Pengertian Penilaian dan Evaluasi
A. Pengertian Penilaian dan Evaluasi
Kata penilaian merupakan kata benda dari nilai. Kata nilai mengandung arti yang berharga secara kuantitatif dan atau bermanfaat secara kualitatif. Kata nilai sebagai harga secara kuantitatif mengarah pada ukuran jumlah dari sesuatu seperti besar atau kecil, banyak atau sedikit, tinggi atau rendah.Dalam ilmu filsafat atau ilmu tentang berpikir manusia terhadap sesuatu subyek keberadaan, yang oleh Max Scheler (1874-1928) yang lahir di Munchen, Jerman, mengatakan nilai adalah hal yang dituju oleh perasaan, yang mewujudkan apriori atau anggapan ekstrim dari emosi seseorang manusia. Nilai bukan idea atau cita yang dihasilkan oleh pikiran manusia. Tetapi nilai adalah gejolak pertimbangan perasaan seseorang terhadap hal yang memberi manfaat atau berguna. Nilai merupakan sesuatu yang dialami dengan perasaaan yang bergetar dan disebut emosi. Nilai tidak dapat dilihat oleh akal atau pikiran manusia, melainkan getaran perasaan seseorang terhadap sesuatu yang bermanfaat atau berguna (Ahmadi, 2009:105).
Saat nilai diartikan secara filsafati semisal pendapat Max Scheler, maka nilai selalu dinyatakan merujuk pada perasaan atau keinginan seseorang terhadap sesuatu yang dipandang secara konkrit. Karena nilai menyatakan perasaan atau keinginan seseorang, maka nilai selalu bertitik tolak secara subyektif dari seseorang untuk menentukan besaran harga sebagai ukuran kemanfaatan atau kegunaan yang terdapat pada subyek yang diamati secara konkrit. Contohnya, nilai sebuah benda seperti buku yang didalamnya ada pengungkapan buah pikiran seseorang tentang sesuatu yang setelah dibaca oleh orang itu sendiri ataupun orang lain, lalu menentukan besaran kemanfataannya, sehingga buku itu kemudian ditentukan besaran harga jualnya. Besaran
Manajemen Berbasis Sekolah
harga jual diukur dengan jumlah angka mata uang, seperti sekian rupiah. Di sini, terjadi penentuan harga barang itu dilakukan dengan pertimbangan perasaan penulis atau pembaca yang dianggap pantas untuk menggambarkan besaran manfaat buku itu.
Bila berbicara mengenai pertimbangan perasaan sebagai gejolak jiwa untuk menentukan ukuran dari sesuatu yang dianggap bernilai, maka tentunya kita mesti memahami di mana jiwa itu berada. Para ahli ilmu jiwa beranggapan yang berbeda-beda mengenai titik tolak keberadaan jiwa. Namun menurut hemat penulis, jiwa sebenarnya adalah kekuatan atau energi kehidupan yang ada dalam diri makhluk hidup yang dihasilkan dari fungsi sel- sel darah yang bergejolak menimbulkan kesadaran kehidupan. Oleh karena sel-sel dari itu berpusat pada hati dan jantung dari organ tubuh makhluk hidup, maka jiwa merupakan gejalak emosi yang dihasilkan oleh fungsi sel-sel darah merah atau darah putih. Jika seseorang mengalami gejolak darah yang dominan emosi (terasa mendidih di hati dan jantung yang bergetar/berdenyut kencang), maka orang yang mengalami gejolak itu menunjukkan emosi jiwa yang menggambarkan amarah. Jika gejolak jiwa seperti itu yang dipakai untuk menentukan harga sesuatu sebagai gambaran nilai, maka penentuan nilai sifatnya sangat emosional atau yang sering disebut sebagai bentuk penilaian subyektif. Oleh karena titik tolak penilaiannya berangkat pada perasaan orang yang menentukan ukuran besaran harga secara kuantitatif atau dengan ukuran simbol angka-angka. Sebuah contoh penilaian subyektif selalu didasarkan pada keputusan pribadi orang yang mengamati sesuatu untuk menentukan ukuran besaran harga yang terkandung didalam subyek amatannya. Saya rasa nilai yang pantas bagi pekerjaan orang ini adalah 70. Ternyata angka 70 adalah ukuran besaran harga yang pantas menurut perasaan sang penilai setelah mengamati hasil pekerjaan orang itu.
Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.
Jika pengertian nilai seperti ini terjadi dalam menentukan proses dan hasil belajar, maka nampaknya kurang tepat untuk menentukan kuantitas atau angka dari nilai itu, sehingga biasanya penilaian macam itu selalu berakibat ketidak puasan pihak yang dinilai. Oleh karena gejolak perasaan sebagai getaran jiwa orang itu berbeda dengan sang penilai. Oleh karena itu, penilaian selalu berhubungan dengan pengukuran yang dinyatakan dalam simbol angka-angka yang bersifat kuantitatif. Tentunya penilaian terhadap kegiatan pembelajaran dalam dunia pendidikan dengan pengertian seperti ini, maka kecenderungan subyektif para penilai akan lebih dominan dalam pengambilan keputusan terhadap besaran angka yang diberikan sebagai ukuran harga kegiatan pribadi dari orang yang dinilai.
Untuk penilaian itu tidak cenderung subyektif, maka perlu dilakukan evaluasi juga. Kata evaluasi dalam kamus Oxford adalah to find out, decide the ampunt or value , artinya sesuatu upaya untuk menentukan nilai atau jumlah. Defenisi ini menunjukkan bahwa kegiatan evaluasi harus dilakukan secara hati-hati, bertanggung jawab,
strategi, dan dapat dipertanggungjawabkan. Kegiatan evaluasi merupakan usaha untuk mengumpulkan informasi yang dapat dijadikan dasar alternatif atau dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang tepat dengan kenyataan secara kualitatif (Arikunto & Jabar, 2009:1-2). Pengertian evaluasi lebih mengarah kepada fungsi pertimbangan akal atau buah pikiran dari syaraf-syaraf otak di kepala seseorang manusia dalam memberikan pertimbangan rasional terhadap ukuran manfaat sesuatu bukan secara matematis. Pengertian seperti ini menunjuk kepada makna obyektif dari pengukuran terhadap manfaat atau kegunaan yang terkandung pada sesuatu subyek yang diamati. Dengan kata lain, evaluasi selalu mengarah kepada pihak yang dinilai dan bukan penilai. Dengan demikian, sebenarnya
menggunakan
Manajemen Berbasis Sekolah
dalam kegiatan pembelajaran, proses penilaian yang tepat perlu ada pertimbangan obyektif dan bukan saja subyektif.
Nampaknya kedua kata atau istilah itu ketika dipakai perlu ada pemahaman yang lengkap terhadap makna konsep yang terkandung didalamnya. Karena kata penilaian cenderung kepada makna subyektif dan evaluasi cenderung kepada makna obyektif untuk menentukan harga atau manfaat dari sesuatu yang tampil kepermukaan secara konkrit dan yang tidak tampil secara konkrit. Biasanya proses penilaian yang subyektif selalu akan menimbulkan kepuasan pihak penilai dan obyektif selalu menimbulkan kepuasan pihak yang dinilai. Walaupun memang, kadang kala penilaian subyektif muncul kecenderungan penilai memberikan kepuasan kepada yang dinilai, namun tidak akan membawa manfaat maksimal apa-apa untuk perubahan atau perbaikan perilaku. Sebagai contoh: bentuk tes esai yang ditentukan skor nilai oleh penilai bukan karena atas ketepatan penguasaan konsep atau pokok pikiran terhadap sesuatu dan kebenaran makna konsep, tetapi penilai menentukan skor nilai tinggi untuk memuaskan hati yang dinilai. Ketika yang dinilai mengetahui skor nilainya tinggi, sehingga ia menjadi puas, maka ia tidak akan berusaha lebih keras lagi untuk belajar menguasai dan memahami konsep-konsep informasi dari materi pembelajaran.
Sadar atau tidak sadar, banyak penilaian yang dilakukan oleh guru terhadap siswa kecenderungan seperti ini terjadi, sehingga ketika evaluasi dengan bentuk tes obyektif, maka banyak siswa tidak berhasil atau dinyatakan tidak lulus. Oleh karena biasanya tes obyektif akan menentukan ketepatan penguasaan konsep dan pemahaman makna konsep yang benar. Suatu ironi atau lelucon yang terjadi selama ini dalam dunia pendidikan nasional kita dengan bentuk tes subyektif dan tes obyektif. Misalnya dalam
Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.
bentuk tes obyektif yang dipakai lebih banyak dalam Ujian Nasional akan mencapai hasil yang skor nilai sangat rendah. Oleh karena membutuhkan ketepatan penguasaan konsep dan pemahaman makna konsep yang benar secara ilmiah. Sementara penilaian proses yang dilakukan guru setiap saat di sekolah cenderung kepada hal yang subyektif, maka skor nilai yang diberikan selalu lebih tinggi. Hal ini akan menimbulkan kepuasan kepada siswa sehingga ia tidak akan berusaha belajar lebih giat dan serius lagi untuk menguasai konsep dan memahami makna konsep dengan baik.
Kegiatan penilaian dan evaluasi mata pelajaran PAK seyogianya perlu disadari perbedaan makna dari kegiatan penilaian dan kegiatan evaluasi. Sering kali, percakapan sehari-hari membuat kita untuk memberikan perbedaan makna dari kedua istilah/kata tersebut. Pengertian yang sama makna cenderung mendorong seorang guru PAK bahkan guru mata pelajaran apa saja untuk merencanakan kegiatan pengukuran terhadap proses dan hasil belajar siswa yang kurang tepat dalam penentuan strategi penilaian atau evaluasi. Pengukuran pada akhirnya cenderung bersifat subyektif atau sebaliknya obyektif untuk mengukur kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) siswa. Padahal diperlukan juga pengukuran terhadap kecerdasan spiritual (SQ). IQ cenderung kepada kemampuan kognitif atau pengetahuan dari daya ingat dan penalaran otak.
Sedangkan EQ cenderung kepada kemampuan emosi, keinginan-keinginan sebagai gejolak jiwa dari fungsi sel-sel darah. EQ dapat ditampilkan dalam tutur kata dan sikap seperti kelembutan, kasar, penakut, pemberani, pemberontak, dan sebagainya. Sementara SQ cenderung kepada kemampuan yang dihasilkan oleh fungsi kelenjar sel-sel hati yang memberikan gejala
Manajemen Berbasis Sekolah
rohaniah yang terdiri dari keyakinan/kepercayaan diri, ketekunan dan kedisiplinan atau integritas, dan ketrampilan atau kesadaran keindahan dan kerapihan dalam bekerja menghasilkan sesuatu. Di sini selalu muncul kreatifitas siswa untuk mengalami perubahan sifat-sifat hakiki (karakter diri) seseorang siswa yang disebut kecenderungan inovatif.
Dalam taksonomi Bloom, kemampuan IQ di sebut domain kognitif, EQ disebut domain afektif, dan SQ disebut domain psikomotor. Kata domain sama dengan ranah atau lingkup, luasnya suatu wilayah, kawasan dari kemampuan atau kompetensi yang terdapat dalam diri manusia. Kemampuan-kemampuan itu terletak dalam fungsi bagian-bagian diri manusia baik secara fisik maupun psikis, dan rohaniah. Bagan Hubungan antara domain-domain itu dapat digambarkan sebagai berikut:
Afektif (A)
EQ
a. KA
Kognitif (K)
Psikomotor (P)
SQ
Gambar 6. Keterkaitan antara domain pembelajaran.
Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.
Fenomena perilaku yang menggambarkan kemampuan- kemampuan di atas dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Perilaku yang dominan domain kognitif /IQ dan atau dominan domain kognitif dan afektif atau IQ dengan EQ.
2. Perilaku yang dominan domain afektif/EQ dan atau dominan domain Afektif dan psikomotor atau EQ dengan SQ.
3. Perilaku yang dominan domain psikomotor/SQ dan atau dominan Kogntif dan psikomotor atau domain IQ dengan SQ.
Contohnya bila dalam kehidupan seseorang lebih menonjolkan atau mengandalkan kepintarannya, maka dia lebih dominan domain IQ-nya. Tetapi jika dalam kehidupannya, seseorang tidak hanya menunjukkan kepintarannya, tetapi sikap mental, seperti rajin, jujur, setia, maka sebenarnya terpadu dalam perilaku kehidupannya domain IQ dan domain EQ-nya. Selanjutnya bila seseorang dalam hidupnya menonjol kepintarannya dan terampil kerja, yakni indah dan rapih tetapi mengabaikan kejujuran, ketulusan, terburu-buru ingin dapat hasil dengan jalan pintas atau tidak mengikuti kaidah/prosedur kerja yang benar, maka sebenarnya sedang domanan domain IQ dan domain SQ. Akan tetapi yang diperlukan dalam perilaku kehidupan yang berkualitas perlu adanya keterpaduan yang seimbang antara semua kemampuan, yakni IQ, EQ dan SQ. Di sinilah terletak kualitas sumber daya manusia yang bermartabat atau terhormat dan terpuji.