Gambar 14: Upacara Sesaji Mahesa Lawung Keterangan :
KRT. Pujodiningrat membacakan doa dalam dua versi yaitu versi Islam dan Hindu setelah mendapat perintah dari raja melalui pembesar keraton. Pada
gambar di atas terlihat bungkusan plastik yang berisi kepala dan daging kerbau.
2. Fungsi Bahasa
Kedhaton
Secara Umum
Dari berbagai macam analisis yang digunakan pada peristiwa-peristiwa tutur di atas, peneliti dapat diketahui bahwa penggunaan bahasa
kedhaton
mempunyai beberapa fungsi secara umum yaitu :
a. Sebagai Alat Komunikasi Pada Upacara Adat Keraton
Seperti yang telah dipaparkan terdahulu bahwa penggunaan bahasa
kedhaton
hanya digunakan pada situasi yang resmi dan formal. Situasi resmi dan formal pasti diperlukan adanya komunikasi, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Tanpa komunikasi keformalan suatu upacara akan berkurang atau tidak kelihatan sama sekali. Situasi formal di dalam keraton adalah situasi yang
ditunjukkan dengan digunakannya bahasa
kedhaton
pada bentuk komunikasinya.
Penggunaan kata-kata bahasa
kedhaton
misalnya
pakenira
,
sira
, maupun
kapatedhan,
tidak mungkin dilakukan sambil tertawa, bersenda gurau, sambil menangis, ataupun dengan sikap yang seenaknya. Ini menunjukkan bahwa
penggunaan kata-kata tersebut digunakan pada keadaan serius dan sangat formal. Melihat data yang ada, dengan tidak digunakannya bahasa
kedhaton
suasana kelihatan menjadi kurang formal misalnya pada tuturan nomor 103 di bawah ini:
103 Ya, anda sudah menerima surat
kekancingan
atau pengesahan semacam ini, nanti di
re-cover
untuk nama anda supaya tidak keliru. Sekarang sudah selesai, terimakasih dan kembali ke tempat.
Peristiwa tutur tersebut terjadi pada saat orang Malaysia diwisuda. Dengan
menggunakan bahasa Indonesia, keadaannya menjadi tidak lazim dan berubah seperti keadaan biasa dan terlihat kurang begitu istimewa.
b. Sebagai Pengungkap Rasa Hormat
Selain wujud sikap, rasa hormat terhadap seseorang ditunjukkan oleh sopan-santun dalam penggunaan bahasanya. Dalam kehidupan dan masyarakat
keraton penuh dengan aturan dan norma-norma baik dalam sikap, tindakan , pakaian, maupun berkomunikasi. Komunikasi di dalam keraton dengan
menggunakan bahasa
kedhaton
akan memberikan rasa hormat bagi penutur maupun mitra tutur. Adanya bentuk-bentuk orang pertama dan kedua tanpa bentuk
orang ketiga dalam bahasa
kedhaton
misalnya
manira
dan
pakenira
,
ingsun
dan
sira
, maupun
kula
dan
jengandika
menunjukkan adanya saling pengertian, rasa hormat terhadap orang ketiga. Karena dalam etika orang Jawa, membicarakan
orang lain atau menggunjing adalah hal yang kurang terpuji. Begitu juga penggunaan bahasa
kedhaton
yang ada hanyalah orang pertama dan orang kedua,
dan tidak mungkin membicarakan orang lain atau dengan kata lain , orang lain dianggap tidak ada.
c. Sebagai Penanda Hubungan Sosial dalam Tatanan Masyarakat Keraton