126
2. KERANGKA MODEL ANALISIS DAN
PEMECAHAN MASALAH SOSIAL
Apabila kerangka proses pemecahan masalah dan proses timbulnya permasalah dibuat dalam dalam sebuah matrik maka akan terlihat sebagai
berikut:
Matrik : Kerangka Model Analisis Pemecahan Masalah Proses Pemecahan Masalah
P ro
se s
P er
m as
al ah
an Studi sosial
Assessment diagnosis
Treatment Cause s
1 4
7 Social
Problems 2
5 8
Effect 3
6 9
Apabila kita melihat berdasarkan pada matrik tersebut maka akan terdapat ‘sembilan sel’ yang merupakan paduan dari kedua proses
permasalahan dan pemecahan masalah sosial. Dan setiap akan berisikan statement
yang masing-masing berbeda dengan isi dari sel lainnya. Dengan demikian paling sedikit terdapat sembilan isyu
persoalan yang perlu ditelaah yaitu: 1.
Studi sosial --- Cause s; pada bagian ini mengkaji mengenai penyebab-penyebab
timbulnya permasalahan
dengan menyediakan data dan fakta yang memperjelas penyebab
permasalahan.
Evaluasi Kembali
127
2. Studi sosial --- Social Problems; merupakan tahap pemahaman
terhadap permasalahan yang timbul –kedalaman dan keluasan permasalahan – dari sebab-sebab yang ditimbulkan sebelumnya
dengan menyediakan data dan fakta mengenai permasalahan sosial.
3. Studi sosial --- Effect; merupakan tahapan penkajian terhadap
akibat-akibat yang timbul dari permasalahan sosial, akibat ini dapat berupa data dan fakta mengenai akibat-akibat baik sosial,
kejiwaan, atau fisik yang merusak atau mengganggu fungsionalitas manusia.
4. Assessment diagnosis --- Cause s; pada tahap ini lebih dalam
mengkaji dan menilai mengapa penyebab-penyebab persoalan tersebut muncul. Kemudian langkah-langkah apa yang
sebaiknya dilakukan dalam mengatasi penyebab-penyebab tersebut.
5. Assessment diagnosis --- Social Problems; adalah tahap untuk
mengkaji dan menilai, kemudian menentukan langkah-langkah apa sehingga persoalan tersebut tidak meluas atau menyebar
pada setiap lapisan masyarakat. 6.
Assessment diagnosis --- Effect; Menilai, mengkaji dan menentukan langkah-langkah apa saja dalam rangka mengatasi
efek atau akibat-akibat yang ditimbulkan dari permasalahan sosial. Serta menentukan apa dan siapa saja yang akan
dilibatkan dalam mengatasi akibat-akibat sosial, mental dan fisik yang telah menggangu fungsionalitas manusia.
7. Treatment --- Cause s; Mengatasi penyebab berarti
menyediakan langkah-langkah cara-cara apa saja, baik formal
128
maupun informal,
baik perorangan,
kelompok atau
kemasyarakatan, atau secara kelembagaan yang mencegah preventive timbulnya lagi permasalahan.
8. Treatment --- Social Problems; berarti menyediakan langkah-
langkah atau cara baik formal maupun informal, baik perorangan, kelompok atau kemasyarakatan, atau secara
kelembagaan yang menghambat perluasan permasalahan sosial yang telah terjadi timbulnya lagi permasalahan. Pada bagian ini
kegiatan-kegiatan dapat
bersifat pengembangan
developmental, sokongan supportive, atau penguatan pemberdayaan empowerment
9. Treatment --- Effect; berarti menyediakan langkah-langkah atau
cara baik formal maupun informal, baik perorangan, kelompok atau kemasyarakatan, atau secara kelembagaan yang dapat
mengatasi atau memperbaiki akibat-akibat atau kerusakan secara sosial, mental fisik yang telah mengganggu kemampuan
manusia mewujudkan fungsionalitasnya. Pada tahap ini kegiatan-kegiatan lebih bersifat penyembuhan curative dan
perbaikan rehabilitative. Pemisahan dan kategorisasi tersebut hanya untuk memudahkan
dalam melakukan analisis. Kesembilan bagian tersebut merupakan bagian yang saling terkait satu sama lainnya, sehingga dalam proses
analisis perlu mempertimbangkan berbagai sel lain yang berpengaruh. Ketajaman analisis akan ditentukan oleh penguasaan pengetahuan dan
kepekaan dalam membaca persoalan.
129
DAFTAR PUSTAKA
Parsons, J. Ruth, James D. Jorgensen dan Santos H. Hernandez, The Integration of Social Work Practice
, Pacific Grove: Brooks Cole, 1994.
Zastrow, Charles, Introduction to Social Work and Social Welfare, Pacific Grove: BrooksCole Publishing Company, 2000.
130
131
TOPIK 6
NILAI-NILAI DASAR PEKERJAAN SOSIAL
KEGIATAN BELAJAR 1: Antara hubungan personal dengan hubungan profesional
KEGIATAN BELAJAR 2: Prinsip praktik pekerjaan sosial KEGIATAN BELAJAR 3: Klasifikasi pekerja social
KEGIATAN BELAJAR 4: Kerangka profesi pekerjaan sosial
132
KEGIATAN BELAJAR 1 ANTARA HUBUNGAN PERSONAL DENGAN
HUBUNGAN PROFESIONAL
Pekerjaan Sosial berawal dari kepedulian sosial antar warga masyarakat. Seluruh sistem praktik Pekerjaan Sosial telah mengalami
perubahan sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat dan
masalah sosial, namun nilai dasarnya tetap: keperdulian sosial. Hepner
1962:.... menulis:”Jika anda ingin memiliki lebih banyak lagi teman, atau ingin bisa bergaul secara lebih menyenangkan, maka anda harus
belajar seni tentang melupakan diri sendiri. Anda harus memperkecil kesadaran akan diri sendiri dengan cara berusaha untuk memperbesar
kesadaran akan adanya orang-orang lain dan mencurahkan pikiran dan perhatian anda kepada mereka”.
Itu ungkapan dari bangsa yang berperibahasa take and give, yang berpikir imbalan langsung sebelum melakukan kebajikan, tetapi
ada nilai baik ”lupakan diri sendiri”. Begitulah karakter seseorang yang berjiwa sosial. Semakin besar perhatiannya kepada orang lain, semakin
tinggi jiwa sosialnya; dan sebaliknya. Sayyidina Ali b. Abi Thalib
babul ulum – pintu ilmu, dengan sangat arif memberi nasehat: ”lupakan diri sendiri ... lengkapi”. Sangat arif karena nasehat itu
mengandung hikmah yang sangat dalam sampai kepada aqidah. Lupakan diri sendiri, perhatikan, bantu orang lain; biarkan Allah SWT
membantu kita. Bayangkan semua orang berpikir demikian, maka Allah SWT akan benar-benar mutlak di qalbu setiap orang. Pasti semua
orang, keluarga, dan masyarakatnya dilimpahi barokah, karena
133
semuanya langsung dibantu oleh Allah SWT. Demikianlah masyarakat: ”Baldatun toyyibatun warobbun ghafur”
. Seorang Pekerja Sosial memiliki karakter dan instink terlatih
untuk selalu memperhatikan orang lain, bersimpati dan berempati kepada penderitaan sesama, dan tergerak untuk membantu. Dalam
prosesnya, terutama jika bantuan tersebut berlevel mikro dalam bentuk konseling misalnya, terdapat jebakan terutama bagi para pemula. Dia
merasa dirinya seorang Pekerja Sosial profesional, kemudian berusaha membantu menangani masalah pribadi seseorang, dan kemudian tidak
terasa tumbuh hubungan emosi yang mungkin dipicu oleh klien, mungkin
juga karena
dalil kedekatan.
Munculah masalah
ketidakjelasan hubungan keduanya: pribadi atau profesional ?. Tono memandang dirinya sendiri sebagai pemberi bantuan
karena memang ia biasa menjadi tempat curhat dan memberi nasehat kepada teman-temannya. Suatu hari Tini, seorang teman perempuannya
menemuinya dan curhat tentang pacarnya yang menurutnya terlalu posesif. Tono mendengarkan dengan penuh perhatian dan empati,
kemudian memberi Tini saran tindakan. Beberapa hari kemudian Tini menemuinya lagi, dan Tono sebagai ’konsultan’ menanggapi
curhatnya, ngobrol. Semakin sering mereka bertemu, berbicara; lama kelamaan tumbuh rasa suka di hati Tini, ia mulai tidak berbicara
tentang pacarnya, melainkan menemui Tono karena memang ingin bertemu dan ngobrol. Tono menanggapinya; keduanya kemudian mulai
jalan bersama. Ketika sudah menjalin hubungan secara pribadi, munculah masalah-masalah pribadi di antara mereka. Dalam posisi
pencari nasehat, Tini sangat kagum melihat betapa banyaknya teman- teman yang lain, termasuk para gadis yang meminta nasehat Tono.
134
Namun dalam posisi ’pacar’, ia merasa terganggu, cemburu, cemas, melihat Tono ngobrol berdua dengan para pencari nasehat.
Dari kisah sangat singkat itu dapat ditarik beberapa hal: 1.
Terjadi perubahan hubungan, dari hubungan pemberian bantuan kepada hubungan pribadi.
2. Terlepas dari hak individu untuk menjalin hubungan pribadi
dengan siapapun yang disukai, cara Tono telah melanggar etika hubungan pemberian bantuan.
3. Seorang pemberi bantuan selalu berhadapan dengan resiko
disukai secara pribadi oleh yang diberi bantuan karena terkesan sebagai sosok yang memiliki stabilitas, integritas, dan
kematangan pribadi. Persoalannya adalah bahwa pemberi bantuan harus tetap di jalurnya. Ia harus menegaskan batas-
batas pemberian bantuan. 4.
Seorang pemberi bantuan menghadapi resiko menerima perlakuan agresif baik dari yang diberi bantuan, dari fihak
lingkungan yang diberi bantuan, maupun dari fihak lingkungan pemberi bantuan itu sendiri.
Hal-hal tersebut tidak hanya berlaku dalam kasus-kasus masalah individual semata-mata, melainkan dapat terjadi pada penanganan
masalah-masalah dan pemberian bantuan yang berskala lebih luas; misalnya dalam sikap dan tindakan diskriminatif terhadap golongan
atau masyarakat tertentu karena simpati pemberi bantuan kepada golongan atau masyarakat tertentu lainnya, atau terhadap individu-
individu di dalam masyarakat tersebut. Intinya adalah adanya pencampuradukan
antara hubungan
pemberian bantuan
yang
135
seharusnya didasarkan kepada kebutuhan penerima bantuan dengan hubungan pribadi yang didasarkan emosi atau sentimen pemberi
bantuan; dan untuk pemberi bantuan. Seperti juga rocker, para Pekerja Sosial juga adalah manusia biasa
namun dididik dan dilatih untuk memberi bantuan kepada sesamanya. Pendidikan dan latihan serta etika profesional tidak lantas membuatnya
menjadi manusia yang tidak berperasaan. Dalam praktik Pekerjaan Sosial, perasaan simpati, iba, kasihan, cinta menjadi bagian penting.
Bagaimana seseorang dapat menaruh perhatian kepada sesamanya tanpa memiliki perasaan-perasaan tersebut ?. Mengapa bunga dibubuhi
madu dan indah ? dengan itulah kupu-kupu dan kumbang tertarik. Tanpa daya tarik tersebut, bunga akan layu tanpa sempat terjadi
pembuahan. Kecantikan, ketampanan betapapun relatif sangat diperlukan untuk menjadi daya tarik bagi lawan jenis. Tanpa rasa suka,
kecantikan dan ketampanan akan sia-sia. Sebagai bagian dari kelengkapan profesional, Pekerja Sosial
sangat perlu memiliki kepekaan rasa terhadap situasi orang-orang lain individu, kelompok, masyarakat. Namun ketika proses pemberian
bantuan berlangsung, ia harus menjaga agar perasaan, kepentingan, kecenderungan pribadinya tidak mencampuri proses pemberian bantuan
tersebut. Orientasinya tetap kepada pemenuhan kebutuhan klien, bukan pemuasan kepentingannya. Ia tidak boleh membunuh perasaannya
sehingga menjadi robot, tetapi ia harus mengendalikan perasaan pribadinya sehingga tidak mempengaruhi hubungan profesionalnya.
Oleh karena itu sejak awal ia harus menegaskan batas-batas hubungan dan pemberian bantuannya tahap kontak dan kontrak dalam praktik
Pekerjaan Sosial.
136
KEGIATAN BELAJAR 2
PRINSIP PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL
Prinsip-prinsip praktik Pekerja Sosial dan etika praktik merupakan landasan bagi seorang Pekerja Sosial dalam melakukan
hubungan pertolongan dengan klien. Sikap yang harus dikembangkan oleh Pekerja Sosial saat melakukan hubungan dengan klien diantaranya
adalah: 1.
Acceptance merupakan prinsip Pekerja Sosial yang fundamental,
yaitu dengan menunjukan sikap toleran terhadap keseluruhan dimensi klien Plant, 1970. Hal ini berarti Pekerja Sosial dapat
memahmai jalan berpikir klien, niai-nilainya, berbagai kebutuhannya, dan perasan-perasaannya. Pekerja Sosial menerima
otentisitas klien dengan segala kelemahan dan kekuatan perilakunya secara bermartabat dan penuh penghargaan. Acceptance terhadap
klien berimplikasi pada terbangunnya kekuatan klien serta memunculkan potensi untuk tumbuh dan berkembang Biestek,
1975 2.
Nonjudgemental, berarti Pekerja Sosial menerima klien dengan apa
adanya tanpa disertai prasangka atau penilaian. Hal tersebut bukan berarti Pekerja Sosial sepakat atau menerima nilai-nilai klien untuk
diri Pekerja Sosial sendiri, melainkan menerima klien dengan segala keadaannya, menilai klien sebagai manusia dengan latar
belakang sejarahnya sendiri, tidak menilai perilakunya, dan tidak memaksakan nilai-nilai yang dimiliki oleh Pekerja Sosial terhadap
klien. Sikap Pekerja Sosial seperti ini akan memunculkan perasaan
137
bebas dari klien untuk membuka dirinya tanpa merasa takut diinterupsi atau dikritisi, sehingga klien memiliki kesempatan
mengembangkan kesadaran dirinya untuk merekonstruksi sikapnya. Terdapat
beberapa langkah
untuk mewujudkan
sikap nonjudgemental
, yaitu: a.
Langkah pertama untuk menghindari proses penilaian judgement, yaitu mencoba melihat ”dunia” dari kacamata
klien. Dengan melakukan hal ini, maka Pekerja Sosial akan dapat mengerti motivasi-motivasi klien atau latar belakang
klien dalam berperilaku. Setelah Pekerja Sosial mengenal dunia kien dengan pernak-pernik kehidupannya, kita akan
mengerti penyebab klien menampilkan perilakunya. b.
Untuk bersikap non judgemental tidaklah mudah terutama bagi Pekerja Sosial pemula. Hal ini disebabkan karena
kemungkinan munculnya konflik nilai yang dialami oleh Pekerja Sosial ketika berhadapan dengan nilai-nilai yang
dimiliki oleh klien. Ada resiko ketika konflik ini terjadi, yaitu Pekerja Sosial mengalami kebingungan, sehingga
fokus Pekerja Sosial terhadap persoalan klien terganggu. Apabila kurang hati-hati hubungan yang terjadi antara
Pekerja Sosial dengan klien akan digunakan untuk menyelesaikan konflik-konflik nilai yang dialami Pekerja
Sosial daripada menyelesaikan persoalan klien. c.
Untuk menghindari terjadinya konflik nilai, Pekerja Sosial harus terlebih dahulu mengerti diri dan nilai-nilai apa saja
yang dimilikinya. Melalui pemahaman sistem nilai yang diyakininya, mengerti diri dengan lebih baik, serta
138
menyadari keniscayaan
relativitas perspektif,
maka seseorang tidak akan merasa terancam oleh pandangan
orang lain yang berbeda dengan dirinya, serta dengan mengakui adanya perbedaan antarmanusia, maka sikap
nonjudgemental akan lebih mudah untuk dilakukan.
d. Menjalankan prinsip nonjudgemental bukan berarti Pekerja
Sosial tidak dapat membuat keputusan apapun. Prinsip ini hanya ditujukan agar Pekerja Sosial tidak berprasangka,
menyetujui ataupun tidak menyetujui sikap serta perilaku klien. Pada pekerjaannya Pekerja Sosial tetap membuat
penilaian profesional mengenai solusi alternatif dan pendekatan pemecahan masalah yang tepat DuBois
Miley, 1992. 3.
Individualisasi, berarti memandang dan mengapresiasi sifat
unik dari klien Biestek, 1957. Setiap klien memiliki karakteristik kepribadian dan permasalahan yang unik, yang
berbeda dengan setiap individu yang lain. Masing-masing dari mereka dibentuk oleh pengalaman, kebutuhan, situasi, dan
pengetahuannya. Dengan demikian Pekerja Sosial tidak dapat menggeneralisasi persoalan yang sama pada klien yang berbeda.
Mulailah dengan memandang klien “yang saat ini dan di sini” here and now.
4.
Self Determination, ialah memberikan kebebasan mengambil
keputusan oleh klien. Penting bagi kien untuk memilih keputusan yang tepat menurut dirinya sendiri. Ia kemudian
dapat menguji
keputusan tersebut
dan belajar
dari
139
pengalamannya sendiri
daripada belajar
mempercayai “kebijaksanaan” Pekerja Sosial.
5.
Genuinecongruence, berarti Pekerja Sosial sebagai seorang
manusia yang berperan apa adanya, alami, tidak memakai topeng, pribadi yang asli dengan segala kekurangan dan
kelebihannya. Misalnya seperti contoh berikut ini: hanya ada seorang Mia meskipun ia memiliki banyak peran; ia seorang
ibu, Pekerja Sosial, dosen, juga sebagai teman, kakak, pelanggan, penulis, dan sebagainya. Perilaku Mia akan berbeda
pada setiap situsi dan peranan di atas. Ketika Mia melakukan hubungan person to person dengan klien dalam peranannya
sebagai seorang Pekerja Sosial, maka ia adalah bagian dari keseluruhan dirinya tersebut. Tidak perlu berpikir bahwa
hubungan Anda sebagai seorang Pekerja Sosial dengan klien merupakan pekerjaan yang luar biasa serius, berat, dan kaku.
Jadilah diri Anda yang asli dan alami, sertakan semua bagian diri Anda yang otentik dalam berhubungan dengan klien, sepeti
humor, suka
bersenang-senang, sifat
kekanak-kanakan disamping sifat serius. Bagian-bagian kepribadian Anda akan
memperkaya proses terapi melalui hubungan Anda dengan klien. Selain itu Anda tidak perlu repot-repot merekayasa
perilaku Anda merekayasa citra, sehingga konsentrasi dan perhatian Anda sebagai seorang Pekerja Sosial menjadi
teralihkan ke dalam urusan diri Anda sendiri daripada memandang persoalan yang dihadapi oleh klien.
6.
Mengontrol keterlibatan emosional, berarti Pekerja Sosial
mampu bersikap objektif dan netral. Pekerja Sosial harus dapat
140
membedakan mana tanggung jawab dirinya dan mana tanggung jawab klien dalam memecahkan masalahnya. Mengontrol
respon emosional dapat dilakukan dengan menghindari sikap simpati, serta mengedepankan sikap empati. Biestek 1957
menyarankan tiga hal yang harus dilakukan oleh seorang Pekerja Sosial dalam mengontrol respon emosional terhadp
klien, sebagai berikut: pertama, kepekaan terhadap perasaan yang terekspresikan maupun yang tidak. Tetaplah waspada dan
mengontrol penuh perasaan-perasaan Anda. Kedua, memahami pengetahuan tentang perilaku manusia, dan ketiga, respon
emosional harus dikendalikan oleh tujuan-tujuan rasional serta pengetahuan. Memahami keadaan serta respon-respon klien
sebagai hal yang wajar akibat dari situasi yang dialaminya, juga dapat membantu menghindari keterlibatan secara emosional.
7.
Kerahasiaan confidentiality, Pekerja Sosial harus menjaga
kerahasiaan informasi seputar identitas, isi pembicaraan dengan klien, pendapat professional lain atau catatan-catatan kasus
mengenai diri klien. Dengan demikian, klien akan merasa nyaman
mengungkapkan masalahnya.
Kerahasiaan ini
merupakan bagian dari etika dalam praktik Pekerjaan Sosial.
141
KEGIATAN BELAJAR 3 KLASIFIKASI PEKERJA SOSIAL
Terkait dengan situasi dan kondisi bangsa ini, di mana bencana alam, kemiskinan dengan berbagai derivasinya, atau konflik bisa hadir
kapan saja. Kadang menimpa orang-orang yang jauh dan sangat tidak kita kenal. Meski suatu saat dan sangat mungkin mendatangi orang-
orang terdekat, sanak famili, kerabat, sahabat, bahkan diri kita sendiri. Yang pasti, butuh penanganan cepat, serius, tidak setengah-setengah,
profesional, serta tidak menunggu akhir pekan. Mengingat begitu banyaknya masalah-masalah sosial yang terus
terjadi, dibutuhkan sinergi yang baik antara pemerintah, masyarakat dan lembaga sosial. Pemerintah sebagai penentu kebijakan, masyarakat
sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar yang turut memberikan sumbangsihnya, dan lembaga sosial sebagai eksekutor di lapangan yang
mendapat mandat dan kepercayaan penuh, baik dari pemerintah maupun masyarakat luas. Idealnya seperti ini.
Siapakah yang dikatakan sebagai Pekerja Sosial? Apakah mereka para pemberi pertolongan pada para korban bencana alam,
korban banjir, korban konflik dikatakan sebagai Pekerja Sosial? Atau para donatur yang memberikan sumbangan dan aktif dalam berbagai
kegiatan sosial itu dikatakan sebagai Pekerja Sosial? Lalu apakah setiap orang dapat dikatakan dan menjadi seorang Pekerja Sosial?
Mungkin kita masih belum dapat menjawab pertanyaan di atas, karena pada kenyataannya setiap orang yang mengulurkan tangannya
untuk menolong orang lain, mereka inilah yang menyebut dirinya
142
sebagai Pekerja Sosial. Namun demikian, marilah kita pahami, siapa sebenarnya yang dikatakan sebagai seorang Pekerja Sosial itu.
Jika Pekerjaan Sosial menunjuk pada sebuah profesi, maka Pekerja Sosial Social Worker menunjuk pada orang yang
menyandang profesi tersebut. Secara sederhana, Pekerja Sosial
didefinisikan sebagai “orang yang memiliki kewenangan keahlian dalam menyelenggarakan berbagai pelayanan sosial”.
Dengan mengacu pada perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin besar akan pelayanan sosial beserta perangkat
keahliannya, dan seiring pula dengan perkembangan masyarakat itu sendiri, maka peran Pekerja Sosial sebagai ahli, bukan hanya pada
tingkat pelayanan langsung direct social services, melainkan akan harus sampai kepada tingkat kebijakan perundang-undangan dan
perencanaan sosial. Dengan perkataan lain, Pekerja Sosial bukan hanya ahli dalam
menangani penyandang masalah sosial, melainkan juga ahli dalam penataan masyarakat sebagai sebuah sistem sosial. Sesuai dengan
karakter profesi Pekerjaan Sosial yang telah dikemukakan terdahulu yaitu profesi yang sangat sarat nilai, maka penataan masyarakat social
engineering berarti menata dan mengarahkan perkembangan
masyarakat dengan dilandasi nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu sendiri, sehingga terbentuk masyarakat yang berakar pada budaya
masyarakat itu sendiri. Khinduka Coughin dalam the Encyclopedia of Social Work, 1978:683 menyatakan, bahwa: ”Komitmen terhadap
perubahan institusional merupakan karakteristik khusus lainnya dari Pekerjaan Sosial”.
143
Tampak dari pernyataan tersebut bahwa garapan Pekerja Sosial bukan hanya penyandang masalah sosial melalui pelayanan langsung,
melainkan juga institusi sosial. Penataan institusi sosial ini tidak hanya mencakup wilayah lokal, melainkan dapat pula berskala nasional
maupun regional. Dengan demikian, secara garis besar, posisi-peran yang dapat disandang Pekerja Sosial dalam skala wilayah tersebut,
antara lain : a.
Perencana Sosial social planner b.
Peneliti researcher c.
Pendidik educator d.
Penyembuh therapist
Selanjutnya, karena posisi-perannya yang meliputi skala mikro maupun makro dalam perubahan penataan kehidupan sosial di dalam
masyarakat; maka praktik Pekerjaan Sosial sangat terkait dengan --dan harus dilandasi oleh-- nilai-nilai sosial-budaya di dalam masyarakat itu
sendiri. Dengan demikian, para Pekerja Sosial sebagai penyandang keahlian Pekerjaan Sosial, harus memiliki kualifikasi, sebagai berikut:
1. Memahami, menguasai, dan menghayati serta menjadi figur
pemegang nilai-nilai sosio-kultural dan filsafat masyarakat. 2.
Menguasai sebanyak dan sebaik mungkin berbagai perspektif teoritis tentang manusia, khususnya sebagai makhluk sosial,
lebih khusus lagi perilaku interaktif manusia beserta wadah kelembagaannya dalam keanekaragaman bentuk beserta
perubahan-perubahannya. 3.
Menguasai dan secara kreatif menciptakan berbagai metode pelaksanaan tugas profesionalnya.
144
4. Memiliki mental wirausaha, yang mencakup :
a. Kepekaan terhadap perkembangan masyarakat beserta
kebutuhan-kebutuhan sosial yang menjadi konsekuensi perkembangan tersebut.
b. Keberanian untuk memprakarsai tindakan dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat akan pelayanan sosial institusional. c.
Kemandirian dalam berpikir dan bersikap serta kemampuan merumuskan
dan mengungkapkan
pandangan dan
mewujudkannya dalam tindakan nyata. d.
Kreativitas dalam upaya untuk menemukan dan mengembangkan ide-ide baru dalam pelaksanaan tugas
profesinya. Orang Amerika sering dengan bangganya menyebut negaranya
sebagai ’negara bebas’ free-country; sebenarnya orang Indonesia tanpa banyak gembar-gembor soal kebebasan, ternyata lebih ‘bebas’.
Jika di Amerika orang sekolah, dan bekerja berkarier sesuai bakatnya, maka di Indonesia, bakatnya apa, sekolah di mana, bekerja apapun bisa.
Itu tadi sekedar canda sedih tentang masyarakat sendiri. Tapi point-nya adalah bahwa di Indonesia banyak sekali terjadi salah kaprah karena
persepsi tentang kebebasan yang berarti ‘gimana gue aja’ tanpa melihat sekeliling bahwa ada tatanan keteraturan di lingkungan apapun.
Begitupun tentang Pekerja Sosial, yang difahami sebagai para pelaku kegiatan sosial. Pekerjaan Sosial identik dengan kegiatan sosial,
sehingga Pekerja Sosial identik dengan pelaku kegiatan sosial. Padahal jika Pekerjaan Sosial dipandang sebagai sebuah profesi, maka Pekerja
Sosial adalah seorang profesional.
145
Dengan perkataan lain, istilah Pekerja Sosial ditujukan kepada lulusan-lulusan sekolah-sekolah Pekerjaan Sosial yang dipekerjakan
pada lembaga kesejahteraan sosial. Seorang Pekerja Sosial adalah seorang agen atau pelaksana perubahan change agent. Sebagai
seorang pelaksana perubahan Pekerja Sosial dipersyaratkan untuk memiliki keterampilan-keterampilan dalam bekerja dengan individu-
individu, kelompok-kelompok dan keluarga-keluarga serta melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat Charles Zastrow, The
Practice of Social Work , The Dorsey Press, Illionis, 1981
Ernest Greenwood 1957 mengidentifikasikan terdapat lima atribut keprofesian, yaitu :
1. A systematic body of theory;
2. Profesional authority;
3. Sanction of the community;
4. A regulative code of ethics; dan
5. A professional culture.
Dengan melihat kesimpangsiuran mengenai siapa sebenarnya yang
dikatakan sebagai
Pekerja Sosial,
dan bagaimana
penggolongannya, maka apabila kita mengacu pada National Associaton of Social Workers
NASW, Pekerja Sosial dapat dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu :
1. Pekerja Sosial Tingkat Profesional Dasar Basic Professional
Tingkatan ini mensyaratkan kualifikasi pendidikan dari tingkat diplomabachelor dari keilmuan Pekerjaan Sosial, yang
mendasarkan pada konsep-konsep, teori, dan pengetahuan tentang manusia dalam interaksi sosialnya serta secara inisiatif
146
melatih Pekerja Sosial agar dapat menggunakan dirinya sendiri use of self dalam relasinya dengan klien.
2. Pekerja Sosial Tingkat Spesialis
Pada tingkat ini kualifikasi pendidikan Pekerja Sosial yang dipersyaratkan adalah Tingkat Magister atau Master di bidang
keilmuan Pekerjaan Sosial. Pada tingkatan ini, Pekerja Sosial dituntut mampu menguasai dan dapat mendemonstrasikan
sekurang-kurangnya satu teknik terapi. Kemampuan tersebut harus pula didukung oleh pengetahuan tentang kepribadian
manusia, dan kemampuan untuk menggunakan diri sendiri dalam kaitannya dengan relasi pertolongan terhadap individu
dan kelompok. Selain itu Master Pekerjaan Sosial dituntut pula untuk menguasai pengetahuan tentang penelitian, administrasi,
metode perencanaan, dan masalah sosial. 3.
Pekerja Sosial Tingkat Independen Mandiri Pekerja Sosial Independen adalah Pekerja Sosial setingkat
Master yang telah memiliki pengalaman praktik sekurang- kurangnya selama dua tahun di bawah supervisi profesional.
Tingkatan ini membutuhkan pencapaian praktik yang
didasarkan pada pelatihan khusus, selain dapat mengembangkan dan mendemonstrasikan keterampilannya di bawah supervisi
yang profesional. Persyaratan tersebut berlaku baik untuk Pekerja Sosial yang bekerja secara independen maupun bagi
mereka yang bekerja pada organisasi tertentu 4.
Pekerja Sosial Tingkat Ahli Advance Pada tingkat ini, kualifikasi pendidikan Pekerja Sosial yang
dipersyaratkan adalah tingkat DoktorPh.D. Pada tingkatan ini,
147
penerapan keilmuan Pekerjaan Sosial lebih bersifat “advance” karena praktik Pekerjaan Sosial menuntut tanggung jawab
organisasi dan sosial yang sangat tinggi dalam rangka pengembangan profesi, analisis, penelitian, serta implementasi
kebijakan. Mach, M.W., Quam, J.K., and Seidl, F.W., 1986
Sedangkan Morales Sheafor mengklasifikasi profesi pekerjaan sosial ke dalam dua level utama, yaitu :
A. Level Paraprofesional 1.
Bantuan Pelayanan Sosial Penilaian akan kematangan individu, pengalaman hidup,
motivasi dan keterampilan yang dibutuhkan dengan tugas dan fungsi tertentu.
2. Teknisi Pelayanan Sosial
Telah mengikuti program kependidikan selama dua tahun dalam satu atau pelayanan sosial lainnya, biasanya keahlian
seni tertentu
B. Level Profesional 1.
Pekerja Sosial Tingkat Sarjana dengan akreditasi program pekerjaan sosial.
2. Lulusan Pekerja Sosial
Lulusan dari program Master Pekerjaan Sosial yang terakreditasi.
3. Pekerja Sosial Bersertifikat
a. sertifikasi dengan Akademi Pekerja Sosial sehingga mampu
secara otonomi, praktik mandiri, atau
148
b. Lisensi menurut peraturan pemerintah
4. Social Worker Fellow
yaitu yang memenuhi program doktor atau praktik substansial dalam bidang atau spesialisasi menurut Asosiasi Sertifikasi
Pekerja Sosial.
Seorang pakar Pekerjaan Sosial, Makmur Sunusi, Ph.D., mengatakan 1995: ”Bahwa ijazah pendidikan tinggi Pekerjaan Sosial
adalah lisensi praktik bagi para Pekerja Sosial”. Namun demikian, jika perhimpunan profesional pekerja sosial telah berfungsi seperti Ikatan
Dokter Indonesia, maka dimungkinkan lisensi praktik tersebut juga dikeluarkan oleh perhimpunan profesional.
PERBEDAAN PEKERJA SOSIAL, PEGAWAI SOSIAL DAN RELAWAN SOSIAL
DITINTAU DAN BERBAGAI ASPEK
ASPEK PEKERJA
SOSIAL PEGAWAI
SOSIAL RELAWAN SOSIAL
PENGER TIAN
Seorang yang melaksanakan
tugas pelayanan mendasarkan pada
ilmu pekerjaan sosial, seni dan
keterampilan teknik
Seorang yang melaksanakan
tugas pelayanan mendasarkan
Pada Tupoksi instansi tempat
bekerja Seorang yang
melaksanakan tugas pelayanan mendasarkan
atas keterpanggilan jiwa
149
LANDAS AN
OPERASI ONAL
Pendidikan Profesi Pekerjaan Sosial
Surat Keputusan sebagai Pegawai
Instansi Sosial KemauanAD ART
ORSOS tempat mengab- dikan diri
LEGALIT AS
Ijazah Sertifikat Kompetensi
Lulusan Pekerjaan Sosial
Surat Tugas dari Instansi tempat
bekerja Pengakuan masyarakat
Surat Tugas dari ORSOS
T U
J U
A N
Menolong klien supaya dapat
menolong dirinya sendiri
Menyesuaikan tujuan yang
tertuang pada program
Menolong sesarna untuk kepuasan batin
P R
O S
E S
Proses baku Peker- jaan Sosial
Tergantung Rencana Ang-
garan Program Sesuai kemauan
M E
T O
D E
,
T E
K N
IK
Menggunakan Metoda dan
Teknik Pekerjaan Sosial
Menurut Jukiak Juknis Pola
Operasional Partisipatory
P E
N D
E K
A T
A N
Prinsip Dasar Pekerjaan Sosial
Program Oriented Kemanusiaan Religi
150
T A
R G
E T
Kesepakatan sesuai kontrak
Tergantung tahun anggaran
Tidak terbatas
T A
N G
G U
N G
J A
W A
B
Lembaga Pekerja Sosial kerja dan
Kode Etik Peker- jaan Sosial
Laporan Teknik dan Administratif
Keuangan Diri sendiriORSOS
Religi
V IS
I
Sesuai lembaga tempat bekerja
Instansi Dinas tempat bekerja
Hubungan yang harmonis
M IS
I
Merobah perilaku dan pola pikir
Sesuai tugas dinas ia bekerja
Kepercayaan Keagamaan
P R
O G
R A
M A
K S
I
Kegiatan Perto- longan helping
activity , Kegiatan
Sosial Social Activity
, Kegiatan Perantara Liaison
Activity Sesuai Renstra
Instansi Dinas tempat bekerja
Tergantung sarana dan prasarana Kemampuan
SDM dan Dana yang dimiliki
M O
T IV
A S
I
Pengembangan Kompetensi
Penunjang Karier Keterpanggilan
B E
N T
U K
L A
Y A
N A
N
Profesional Prosedural
Philanthropy Charity
151
S A
S A
R A
N
Kelompok Pathologis dan
Nonpathologis Menyesuaikan
kebijakan dinasinstansi
tempat bekerja Kelompok yang
mengalami penderitaan
F U
N G
S I
P E
L A
Y A
N A
N
Kuratif Reha- bilitatif, Preventif,
PromotifDevelop- mental, Supportif
Sesuai Job Description
Dinas Instansi tempat bekerja
Rehabilitatif
D A
S A
R
P E
L A
Y A
N A
N
Hasil penelitian research
Menyesuaikan kebijakan Hasil
Keputusan rakorbang
Inisiatif Aktivitas dan kreativitas
L E
M B
A G
A
P E
N D
U K
U N
G
Lembaga Research,
Organisasi Profesi, Lembaga Pendidi-
kan Stakeholders
ORSOS LSM Lembaga Keagamaan
ORSOS
S IS
T E
M A
T IK
A
G E
R A
K
Research, Diag- nosis, Treatment,
After Care, Termi- nation.
Pendataan dan pelaksanaan
Sesuai kemauan dan kesempatan
152
KEGIATAN BELAJAR 4
KERANGKA PROFESI PEKERJAAN SOSIAL
1. Kriteria Profesi