Km utara kota Solo. Di lokasi tersebut upacara Sesaji Mahesa Lawung dilaksanakan.
Peneliti mengamati lokasi-lokasi tersebut karena di tempat tersebut upacara adat tertentu selalu dilaksanakan dan sebelum pelaksanaan terdapat
peristiwa-peristiwa tutur yang berkaitan dengan situasi tutur. Menurut Suwito 1988: 44a, bahwa di dalam peristiwa tutur diperlukan
beberapa syarat antara lain penutur, lawan tutur, pokok tuturan, tujuan tutur dan tempat tutur, dengan demikian keseluruhan pembicaraan dengan segala
peristiwa tutur yang terdapat di dalamnya merupakan situasi tutur. Lokasi penelitian sangat berhubungan dengan formalitas, karena formalitas
adalah label nama yang cocok diberikan pada konteks di mana bahasa itu terjadi Abdul Syukur Ibrahim, 1995: 292. Dalam hal ini yang dimaksud formalitas
adalah bahasa
kedhaton
yang dipergunakan pada acara-acara tertentu di dalam keraton, sehingga lokasi penelitian dilakukan di dalam karaton khususnya pada
acara resmi.
B. Bentuk Strategi Penelitian
Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitian ini termasuk penelitian dasar dan lebih menekankan pada masalah proses penggunaannya,
maka jenis penelitian dengan strateginya yang terbaik adalah bentukstrategi penelitian kualitatif selain menggunakan pendekatan sosiolinguistik, juga melalui
pendekatan struktural. Penelitian ini disertai dengan penjelasan studi kasus di
Karaton Surakarta Hadiningrat, oleh karena itu perlu dijelaskan mengenai studi kasus.
Studi kasus yaitu penelitian yang berupaya mencari kebenaran ilmiah dengan meneliti obyek penelitian secara mendalam untuk memperoleh hasil yang
cermat. Maksud studi kasus yaitu berupaya mencari kebenaran ilmiah mengenai
wujud dan bentuk penggunaan bahasa
kedhaton
di dalam lingkup Karaton Surakarta Hadiningrat. Pengertian secara mendalam dimaksudkan bahwa sasaran
penelitian akan menjangkau fungsi, pemerolehan proses dan struktur dalam penggunaan bahasa
kedhaton
. Pengertian “ dalam lingkup Karaton Surakarta Hadiningrat” adalah untuk membatasi lokasi atau daerah penelitian.
Meskipun penelitian dilakukan dalam satu tempat yaitu Karaton Surakarta Hadiningrat, tetapi masalah yang diteliti terdapat dalam suatu acara yang berbeda-
beda dan akan disimpulkan dalam satu kasus, maka penelitian ini menggunakan strategi kasus tunggal. Selain itu, karena permasalahan dan fokus penelitian sudah
ditentukan dalam
proposal
sebelum peneliti terjun ke lapangan, maka jenis strategi penelitian dalam kasus ini secara lebih khusus bisa disebut sebagai studi
kasus terpancang. Sebagai contoh studi kasus terpancang, misalnya pada bahasa yang
digunakan dalam tatacara adat
manton
‘pernikahan’ yang dilaksanakan di dalam keraton ada beberapa acara yang menggunakan bahasa tersebut yaitu pada acara
setelah pengantin melakukan
sungkeman
‘berbakti sekaligus meminta doa restu kepada orang tua atau orang yang dituakan yang diwujudkan dengan cara
menyembah dengan mencium lutut’ kemudian utusan dari raja datang dan menyampaikan amanat kepada pengantin laki-laki sebagai berikut;
1
Utusandalem : Edi Supriyono
,
SH
.,
pakenira tampa dhawuh timbalandalem, pakenira kapatedhan bojo Putridalem Dra. Koes Moertiyah,
pakenira aja sira gawe roga boya malih. Manawa boya ana kanggone, unjukna mlebu maneh
Maryono Dwiraharjo, 2001: 523.
:’Edi Supriyono, SH., kamu terima panggilan perintah dari raja, kamu menerima ganjaran istri seorang putri raja
Dra.Koes Moertiyah, jangan sekali-kali kamu menyakiti badan harus tidak berubah. Apabila sudah tidak dipakai,
kembalikan lagi ke dalam karaton’.
Tulisan di atas bisa diteliti apakah ada leksikon
basa kedhaton
,
ngoko, madya, dan krama.
Ternyata kalimat tersebut terdapat leksikon
basa kedhaton
yaitu;
pakenira
‘kamu’,
kapatedhan
’menerima’, dan
boya
’tidak’. Selain itu juga terdapat leksikon
krama
yaitu
roga
’sakit’, dan yang lainnya termasuk leksikon
ngoko.
Contoh tulisan di atas juga bisa diteliti stukturnya, siapa dan kepada siapa digunakan, dan makna yang tersirat di dalamnya. Tulisan di atas adalah sebuah
tuturan yang berupa beberapa kalimat dalam bentuk perintah. Perintah tersebut adalah dari raja yang disampaikan oleh seorang utusan kepada pengantin laki-laki.
Penutur adalah utusan raja, mitratutur adalah pengantin laki-laki yang dalam hal ini adalah menantu raja. Tujuan tuturan tersebut adalah menyampaikan amanah
dari raja kepada pengantin laki-laki, yang isinya adalah agar supaya pengatin laki- laki menerima pangantin perempuan dan harus memperlakukannya dengan baik.
C. Data dan Sumber Data