Keadaan Umum Wilayah Kajian Analisis Hubungan Hotspot dan SPBK

model yang digunakan adalah parameter suhu, kelembapan, kecepatan dan arah angin, dan curah hujan kumulatif. Data prediksi cuaca model diverifikasi dengan data cuaca observasi wilayah Sumatera dan Kalimantan di 8 delapan propinsi yang merupakan wilayah rawan kebakaran hutanlahan. Data cuaca observasi yang digunakan sebagai verifikator data model di wilayah Sumatera adalah Bandara Polonia Medan-Sumatera Utara, Stasiun Meteorologi Pekanbaru-Riau, Bandara Sultan Thaha-Jambi, dan Talang Betutu- Palembang Sumsel. Sedangkan data stasiun observasi cuaca di wilayah Kalimantan adalah; Bandara Supadio-Pontianak Kalbar, Panarung-Palangkaraya Kalteng, Bandara Syamsuddin-Banjarmasin Kalsel, dan Temindung-Samarinda Kaltim Grafik perbandingan antara parameter cuaca luaran WRF dengan observasi pada 8 delapan propinsi rawan kebakaran hutanlahan di Sumatera dan Kalimantan ditunjukkan Gambar 8 -15.

4.2.1. Medan - Sumatera Utara

Gambar 8 merupakan hasil perbandingan data suhu udara, kecepatan angin, dan kelembapan data observasi cuaca dengan data WRF resolusi 9 km pada periode Juni-Juli-Agustus 2013 di wilayah Polonia- Sumatera Utara. Gambar 8. Perbandingan suhu, kec. angin dan kelembapan wilayah Sumatera Utara Puncak suhu maksimum observasi terjadi dibulan Juni mempunyai nilai 35 º C, sedangkan data WRF 32 º C. Kelembapan terendah terjadi bulan Juni pada hari yang sama saat suhu maksimum terjadi pada tanggal 20 Juni, nilai kelembapan hasil observasi adalah 46 sedangkan hasil WRF 55. Nilai korelasi dan RMSE antara observasi dan WRF untuk parameter suhu sebesar 0.77 dan 1.09, parameter kelembapan mempunyai korelasi sebesar 0.76 dan RMSE sebesar 8.64, dan nilai korelasi parameter kecepatan angin 0.53 dan RMSE sebesar 2.41. Parameter kelembapan dan angin model WRF mempunyai nilai lebih besar over forecasting terhadap observasi. Nilai Threath Score untuk parameter curah hujan sebesar 65.

4.2.2. Pekanbaru - Riau

Gambar 9 adalah hasil perbandingan data suhu udara, kecepatan angin, dan kelembapan data observasi cuaca dengan data WRF periode Juni-Juli-Agustus 2013 di wilayah Pekanbaru – Riau. Gambar 9. Perbandingan suhu, kec. angin dan kelembapan wilayah Riau Puncak suhu maksimum data observasi terjadi di bulan Juni dengan nilai 34 º C, sedangkan data WRF mempunyai nilai maksimum 32 º C. Kelembapan terendah terjadi pada pertengahan bulan Juni, nilai kelembapan minimum data observasi adalah 40 sedangkan WRF sebesar 65. Nilai korelasi dan RMSE antara observasi dan WRF untuk parameter suhu udara adalah 0.73 dan 1.85, parameter kelembapan mempunyai korelasi 0.66 dan RMSE sebesar 17.56, nilai korelasi parameter kecepatan angin 0.56 dan RMSE sebesar 4.43. Parameter kelembapan dan curah hujan model WRF mempunyai nilai lebih tinggi over forecasting terhadap data observasi. Nilai Threath Score untuk parameter curah hujan sebesar 68.

4.2.3. Jambi

Gambar 10 adalah hasil perbandingan data suhu udara, kecepatan angin, dan kelembapan antara data observasi cuaca dengan data WRF periode Juni-Juli-Agustus 2013 di wilayah Jambi. Gambar 10. Perbandingan suhu, kec. angin dan kelembapan wilayah Jambi Profil data suhu udara, angin dan kelembapan berfluktuasi sepanjang periode JJA-2013. Puncak suhu maksimum data observasi terjadi dibulan Juni dengan nilai 33 º C, sedangkan data WRF mempunyai nilai maksimum 31 º C. Kelembapan terendah terjadi juga pada pertengahan bulan Juni, nilai kelembapan minimum data observasi adalah 51 sedangkan data WRF sebesar 69. Nilai korelasi dan RMSE antara data observasi dan WRF untuk parameter suhu udara adalah 0.75 dan 1.48, parameter kelembapan mempunyai korelasi sebesar 0.63 dan RMSE sebesar 16.28.

4.2.4. Palembang - Sumatera Selatan

Gambar 11 menunjukkan hasil perbandingan data suhu udara, kecepatan angin, dan kelembapan data observasi cuaca dengan WRF wilayah Sumatera Selatan. Gambar 11. Perbandingan suhu, kec. angin dan kelembapan wilayah Sumsel Profil data suhu udara, angin dan kelembapan cukup berfluktuasi sepanjang periode JJA-2013. Puncak suhu maksimum data observasi terjadi dibulan Juni dengan nilai 33 º C, sedangkan data WRF mempunyai nilai maksimum 31 º C. Kelembapan terendah terjadi juga pada pertengahan bulan Juni, nilai kelembapan minimum data observasi adalah 50 sedangkan data WRF sebesar 62. Nilai korelasi dan RMSE antara data observasi dan WRF untuk parameter suhu udara adalah 0.80 dan 1.40, parameter kelembapan mempunyai korelasi sebesar 0.66 dan RMSE sebesar 12.54, dan nilai korelasi parameter kecepatan angin 0.56 dan RMSE sebesar 4.92. Nilai Threath Score untuk parameter curah hujan sebesar 63. Parameter kelembapan model WRF mempunyai over forecasting terhadap data observasi.

4.2.5. Pontianak – Kalimantan Barat

Gambar 12 menunjukkan hasil perbandingan data suhu udara, kecepatan angin, dan kelembapan antara data observasi cuaca dengan data WRF resolusi 9 km pada periode Juni-Juli-Agustus 2013 di wilayah Pontianak, Kalimantan Barat. Gambar 12. Perbandingan suhu, kec. angin dan kelembapan wilayah Kalbar Profil data suhu udara, angin dan kelembapan cukup berfluktuasi sepanjang periode JJA-2013. Puncak suhu maksimum data observasi terjadi dibulan Juni dengan nilai 33 º C, sedangkan data WRF mempunyai nilai maksimum 32 º C. Kelembapan terendah terjadi juga pada pertengahan bulan Agustus, nilai kelembapan minimum data observasi adalah 55 sedangkan data WRF sebesar 61. Nilai korelasi dan RMSE antara data observasi dan WRF untuk parameter suhu udara adalah 0.70 dan 1.94, parameter kelembapan mempunyai korelasi sebesar 0.58 dan RMSE sebesar 11.01, dan nilai korelasi parameter kecepatan angin 0.55 dan RMSE sebesar 3.15. Parameter kelembapan model WRF mempunyai nilai lebih tinggi over forecasting terhadap data observasi.

4.2.6. Palangkaraya – Kalimantan Tengah

Perbandingan suhu, kecepatan angin, dan kelembapan antara observasi dengan WRF periode Juni-Juli-Agustus 2013 di Palangkaraya, Kalimantan Tengah ditunjukkan Gambar 13. Gambar 13. Perbandingan suhu, kec. angin dan kelembapan wilayah Kalteng Puncak suhu maksimum data observasi terjadi dibulan Juni dengan nilai 33 º C, sedangkan data WRF mempunyai nilai maksimum 32 º C. Kelembapan terendah terjadi pada pertengahan bulan Agustus dengan nilai kelembapan minimum data observasi 54 sedangkan data WRF sebesar 62. Nilai korelasi dan RMSE antara observasi dan WRF untuk parameter suhu udara adalah 0.71 dan 1.47, parameter kelembapan mempunyai korelasi 0.66 dan RMSE sebesar 11.90, dan nilai korelasi parameter kecepatan angin 0.69 dan RMSE sebesar 3.0. Parameter kelembapan dan curah hujan WRF mempunyai over forecasting terhadap data observasi. Nilai Threath Score untuk parameter curah hujan sebesar 64. 4.2.7. Banjarmasin – Kalimantan Selatan Gambar 14 adalah perbandingan suhu udara, kecepatan angin, dan kelembapan data observasi cuaca dengan data WRF periode Juni-Juli-Agustus 2013 di wilayah Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Gambar 14. Perbandingan suhu, kec. angin dan kelembapan wilayah Kalsel Profil data suhu udara, angin dan kelembapan cukup berfluktuasi sepanjang periode JJA-2013. Puncak suhu maksimum data observasi terjadi dibulan Juni dengan nilai 34 º C, sedangkan data WRF mempunyai nilai maksimum 31 º C. Kelembapan terendah terjadi juga pada pertengahan bulan Agustus, nilai kelembapan minimum data observasi adalah 51 sedangkan data WRF sebesar 64. Nilai korelasi dan RMSE antara data observasi dan WRF untuk parameter suhu udara adalah 0.72 dan 1.83, parameter kelembapan mempunyai korelasi sebesar 0.68 dan RMSE sebesar 14.63, dan nilai korelasi parameter kecepatan angin 0.60 dan RMSE sebesar 3.88. Parameter kelembapan dan curah hujan model WRF mempunyai over forecasting terhadap data observasi. Nilai Threath Score untuk parameter curah hujan sebesar 61.

4.2.8. Samarinda – Kalimantan Timur

Gambar 15 menunjukkan hasil perbandingan data suhu udara, kecepatan angin, dan kelembapan data observasi cuaca dengan WRF wilayah Kalimantan Timur. Gambar 15. Perbandingan suhu, kec. angin dan kelembapan wilayah Kaltim Profil data suhu udara, angin dan kelembapan cukup berfluktuasi sepanjang periode JJA-2013. Puncak suhu maksimum data observasi terjadi dibulan Juni dengan nilai 33 º C, sedangkan data WRF mempunyai nilai maksimum 33 º C. Kelembapan terendah terjadi pada pertengahan bulan Agustus, nilai kelembapan minimum data observasi adalah 58 sedangkan data WRF sebesar 65. Nilai korelasi dan RMSE antara data observasi dan WRF untuk parameter suhu udara adalah 0.74 dan 1.59, parameter kelembapan mempunyai korelasi sebesar 0.73 dan RMSE sebesar 10.49, dan nilai korelasi parameter kecepatan angin 0.53 dan RMSE sebesar 2.91. Nilai Threath Score untuk parameter curah hujan sebesar 65. Parameter kelembapan dan curah hujan model WRF mempunyai over forecasting terhadap data observasi. Tabel 6 adalah hasil korelasi, persentase kesalahan, RMSE, dan akurasi untuk parameter suhu, kelembapan, kecepatan angin, dan curah hujan di wilayah Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Tabel 6 . Hasil korelasi, persentase kesalahan, RMSE, dan akurasi Nilai korelasi menunjukkan tingkat kekuatan hubungan pola antara dua variabel yaitu data observasi dan luaran model, Nilai korelasi mendekati satu 1 berarti model mempunyai korelasi hubungan sempurna pola identik dengan data observasi. Hasil korelasi parameter suhu mempunyai nilai 0.7 – 0.8 di semua lokasi, sedangkan kelembapan mempunyai korelasi antara 0.58 – 0.76, dan kecepatan angin antara 0.53 – 0.69. Secara keseluruhan nilai parameter suhu, kelembapan, kecepatan angin mempunyai nilai korelasi antara 0.53 – 0.80. Menurut Sarwono 2006 untuk memudahkan melakukan interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel, dibagi kriteria berdasarkan nilai sebagai berikut; - 0 : Tidak ada korelasi antara dua variabel - 0 – 0,25 : Korelasi sangat lemah - 0,25 – 0,5 : Korelasi cukup - 0,5 – 0,75 : Korelasi kuat - 0,75 – 0,99: Korelasi sangat kuat - 1 : Korelasi sempurna Berdasarkan pembagian kriteria diatas terhadap parameter suhu, kelembapan, dan kecepatan angin, hasil model WRF mempunyai kategori korelasi kuat - sangat kuat dengan data observasi cuaca. Persentase kesalahan percent error untuk parameter kelembapan di semua lokasi mempunyai nilai negatif, artinya prediksi parameter kelembapan hasil model WRF mempunyai nilai diatas data observasi over forecasting. Nilai over forecasting model untuk parameter kecepatan angin terdapat di wilayah Sumatera Utara, sedangkan di wilayah Riau, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur untuk parameter curah hujan juga mengalami kondisi yang sama. Rentang nilai RMSE parameter suhu antara 1.09 – 1.94, parameter kelembapan mempunyai nilai antara 8.64 – 17.56, sedangkan untuk parameter kecepatan angin mempunyai nilai RMSE antara 2.41 – 4.92. Berdasarkan nilai RMSE dapat diketahui bahwa selisih nilai antara model dan observasi cukup besar terutama untuk parameter kelembapan. Nilai akurasi dari metode Threath Score pada parameter curah hujan antara 60.81 – 68.47, hal ini menunjukkan bahwa prediksi curah hujan model WRF terhadap observasi mempunyai akurasi yang baik.

4.3. Analisis Hasil Peta SPBK

Nilai yang digunakan untuk menyusun peta SPBK adalah parameter cuaca yang meliputi; suhu, kelembapan, kecepatan dan arah angin, dan curah hujan kumulatif, dengan menggunakan inisial waktu pukul 13.00 WIB dengan asumsi bahwa waktu tersebut mewakili kondisi suhu maksimum dan kelembapan minimum serta berpotensi tinggi terjadinya kebakaran hutanlahan. Pengolahan data parameter cuaca model WRF menggunakan Microsoft Database Acces dan tools ekstensi SFMS Spatial Fire Managements Systems, dan dihasilkan peta SPBK berupa indeks peta FFMC Fine Fuel Moisture Code dan FWI Fire Weather Index. Hasil peta SPBK berbasis luaran model WRF resolusi 9 km dibandingkan dengan peta SPBK berbasis observasi milik BMKG.

4.3.1. Indeks Peta Fine Fuel Moisture Code FFMC Wilayah Sumatera

Peta FFMC adalah potensi tingkat kemudahan terjadinya kebakaran hutanlahan ditinjau dari analisa parameter cuaca. Berikut adalah contoh peta FFMC hasil luaran model WRF dan observasi pada saat terjadinya peningkatan distribusi hotspot diwilayah Sumatera. Gambar 16 . Perbandingan hasil peta FFMC observasi kiri dan WRF kanan tanggal 21 Juni, 22 Juli, dan 18 Agustus 2013 wilayah Sumatera. Hasil perbandingan menujukkan bahwa pola spasial peta FFMC-WRF mempunyai pola yang berbeda dengan observasi. Peta FFMC observasi tanggal 21 Juni menunjukkan bahwa hampir di seluruh wilayah Sumatera kecuali sepanjang bukit barisan dan Sumatera bagian ujung utara dominan berwarna merah dan masuk kategori sangat mudah terbakar, sedangkan hasil FFMC-WRF mempunyai pola variasi warna biru – merah yang mempunyai kategori aman – sangat mudah terbakar. FFMC-observasi tanggal 22 Juli menunjukkan bahwa sebagian besar Sumatera bagian tengah dan utara berwarna merah masuk kategori sangat mudah terbakar, sedangkan FFMC-WRF berwarna kuning dan merah dan mempunyai kategori mudah – sangat mudah terbakar. Peta FFMC-WRF mempunyai variasi pola dan kelas kategori dibandingkan hasil FFMC-observasi. 4.3.2. Indeks Peta Fire Weather Index FWI Wilayah Sumatera Peta FWI adalah potensi tingkat kesulitan pengendalian api jika terjadi kebakaran hutanlahan ditinjau dari analisa parameter cuaca. Gambar 17 menunjukkan peta FWI-observasi tanggal 21 Juni bahwa dibagian timur Sumatera didominasi warna kuning dan merah dengan kategori sulit dan sangat sulit dikendalikan, sedangkan FWI-WRF didominasi oleh warna hijau dan biru dengan kategori aman dan tidak sulit dikendalikan. Pada tanggal 22 Juli dan 18 Agustus hasil FWI-observasi dan WRF mempunyai pola hampir sama, keduanya didominasi oleh warna hijau dan biru yang menunjukkan tidak sulit dikendalikan dan aman. Terdapat spot warna merah di bagian ujung utara pulau Sumatera pada peta FWI-WRF. Hasil peta FWI diatas menunjukkan bahwa peta FWI-WRF mempunyai pola yang lebih bervariasi dari FFMC-observasi. Gambar 17 . Perbandingan hasil peta FWI-observasi kiri dan WRF kanan tanggal 21 Juni, 22 Juli, dan 18 Agustus 2013 diwilayah Sumatera.

4.3.3. Indeks Peta Fine Fuel Moisture Code FFMC Wilayah Kalimantan

Hasil perbandingan menunjukkan bahwa pola spasial peta FFMC-WRF mempunyai pola yang be Gambar 18 . Perbandingan hasil peta FFMC-observasi kiri dan WRF kanan tanggal 21 Juni, 22 Juli, dan 18 Agustus 2013 wilayah Kalimantan Hasil perbandingan menunjukkan bahwa pola spasial peta FFMC-WRF mempunyai pola yang berbeda dengan observasi. Peta FFMC observasi tanggal 21 Juni menunjukkan bahwa hampir di seluruh wilayah Kalimantan didominasi oleh warna merah dengan kategori sangat mudah terbakar, sedangkan hasil FFMC-WRF didominasi oleh warna hijau – kuning yang mempunyai kategori tidak mudah – mudah terbakar. Pada tanggal 22 Juli hasil FFMC-observasi menunjukkan dibagian timur Kalimantan didominasi warna biru, sedangkan FFMC-WRF mempunyai sebaran warna dan kategori yang merata, sedangkan FFMC-WRF tanggal 18 Agustus didominasi oleh warna biru – kuning, sedangkan FFMC-observasi didominasi warna hijau – merah. Distribusi pola peta FFMC-WRF lebih bervariasi dibandingkan hasil FFMC-observasi. 4.3.4. Indeks Peta Fire Weather Index FWI Wilayah Kalimantan Gambar 19 menunjukkan contoh peta FWI hasil luaran model WRF dan observasi pada saat terjadinya peningkatan distribusi hotspot di wilayah Kalimantan. Gambar 19 . Perbandingan hasil peta FWI-observasi kiri dan WRF kanan tanggal21 Juni, 22 Juli, dan 18 Agustus 2013 wilayah Kalimantan. Peta FWI-observasi tanggal 21 Juni di wilayah Kalimantan Timur bagian utara menunjukkan kategori tidak sulit – sulit dikendalikan, sedangkan dibagian tengah, selatan, dan barat disominasi oleh warna biru dan hijau dengan kategori tidak sulit dikendalikan - aman. Pada tanggal 22 Juli hasil Peta FWI-observasi dan WRF didominasi oleh warna biru dan hijau dengan kategori tidak sulit dikendalikan dan aman. Warna hijau terdapat hampir pada semua wilayah Kalimantan Barat, sedangkan FWI-WRF hanya terdapat sebagian wilayah Kalimantan Barat bagian utara. Pola FWI-observasi tanggal 18 Agustus mempunyai pola yang sama dengan FWI-WRF. 4.4. Verifikasi Peta SPBK-WRF Perbandingan peta SPBK indeks FFMC dan FWI luaran WRF dilakukan dengan menggunakan pendekatan korelasi dan RMSE terhadap peta SPBK observasi milik BMKG. Perbandingan indeks FFMC dan FWI dilakukan dengan membandingkan nilai point to point titik per titik pada delapan lokasi yang tersebar di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Lokasi pengambilan nilai ditunjukkan pada Gambar 20. Gambar 20 . Lokasi pengambilan nilai indeks FFMC dan FWI SPBK observasi dan WRF Lokasi pengambilan nilai yang digunakan untuk membandingkan indeks FFMC dan FWI didasarkan pada wilayah rawan kebakaran hutanlahan khususnya pada wilayah hutanlahan gambut. Gambar 21 menunjukkan hasil perbandingan nilai indeks FFMC dan FWI periode Juni-Juli-Agustus 2013 di wilayah Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Gambar 21 . Perbandingan nilai indeks FFMC dan FWI data observasi dan WRF wilayah Sumatera dan Kalimantan Gambar 21 . Lanjutan Gambar 21 . Lanjutan Gambar 21 . Lanjutan Gambar 21 menunjukkan hasil perbandingan pola indeks FFMC dan FWI data observasi dan WRF. Keduanya menunjukkan pola fluktuatif sepanjang periode Juni- Juli-Agustus 2013. Hasil korelasi, persentase error, RMSE, dan akurasi nilai FFMC dan FWI ditunjukkan Tabel 7. Tabel 7 . Hasil korelasi, persentase kesalahan, dan RMSE Nilai KALBAR KALTENG KALSEL KALTIM FFMC FWI FFMC FWI FFMC FWI FFMC FWI Korelasi 0.62 0.78 0.66 0.72 0.78 0.88 0.56 0.77 Percent error -0.02 -0.07 -0.50 0.23 -0.01 0.47 -0.06 -0.14 RMSE 11.53 1.192 12.85 0.94 13.53 2.35 19.77 0.65 Tabel 7 menunjukkan korelasi nilai FFMC-observasi dengan data FFMC- WRF mempunyai nilai antara 0.56 – 0.78 yang mempunyai tingkat hubungan kuat – sangat kuat. Nilai FWI mempunyai korelasi antara 0.62 – 0.87 dan mempunyai kategori korelasi kuat – sangat kuat. Hasil korelasi tersebut menunjukkan bahwa peta SPBK yang dibangun menggunakan data cuaca model WRF mempunyai hasil prediksi yang mendekati dengan SPBK hasil observasi. Berdasarkan nilai persentase kesalahan di wilayah Riau, Jambi, dan seluruh propinsi di Kalimantan terdapat over forecasting pada nilai FFMC maupun FWI, sedangkan rentang nilai RMSE antara 0.65 – 19.77. Nilai RMSE semakin besar Nilai SUMUT RIAU JAMBI SUMSEL FFMC FWI FFMC FWI FFMC FWI FFMC FWI Korelasi 0.71 0.85 0.70 0.62 0.65 0.69 0.69 0.87 Percent error 0.04 0.35 -0.01 0.57 -0.02 0.44 0.10 0.42 RMSE 10.99 1.18 13.04 3.27 13.25 2.86 10.97 1.94 menunjukkan bahwa selisih nilai antara FFMCFWI observasi dan model WRF juga besar, walaupun mempunyai hubungan yang sangat kuat bisa saja mempunyai RMSE besar, seperti yang terjadi di wilayah Riau, Jambi, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

4.5. Analisis Hubungan Hotspot dan SPBK

Titik panas hotspot merupakan salah satu indikator terjadinya kebakaran hutan dan lahan disuatu wilayah. Data sebaran hotspot diambil dari FIRMS Fire Information for Resources Managements Systems menggunakan data AquaTerra MODIS periode JJA-2013 di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Data hotspot yang digunakan mempunyai tingkat kepercayaan antara 20 – 100. Distibusi titik panas hotspot yang terpantau oleh satelit AquaTerra MODIS pada periode Juni-Juli- Agustus 2013 ditunjukkan Gambar 22. Gambar 22 . Pola distribusi hotspot periode JJA – 2013 wilayah Sumatera dan Kalimantan 500 1000 1500 2000 2500 3000 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 H o ts po t Tanggal Pola Distribusi Hotspot Periode JJA 2013 - Sumatera Juni Juli Agustus 100 200 300 400 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 H o ts po t Tanggal Pola Distribusi Hotspot Periode JJA 2013 - Kalimantan Juni Juli Agustus Gambar 22 menunjukkan puncak hotspot periode JJA-2013 tertinggi terjadi dibulan Juni diwilayah Sumatera, dan puncak hotspot pada bulan Agustus terdapat di wilayah Kalimantan. Distribusi hotspot untuk masing-masing provinsi di Sumatera dan Kalimantan dijelaskan pada Gambar 23. Gambar 23 . Distribusi hotspot periode JJA-2013 Propinsi Wilayah Sumatera dan Kalimantan Gambar 23 menunjukkan presentase distribusi hotspot tertinggi di Sumatera terdapat di Propinsi Riau sebesar 81, sedangkan di wilayah Kalimantan presentase hotspot tertinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Barat dengan persentase sebesar 74. Untuk mengetahui keterkaitan antara sistem peringkat bahaya kebakaran hutanlahan dengan kejadian hotspot diambil sampel nilai SPBK khususnya peta indeks tingkat kemudahan terjadinya kebakaran hutanlahan pada periode puncak hotspot pada tanggal 19 dan 21 Juni, 21 dan 23 Juli di wilayah Riau, serta tanggal 19 dan 26 Agustus di wilayah Kalimantan Barat dengan kejadian titik hotspot pada periode waktu yang sama. Gambar 24 adalah nilai indeks potensi kemudahan terjadinya kebakaran hutanlahan FFMC dioverlay dengan distribusi hotspot tanggal 19 dan 21 Juni, tanggal 21 dan 23 Juli, serta tanggal 19 dan 26 Agustus 2013. 20 40 60 80 kalbar kaltim kalsel kalteng p er sen ta se Distribusi Hotspot Periode JJA 2013 Wilayah Kalimantan Hotspot 20 40 60 80 100 p er sen ta se Distribusi Hotspot Periode JJA 2013 Wilayah Sumatera Hotspot Gambar 24 . Indeks peta FFMC model WRF dioverlay dengan hotspot di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Hasil analisis menunjukkan bahwa distribusi hotspot lingkaran warna hitam tanggal 19 Juni, 21 Juni, dan 21 Juli di wilayah Riau dominan tersebar pada area yang mempunyai kategori mudah dan sangat mudah terbakar, artinya jika area tersebut terdapat hotspot dan mempunyai kategori mudah sampai sangat mudah terbakar maka potensi terjadi kebakaran tinggi. Tanggal 23 Juli di wilayah Riau dan 19 Agustus di wilayah Kalbar sebaran hotspot terkonsentrasi di wilayah dengan kategori tidak mudah dan mudah terbakar, sedangkan indeks peta FFMC tanggal 26 Agustus di wilayah Kalbar sebaran hotspot dominan terdapat diwilayah kategori mudah terbakar. Hasil overlay indeks peta FFMC dan distribusi hotspot mengindikasikan bahwa sebaran hotspot dominan terjadi pada wilayah yang mempunyai kategori mudah dan sangat mudah terbakar, dengan indeks nilai di atas 69.

4.6. Analisis dan Verifikasi Simulasi Dispersi Asap

Simulasi dispersi asap dilakukan untuk melihat arah dan dispersi konsentrasi CO karbon monoksida pada kejadian kebakaran hutanlahan di wilayah Sumatera dan Kalimantan pada periode Juni-Juli-Agustus 2013. Kebakaran gambut didominasi oleh proses smoldering yang menghasilkan emisi partikel tinggi dan karbon monoksida. Senyawa CO umumnya dihasilkan melalui pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar lembabbasah dan termasuk polutan udara, jumlah CO yang diemisikan dalam kebakaran adalah fungsi dari efisiensi pembakaran Syaufina. 2008. Menurut EPA 2007 kebakaran hutan merupakan salah satu sumber polusi CO terbesar selain dari emisi kendaraan bermotor dan sektor industri. Simulasi dispersi asap dibuat menggunakan model WRF-Chem resolusi 27 km. Data inisial meteorologi berasal dari GFS sedangkan data emisi global menggunakan data EDGAR Emissions Database for Global Atmospheric Research. Hasil simulasi dispersi asap WRF-Chem diwilayah Sumatera dan Kalimantan dibandingkan dengan data hotspot, AquaTerra MODIS dan Atmospheric Infrared Sounder AIRS. Gambar 25 menunjukkan pola dispersi asap model dan AIRS secara global mempunyai kemiripan. Pola dispersi asap tanggal 19 Juni 2013 dari AIRS terkonsentrasi di atas wilayah Pekanbaru-Riau, Sumatera Barat, Selat Malaka, dan sebelah timur wilayah Malaysia. Pola sebaran asap CO maks model sebagian terdistibusi diatas wilayah Pekanbaru, Jambi, Malaysia, dan sebelah timur wilayah Malaysia. Arah angin model menunjukkan bahwa dispersi asap dominan menuju timur laut. Dispersi asap pada tanggal 22 Juni 2013, antara AIRS dan model menunjukkan arah dispersi dominan kearah sebelah timur Pulau Sumatera, hal ini sesuai dengan arah angin model yang bergerak kerah timur dan timur laut. Gambar 25 . Perbandingan simulasi dispersi asap CO WRF-Chem dengan AquaTerra MODIS dioverlay dengan data AIRS tanggal 19 Juni 2013 a tanggal 22 Juni 2013 b. Gambar 26 menjelaskan bahwa pola dispersi asap tanggal 23 Juli 2013 dari AIRS terkonsentrasi di atas wilayah Pekanbaru-Riau, dan sebelah timur wilayah Malaysia bagian utara, sedangkan pola dispersi asap CO maks model sebagian terdistibusi diatas wilayah Pekanbaru, Selat Malaka, dan diatas wilayah Malaysia. Arah angin model menunjukkan bahwa dispersi asap dominan menuju utara. Dispersi asap pada tanggal 24 Juli 2013, antara AIRS dan model menunjukkan posisi konsentrasi asap dominan diatas Selat Malaka, namun data AIRS juga mengindikasikan dispersi asap disebelah barat Sumatera bagian selatan. Arah angin model dominan bergerak kearah utara. a b