Topografi dan Kelerengan CuacaIklim

Gambar 2 . Tiga wilayah iklim di Indonesia. Wilayah A Monsun garis ungu, Wilayah B Ekuatorial garis biru putus, dan Wilayah C lokal garis merah putus Aldrian dan Susanto. Curah hujan pola monsunal dicirikan oleh tipe curah hujan yang bersifat unimodial satu puncak musim hujan dimana pada bulan Juni-Juli-Agustus terjadi musim kering, sedangkan bulan Desember-Januari-Februari merupakan bulan basah, dan enam bulan sisanya merupakan periode peralihan pancaroba. Daerah yang didominasi oleh pola monsun berada didaerah Sumatera bagian Selatan, Kalimantan Tengah dan Selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan sebagian Papua. Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial dua puncak hujan, biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober. Pola ini terdapat diwilayah Sumatera bagian tengah dan utara, serta Kalimantan bagian utara. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial satu puncak hujan, tetapi bentuknya berlawanan dengan tipe hujan monsun, wilayahnya meliputi Maluku, Sulawesi dan sebagian Papua.

a. Suhu Udara

Suhu bahan bakar dipengaruhi oleh penyerapan radiasi matahari secara langsung dan konduksi dari lingkungan sekitarnya. Daerah yang mempunyai suhu tinggi akan mempercepat terjadinya pengeringan bahan bakar dan memudahkan terjadinya kebakaran terutaman jika terjadi pada musim kemarau panjang. Chandler 1983 menyatakan bahwa cuaca dan iklim berhubungan dengan kebakaran hutan melalui dua jalan, yaitu menentukan panjang dan keparahan musim kebakaran serta menentukan jumlah bahan bakar hutan pada suatu daerah. Suhu udara merupakan faktor pengatur perubahan tekanan udara, kelembapan udara dan evaporasi. Peningkatan suhu udara di suatu tempat menyebabkan penurunan kerapatan udara yang akan diikuti oleh penurunan tekanan. Hal sebaliknya terjadi pada suhu udara menurun. Peningkatan suhu udara juga menyebabkan peningkatan kapasitas udara menampung uap air, sehingga walaupun jumlah molekul uap tetap kelembapan relatif akan menurun jika suhu udara meningkat. Peningkatan suhu udara juga akan meningkatkan evaporasi, karena turunnya kelembapan RH akan meningkatkan defisit tekanan uap yang merupakan salah satu pembangkit penguapan. Suhu akan berangsur-angsur turun dengan meningkatnya ketinggian tempat, sehingga banyaknya satuan panas berbeda-beda. Ada 3 alasan yang menyebabkan kejadian ini, yaitu : 1. Sumber pemanasan utama udara adalah bumi. 2. Kerapatan uap air menurun dengan menurunnya ketinggian, jadi panas sedikit dapat disimpan di udara. 3. Suhu menurun yang merupakan hasil ekspansi dari udara yang naik dari permukaan bumi. Menurut Saharjo 2003 pada pagi hari dengan suhu yang cukup rendah sekitar 20 º C ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak berkembang sehingga terkonsentrasi pada suatu titik. Sementara siang hari dengan suhu 30-35 º C sedangkan kadar air bahan bakar cukup rendah 30 membuat proses pembakaran berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak satu titik, tapi berubah-rubah karena pengaruh angin.

b. Curah Hujan

Curah hujan dapat didefinisikan sebagai jumlah air yang jatuh di permukaan tanah dan diukur sebagai tinggi air dalam satuan mm milimeter sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi dan peresapan atau perembesan ke dalam tanah. Curah hujan berpengaruh terhadap kelembapan bahan bakar. Jika curah hujan tinggi maka kelembapan bahan bakar juga akan tinggi sehingga menyulitkan terjadinya kebakaran Septicorini. 2006. Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki korelasi yang tinggi dengan kejadian kebakan hutan dan merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan akumulasi bahan bakar rerumputan Van Wilgen et al. 1990. Triani 1995 menyatakan bahwa faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap luasnya areal yang terbakar adalah masa kemarau yang terlalu panjang. Sebagian besar hujan dihasilkan oleh penurunan suhu pada arus udara yang naik pada lereng pegunungan atau oleh adanya perbedaan pemanasan lokal antara satu tempat dengan tempat lainnya. Keadaan tersebut masing-masing akan menimbulkan sirkulasi udara untuk mencapai keseimbangan hingga memungkinkan memberikan dampak pola cuaca lokal.

c. Kelembapan Udara

Menurut Fuller 1991 di dalam hutan kelembapan udara akan sangat mempengaruhi mudah tidaknya bahan bakar mengering dan terbakar, hal ini