran berdasarkan………... 2. Penyimpanan : (a) Ya (b) Tidak

a) Lama penyimpanan : ………. b) Tempat penyimpanan : ………...

3. Pengemasan : (a) Ya (b) Tidak

Prosespengemasan ………...

4.9 Pemasaran

1. Hasil panen dijual kepada :

No Uraian Volume (kg) Persentase (%) Alasan*) 1 Pedagang pengumpul

2 Kelompok tani 3 Pasar

4 Lainnya………

*) Alasan : 1= harga lebih tinggi, 2= ikatan kerjasama, 3= meminjam uang, 4=alasan lainnya………

2. Kapan volume penjualan terbesar? ……… dengan harga Rp……….. / ekor


(2)

130 3. Tingkat kemudahan dalam menjual hasil panen : ……….

(1) mudah (2) agaksulit (3) sulit

4.10 Kendala dalam Usahatani Pembenihan ikan patin 1. Apa saja kendala dalam usahatani Pembenihan ikan patin?

a) Terkait dengan input produksi (ketersediaan, harga, cara mendapatkan, dll.) ……… ……….…….. b) Terkait dengan on farm(hama&penyakit, ketersediaan air, cuaca, dll.) ……….. ……….. c) Terkait dengan pemanenan dan pascapanen (gagal panen, keterbatasan tenaga kerja,

dll.)………. ……… d) Terkait dengan pemasaran (harga, kesulitan memasarkan, permintaan rendah, dll.)

………. ………. e) Permasalahan lainnya………..


(3)

131 Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian

Gambar: Corong tetas Gambar: Bak tandon air

Gambar: Bak pemeliharaan larva Gambar: Bak pemeliharaan indukan


(4)

132

Gambar: Galon penetasan artemia Gambar: Bak pemberokan


(5)

RINGKASAN

HASANUDIN. Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Pembenihan Ikan Patin Di Kota Metro Lampung. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan HARIANTO).

Kurun waktu 2009-2014 kontribusi produksi dari sektor perikanan ditargetkan meningkat hingga 353 persen dari perikanan budidaya. Ikan patin merupakan satu dari sepuluh komoditas perikanan yang dipacu produksinya. Secara umum budidaya ikan patin di Indonesia berkembang di daerah Jawa Barat, Kalimantan dan Sumatera. Salah satu daerah yang menjadi sentra pembesaran ikan patin dan dipacu produksi ikan patinnya adalah Propinsi Lampung. Namun ironisnya pembenihan di Lampung sendiri belum memadai, dan produksi benih patinnya masih rendah jika dibandingkan dengan pembenihan di Jawa Barat. Salah satu sentra pembenihan ikan patin di Lampung adalah Kota Metro, produksi benih ikan patin rata-rata per tahunnya adalah 1.073.200 ekor, sedangkan produksi benih ikan patin Bogor rata-rata per tahunnya adalah 49.106.000 ekor. Hal tersebut menandakan adanya jarak antara produktivitas pembenihan di Kota Metro dan pembenihan di Bogor. Oleh karena hal tersebut tujuan dari penelitian ini adalah 1). Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi produksi patin di Kota Metro. 2). Menganalisis efisiensi teknis usahatani pembenihan ikan patin di Kota Metro. 3). Menganalisis tingkat pendapatan usahatani pembenihan ikan patin di Kota Metro. Penelitian ini dilakukan di Kota Metro Lampung pada Bulan Mei 2011. Responden pada penelitian ini adalah pembenih ikan patin di Kota Metro, dengan jumlah responden sebanyak 24 orang. Analisis yang digunakan adalah deskriptif, analisis fungsi produksi frontier, analisis efeisiensi teknis, dan analisis pendapatan usahatani.

Metode analisis yang digunakan berupa analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif dilakukan terhadap penerimaan, pendapatan, dan pengeluaran dari usahatani pembenihan ikan patin. Data yang didapatkan dari 24 orang pembenih di lokasi penelitian di rata-ratakan nilainya manggunakan metode perataan untuk mendapatkan gambaran umum biaya dan penerimaan usahatni pembenihan ikan patin. Sedangkan analisis efisiensi teknis dilakukan dengan menggunakan metode OLS dan MLE. Data yang didapat diolah menggunakan

software pengolah angka Micrsoft Excel, Frontier 4.1, dan SPSS 11.5 for

Windows. Data dan informasi disajikan dalam bentuk tabulasi, grafik, dan diagram

alir (flow chart) untuk mempermudah dalam menganalisis data.

Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa pembenihan ikan patin di Kota Metro sudah cukup efisien dengan tingkat efisiensi teknis rata-rata usahatani pembenihan ikan patin di Kota Metro sebasar 79,00 persen. Variabel bebas yang memiliki pengaruh nyata dan berkorelasi negatif terhadap inefisiensi teknis pembenihan ikan patin diantaranya lama pengalaman pembenih (Z1), tingkat


(6)

Sedangkan dummy penyuluhan (Z4) memiliki korelasi positif terhadap inefisiensi

teknis. Sedangkan berdasarkan hasil estimasi dari parameterMaximum Likelihood

Estimation untuk fungsi produksStochastic Frontier menunjukan bahwa variabel

yang berpengaruh nyata dan memiliki nilai koefisien positif terhadap produksi benih patin di Kota Metro adalah jumlah cacing sutera yang diberikan (X3), dan

jam kerja yang diluangkan terhadap pembenihan (X5).

Dilihat dari tingkat pendapatan, usahatani pembenihan ikan patin ini dapat dikatakan menguntungkan, hal ini dapat dilihat dari pendapatan pembenih atas biaya tunai dan biaya diperhitngkan dari usahatani pembenihan ikan patin untuk setiap siklusnya adalah Rp8.565.375,51 dan Rp7.534.595,04. Nilai R/C rasio atas biaya tunai dan biaya diperhitungkan adalah 4,87 dan 3,32, hal ini menunjukan bahwa usahatani pembenihan ikan patin di Kota Metro menguntungkan bagi para pembenih.