A. Wujud Penggunaan Bahasa
Kedhaton
Bagian ini akan dikemukakan tentang hasil analisis dan pembahasannya yaitu mengenai: a Deskripsigambaran umum
basa kedhaton
, b Hubungan antara penutur dan mitratutur.
1. DeskripsiGambaran Umum
Basa Kedhaton.
Dalam bab sebelumnya telah disinggung mengenai pengertian umum tentang bahasa Jawa yang digunakan di dalam keraton, bahwa dari pengertian
umum tersebut bahasa Jawa ragam
krama
terutama
krama inggil
dianggap sebagai bahasanya orang keraton. Pengertian tersebut merupakan ketidaktahuan
masyarakat mengenai
basa kedhaton,
sehingga keberadaan
basa kedhaton
terutama penggunaannya di dalam keraton belum banyak diketahui oleh
masyarakat pada umumnya. Yang dimaksud
basa kedhaton
‘bahasa istana’ adalah bahasa yang digunakan di dalam istana atau keraton dan pemakaiannya pun hanya terbatas di
dalam lingkungan keraton maupun di luar keraton tetapi masih dalam wilayah kekuasaan keraton. Bahasa tersebut digunakan hanya pada saat-saat tertentu, pada
kondisi tertentu, dan hanya digunakan oleh orang-orang tertentu, sehingga merupakan salah satu ciri khas kebudayaan yang hanya dimiliki oleh keraton.
Basa kedhaton
adalah bahasa yang telah lama digunakan di dalam lingkungan keraton. Dalam manuskrip yang berangka tahun 1910 yang ditulis
oleh pujangga besar Karaton Surakarta Hadiningrat yaitu R.Ng Ranggawarsita yang berjudul
Serat Waduaji Tuwin Serat Tatakrami Tembung Kadhaton.
Manuskrip tersebut terdiri dari 10
makandheh
[makanÿ«h] ’bab’. Bab I sampai 63
dengan bab III berisi tentang macam-macam tembung kedhaton beserta penggunaannya, bab IV sampai dengan bab X berisi tentang tata-cara, sikap,
aturan-aturan, serta cara berpakaian untuk menghadap raja. Pada
eka makandheh
[ekO makanÿ«h] ’bab I’ halaman pertama disebutkan bahwa bahasa
kedhaton
telah digunakan sejak tahun 989 Saka atau tahun 1020 Masehi, yang pada waktu itu ditulis oleh Patih Raja Kapa-kapa atas perintah dari Maha Prabu Sindula dari
kerajaan Galuh. Pada zaman kerajaan Mataram Islam yaitu pada saat pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, keadaan
basa kedhaton
mengalami perubahan-perubahan terutama pada bentuk-bentuk
tembang
’puisi tradisional Jawa’ yang memakai bahasa Jawa Kuna disederhanakan menjadi kalimat-kalimat
biasa agar lebih mudah dipahami tanpa mengubah maksud dan tujuannya. Hal tersebut terjadi atas perintah dari Sultan Agung, karena pengaruh masuknya
kebudayaan Islam sehingga banyak kalangan kerabat keraton yang sedikit demi sedikit mulai meninggalkan kebudayaan Hindu dan tidak bisa menggunakan
bahasa Jawa Kuna. Karaton Surakarta Hadiningrat pada saat pemerintahan Paku Buwana III,
oleh Ki Ngabehi Yasadipura I yaitu pujangga besar keraton, atas perintah raja, tatanan penggunaan
basa kedhaton
mengalami perubahan disesuaikan dengan keadaan zaman dan mudah dipahami oleh seluruh kerabat keraton dari yang
berkedudukan tertinggi sampai yang terendah. Bahasa
kedhaton
digunakan dengan aturan-aturan khusus disertai tindakan menurut tingkat kepangkatan,
tempat, situasi, hal, dan tujuan, yang semuanya tidak meninggalkan norma-norma adat keraton.
Pada zaman Paku Buwana III, penggunaan bahasa
kedhaton
masih menurut aturan yang berlaku menurut kedudukan maupun wewenangnya. Hal tersebut
disebabkan kondisi pemerintahan pada saat itu masih dalam bentuk kerajaan, status sosial kerajaan masih sangat kelihatan sehingga sikap kepatuhan terhadap
orang yang lebih tua atau orang yang berkedudukan lebih tinggi sangat kental. Hal tersebut terlihat dari wujud penggunaan bahasa pada setiap tuturannya.
Berikut ini adalah tuturan yang digunakan pada zaman tersebut: 7 P :
Kanca Wadana, punapi jengandika sami hangengeti dhawuhing Nawala dalem Hundhang-hundhang henggal salebeting tahun
puniki?
P : ‘Rekan
Wadana
’pejabat setingkat camat’, apakah kamu semua ingat akan surat perintah raja mengenai undang-undang yang baru di
dalam tahun ini?’
Mt :
Henggeh Ki Lurah, prakawis patanya jengandika punika kula henggeh ragi katambetan, hewa makaten wawi Ki Lurah
hapitakena Sang Pandhita meneri sowan.
Mt :‘Ya Ki Lurah, perkara pertanyaanmu itu saya agak lupa, kalau begitu mari silahkan bertanya kepada
Sang Pandhita
‘ahli spiritual’ yang kebetulan sedang menghadap’.
8 P :
Kakang Maharsi, robaya patanya ring panten, menggah surasane nawala dalem undhang-undhang henggal puniki, kadipun dipanten
pojare.
P : ‘Kakak
Maharsi
‘sebutan bagi seorang tokoh spiritual yang lebih senior’, saya bertanya kepadamu, mengenai isi surat undang-
undang yang baru ini, seperti yang kamu kemukakan’. Mt :
Enggeh saking patanya Panten puniki, robaya pojar sakinten dhateng panten...
Mt : ‘Ya mengenai pertanyaanmu ini, beberapa akan saya kemukakan kepadamu.......’.
9 P :
Nedha prikanca dhawuh dalem.
P : ‘Semua rekan-rekan menerima perintahnya’. Mt :
Enggeh, nuwun, nuwun, nuwun, nuwun sendika.
Mt : ‘Ya, kami terimakasih, siap laksanakan’.
Mt :
Nedha, nedha, nedha, enggeh.
Mt : ‘Ayo, ayo, ayo, ya’.
Contoh nomor 7 adalah dialog antara
patih
‘wakil raja’ sebagai penutur dan para bupati sebagai mitratutur. Antara penutur dan mitratutur sama-sama
menggunakan
jengandika
‘kamu’, dan
kula
‘aku’ untuk menyebut diri sendiri. Hal tersebut terjadi karena hubungan antara penutur dan mitratutur adalah sederajat
yaitu hubungan horisontal antara sesama rekan. Isi dialog tersebut adalah sebuah pertanyaan mengenai undang-undang atau peraturan yang baru ditetapkan. Tujuan
dialog tersebut adalah meminta keterangan mengenai peraturan tersebut. Contoh nomor 8 adalah dialog antara
patih
dan
pandhita
‘tokoh spiritual’ Penutur dan mitratutur sama-sama menggunakan
robaya
‘aku’ dan
panten
‘kamu’. Penutur dan mitratutur juga mempunyai hubungan sederajat yaitu rekan spiritual.
Isi pesan tersebut yaitu meminta keterangan sejelas-jelasnya mengenai undang- undang yang baru. Tujuan dialog tersebut juga meminta keterangan yang lebih
lengkap dari orang yang lebih tahu mengenai hal tersebut. Contoh nomor 9,adalah
sahur timbun
rangkep tiga’
jawaban yang harus diulang tiga kali’ . Penutur 9 adalah seorang pimpinan
abdidalem
. Mitratutur adalah para
abdidalem wadana gamel
‘pegawai yang khusus mengurus kuda milik raja’
.
Pada contoh tersebut terlihat kata
nuwun
‘terima kasih’ dan
nedha
‘ayo’ diulang tiga kali oleh mitratutur. Pada kata
nedha
setelah diulng tiga kali tejadi perubahan makna dari ‘menerima’ menjadi ‘ayo’. Sementara itu pada kata
nuwun
setelah diulang tiga kali tidak terjadi perubahan makna. Hal tersebut sudah
menjadi peraturan bahwa para pegawai yang mengurusi kuda apabila diperintah atau diberi pertanyaan harus menjawab dengan kata-kata yang diulang tiga kali.
Selain itu tulisan nomor 7 sampai dengan 9 di atas banyak menggunakan kosa kata bahasa Jawa kuna diantaranya adalah
enggeh
‘ya’,
punapi
‘apa’,
katambetan’
lupa’,
wawi
‘mari’, dan
pojare
‘katanya’. Pembicaraan tersebut terjadi di lingkungan keraton dan tidak ditentukan waktu maupun tempat
kejadiannya.
2. Hubungan Antara Penutur dan Mitratutur