Penggunaan aba-aba prajurit keraton dalam bentuk bahasa Jawa juga tidak lazim dan tidak umum digunakan dalam masyarakat. Misalnya penggunaan
kalimat
Lumaksana magita-gita..Tandya
‘langkah tegap...jalan’ atau kalimat
Para Tamtama siaga...Tandya ‘
Para Tamtama siap.....Grak’. Hal tersebut sering terdengar digunakan oleh masyarakat tetapi dalam konteks
guyonan
dan tidak dalam keadaan yang serius.
Apabila ada seseorang di dalam masyarakat yang mengatakan sesuatu dengan menyisipkan kata-kata di atas orang yang diajak bicara pasti tidak akan
berterima dan malah dianggap orang aneh yang akhirnya akan menjadi bahan tertawaan ataupun ejekan.
Mengingat hal tersebut, peneliti sangat tertarik untuk meneliti lebih dalam mengenai bahasa
kedhaton
tersebut, agar supaya dapat dimengerti atau paling tidak, dapat diketahui diketahui oleh masyarakat umum terutama para pemerhati
bahasa, sehingga tidak lagi disebut sebagai bahasa yang aneh dan menjadi bahan tertawaan ataupun bahan ejekan di dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Menurut pengamatan peneliti, ada banyak hal yang menarik dan perlu diamati khususnya dalam hal berkomunikasi. Perlu diketahui bahwa di dalam
Karaton Surakarta Hadiningrat masih banyak digunakan berbagai macam tingkatan bahasa mulai dari
ngoko
,
krama
,
krama inggil,
bahkan
basa kedhaton
yang sangat jarang ditemukan ataupun dipakai masyarakat pada umumnya. Yang menjadi dasar permasalahan dan pertanyaan adalah;
1. Bagaimana wujud penggunaan bahasa
kedhaton
di Karaton Surakarta Hadiningrat dikaitkan dengan hubungan antara penutur dan mitratutur ?
2. Apakah bahasa
kedhaton
juga mengenal
unggah-ungguhing basa
’tingkat tutur’? 3. Apakah dalam bahasa
kedhaton
terdapat pemarkah
ngoko, madya, krama,
dan
krama inggil
? 4.
Adakah pemarkah leksikon, morfologi, dan sintaksis yang menandai bahasa
kedhaton
? 5. Apa perbedaan antara bahasa
kedhaton
dan bahasa Jawa baru? 6. Apa fungsi penggunaan bahasa
kedhaton
di Karaton Surakarta Hadiningrat?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian mengenai penggunaan bahasa
kedhaton
bertujuan sebagai berikut : 1. Mengetahui wujud penggunaan bahasa
kedhaton
yang dikaitkan dengan hubungan antara penutur dan mitratutur.
2. Mengidentifikasi apakah bahasa
kedhaton
juga mengenal
unggah- ungguhing basa
’tingkat tutur’. 3. Mengetahui apakah dalam bahasa
kedhaton
terdapat pemarkah
ngoko, madya, krama,
dan
krama inggil.
4. Mendeskripsikan pemarkah leksikon, morfologi, dan sintaksis dalam bahasa
kedhaton.
5. Mengetahui perbedaan antara bahasa
kedhaton
dengan bahasa Jawa baru terutama struktur, maksud dan tujuan penggunaannya dan bagaimana
cara menggunakannya supaya bahasa tersebut lebih dikenal dan mendapat perhatian sehingga tidak mengalami kepunahan.
6. Mengetahui secara pasti fungsi penggunaan bahasa
kedhaton
dan apakah
bahasa yang digunakan dalam keprajuritan atau aba-aba prajurit keraton itu termasuk bahasa
kedhaton
D. Manfaat Penelitian
Menurut peneliti, penelitian mengenai bahasa
kedhaton
secara teoretis akan menambah perbendaharaan bahasa khususnya wacana dalam penelitian mengenai
bahasa Jawa. Secara praktis masyarakat pada umumnya mengetahui bahwa bahasa
kedhaton
masih digunakan dan dapat mempelajari beserta tata-cara penggunaannya, mengingat masyarakat di luar dan di dalam Karaton Surakarta
Hadiningrat ternyata sangat jauh berbeda di dalam cara berkomunikasinya meskipun hanya dibatasi tembok. Sementara itu yang di dalam Karaton Surakarta
Hadiningrat menggunakan stratifikasi
unggah
-
ungguhing basa
akan tetapi di luar sudah menggunakan bahasa campuran yang sudah tidak beraturan bentuk
bahasanya. Secara umum manfaat penelitian mengenai penggunaan bahasa
kedhaton
adalah: 1. Sebagai masukan penting dan menambah wawasan dalam wacana
kebahasaan khususnya bahasa Jawa. 2. Memberi masukan terhadap masyarakat pada umumnya bahwa sebenar-
nya bahasa
kedhaton
masih ada dan masih dipergunakan di dalam Kara- ton Surakarta Hadiningrat pada acara-acara tertentu.
3. Memberikan peluang terhadap peneliti bahasa guna melakukan penelitian lebih lanjut mengenai bahasa Jawa, khususnya bahasa-bahasa yang digu-
nakan di dalam Karaton Surakarta Hadiningrat. 4. Melestarikan budaya dalam tata-cara adat yang masih berlaku dan seba-
gai tambahan wawasan khususnya dalam wacana kebudayaan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA