kata
miyara kuda
, proses morfemis pada kata tersebut tidak menyebabkan perubahan arti.
Proses pengulangan atau reduplikasi peda bahasa
kedhaton
terjadi pada
sahur timbun
rangkep tiga’
jawaban yang harus diulang tiga kali’, seperti pada contoh di bawah ini:
P :
Nedha prikanca dhawuh dalem.
P : ‘Semua rekan-rekan menerima perintahnya’. Mt :
Enggeh, nuwun, nuwun, nuwun, nuwun sendika.
Mt : ‘Ya, kami terimakasih, siap laksanakan’. Mt :
Nedha, nedha, nedha, enggeh.
Mt : ‘Ayo, ayo, ayo, ya’.
Pada contoh tersebut terlihat kata
nuwun
‘terima kasih’ dan
nedha
‘ayo’ diulang tiga kali oleh mitratutur. Pada kata
nedha
setelah diulng tiga kali tejadi perubahan makna dari ‘menerima’ menjadi ‘ayo’. Sementara itu pada kata
nuwun
setelah diulang tiga kali tidak terjadi perubahan makna.
a. Pemarkah Morfologis Bahasa
Kedhaton
Secara morfologis pemarkah bahasa
kedhaton
terlihat pada pembentukan kata dengan adanya penambahan sufiks {–
ira
}, {-
nira
}, dan {–
ningsun
} yan dilekatkan pada kata dasar.
Berikut ini adalah analisa terdapatnya pemarkah morfologi pada tuturan yaitu;
81
Iya,
pangabektinira
Ingsun tampa, yen ana
luputira
ora dadi apa, mung sira tampanana
pangestuningsun
.
’Ya, sembah baktimu saya terima, kalau ada kesalahanmu tidak apa- apa. Hanya saja kamu terima restuku’.
82
Paman, banget panarima manira, pakenira ngaturake sih
setyanira
marang praja sing awujud sowane
balanira
.
’Paman, saya
sangat berterimakasih,
kamu persembahkan
kesetiaanmu kepada pemerintah yang berupa datangnya seluruh anggotamu’.
Tuturan 81 dan 82 terdapat pemarkah morfologi yaitu;
pangabektinira
[pa ŋab«ktinirO]
‘sembah baktimu’
pangestuningsun
[pa ŋEstunIŋsUn]
‘restuku’
balanira
[balanirO] ‘anggotamu’
luputira
[lupUtirO]
‘
kesalahanmu’
setyanira
[s«tyanirO] ‘kesetiaanmu’
Pada kata
pangabektinira
terbentuk dari
pangabekti
‘sembah bakti’ dan {
- nira
} ‘-mu’,
luputira
terbentuk dari
luput
‘kesalahan’, dan{
-ira
} ‘-mu’,
pangestuningsun
terbentuk dari
pangestu
‘restu’ dan {
-ningsun
} ‘-ku’. Atau
dapat ditulis sebagai berikut:
pangabektinira
→
pangabekti
+ {-
nira
}
pangestuningsun
→
pangestu +
{
-ningsun
}
balanira
→
bala
+ {-
nira
}
luputira
→
luput +
{
-ira
}
setyanira
→
setya
+ {-
nira
} Hal tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut;
D + -
ira - nira
-
ningsun
pa N
D + -
ira - nira
-
ningsun
b. Klitika Bahasa
Kedhaton
Pada data nomor 81 dan 82 terdapat bentuk-bentuk klitika {
-nira
}
,
{
- ira
}
,
{
-ningsun
} yang menurut pendapat I Dewa Putu Wijana 2006:18 bahwa bentuk {–
nira
} merupakan pemarkah posesif yang ber-evolusi dari bentuk klitika bahasa Jawa Kuna yang berkembang menjadi {
-ne
} pada bahasa Jawa Baru. Ini berarti
pangabektinira, setyanira,
dan
balanira
berubah menjadi
pangabektine, setyane,
dan
balane
pada bahasa Jawa Baru dengan alasan bahwa perubahan {
- nira
} menjadi {
-ne
} mungkin bermula dari penghilangan bunyi r yang selanjutnya diikuti dengan gejala persandian i dan a menjadi e.
Apabila terjadi hal yang demikian berarti bentuk {
–ira
} dapat berubah menjadi {
-e
} pada bahasa Jawa Baru, tetapi pada bentuk {
–ningsun
}, terjadi kejanggalan karena {
-ningsun
} tidak dapat diubah menjadi {
–ne
}
.
Hal tersebut disebabkan karena mengalami permasalahan dalam pemaknaan atau arti pada kata
yang dilekatinya. Perbandingan dengan bahasa Jawa Baru beserta maknanya dapat dilihat
pada contoh di bawah ini;
pangabektinira
‘sembah baktimu’ ø
pangabektine
‘sembah baktinya’
setyanira
‘kesetiaanmu’ ø
setyane
‘kesetiaannya’
balanira
‘anggotamu’ ø
balane
‘anggotanya’
luputira ‘
kesalahanmu’ ø
lupute ‘
kesalahannya’
pangestuningsun
‘restuku’ ø
pangestune
‘restunya’ Perubahan bentuk-bentuk klitika {
–nira
} menjadi {
–ne
}, {
-ira
} menjadi {
–e
}, dan {
-ningsun
} menjadi {
–ne
} terjadi perubahan makna sehingga tidak berterima apabila dilihat dari maknanya. Hal tersebut disebabkan klitik {
–mu
} dan
{
-ku
} tidak bersinonim dengan klitik {
–nya
}
.
Menurut Poerwadarminta 1937:173,345 bahwa {–
ira
} adalah termasuk bahasa Kawi yang berarti{
–e
}
,
{
-ne
}
,
{
-mu
}misalnya
sira,
dan{
–nira
}{
-nireka
}
,
{
- nireki
}
,
{
-nireku
} juga termasuk bahasa Kawi yang berarti {
–e
}
,
{
-ne
}
.
Keduanya dapat disebut sebagai klitik apabila digunakan di dalam
tembang
‘puisi tradisional Jawa’ khususnya untuk {
–nireka
}
,
{
-nireki
}
,
dan {
–nireku
}
,
karena tidak pernah ditemukan atau digunakan dalam berkomunikasi.
4. Sintaksis Bahasa