14
pendekatan ini adalah pendekatan yang dilakukan secara tersentralisasi, pendekatan ini dimulai dan diputuskan oleh aktor di tingkat pusat.
Pendekatan ini bertitik toleak dari perspektif bahwa keputusan telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan dan harus dilaksanakan oleh birokrat-
birokrat atau administrator pada level bawahnya; 2 Pendekatan bottom up, pendekatan ini adalah pendekatan yang menyoroti pelaksanaan kebijakan
yang terformulasi dan inisiasi warga masyarakat setempat melalui argumentasi bahwa masalah dan persoalan yang terjadi di level daerah
hanya dapat dimengerti secara baik oleh warga setempat Alifuddin, 2011: 14.
Selanjutnya Menurut Charles O. Jones Arif Rohman, 2009: 135, implementasi adalah suatu aktivitas yang ditujukan untuk mengoperasikan
sebuah program. Ada tiga pilar dalam mengoperasikan program tersebut yaitu:
a. Pengorganisasian, meliputi pembentukan atau penataan kembali
sumberdaya, unit-unit serta metode untuk menjalankan program agar bisa berjalan.
b. Interpretasi, suatu aktivitas dalam menafsirkan agar suatu program
menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan.
c. Aplikasi, kegiatan yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi
pelayanan, pembayaran atau yang lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program.
15
Berdasarkan berbagai pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan cara dalam melaksanakan kebijakan
untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan, dan cara tersebut sebagai penentu keberhasilan dalam suatu kebijakan.
3. Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pendidikan
Proses implementasi kebijakan merupakan proses yang sangat menentukan, dan menjadi bagian terpenting karena semua kebijakan yang
sudah diambil selalu pada tahap implementasi. Arif Rohman 2009: 147-149 menyatakan terdapat tiga faktor yang
mempengaruhi kegagalan dan keberhasilan dalam proses implementasi, yaitu:
a. Faktor yang terletak pada rumusan kebijakan. Dalam hal ini menyangkut
jelas atau tidaknya rumusan kalimat, tujuananya tepat atau tidak, sasarannya tepat atau tidak, mudah difahami atau tidak, mudah
diinterpretasi atau tidak, dan terlalu sulit dilaksanakan atau tidak. Seperti dikemukakan oleh Oberlin Silalahi bahwa pembuat kebijakan harus
terlebih dahulu mencapai beberapa konsensus diantara mereka mengenai tujuan-tujuan, serta informasi yang cukup untuk mencapai tujuan.
b. Faktor yang terletak pada personil pelaksana yaitu menyangkut tingkat
pendidikan, pengalaman, motivasi, komitmen, kesetiaan, kinerja, kepercayaan diri, kebiasaan-kebiasaan, serta kemampuan kerjasama dari
para pelaku pelaksana kebijakan tersebut, termasuk latar belakang
16
budaya, bahasa, serta ideologi kepartaian dari masing-masing personil pelaksana.
c. Faktor yang terletak pada sistem organisasi pelaksana yang menyangkut
jaringan sistem, hierarki kewenangan masing-masing peran, model distribusi pekerjaan, gaya kepemimpinan dari pemimpin organisasinya,
aturan main organisasi, terget masing-masing tahap yang ditetapkan, model monitoring yang dipakai, serta evaluasi yang dipilih.
Sedangkan Sabatier dan Mazmania Sudiyono, 2007: 90-100 mengemukakan adanya kondisi yang dapat mendukung agar implementasi
dapat dilaksanakan dengan optimal, diantaranya: a.
Program harus mendasarkan diri pada sebuah kajian teori yang terkait dengan perubahan perilaku kelompok sasaran guna mencapai hasil yang
telah ditetapkan. Kebanyakan pengambilan atau perumusan kebijakan didasarkan pada teori sebab akibat. Teori ini terdiri dua bagian. Bagian
pertama adanya keterkaitan antara pencapaian dengan tolok ukur atau hasil yang diharapkan. Bagian kedua khusus mengenai cara pelaksanaan
kebijakan yang didapat dilakukan oleh kelompok sasaran. b.
Undang-undang tidak boleh ambigu atau bermakna ganda. Dalam hal ini pemerintah harus mengkaji ulang produk-produk hukum. Sasaran
kebijakan harus memiliki derajat ketepatan dan kejelasan, dimana keduanya berlaku secara internal maupun dalam keseluruhan program
yang dilaksanakan oleh pihak pelaksana.