10 membentuk jaringan yang struktural untuk merangkap granula dan menghasilkan pembentukan gel
Niba 2006. Peningkatan kadar amilosa juga membuat gelasi berlangsung lebih awal. Pati dengan
kandungan amilosa rendah, seperti waxy maize yang mengandung 1 amilosa, tidak dapat membentuk gel secara efektif, hanya pasta jernih yang umumnya resisten terhadap sineresis Niba
2006. Pati tergelatinisasi memainkan peranan penting dalam menentukan karakteristik struktural dan tekstural dari banyak pangan. Proporsi dari pati tergelatinisasi dan pati mentah dalam produk makanan
siap saji dapat menjadi titik kritis dalam menentukan penerimaannya Sablani 2009.
2.2.4. Retrogradasi
Retrogradasi juga dikenal dengan sebutan setback dan terjadi melalui pengkristalan kembali molekul amilosa. Hal ini menyebabkan pelepasan air yang sudah terserap dan terikat selama
gelatinisasi dan mengarah pada fenomena yang disebut sineresis. Amilosa jauh lebih rentan terhadap retrogradasi, sedangkan amilopektin hanya terlibat secara minimal walaupun diketahui mempengaruhi
retrogradasi dan sineresis dalam gel pati jagung. Retrogradasi pati dalam beberapa hal meningkatkan kualitas pati yang resisten terhadap enzim hidrolisis dan lebih stabil Niba 2006.
Dalam produksi mi pati, dibutuhkan pengkondisian suhu rendahyang diaplikasikan setelah gelatinisasi untaian mi. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan retrogradasi mi. Salah satu cara
pengkondisian tersebut adalah pencucian mi dengan air setelah mi dimasak. Tanpa proses gelatinisasi, molekul amilosa tidak dapat dilepaskan untuk berpartisipasi dalam proses retrogradasi yang mengatur
struktur mi Tam et al. 2004.
2.3. TEKNOLOGI PEMBUATAN MI
2.3.1. Mi Terigu
Pasta dan mi dari terigu memanfaatkan protein yang terkandung di dalamnya untuk memperkuat dan menahan bentuk selama pengeringan, pemasakan produk, dan mengurangi
kehilangan padatan selama pemasakan cooking loss. Menurut Wals dan Gille 1974, proses pengolahan mi diawali dengan pencampuran bahan, proses pembentukan, dan pengeringan. Terigu
dicampur air, garam dan bahan lain sehingga membentuk adonan pasta yang homogen. Adonan pasta mengalami proses lebih lanjut hingga membentuk adonan yang lebih homogen, plastis dan elastis.
Jumlah air yang ditambahkan adalah 28-38. Pembentukan adonan dilakukan selama 15-25 menit pada suhu 25-40
o
C. Adonan dipipihkan dengan alat roll-press dan dicetak menjadi mi dengan ketebalan 1-2 mm.
Pencampuran bahan bertujuan menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan menjadi halus dan elastis. Setelah pencampuran dilakukan
pengadukan agar adonan lebih homogen. Hal yang harus diperhatikan dalam pengadukan adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Air yang ditambahkan haruslah
cukup. Jika jumlah air yang ditambahkan kurang, maka adonan menjadi keras, rapuh, dan adonan sulit dibentuk menjadi lembaran. Jika jumlah air yang ditambahkan berlebih, maka adonan menjadi basah
dan lengket Oh et al. 1985. Bila proses dilanjutkan dengan perebusan pada suhu 100
o
C selama 5 menit dan dibiarkan dingin pada suhu ruang akan dihasilkan mi matang dan jika dilanjutkan dengan pengeringan 60
o
C
11 selama 7 jam akan menjadi mi kering. Jika digoreng dengan suhu 140-150
o
C sampai kadar airnya 3- 5 dan ditiriskan akan menjadi mi instan Sunaryo 1985.
Pembuatan spaghetti menggunakan ekstruder pasta forming extruder. Penambahan air tergantung pada suhu mixing. Pada suhu 35-45
o
C, air yang ditambahkan sebanyak 32-34, sedangkan pada suhu rendah yaitu antara 2-10
o
C air yang ditambahkan sebanyak 34-36. Menurut Dalbon et al. 1996 penyerapan air oleh tepung akan semakin tinggi dengan semakin tingginya suhu. Proses
ekstrusi pada pembuatan spaghetti harus dipertahankan suhunya pada kisaran 38-40
o
C. Jika suhu terlalu tinggi akan terjadi kerusakan pada protein sehingga dapat mengganggu proses terbentuknya
adonan yang plastis. Pada industri, ekstrusi dilengkapi dengan mantel pendingin untuk mempertahankan suhu proses supaya tidak naik.
2.3.2. Mi Non Terigu 2.3.2.1. Mi Pati