2
KEGIATAN BELAJAR 1
1. MASALAH SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL
Masyarakat adalah konsep abstrak, wujud nyatanya adalah manusia dan perilakunya. Manusialah yang ’menciptakan’ masyarakat
dengan nalurinya sebagai makhluk sosial; maka manusia pulalah yang membuat perubahan-perubahan terhadap masyarakat melalui hasratnya
untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, setidaknya menurut keinginan manusia itu sendiri. Dalam beberapa peristiwa di dalam
sejarah dunia dan sejarah manusia tercatat orang-orang besar yang karena kelebihan kapasitasnya mengakibatkan terjadinya perubahan
sosial. Sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, masyarakat Indonesia
bersentuhan dengan berbagai masyarakat luar; dan hasil sentuhan itu kemudian diterima dengan nilai budayanya sendiri. Namun demikian,
dalam sebuah proses difusi kebudayaan berlaku dalil Parsudi Suparlan, 1982:113: ”Dalam proses difusi antara dua masyarakat yang
berdekatan, maka bila yang satu lebih sederhana kebudayaannya daripada yang satunya lagi, masyarakat yang kebudayaannya lebih
sederhanalah yang lebih banyak menerima kebudayaan dari masyarakat yang lebih maju atau kompleks; dan bukan sebaliknya”.
Pembahasan tentang isu-isu dan masalah sosial di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dengan kondisi kehidupan masyarakatnya.
Bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan budaya atau dikenal dengan masyarakat majemuk atau multikultur.
Kondisi ini di satu sisi merupakan potensi dan sumber daya serta kekayaan sosial budaya masyarakat Indonesia. Namun di sisi lain,
3
kondisi ini juga merupakan faktor yang dapat memicu dan memacu terganggunya ketahanan sosial masyarakat karena rawan terjadi konflik
sosial horizontal maupun vertikal. Terjadinya konflik sosial di beberapa wilayah di Indonesia, seperti yang dikenal dengan kasus Sambas,
Sampit, Poso, Ambon dan Papua, merupakan bukti dari sisi negatif kesukubangsaan Indonesia yang bercorak multikultur. Hal ini terjadi
disebabkan oleh belum dihayatinya kehidupan multikultur ini oleh segenap elemen masyarakat.
Kondisi multikultur yang masih menimbulkan rawan konflik sosial ini, kemudian ditambah dengan terjadinya transformasi sosial
budaya yang berlangsung sangat cepat dewasa ini. Disadari ataupun tidak, transformasi sosial budaya ini membawa dampak yang tidak
menguntungkan bagi sebagian kehidupan individu, keluarga maupun masyarakat Indonesia. Konsumerisme, hedonisme, individualism dan
materialisme sebagai ekses globalisasi, kini mulai dirasakan memasuki berbagai aspek kehidupan individu, keluarga maupun masyarakat.
Ekses lainnya yaitu terjadinya pergeseran cara pandang masyarakat tentang keluarga, rumah tangga dan pola interaksi sosial, baik dengan
sesama jenis maupun dengan lawan jenis Hawari, 1995. Fenomena sosial ini, kini sudah terjadi secara luas pada semua lapisan masyarakat,
baik di perkotaan maupun di perdesaan. Memang salah satu dalil dalam perubahan sosial menyebutkan
bahwa perubahan terjadi tidak serempak pada semua aspek kehidupan masyarakat, melainkan pada sebagian aspek kehidupan, dan aspek-
aspek kehidupan lainnya akan harus menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi; atau menolak perubahan tersebut.
4
Persoalannya, adalah masyarakat Indonesia ini sangat mudah menerima rembesan dari luar masyarakat, dan mengubah dirinya demi
menyesuaikan diri dengan rembesan tersebut adaptasi. Masyarakat ini sangat adaptif, bahkan dalam banyak hal sangat adoptif; apa yang ada
di negara lain, langsung diterapkan. Situasi ini ditambah lagi dengan ’pemaksaan’ dari negara lain yang posisinya dan kondisinya lebih kuat;
yang memandang Indonesia dengan luas wilayah dan besarnya jumlah penduduk sebagai pasar yang bagus untuk segala produk mereka mulai
dari barang sampai kepada ide dan nilai-nilai. Politik luar negeri yang terjadi dewasa ini Bay Suryawikarta: ”...tidak lain adalah rangkaian
manuver politik untuk membuka pasar, mencari dan mencuri teknologi, dan menggali sumber dana modal”.
Untuk Indonesia, ditambah lagi dengan keinginan untuk segera mensejajarkan diri dengan kemajuan, berkonsekuensi terjadinya
perubahan yang lebih tidak terkendali, karena, seperti dikemukakan To Thi Anh 1984:97, masyarakat negara-negara berkembang: ”...lebih
mudah meniru Barat daripada menemukan cara sendiri”. Gagasan yang serupa juga dikemukakan oleh Aritonang 1999 bahwa Indonesia
bukan negara agraris, bukan pula negara industri..; melainkan negara pasar produk agaris dan industri...”
Seperti hukum dunia yang bersifat umum yaitu selalu berubah, masyarakat Indonesia juga mengalami perubahan; namun lebih banyak
karena ’kekalahan’ dalam difusi kebudayaan, bukan atas kesadarannya sendiri.
Sebutlah negara-negara yang maju, baik dari belahan Barat maupun dari belahan Timur; benang merahnya sama, yaitu mereka
membangun dirinya sendiri berdasarkan nilai-nilai dan filsafat sosio-
5
budaya dan agamanya, dan itu dimulai dengan pengenalan serta penegasan tentang jati dirinya sendiri. Jika masih bingung dengan jati
dirinya sendiri, bagaimana orang atau masyarakat akan dapat mengembangkan dirinya? Inilah masalah mendasar masyarakat
Indonesia, terlalu mudah mengadopsi perubahan tanpa berpegang kuat kepada nilai-nilai dasarnya, sehingga dengan mudah tercerabut dari jati
dirinya sendiri. Jadi, perkembangan masyarakat Indonesia haruslah dimulai dari aktualisasi nilai-nilai dasar yang tetap dipegang teguh
sebagai jati dirinya sendiri. Menjadi aneh jika masyarakat yang memandang dirinya
religius, justru etos kerjanya rendah, tidak produktif malah konsumtif; padahal tidak ada agama apapun di dunia ini yang mengajarkan
pemborosan seperti itu. Jika seseorang atau sebuah masyarakat tidak berpijak kepada karakternya sendiri ketika ia berhadapan dengan
perubahan-perubahan eksternal
dan harus
menyesuaikan diri
dengannya, maka orang itu akan menjadi ’abdi’ orang lain, masyarakat itu akan didominasi masyarakat lain, seperti dimaksudkan dalam
pengertian konsep difusi kebudayaan. Inilah tampaknya yang terjadi pada masyarakat Indonesia. Tidak berlebihan jika Prof. Mar’at 1986,
dan Yesmil Anwar 2007 menyebut masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang sakit the sick society.
Telah dikemukakan terdahulu beberapa ilustrasi kondisi masyarakat yang menunjukkan terjadinya perubahan sosial. Secara
formal akademik, istilah perubahan sosial berarti ’pergeseran pada struktur dan fungsi masyarakat sistem sosial’. Brinkerhoff White,
1985:554 mendefinisikan perubahan sosial sebagai pergeseran terus menerus dalam pola-pola budaya baik materil maupun nonmateril.
6
Perubahan sosial dapat bersifat ‘alamiah’ dalam arti sebagai hasil interaksi di antara elemen-elemen penyebabnya unplanned social
change ; dapat pula direncanakan sebagai sebuah rekayasa sosial
planned social change Zaltman, Kotler, Kaufman, 1982:27.
Pertanyaannya adalah apa yang berubah, secepat apa perubahan terjadi, dan ke mana arah perubahan tersebut?
Johnson 1986:5 menegaskan hubungan antara perubahan sosial dengan masalah sosial, dalam pernyataannya sebagai berikut:
”...since many social problems result from change and because it is human to have such problems, the idea that any of us may
be potential users of social services is made more acceptable. Any of us then might have occasion to need a social worker, not
just the “poor”, the people from the “wrong side of the tracks”, or of some particular age, ethnic, or other group. This concept
of social work may tend to bring about more humility and realism in our thinking, for troubles can, indeed, “happen to
any of us
” Dari tulisan Johnson tersebut dapat ditarik beberapa catatan
pokok, sebagai berikut: 1.
Masalah sosial bersumber dari –dan muncul seiring dengan– perubahan sosial; padahal sudah menjadi aksioma bahwa tidak
ada masyarakat yang sungguh-sungguh statis, melainkan selalu mengalami perubahan. Jaman teknologi yang semakin canggih,
globalisasi; menghasilkan percepatan perubahan sosial yang luar biasa karena akses informasi dan transportasi yang semakin
baik; artinya sangat produktif menghasilkan masalah sosial sebagai dampaknya. Namun, seperti dikatakan Ralf Dahredorf
dalam Khasali, 2004, “The trouble with change in human affairs is that it is so hard to pin down. It happens all the time.
7
But while it happens it eludes our grasp, and once we feel able to come to grips with it, it has become past history”.
2. Setiap orang berpotensi mengalami masalah sosial, terlepas dari
tingkat pendidikan, kekayaan, status sosial, atau karakteristik apapun.
3. Para Pekerja Sosial Social Worker memiliki kewenangan
keahlian untuk menangani masalah-masalah sosial. 4.
Dibutuhkan ide-ide, strategi, metode, serta badan-badan pelayanan yang dapat mengupayakan penanganan masalah-
masalah sosial yang selalu berkembang. Substansinya sesungguhnya bukan terletak pada apa masalahnya,
karena salah satu hakikat kehidupan adalah masalah, dan semua orang, semua masyarakat mengalami masalah; melainkan terletak pada
bagaimana cara kita memandang dan memperlakukan situasi masalah tersebut, untuk kemudian mencari apa dan bagaimana solusinya.
Terdapat tiga kemungkinan hasil relatif yang dialami masyarakat dari perubahan sosial, yaitu 1 kemajuan; 2 kemunduran;
dan 3 fluktuatif. Ukuran kemajuan dan kemunduran tergantung dari visi masyarakat tentang apa yang diinginkan dalam kehidupannya.
Tidak dapat dihindarkan lagi bahwa berbagai kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan lain telah mengubah sistem sosial
masyarakat Indonesia. Terjadi kemudian perubahan-perubahan dalam fungsi dan struktur institusi sosial yang menyebabkan timbulnya
berbagai masalah sosial. Horton dan Hunt 1964:126 menyatakan, bahwa: ”Suatu masyarakat yang mengalami perubahan pasti
melahirkan masalah. ... Masalah sosial merupakan bagian dari konsekuensi perubahan sosial”. Selaras dengan pandangan itulah, maka
8
Johnson 1986:7 mendefinsikan Pekerjaan Sosial, sebagai: ”...upaya pemberian bantuan kepada orang untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan...“. Dengan definisi tersebut maka tampak bahwa masalah- masalah sosial timbul sebagai akibat perubahan sosial, dan karenanya
setiap warga masyarakat merupakan pengguna potensial bagi pelayanan-pelayanan sosial.
Holil Soelaiman 1993:12-13 telah mengidentifikasikan delapan kecenderungan permasalahan sosial, sebagai berikut:
1. Semakin melemahnya nilai-nilai dasar kesejahteraan sosial
seperti kemanusiaan,
kasih sayang
terhadap sesama,
kekeluargaan, kegotongroyongan,
pengabdian, solidaritas
sosial, kepekaan sosial, dan kepedulian sosial; tergeser oleh nilai-nilai baru seperti ke-aku-an, kebendaan, keserakahan,
keduniawian, efisiensi, dan persaingan serta konflik. 2.
Meningkatnya jumlah penyandang berbagai kecacatan fisik dan mental baik sebagai sertaan pertumbuhan penduduk
maupun sebagai akibat dari pelecehan lalu lintas, kecelakaan kerja, serta gangguan mental akibat ketegangan jiwa.
3. Meningkatnya permasalahan ketelantaran terutama psikis dan
sosial anak
yang disebabkan
semakin meningkatnya
keterlibatan kerja labour participation pria dan terutama wanita dalam pekerjaan di luar rumah tangga, karier, serta
kepemimpinan di dalam masyarakat. 4.
Meningkatnya jumlah penyandang permasalahan tuna sosial dan penyimpangan perilaku, sebagai sertaan dari peningkatan
arus wisatawan, sebagai akibat dari perubahan gaya hidup, urbanisasi, dan globalisasi.
9
5. Meningkatnya jumlah dan proporsi kelompok penduduk usia
lanjut, yang disebabkan oleh transisi demografik serta semakin tingginya rata-rata harapan hidup; yang berpadu dengan
memudarnya nilai-nilai kekeluargaan serta meningkatnya tuntutan kegiatan, yang mengakibatkan ketelantaran penduduk
usia lanjut. 6.
Timbulnya akibat sampingan yang tidak diharapkan dari proses dan keberhasilan pembangunan seperti peluberan biaya sosial
social cost spill over , kesenjangan sosial, keresahan sosial,
pergeseran nilai-nilai sosial. 7.
Prevalensi bencana yang bersumber pada kondisi geografik, geologik, dan geofisik Indonesia; demikian pula pada mentalita
masyarakat fatalisme, keteledoran, kurang kewaspadaan, dan kesiapsiagaan.
8. Masalah kemiskinan, yang menyangkut bukan semata-mata
penguasaan assetsumber penghasilan dan tingkat penghasilan yang tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
layak, melainkan
juga menyangkut
mentalita seperti
kepasrahan, ketergantungan, dan ketidakberdayaan yang bersumber pada budaya kemiskinan.
Dengan mencermati definisi Johnson tentang Pekerjaan Sosial, serta identifikasi kecenderungan masalah sosial seperti dikemukakan
oleh Holil Soelaiman tersebut tampak bahwa masalah sosial yang di masa lampau diartikan sebagai masalah ‘sosial ekonomi’ yang bersifat
patologis, kini telah bergeser dan meluas ke arah masalah-masalah disfungsi, disorganisasi sosial.
10
Isu global masalah sosial tersebut di atas merupakan landasan utama dalam membangun kerangka kebijakan dan program
pembangunan sosial di Indonesia. Masalah sosial yang semakin kompleks, kini perlu didekati dengan berbagai disiplin, dan disiplin
ilmu yang utama adalah ilmu pekerjaan sosial. Pendekatan disipliner dalam memahami masalah sosial sudah tidak relevan lagi dengan
perkembangan dan dinamika masyarakat dewasa ini. Hal ini didasarkan pada kondisi obyektif, bahwa masalah sosial bersifat kompleks atau
multidimensional multiple face of sosial problems. Satu masalah sosial tertentu memiliki dimensi sosiologi,
psikologi, antropologi, ekonomi dan politik. Bahkan kompleksitas masalah sosial terjadi disebabkan adanya interaksi yang kuat antar
masalah sosial itu sendiri. Dalam kehidupan nyata tidak sedikit masalah sosial disebabkan oleh masalah sosial yang lain, atau mengakibatkan
terjadinya masalah sosial yang lain. Oleh sebab itu, seringkali ditemukan pola jejaring masalah sosial yang sangat rumit dan tidak
mudah menemukan dari mana dimulai pemecahannya. Pemahaman terhadap dimensi-dimensi masalah sosial ini sangat
penting dalam upaya menemukan akar masalah dan model-model intervensi sosial yang tepat. Sebagaimana disampaikan oleh Profesor
Takahashi dari Jepang pada uraian sebelumnya, kalau dalam kehidupan riil ada masalah, maka konsentrasi kita harus tertuju pada usaha
menggunakan berbagai disiplin ilmu untuk dapat memecahkan masalah tersebut.
11
2. PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL DALAM