Teori Fungsionalisme Persepsi Keluarga Pemulung Terhadap Pendidikan Formal Anak (Studi Deskriptif Terhadap Keluarga Pemulung di Daerah Pinang Baris, Medan)

kontrol atau stabilisator agar permasalahan tersebut tidak berlarut-larut atau meminimalisir agar efeknya tidak meluas. Karena fungsi-fungsi tersebut, maka pendidikan dipercaya masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraan hidup.

2.4 Teori Fungsionalisme

Dalam tahun 1940-an, Parsons mulai menekankan arti penting fungsionalisme sebagai suatu teori sosiologis. Usaha Parsons yang sistematis dan maksimal dalam membangun teori fungsional ialah The Social System. Parson melihat sistem sosial sebagai satu dari tiga cara dimana tindakan sosial bisa terorganisir Poloma, 2004: 171. Disamping itu terdapat dua system tindakan lain yang saling melengkapi yaitu: sistem kultural yang mengandung nilai dan simbol- simbol serta sistem kepribadian para pelaku individual. Bilamana sistem sosial dilihat sebagai sebuah sistem parsial, maka masyarakat itu dapat berupa setiap jumlah dari sekian banyak sistem-sistem yang kecil misalnya keluarga, system pendidikan, dan lembaga keagamaan. Pemikiran Talcott Parsons, ketika pernah menjadi ahli biologi, banyak berpengaruh pada rumusan teori fungsionalismenya. Baginya, masyarakat manusia tak ubahnya seperti organ tubuh manusia, dan oleh karena itu masyarakat manusia dapat juga dipelajari seperti mempelajari tubuh manusia Suwarsono, 2006:11. Pertama, seperti struktur tubuh manusia yang memiliki berbagai bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Oleh karena itu, masyarakat , menurut Parsons juga memiliki berbagai kelembagaan yang saling terkait dan tergantung sama lain. Untuk hal ini, Parsons menggunakan konsep “sistem” untuk menggambarkan koordinasi harmonis antarkelembagaan tersebut. Kedua, karena setiap bagian tubuh manusia memiliki fungsi yang jelas dan khas specific, maka demikian pula setiap bentuk kelembagaan dalam masyarakat. Setiap lembaga dalam masyarakat melaksanakan tugas tertentu untuk stabilitas dan pertumbuhan masyarakat tersebut. Parsons merumuskan istilah “fungsi pokok” fungtional imperative untuk menggambarkan empat macam tugas utama yang harus dilakukan agar masyarakat tidak “mati” yang terkenal dengan sebutan AGIL adaptation to the environment, goal attainment, integration, and latency. Lembaga ekonomi menjalankan fungsi adaptasi lingkungan, pemerintah bertugas untuk pencapaian tujuan umum, lembaga hukum dan agama menjalankan fungsi integrasi, dan yang terakhir, keluarga dan lembaga pendidikan berfungsi untuk usaha pemeliharaan. Analogi dengan tubuh manusia mengakibatkan Parsons merumuskan konsep “keseimbangan dinamis-stasioner” homeostatic equilibrium. Jika satu bagian tubuh manusia berubah, maka bagian lain akan mengikutinya. Ini maksudnya untuk mengurangi ketegangan intern dan mencapai keseimbangan baru. Demikian pula halnya masyarakat. Masyarakat selalu mengalami perubahan, tetapi teratur. Perubahan sosial yang terjadi pada satu lembaga akan berakibat pada perubahan di lembaga lain untuk mencapai keseimbangan baru. Dengan demikian, masyarakat bukan sesuatu yang statis tetapi dinamis, sekalipun perubahan itu amat teratur dan selalu menuju pada keseimbangan baru. Berikutnya Parsons merumuskan konsep “faktor kebakuan dan pengukur” pattern variables, dalam rangka menjelaskan perbedaan masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Faktor kebakuan dan pengukur ini menjadi alat utama untuk memahami hubungan sosial yang langgeng, berulang dan mewujud dalam system kebudayaan, yang bagi Parsons merupakan sistem yang tertinggi dan terpenting. Selanjutnya Parson menyatakan, bahwa masyarakat tradisional belum merumuskan fungsi-fungsi kelembagaannya secara jelas fungctionally diffused dan karenanya akan terjadi pelaksanaan tugas yang tidak efisien, sebaliknya masyarakat modern telah merumuskan secara jelas tugas masing-masing kelembagaan fungctionally specific. Dalam hal ini, tugas lembaga keluarga dan pendidikan yang sejalan menjadi salah satu pedoman keberhasilan dari keberhasilan sistem. Dengan demikian keempat prasyarat fungsional itu berkaitan dengan hubungan system dan lingkungannya serta sarana-sarana melalui mana penyelesaian ini harus dipenuhi. Jika pada masyarakat modern fungsi lembaga sudah dirumuskan secara jelas, salah satunya lembaga pendidikan, maka akan sangat mempengaruhi lembaga keluarga yang mana keduanya bertugas untuk usaha pemeliharaan. Pendidikan itu sendiri merupakan salah satu karakteristik manusia modern menurut Alex Inkeles. Teori Alex Inkeles menekankan tentang lingkungan material dalam hal ini lingkungan pekerjaan. Teori pada dasarnya berbicara tentang pentingnya faktor manusia sebagai komponen penting penopang pembangunan dalam hal ini manusia modern. Bagi Inkeles Suwasono: 2006, 30-32 menyebutkan bahwa karakteristik dari manusia modern adalah: 1. Terbuka terhadap pengalaman baru. Ini berarti bahwa manusia modern selalu berkeinginan untuk mencari sesuatu yang baru. 2. Manusia modern akan memiliki sikap untuk semakin independen terhadap berbagai bentuk otoritas tradisional, seperti orangtua, kepala suku etnis, dan raja. 3. Manusia modern percaya akan ilmu pengetahuan, termasuk percaya akan kemampuannya menundukkan alam semesta. 4. Manusia modern memiliki orientasi mobilitas dan ambisi hidup yang tinggi. 5. Manusia modern memiliki rencana jangka panjang. Mereka selalu merencanakan sesuatu jauh di depan dan mengetahui apa yang akan mereka capai dalam waktu lima tahun ke depan misalnya. 6. Manusia modern aktif terlibat dalam percaturan politik. Mereka bergabung dengan berbagai organisasi kekeluargaan dan berpartisipasi aktif dalam urusan masyarakat lokal. Lebih jauh bahwa kurikulum teknis seperti Matematika, Kimia, Biologi, bukan merupakan faktor yang bertanggungjawab terhadap penyerapan nilai dan pembentukan manusia modern. Bagi Inkeles, justru kurikulum informal seperti misalnya kecenderungan tenaga pengajar pada nilai- nilai barat, pemakaian buku- buku barat, dan melihat film- film barat, membantu penyerapan nilai- nilai modern. Kedua, jenis pekerjaan yang diukur dari satuan pabrik, memiliki pengaruh independen terhadap pembentukan nilai- nilai modern. Jika terjadi keterlambatan sosialisasi karena misalnya seseorang telah tidak mengalami pendidikan formal, maka orang tersebut masih memiliki kesempatan untuk menjadi manusia modern jika ia bekerja pada pabrik yang berskala besar. Dari hasil penelitiannya, mereka berkesimpulan bahwa pendidikan adalah yang paling efektif untuk mengubah manusia dan pengalaman kerja dan pengenalan terhadap media massa. Namun jika dikaji lebih jauh, pendidikan formal yang pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup orang miskin, menghasilkan kerjasama yang merata bagi semua yang mengeyam pendidikan formal, ataupun alasan lain yang menimbulkan ketertarikan bagi berbagai kalangan untuk mencapai pendidikan formal tidaklah dapat dilafalkan dalam kehidupan suatu Negara berkembang. Sebagai akibatnya, maka berkembanglah kesadaran dalam berbagai Negara sedang membangun bahwa perluasan pendidikan formal tidak selalu sama dengan perluasan belajar, bahwa kepentingan yang ekslusif dari para anak didik dan guru terhadap pemilikan ijazah sekolah dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi tidak perlu dihubungkan dengan kemampuan murid yang telah diperbaiki untuk melakukan pekerjaan produktif, bahwa pendidikan yang hampir seluruhnya berfungsi sebagai alat investasi saja yang nantinya belum tahu akan digunakan kemana jika tidak memiliki suatu kemampuan lain Todaro, 1978: 435. Maka bagi pemulung, pendidikan formal menjadi salah satu sasaran yang ingin mereka capai demi mampu bersaing serta mampu menerima proses modernisasi di daerah perkotaan. Meskipun tidak mengetahui bagaimana substensi pendidikan di masa depan bagi kehidupan mereka, namun setidaknya dengan mendapatkan pendidikan formal, mampu menaikkan prestise mereka dalam lingkungan perkotaan. Melihat jenis pekerjaan pemulung yang berada di sector informal, dikarenakan kemampuan yang tidak memadai untuk bekerja di pabrik ataupun perkantoran, maka pendidikan menjadi wadah untuk mampu menerima pengaruh modernisasi yang mana diperlukannya fungsi lembaga keluarga untuk menghasilkan usaha yang maksimal dari lembaga pendidikan dan keluarga, sehingga fungsi pokok yang dirumuskan oleh Parsons, mencapai keseimbangan.

2.5 Persepsi Keluarga Sebagai Agen Sosialisasi Pendidikan bagi Anak