Sistem pembakaran yang dilakukan masyarakat biasanya telah terkendali dan cepat padam karena bagaimanapun masyarakat ingin secepatnya mengusahakan
lahannya. Lahan yang lama terbakar, apalagi sampai berhari-hari menyebabkan kegiatan penanaman tertunda dan sesungguhnya hal tersebut akan sangat merugikan
petani itu sendiri. Sumber asap yang kedua adalah asap non-pertanian, asap semacam ini dihasilkan oleh kegiatan pembersihan lahan pekarangan pada saat musim
kemarau. Telah menjadi kebiasaan masyarakat bahwa saat musim kemarau melakukan kegiatan pembersihan lahan pekarangan. Lahan pekarangan yang
ditumbuhi rerumputan dibersihkan, rumput tebasan kemudian dibuat gunungan dan dibakar. Rumput hasil pembersihan lahan pekarangan biasanya masih belum kering
namun langsung dilakukan pembakaran. Pembakaran rumput dalam keadaan belum kering akan menghasilkan asap yang tebal. Kegiatan semacam ini hampir dilakukan
setiap rumah tangga pada saat musim kemarau sehingga apabila dikumpulkan akan menghasilkan asap tebal yang dilepaskan ke lingkungan. Sumber asap dari kegiatan
non-pertanian dapat juga terjadi karena adanya bawas semak belukar yang terbakar. Kebakaran bawas pada saat musim kemarau akan menimbulkan kebakaran hebat,
selain membakar vegetasi dan serasah dipermukaan juga berpotensi membakar lahan gambut sehingga akan menimbulkan kobaran api yang besar yang disertai kepulan
asap tebal. Kebakaran semacam inilah yang merupakan penyumbang asap terbesar di wilayah Rasau Jaya.
Antisipasi dan pencegahan kebakaran di lahan pertanian telah dilakukan oleh masyarakat sendiri. Pencegahan dilakukan melalui upaya pembakaran terkendali dan
kesepakatan antar masyarakat petani maupun peraturan desa. Masyarakat sangat takut dan menghormati kesepakatan dan aturan tersebut melebihi takutnya terhadap aturan
yang dibuat pemerintah, karena sanksi biasanya akan selalu bersangkut paut dengan hubungan sosial masyarakat itu sendiri, sehingga penyiapan lahan dengan cara
dibakar akhirnya benar-benar dilakukan dengan mengerahkan segenap sumberdaya yang ada. Hal tersebut dilakukan karena kebanyakan masyarakat lokal secara
ekonomi tidak mampu atau miskin, sehingga jika kegiatan pembakaran mengakibatkan merembetnya api ke lahan tetangganya maka hal tersebut bukan
memperkecil biaya namun justru menambah biaya karena harus memberi ganti kerugian.
Dalam hal kegiatan penanggulangan kebakaran lahan peran serta masyarakat sangat besar. Hal tersebut dikarenakan kebakaran dapat menyebabkan musnahnya
investasi yang telah diusahakan. Upaya pemadaman hanya dilakukan pada lahan pertanian yang berpotensi saja sedangkan pada lahan tidur atau lahan yang tidak
berpotensi akan diabaikan oleh masyarakat.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Data prediksi cuaca luaran model WRF resolusi 9 km dapat dimanfaatkan sebagai database penyusun SPBK. Parameter cuaca luaran WRF mempunyai tingkat
korelasi kuat–sangat kuat terhadap data observasi. Hasil verifikasi parameter suhu mempunyai korelasi diatas 0.70, parameter kelembapan berkorelasi diatas 0.58, dan
kecepatan angin mempunyai korelasi diatas 0.53, dan tingkat akurasi curah hujan diatas 61.90. Parameter kelembapan dan curah hujan dibeberapa lokasi mempunyai
nilai lebih tinggi over forecasting terhadap data observasi.
Data cuaca model WRF dapat dijadikan sebagai pilihan solusi keterbatasan data observasi cuaca penyusun
SPBK yang ada saat ini. Peta SPBK-WRF mempunyai pola dan kategori yang lebih bervariasi
dibandingkan SPBK-observasi. Hasil verifikasi menunjukkan korelasi nilai FFMC- WRF terhadap FFMC-observasi mempunyai nilai antara 0.56 – 0.78. Nilai FWI
mempunyai korelasi antara 0.62 – 0.87. Hasil korelasi tersebut menunjukkan bahwa peta SPBK yang dibangun menggunakan data cuaca model WRF mempunyai hasil
prediksi yang mendekati dengan SPBK hasil observasi.
Model WRF-Chem mampu memprediksi dispersi asap kebakaran hutanlahan sesuai dengan identifikasi data satelit AIRS-NASA. Secara umum pola spasial
dispersi asap model dengan data satelit mempunyai kemiripan dengan nilai korelasi sebesar 0.61 – 0.98. Nilai bias hasil model dibawah 1.66 dan mempunyai
kecenderungan underforecasting terhadap data satelit. Hasil korelasi dan error menunjukkan bahwa hasil simulasi model mempunyai prediksi yang cukup baik.
Model ini dapat digunakan sebagai sistem peringatan dini dispersi asap kebakaran hutanlahan di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Distribusi puncak hotspot periode JJA-2013 terjadi pada bulan Juni diwilayah Sumatera dan bulan Agustus di wilayah Kalimantan. Presentase tertinggi distribusi
hotspot wilayah Sumatera terdapat di Propinsi Riau sebesar 81 sedangkan di wilayah Kalimantan terdapat di Provinsi Kalimantan Barat sebesar 74. Distribusi
hotspot tersebar secara dominan pada wilayah yang mempunyai kategori mudah dan sangat mudah terbakar, artinya jika wilayah tersebut terdapat hotspot dan mempunyai
kategori mudah sampai sangat mudah terbakar maka potensi terjadi kebakaran hutanlahan tinggi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa peta indeks FFMC mempunyai
korelasi terhadap hotspot.
Hasil analisis terhadap aktivitas masyarakat lokal menunjukkan bahwa 70 penyiapan dan pengolahan lahan untuk pertanian dilakukan dengan cara membakar.
Penyiapan lahan dengan cara dibakar diawali dengan kegiatan penebasan pada bulan Mei-Juni dan setelah tebasan kering sekitar bulan Juli-Agustus dilakukan
pembakaran. Periode waktu pembakaran tebasan kering yang dilakukan masyarakat pada bulan Juli-Agustus berkorelasi terhadap peningkatan distribusi hotspot dan
kejadian kebakaran hutanlahan.
5.2. Saran
Pengembangan SPBK perlu memasukkan parameter gambut karena kejadian kebakaran hutanlahan yang terjadi dominan pada lahan gambut. Diharapkan dengan
adanya substitusi parameter gambut dapat meningkatkan akurasi prediksi peta SPBK. Penyelesaian permasalahan kebakaran hutanlahan sebaiknya dilakukan
dengan cara meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan dampak kebakaran hutanlahan dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pengolahan
dan penyiapan lahan untuk pertanian.