Selain itu, Talib juga merupakan seorang yang keras kepala. Hal itu ditunjukkan dengan metode dramatik berikut ini.
126 “Kalian berkomplot untuk mempengaruhiku.
Tapi aku tidak mau. Sudah kukatakan aku tidak mau berobat. Buat apa? Biarkan aku sendirian begini.
Hanya itu yang kukehendaki.” hlm. 119.
Berdasarkan kutipan 120 sampai 126 dapat dirangkum bahwa pengarang menggambarkan tokoh talib dengan menggunakan
metode analitik dan dramatik. Ia merupakan seorang yang gemar melukis. Talib sangat perhatian sewaktu Elisa kecil, tetapi Talib
menjadi bersifat kasar dan keras kepala saat ia jatuh sakit.
o. Penokohan Tuan Sayekti
Tuan Sayekti merupakan kenalan Talib. Ia merupakan seorang yang membantu Elisa untuk bertemu dengan Talib. Hal itu ditunjukan
dengan menggunakan metode dramatik berikut ini.
127 “Bapak kira akan dapat singgah ke sana kali
ini?” “Saya kira, ya. Selalu saya usahakan menengoknya.” “Dapatkah Bapak katakan, bahwa
Elisa yang dulu tinggal di jalan Celebes akan datang?” hlm. 109.
Tuan Sayekti sangat baik terhadap Elisa. Hal itu ditunjukkan dengan menggunakan metode analitik berikut ini.
128 Tuan Sayekti mengusulkan agar aku menilpun
kepadanya jika ingin datang ke rumahnya. Dia akan mengirimkan mobil, atau menjemput sehabis waktu
kantor hlm. 153.
Berdasarkan kutipan 127 dan 128 dapat dirangkum bahwa pengarang menggambarkan penokohan Tuan Sayekti dengan
menggunakan metode dramatik dan analitik.Ia merupakan seorang yang baik dan mau membantu Elisa bertemu dengan Talib.
p. Penokohan Gail
Gail merupakan salah satu teman Elisa.Ia senang memuji Elisa. Hal itu ditunjukkan dengan menggunakan metode dramatik berikut ini.
129 “Kau lebih manis dalam pakaian biasa. Seragam
GIA tidak patut buat kau, terlalu muram.” hlm.
157.
Gail sangat baik terhadap Elisa, mau menghibur dan membantu Elisa. Hal itu ditunjukkan dengan menggunakan metode dramatik
berikut ini.
130 “Baik begitu. Aku lebih senang melihatmu
demikian dari
pada cemberut.
Aku tidak
berkeberatan mendengarnya meskipun kau tertawa sampi terbahak-bahakpun. Kalau hati gembira,
ketawa macam apa saja selalu baik hlm. 157.
131 Ini masih ada seratus dolar di sudut dompetku.
Kupindahkan ke dalam sampul buatmu hlm. 182.
Berdasarkan kutipan 129 sampai 131 dapat dirangkum bahwa pengarang menggunakan metode dramatik dan analitik untuk
menggambarkan penokohan Gail.Ia merupakan seorang yang senang memuji dan baik terhadap Elisa.
Dari uraian tokoh dan penokohan diatas, akan digunakan sebagai pedoman untuk menentukan tokoh utama dari novel
Keberangkatan
karya Nh. Dini. Syarat- syarat menjadi seorang tokoh utama dalam sebuah cerita
menurut
handout
matakuliah PAP adalah 1 intensitas keterlibatan tokoh di dalam peristiwa, konflik, dan tema, 2 menjadi pusat perhatian narator,
3 paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, 4 tokoh biasanya digambarkan sebagai orang yang simpatik, baik, dan memperjuangkan
keadilan, serta 5 frekuensi kemunculannya tinggi. Dari kelima kriteria tersebut menunjukkan bahwa tokoh utama dari novel
Keberangkatan
merupakan Elisa.Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat kutipan-kutipan yang telah ditulis pada bagian analisis tokoh dan penokohan.
Dari segi intensitas keterlibatan peristiwa, konflik, dan tema terlihat bahwa Elisa selalu ada di setiap jalannya cerita. Elisa mengalami
konflik dengan Ibunya pada kutipan 45, 57, 58, 60.
45 Aku bahkan percaya, Ibuku sendiri tidak menyadari mengapa aku tidak menyukainya. Aku tidak sampai
membencinya.Pikiran dewasaku mengerti bahwa orang tua merupakan pokok kelahiran, tiang kokoh suatu asal
usul.
57Sikapku terhadap Ibuku disebabkan karena perlakuannya yang keras dan kuanggap keterlaluan. Tangannya ringan,
sering jatuh menampar muka atau kepala anak-anaknya. 58 Dan lebih-lebih lagi malam itu, malam terakhir aku
menerima pukulan Ibuku karena pergi bersama kawan yang tidak disukainya.
60 Kadang-kadang aku menerkanya sebagai ungkapan rasa iri terhadapku. Dia menghendaki semua yang kupunyai,
semua yang dapat kubeli setelah aku menerima gaji sendiri.
Kemudian konflik batin di saat ia ditinggalkan oleh Sukoharjito pada kutipan 48 s.d. 51.
48 Keesokan harinya, aku tidak dapat menguasai diri untuk menghentikan tangis yang meratapi nasibku. Aku tidak
sanggup terbang dalam keadaan seperti itu. 49 Di dalam opelet waktu aku pulang, aku hamper tidak
dapat menahan air mata yang mendesak-desak hendak keluar dari pelupuk.
50 Semuanya nampak tidak berguna lagi bagiku karena masa depanku telah hancur.
51 “Benar Kadang-kadang aku merasa tidak berotak waras lagi.Ingin tiba-tiba membuka pesawat yang sedang
terbang, lalu menjatuhkan diri ke bumi. Kalau melihat pisau atau barang tajam lain, ingin mengambilnya lalu
menancapkan ke dalam perutku.”
Elisa merupakan tokoh yang sering dijadikan pusat perhatian narrator karena Elisa sendirilah yang menjadi narator disetiap cerita yang
tidak menggunakan dialog. Elisa sebagai narator menceritakan tentang hidupnya sendiri dan kehidupan tokoh lain yang berhubungan lansung
dengannya, hal tersebut terlihat pada kutipan 1, 18, 21, 41 s.d. 45.
1 Aku satu-satunya anak Indo di asrama. Sebutan itu
kudengar membuntuti keterangan yang diucapkan teman sepondokan kepada pengunjungnya.
18 Keluar dari lingkungan kerja, dia menjadi manusia biasa yang sipat-sipatnya dapat sesuai dengan pokok-pokok
pendirian yang kuanut. Kami menjadi kawan baik. 21 Selanjutnya dia mengganti Lansih dalam urusan rumah
tangga. Meskipun umurnya lebih muda dari Lansih, kecekatannya mengatur segala yang bersangkutan
dengan urusan rumah melebihi kami bertiga. 41 Tidak sekali pun pikiran itu melintas dalam kepalaku.
Sejak tinggal di luar lingkungan keluarga, aku lebih merasa seorang Indonesia tulen, orang Jakarta.Suasana
dan pergaulan di pemondokan member udara ke Indonesiaan yang asli.
42 Waktu itu aku sudah bekerja. Sudah dapat hidup sendiri, tanpa bantuan siapapun. Dengan umur semuda itu aku
berani menantang apa yang bakal terjadi. Rumah orang tua bagiku hanya sebuah kongkongan.
43 Umurku sudah dewasa. Aku memiliki hak menentukan nasib kehidupanku.Apalagi sejak meninggalkan rumah
orang tua, tak sesen pun aku pernah meminta bantuan kepada mereka.
44 Seperti gadis-gadis lain, kepalaku penuh dengan angan- angan perkawinan. Kalau bisa, dengan pemuda cakap
dan punya
kedudukan sosial
yang dapat
dipertanggungjawabkan, menjamin kehidupan yang lebih enak.
45 Aku bahkan percaya, ibuku sendiri tidak menyadari mengapa aku tidak menyukainya. Aku tidak sampai
membencinya.Pikiran dewasaku mengerti bahwa orang tua merupakan pokok kelahiran, tiang kokoh suatu asal
usul.
Elisa juga merupakan seorang tokoh yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, hal ini terbukti bahwa pada setiap dialog
antara tokoh satu dengan yang lain menunjukkan bahwa Elisa selalu turut serta dalam dialog tersebut. Hal tersebut terlihat ada kutipan 59, 63,
70, 74, 77, 84, 91, 94, 97, 107, 113, 118, 123, 127, 129.
59 “Mahal ini, Elsye?” “Bagiku, ya.”“Ini buat aku saja.Kau beli lagi” Itulah Kalimat yang kubenci keluar dari
mulutnya. 63 Sebentar aku berbicara dengan Ayahku mengenai hal-
hal pentin. Diulanginya nasihat-nasihat serta petunjuk caranya memperoleh surat-surat.Di perwakilan, langsung
minta ketemu dengan Tuan Tinbergen.Dia yang mengurus pengungsian.”
70 “Els,” kemudian kata kakakku, “kadang-kadang lebih baik kita hidup tanpa mengetahui asal-usul kita. Orang
tua tidak mengindahkan kita sejak kecil pula.Itu sudah lalu.Sekarang kita bertemu lagi, kakak beradik.Aku telah
berkeluarga, anggaplah
pula itu
sebagai keluargamu.Datanglah sesuka hatimu, pagi, siang,
malam.Jangan memikirkan waktu-waktu yang lalu.Tidak ada gunanya.”
74 “Kau datang ke negeri Belanda juga, ya Elisa”
77 “Kami sedih karena kau tidak ikut sekalian, Elsye,” kata
Teo. Dan aku tahu bahwa adikku berkata yang sebenarnya.
84 “Lagi pula telah lama kau mengurung diri. Tidak baik
begitu.Kalau Mas Jito tidak mengajak kau keluar, aku sekarang yang membawamu.
91 “Dipandang dari sudut, ada baiknya kau tidak jadi
kawin dengan Sukoharjito,” kata Wati. 94
Anna menyambung: “Kita serumah, Elisa. Lebih baik jika kita berusaha memecahkan persoalan bersama-
sama.Kalau tidak, kita seperti hidup sendiri-sendiri. 97
“Ya, saya dengar dari Lansih, orang tua anda sudah berangkat ke negeri Belanda.”
107 “Dari mana kau?” cepat-cepat aku bertanya.“Dari
rumah.Kupikir barangkali kau tidak dinas. Kita keluar makan lalu nonton.Alangkah mudahnya rencana itu,
tanpa dirundingkan dulu. 113
“Awas, ElisaKabarnya orang solo suka menyakitkan hati.Omongannya lemah lembut, tetapi berbahaya.”
118 “Apakah anda tidak berkeluarga di Surabaya?”
katanya lagi tanpa memperhatikan kalimatku.“Saya pernah mengenal dengan baik keluarga Frissart di kota
itu.” 123
“Aku selalu takut mengayunmu setinggi yang kau kehendaki.Karena
itu, kadang-kadang
aku memangkumu, lalu kita berayun setinggi-tingginya.
127 “Bapak kira akan dapat singgah ke sana kali
ini?”“Saya kira,
ya.Selalu saya
usahakan menengoknya.”“Dapatkah Bapak katakana, bahwa Elisa
yang dulu tinggal di jalan Celebes akan datang?” 129
“Kau lebih manis dalam pakaian biasa. Seragam GIA tidak patut buat kau, terlalu muram.”
Selain itu, tokoh Elisa merupakan tokoh yang baik dan simpatik.Hal itu terbukti pada kutipan 45 dan 79.
45 Aku bahkan percaya, ibuku sendiri tidak menyadari mengapa aku tidak menyukainya. Aku tidak sampai
membencinya.Pikiran dewasaku mengerti bahwa orang tua merupakan pokok kelahiran, tiang kokoh suatu asal
usul.
79 “Baik-baik dengan Silvi, Teo” “Tentu saja,” jwab adikku.“Jangan kau biarkan Mami memukulinya.”“Oh
tidak.Aku sudah besar sekarang, bisa membalas memukul dia
.”“Itu juga tidak baik.Kalau Mami marah, bawalah Silvi menjauh.”
Dari segi frekuensi kemunculan sangat jelas bahwa Elisa merupakan seorang tokoh yang selalu diceritakan dari awal sampai akhir
cerita, karena novel ini menceritakan tentang kehiduan Elisa. Dapat disimpulkan bahwa tokoh utama dalam novel ini adalah
Elisa, sedangkan tokoh Ibu Elisa, Ayah Elisa, Kakak Elisa, Silvi, Teo, Lansih, Wati, Rini, Anna, Sukoharjito, Rudi, Kumayas, Rama Beick,
Talib, Tuan Sayekti, dan Gail merupakan tokoh tambahan yang mendukung tokoh utama sehingga terjadi suatu peristiwa yang selalu
melibatkan tokoh utama.
3. Analisis Karakterisasi Tokoh Utama