maupun tulisan sering dijumpai kata-kata yang mengandung frasa penggandeng
ing
tersebut. Hal tersebut tidak pernah ditemukan dalam penggunaan bahasa Jawa pada masyarakat umum sehingga frasa penggandeng
ing
dapat dinyatakan sebagai salah satu pemarkah sintaksis bahasa
kedhaton
.
E. Perbedaan Bahasa
Kedhaton
dan Bahasa Jawa Baru
Berdasarkan penelitian yang dilakukan yaitu di dalam
keraton
, setelah dianalisis terdapat perbedaan antara bahasa
kedhaton
dan bahasa Jawa baru khususnya pada penggunaannya. Perbedaan yang paling menyolok adalah pada
leksikon pembentuk, pengguna, maupun tempat dan waktu penggunaanya. Selin itu juga terdapat beberapa perbedaan khususnya pada penggunaan frasa
penggandeng
ing
, penggunaan bentuk klitika, dan penggunaan kata
dalem
[dal«m]. Seperti yang telah dibahas pada bagian terdahulu bahwa leksikon
pembentuk
basa kedhaton
adalah leksikon
ngoko
maupun
krama
ditambah dengan leksikon
Tembung Kedhaton
yaitu
Tembung Manungkara, Tembung Mangiket patra,
dan
Tembung Mangekapraya
yang banyak diambil dari leksikon bahasa Jawa kuna. Sementara itu leksikon pembentuk bahasa Jawa baru
adalah leksikon
ngoko
dan
krama
selain masuknya leksikon-leksikon bahasa asing dalam penggunaannya pada zaman sekarang. Bentuk pronomina persona yang terdapat
pada
Tembung Manungkara, Tembung Mangiket patra,
digantikan dengan bentuk
ngoko
dan
krama.
Kata-kata yang terdapat pada
Tembung Mangekapraya
mempunyai kemiripan dengan kata-kata pada bahasa Jawa baru. Perbedaanya
hanya pada faktor fonetisnya yaitu pada vokal maupun konsonannya. Hal tersebut dapat dilihat pada bagan berikut ini:
Bagan VI Perubahan Fonetis Antara Bahasa
Kedhaton
dan Bahasa Jawa Baru
B.K Bunyi
B.J Bunyi
Arti
Punapi [punapi]
Punapa [m«nOpO] apa
Punika [punikO]
Punika [m«nikO]
ini Puniku
[puniku] Puniku
[m«niku] itu
Enggeh [«NgEh]
Enggih [«NgIh]
ya Boya
[boya] Ora
[ora] tidak
Wenten [wEnt«n]
Wonten [wOnt«n]
ada Meninga
[m«niNO] Uninga
[uniNO] mengetahui
Derbe [d«rbe]
Duwe [duwe]
punya Mekoten
[m«kOt«n] Mekaten [m«kat«n]
begitu Dhawak
[ÿawaÖ] Dhewe
[ÿewe] sendiri
Meneri [m«n«ri]
Meneri [m«n«ri]
kebetulan Olih
[olIh] Oleh
[olEh] dapat
Meksih [m«ksIh]
Taksih [taksIh]
masih Eca
[ecO] Eca
[ecO] nikmat,
enak Benten
[bEnt«n] Benten
[bEnt«n] beda
Pojare [pojare]
Jare [jare]
katanya Benna
[bEnO] Beda
[bedO] lainbeda
Tambang [tambaN]
Tambang [tambaN] tali
Melihat bagan di atas terlihat adanya perbedaan fonem vokal maupun konsonan antara bahasa
kedhaton
dan bahasa Jawa baru. Misalnya antara kata
enggeh
dan
enggih
terjadi perbedaan fonem vokal e dan i, antara kata wenten dan wonten terjadi perbedaan fonem vokal e dan o, antara kata
mekoten
dan
mekaten
terjadi perbedaan fonem vokal o dan a, antara kata
boya
dan
ora
terjadi perbedaan fonem konsonan b, y, dan r, antara kata
benna
dan
beda
terjadi perbedaan fonem konsonan n dan d. Selain itu terdapat perbedaan penggunaan, khususnya dalam masalah tulisan dan ucapan. Pada bahasa
kedhaton,
kata
punapi, punika,
dan
puniku
diucapkan apa adanya sesuai dengan tulisannya.
Pada bahasa Jawa baru, kata
punapa, punika,
dan
puniku
diucapkan berbeda dengan bentuk tulisannya yaitu
menapa, menika
atau
nika,
dan
meniku
atau
niku.
Selain itu pada penggunaan bahasa
kedhaton
sering ditemukan frasa penggandeng
ing
yang tidak lazim digunakan pada bahasa Jawa baru. Misalnya kata
dhawuhing, suraosing, pangagenging,
dan
teranging
, pada penggunaan bahasa Jawa menjadi kata
dhawuhe, suraose, pangagenge,
dan
terange
. Hal tersebut karena penutur susah membedakan penggandeng
ing
dengan
e
yang dianggap mempunyai makna sama. Perbandingan dengan bahasa Jawa Baru
beserta maknanya dapat dilihat pada contoh di bawah ini:
dhawuhing
‘atas perintah’ ø
dhawuhe
‘perintahnya’
suraosing
‘mengenai isi’ ø
suraose
‘isinya’
pangagenging
‘beliau pembesar’ ø
pangagenge
’pembesarnya’
teranging
‘atas keterangan’ ø
terange
’keterangannya’
Perbandingan tersebut terlihat perbedaan makna antara frasa penggandeng i
ng
dan
e.
Frasa
ing
berfungsi sebagai penjelas atau penegas dan tidak memiliki arti yang tetap, atau dengan kata lain dapat diartikan menurut kata yang digandeng
serta konteksnya , sementara itu {-
e
} adalah bentuk klitika bahasa Jawa yang memiliki arti {-nya}.
Perbedaan dalam penggunaan bentuk klitika adalah seperti yang telah dijelaskan di depan bahwa bentuk {–
ira
}, {-
nira
}, dan {–
ningsun
} hanya digunakan dalam bahasa
kedhaton
, sementara itu dalam bahasa Jawa aru digunakan bentuk
{
-mu
}, {-
ku
},{
–e
}
,
dan {
-ne
}.
Perbedaan yang lain juga terjadi pada penggunaan kata
dalem
[dal«m]. Penggunaan kata
dalem
[dal«m] pada bahasa
kedhaton
dapat mempunyai banyak arti. Kata
dalem
[dal«m] dapat berarti ’saya’, ’anda’, ’beliau’,dan ’ruangan utama dalam rumah’. Pada tulisan maupun bentuk ucapannya, kata
dalem
[dal«m] selalu menjadi satu atau digabungkan dengan kata di depannya, kecuali pada kata yang berarti ’ruangan utama’. Misalnya pada kata
timbalandalem, karsadalem, panjenengandalem, sentanadalem, abdidalem, jumenengdalem, Sampeyandalem,
dan
Dalem Ageng.
Sementara itu penggunaan kata
dalem
[dal«m] pada bahasa Jawa baru hanya dapat berarti ’saya’ dan ’rumah’ seutuhnya. Pada tulisan maupun bentuk
ucapannya, kata
dalem
[dal«m] selalu dipisahkan dengan kata yang ada di depannya. Misalnya;
Anak dalem
’anak saya’,
pusaka dalem
’pusaka milik saya’, dan
dumugi ing dalem
’sampai di rumah’. Hal tersebut lebih jelasnya dapat dilihat pada kalimat berikut:
112
Pusaka dalem punika rumiyinipun pusaka kagungandalem.
’Pusaka milik saya ini dulunya adalah pusaka milik raja’. 113
Anak dalem kalawau ndherekakaen Putradalem.
’ Anak saya tadi mengantarkan putra raja’. 114
Nalika pisowanan kalawau, ibu lenggah wonten Dalem Ageng, samenika ibu sampun kondur dumugi ing dalem.
’Ketika acara tadi, ibu duduk di dalam ruangan khusus pada bangunan inti keraton, sekarang ibu sudah pulang sampai di rumah.’
Pada kalimat nomor 112 sampai 114 terlihat perbedaan panggunaan kata
dalem
serta penulisannya. Penulisan dan pengucapan kata
dalem
digandeng akan memberikan makna yang berbeda apabila ditulis atau diucapkan terpisah. Kecuali
pada nomor 114 kata
dalem
tidak mungkin digabungkan dengan kata di depan maupun kata di belakangnya, karena kedua kata
dalem
pada nomor 114 tersebut sama-sama menunjukkan suatu tempat. Kata
dalem
pada nomor 112 dan 113 termasuk klas kata ganti orang atau pronomina persona, sementara itu kata
dalem
pada nomor 114 termasuk kata benda atau nomina. Pada penggunaan bahasa
kedhaton
terdapat istilah
sahur timbun
rangkep tiga’
jawaban yang harus diulang tiga kali’, yaitu sebuah peraturan bahwa para pegawai yang mengurusi kuda kerajaan apabila diperintah atau diberi pertanyaan
harus menjawab dengan kata-kata yang diulang tiga kali. Hal tersebut tidak terjadi pada penggunaan bahasa Jawa baru. Pada contoh di bawah ini terlihat kata-kata
yang diulang tiga kali oleh mitratutur. Mt :
Enggeh, nuwun, nuwun, nuwun, nuwun sendika.
Mt : ‘Ya, kami terimakasih, siap laksanakan’. Mt :
Nedha, nedha, nedha, enggeh.
Mt : ‘Ayo, ayo, ayo, ya’.
Bahasa
kedhaton
hanya boleh digunakan oleh orang-orang tertentu yang berada di dalam keraton. Penggunaanya hanya pada waktu-waktu tertentu yaitu
pada upacara-upacara adat keraton yang dilaksanakan di lingkungan keraton. Sementara itu bahasa Jawa baru dapat digunakan oleh siapa saja tanpa mengenal
tempat dan waktu tanpa meninggalkan aturan-aturan penggunaan tingkat tutur.
F. Fungsi Penggunaan Bahasa