MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (1). pdf

2. Barang siapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan, memamerkan, mendengarkan,

atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau

hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidanakan dengan pidana penjara.

Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.

Drs. Lukas Manu, M.Pd.

Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.

Manajemen Berbasis Sekolah

Manajemen Berbasis Sekolah

Manajemen Berbasis Sekolah

Penulis: Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd. Penata sampul: Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd. Penata letak: Zuvyati A. Tlonaen, S.S.

Hak cipta © pada Penulis

Penerbit Jusuf Aryani Learning Jl. Flamboyan, No. 12, RT. 007, RW. 002, Lasiana Kotamadya Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur, 85228 Telp. (0380) 8552354, Hp. 082232055550 e-mail. jal_penerbit@yahoo.com

Cetakan pertama, Mei 2017 xiv + 271; 15 x 21 cm

ISBN: 978-602-61202-5-0

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit

Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.

Dipersembahkan kepada:

Isteri tercinta Nelfiet Manu-Giri Anak-anak tersayang Theodora S. N. Manu, S.Pd., M.Pd. bersama suaminya Jonathan Foeh, S.Pd., M.Pd. Theofilus A. M. Manu, S.Pd., dan Frederika N. Manu Mahasiswa/alumni FKIP UKAW Kupang

Drs. Lukas Manu, M.Pd.

Almamater tercinta TK Artha Asih SD GMIT Kabola SMP Negeri 2 Kalabahi SMA Kristen 1 Kalabahi

Universitas Kristen Artha Wacana Universitas Negeri Surabaya

Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.

Manajemen Berbasis Sekolah

Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.

Kata Pengantar

D ampak praktis dan positif yang dialami manusia dalam setiap

aspek kehidupan adalah kilatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Hampir disetiap dimensi kehidupan mengalami hal yang sama, tidak terkecuali wilayah sentral yaitu pendidikan. Dibalik kilatnya transformasi ini, tentu menyisahkan perhelatan kompetisi yang semakin ketat. Negara- negara berjibaku untuk menjadi yang terdepan dengan memanfaatkan kemajuan Iptek, siapa yang tidak lihai, tentu akan menyimak laksana penonton. Lantas siapa yang bangga dengan status penonton selamanya? Tentu tidak, wajibnya kita juga berpacu agar memproduksi inovasi-inovasi yang berdaya saing via program-program pendidikan yang merata, ampuh, dan unggul.

Manajemen berbasis sekolah atau school based management merupakan salah satu segmen yang muncul sebagai konsekuensi logis dalam pemutakhiran organisasi pendidikan di Indonesia. Atas kepercayaan yang tinggi, sekolah- sekolah “dikondisikan” sehingga tidak bergantung sepenuhnya pada pemerintah selama mendramatisasi dan menyelenggarakan peran dan fungsinya. Pergeseran ini (asas sentralis ke desentralis) membuat gairah baru

Manajemen Berbasis Sekolah

bagi segenap sumber daya manusia di sekolah guna mengeksplorasi potensi-potensi secara merata untuk kepentingan pendidikan. Serta sekolah memperluas jaringan silahturahmi dan kerja sama yang apik dan erat lintas sektor agar mampu membawa komponen organisasinya menuju puncak kualitas yang sejalan dengan aspirasi masyarakat dan pemerintah.

Gagasan terbitan Jusuf Aryani Learning ini sekiranya dapat memberi panduan praktis bagi pembaca yang hendak mengidentifikasi lebih jauh tentang tips dan trik mengendalikan dan mengembangkan sekolah untuk menjejali standar kualitas pendidikan. Setidaknya ada delapan tajuk penting yang dapat dinikmati pembaca, antara lain: 1) Manajemen berbasis sekolah dan ruang lingkupnya, 2) Manajemen kurikulum, program pembelajaran, dan pendekatan pengembangannya, 3) Kurikulum pendidikan, 4) Kurikulum tingkat satuan pendidikan, 5) Kurikulum 2013, 6) Penilaian dan evaluasi dalam kurikulum 2013, 7) Manajemen tenaga pendidik, dan 8) Manajemen pendukung lainnya.

Kami selalu terbuka dan berbesar hati atas masukan dan kritikan yang pembaca layangkan atas kerinduan karya ini menjadi rujukan menarik dihadapan khalayak. Inilah asas keberlanjutan proses diskusi dari pembaca dalam momen-momen akademik terkait karya ini. Di atas segala syukur kepada Maha Kuasa, kiranya kemunculan karya ini mampu memberi dampak pengetahuan dan tindakan bagi pembaca guna menyajikan pendidikan yang bertaraf untuk kesejahteraam masyarakat Indonesia.

Kupang, 17 Januari 2017 Tim penulis,

Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.

Daftar Isi

Kata Pengantar | vii Daftar Isi | ix Daftar Tabel | xii

Daftar Gambar | xiv

Bab 1. Manajemen Berbasis Sekolah dan Ruang Lingkupnya

A. Konsep MBS | 2

B. Pengertian MBS | 8

C. Tujuan MBS | 13

D. Manfaat MBS | 14

Bab 2. Manajemen Kurikulum, Program Pembelajaran, dan Pendekatan Pengembangannya

A. Manajemen kurikulum dan program pembelajaran | 17

B. Perkembangan pendekatan pengembangan kurikulum | 21

Bab 3. Kurikulum Pendidikan

A. Pengertian kurikulum secara teoritis | 30

Manajemen Berbasis Sekolah

B. Pengertian kurikulum secara substansial | 34

C. Fungsi kurikulum dalam pendidikan di sekolah | 36

D. Komponen-komponen utama kurikulum | 40

Bab 4. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

A. Landasan penyusunan KTSP | 49

B. Konsep dasar KTSP | 61

C. Tujuan KTSP | 64

D. Karakteristik KTSP | 65

E. Prinsip dan acuan pengembangan KTSP | 71

Bab 5. Kurikulum 2013

A. Model pengembangan kurikulum | 84

B. Dasar pemikiran perubahan KTSP menjadi kurikulum 2013 | 90

C. Penyempurnaan pola pikir | 91

D. Karakteristik kurikulum 2013 | 92

E. Landasan pengembangan kurikulum 2013 | 93

F. Struktur program kurikulum | 98

G. Perangkat administrasi kurikulum | 122

Bab 6. Penilaian dan Evaluasi dalam Kurikulum 2013

A. Pengertian penilaian dan evaluasi | 133

B. Tujuan penilaian dan evaluasi pembelajaran | 139

C. Dasar hukum penilaian dan evaluasi pembelajaran dalam sistem pendidikan nasional | 147

D. Prinsip penilaian dan evaluasi pembelajaran menurut konsep dari model KTSP dan KBK | 148

E. Proses penilaian dan evaluasi pembelajaran | 153

Bab 7. Manajemen Tenaga Pendidik

A. Standar kompetensi guru | 166

B. Tugas dan peran guru | 176

C. Jenjang jabatan dan pangkat guru | 185

Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.

D. Kode etik guru | 188

E. Program pemberdayaan tenaga pendidik dan kependidikan | 194

Bab 8. Manajemen Pendukung Lainnya

A. Manajemen peserta didik | 235

B. Manajemen keuangan dan pembiayaan | 237

C. Manajemen sarana dan prasarana | 242

D. Manajemen hubungan sekolah dan masyarakat | 243

E. Manajemen layanan khusus | 246

Daftar Pustaka | 251 Glosarium | 259

Indeks | 265

Tentang Penulis | 267

Manajemen Berbasis Sekolah

Daftar Tabel

Tabel 1. Model pengembangan kurikulum | 85 Tabel 2. Rincian gradasi sikap, pengetahuan, dan

keterampilan | 89 Tabel 3. Kompetensi inti kelas I, II, dan III Sekolah

Dasar/Madrasah Ibtidaiyah | 101 Tabel 4. Kompetensi inti kelas IV, V, dan VI Sekolah

Dasar/Madrasah Ibtidaiyah | 103 Tabel 5. Mata pelajaran Sekolah Dasar/

Madrasah Ibtidaiyah | 104 Tabel 6. Daftar tema setiap kelas | 108 Tabel 7. Struktur kurikulum SD/MI | 112 Tabel 8. Daftar tema kelas I, II, dan III | 114 Tabel 9. Daftar tema kelas IV, V, dan VI | 115 Tabel 10. Kata kerja operasional domain kognitif | 142

Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.

Tabel 11. Kata kerja operasional domain kognitif pembaharuan | 143

Tabel 12. Kata kerja operasional domain afektif | 145 Tabel 13. Kata kerja operasional domain psikomotor | 146 Tabel 14. Contoh daftar check list | 158 Tabel 15. Soal-soal diskusi kelompok | 159 Tabel 16. Daftar penilaian terhadap dokumen hasil diskusi

kelompok | 160 Tabel 17. Komponen, kompetensi, dan indikator standar

kompetensi guru (SKG, 2003) | 177 Tabel 18. Jenjang jabatan fungsional guru | 186 Tabel 19. Jenjang jabatan Struktural berdasarkan Peraturan

Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 | 187 Tabel 20. Kompetensi guru kelas/guru mata pelajaran | 221 Tabel 21. Kompetensi guru bimbingan konseling/konselor | 221 Tabel 22. Kompetensi kepala sekolah/madrasah | 223 Tabel 23. Kompetensi wakil kepala sekolah/madrasah | 223 Tabel 24. Kompetensi kepala perpustakaan | 224 Tabel 26. Kompetensi kepala laboratorium/

bengkel/sejenisnya | 224 Tabel 27. Kompetensi ketua program keahlian | 225 Tabel 28. Penentuan bobot skor PKG dilakukan dengan rentang

skor nilai | 227 Tabel 29. Persyaratan angka kredit untuk kenaikan pangkat dan

jabatan fungsional guru | 230

Manajemen Berbasis Sekolah

Daftar Gambar

Gambar 1. Pengembangan kurikulum dan pendekatannya | 22 Gambar 2. Kurva normal distribusi prestasi belajar | 23 Gambar 3. Unit kegiatan pelajaran | 24 Gambar 4. Pendekatan belajar tuntas | 24 Gambar 5. Sistem komponen kurikulum | 41 Gambar 6. Keterkaitan antara domain pembelajaran | 138 Gambar 7. Tugas guru | 179

Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.

Bab 1 Manajemen Berbasis Sekolah dan Ruang Lingkupnya

istem manajemen berbasis sekolah menyaratkan sekolah untuk secara mandiri mencari, mengekplorasi, mengalokasi,

memprioritaskan, mengontrol,

akuntabel terhadap pemberdayaan sumber-sumber sekitar, baik dari masyarakat maupun pemerintah. Pemberian otonomi yang luas kepada sekolah merupakan kepedulian pemerintah atas fluktuatifnya dinamika sosial di masyarakat. Serta upaya meningkatkan mutu pendidikan yang sesuai dengan konteks sekolah. Upaya ini mendorong sekolah dengan kiat-kiatnya menyelenggarakan pembelajaran dan pendidikan yang efektif, efisien, dan produktif dengan mengakomodasi beragam sumber daya untuk kepentingan peserta didik. Sebagai warna baru dalam dunia manajemen pendidikan, MBS hadir guna memberi solusi atas pengendalian pendidikan yang lebih mereferensi pada “otonomisasi” sekolah.

serta

Manajemen Berbasis Sekolah

A. Konsep MBS

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai suatu konsep memiliki istilah banyak arti, bergantung pada orang yang mengartikannya. Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah adminstrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda. Pertama, mengartikan administrasi lebih luas daripada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi). Kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi. Ketiga, pandangan yang menganggap bahwa manajemen identik dengan adminstrasi. Dalam tulisan ini kata manajemen diartikan sama dengan kata adminstrasi atau pengelolaan, meski kedua istilah itu tersebut sering diartikan berbeda. Untuk berbagai kepentingan, pemakaian kedua istilah tersebut sering digunakan secara bergantian, demikian halnya dalam berbagai literatur, acapkali dipertukarkan. Berdasarkan fungsi pokoknya istilah manajemen dan adminstrasi mempunyai fungsi yang sama. Karena itu, perbedaan kedua istilah tersebut tidak konsisten dan tidak signifikan (Suryata, 2003:45).

Manajemen pendidikan ialah rangkaian kegiatan atau keseluruhan proses pengendalian usaha kerjasama sekelompok orang untuk mencapai tujuan pendidikan, secara berencana dan sistematis yang diselenggarakan di lingkungan tertentu, terutama lembaga pendidikan formal (Nawawi, 1981:11). Manajemen pendidikan juga dapat didefinisikan sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, memimpin, mengendalikan tenaga pendidikan, sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan (Atmodiwirio, 2003:23).

Manajemen merupakan komposisi integral yang tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan secara holistik. Argumentasinya, tanpa manajemen tidak mungkin tujuan pendidikan dapat

Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.

diwujudkan secara optimal, efektif, dan efisien. Konsep tersebut berlaku di sekolah yang memerlukan manajemen yang efektif, dan efisien. Dalam rangka inilah tumbuh kesadaran akan pentingnya manajemen berbasis sekolah, yang memberikan kewenangan penuh kepada sekolah dan pendidik dalam mengatur pendidikan dan pengajaran,

merencanakan mengorganisasi, mengawasi, mempertanggung jawabkan, mengatur serta memimpin sumber- sumber daya insani serta barang-barang untuk membantu pelaksanaan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan sekolah. Manajemen berbasis sekolah juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan minat peserta didik, pendidik, serta kebutuhan masyarakat setempat. Untuk itu, perlu dipahami fungsi-fungsi pokok manajemen, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pembinaan. Dalam prakteknya keempat fungsi tersebut merupakan suatu proses yang berkesinambungan.

Keempat fungsi tersebut selanjutnya dicandrakan sebagai berikut. Perencanaan merupakan proses yang sistematis dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan pada waktu yang akan datang. Perencanaan juga merupakan kumpulan kebijakan yang secara sistematis disusun dan dirumuskan berdasarkan data yang dapat dipertanggung jawabkan serta dapat dipergunakan sebagai pedoman kerja. Dalam perencanaan terkandung makna pemahaman terhadap apa yang telah dikerjakan, permasalahan yang dihadapi dan alternatif pemecahannya, serta untuk melaksanakan prioritas kegiatan yang telah ditentukan memiliki dua fungsi utama, pertama, perencanaan merupakan upaya sistematis yang menggambarkan penyusunan rangkaian tindakan yang akan dilakukan untuk mencapi tujuan organisasi atau lembaga dengan mempertimbangkan sumber-sumber yang tersedia atau sumber-sumber yang dapat disediakan, kedua perencanaan merupakan kegiatan untuk mengarahkan atau menggunakan

Manajemen Berbasis Sekolah

sumber-sumber yang terbatas secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Pelaksanaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan rencana menjadi tindakan nyata dalam rangka mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Rencana yang telah disusun akan memiliki nilai jika dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Dalam pelaksanaan, setiap organisasi harus memiliki kekuatan yang mantap dan meyakinkan sebab jika tidak kuat, maka proses pendidikan seperti yang diinginkan sulit terealisasi. Pengawasan dapat diartikan sebagai upaya untuk mengamati secara sistematis dan berkesinambungan, merekam memberi penjelasan, petunjuk, pembinaan dan meluruskan berbagai hal yang kurang tepat, serta memperbaiki kesalahan.

Pengawasan, merupakan kunci keberhasilan dalam keseluruhan proses manajemen, perlu dilihat secara komprehensif, terpadu, dan tidak terbatas pada hal-hal tertentu.

Pembenahan merupakan rangkaian upaya pengendalian secara profesional semua unsur organisasi agar berfungsi sebagaimana mestinya sehingga rencana untuk mencapai tujuan dapat terlaksana secara efektif dan efisien. Pelaksanaan manajemen sekolah yang efektif dan efisien menuntut dilaksanakannya keempat fungsi pokok manajemen tersebut secara terpadu dan terintegrasi dalam pengelolaan bidang-bidang kegiatan manajemen pendidikan. Melalui manajemen sekolah yang efektif dan efisien tersebut, diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan.

Peningkatan kualitas kualitas pendidikan bukanlah tugas yang ringan karena tidak hanya berkaitan dengan permasalahan teknis, tetapi mencakup berbagai persoalan yang sangat rumit dan kompleks, baik yang menyangkut perencanaan, pendanaan,

Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.

maupun efisiensi dan efektivitas, serta penyelenggaraan sistem sekolah. Peningkatan kulitas pendidikan juga menuntut manajemen pendidikan yang lebih baik. Sayangnya, selama ini sektor manajemen pendidikan di berbagai tingkat dan satuan pendidikan belum mendapat perhatian yang serius sehingga seluruh komponen sistem pendidikan kurang berfungsi dengan baik. Lemahnya manajemen pendidikan juga memberikan dampak terhadap efisiensi internal pendidikan yang terlihat dari jumlah peserta didik yang mengulang kalas dan putus sekolah.

Manajemen pendidikan merupakan alternatif strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pada tahun 1991 Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan melaporkan hasil penelitiannya bahwa manajemen sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan UPI, 2007:228). Sekolah secara langsung akan mempengaruhi dan menentukan efektif tidaknya kurikulum, berbagai peralatan belajar, waktu mengajar, dan proses pembelajaran. Dengan demikian, upaya peningkatan kualitas pendidikan harus dimulai dengan pembenahan manajemen sekolah, disamping peningkatan kualitas pendidik dan pengembangan sumber belajar.

Dalam manajemen pendidikan dikenal dua mekanisme pengaturan, yaitu sistem sentralisasi dan desentralisasi. Dalam sistem sentralisasi, segala sesuatu yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan diatur secara ketat oleh pemerintah pusat. Sementara dalam sistem desentralisasi, wewenang pengaturan tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah. Kedua sistem tersebut dalam prakteknya tidak berlaku secara ekstrim, tetapi merupakan bentuk kontinum, dengan pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (lokal).

Manajemen Berbasis Sekolah

Hal ini juga berlaku dalam manajemen pendidikan di Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 2 tahun 1989 bahwa pendidikan nasional diatur secara terpusat (sentralisasi), namun penyelenggaraan satuan dan kegiatan pendidikan dilaksanakan secara tidak terpusat (desentralisasi). Hal tersebut cukup beralasan karena masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dan mengurangi segi-segi negatif, pengelolaan pendidikan tersebut memadukan sistem sentralisasi dan desentralisasi.

Dalam struktur organiasi desentralisasi ditunjukkan dengan tingkat pengambilan keputusan yang terjadi dalam organsiasi. Struktur desentralisasi membuat sebagian keputusan diambil pada level hirarki organiasi tertinggi dan apabila sebagian otoritas didelegasikan pada level yang rendah dalam organsiasi, maka organisasi

organisasi yang terdesentralisasi. Sari dari desentralisasi adalah adanya pembagian kewenangan oleh level organisasi di atas kepada organisasi yang ada di bawahnya. Implikasi dari hal tersebut adalah desentralisasi akan membuat tanggung jawab yang lebih besar kepada pemimpin disetiap level organanisasi dalam melaksanakan tugasnya serta memberikan kebebasan dalam beraksi. Desentralisasi akan meningkatkan independensi para administrator untuk berpikir dan beraksi dalam satu tim tanpa mengorbankan kebutuhan organisasi. Akhirnya, desentralisasi membutuhkan keseimbangan antara independensi para administrator serta komitmennya terhadap kelangsungan hidup organisasi (Irianto & Sa’ud, 2012:23)

Dalam bidang pendidikan, desentralisasi mengandung arti sebagai pelimpahan kekuasaan oleh pusat kepada aparat pengelolaan pendidikan yang ada di daerah baik pada tingkat

Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.

Provinsi maupun Kabupaten, sebagai perpanjangan aparat pusat untuk meningkatkan efisiensi kerja dalam pengelolaan pendidikan di daerah. Dalam manajemen pendidikan dasar, desentralisasi memang dapat melemahkan tumbuhnya perasaan nasional yang sehat, dapat menimbulkan rasa kedaerahan yang berlebihan, serta akan menjurus kepada isolasi dan pertentangan. Namun, dengan pengakuan dan kesepakatan untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bangsa dan negara, kecenderungan separatisme dapat dikurangi dan ditekan seminimal mungkin.

Implikasi nyata desentralisasi manajemen pendidikan adalah kewenangan yang lebih besar diberikan kepada kabupaten dan kota untuk mengelolah pendidikan sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerahnya, perubahan kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan efisiensi serta efektivitas dalam perencanaan dan pelaksanaan pada unit-unit kerja di daerah, kepegawaian yang menyangkut perubahan dan pemberdayaan sumber daya manusia yang menekankan pada profesionalisme, serta perubahan- perubahan anggaran pembangunan Pendidikan (DIP) yang dikelolah langsung dari BKPN (Bappenas) ke kabupaten dalam bentuk block grant sehingga menghilangkan ketentuan dan pengotakan dalam penanganan anggaran.

Desentralisasi pengelolaan perlu diletakan dalam rangka mengisi kebinekaan dalam wadah negara kesatuan yang dijiwai oleh rasa persatuan dan kesatuan bangsa, bukan berdasarkan kepentingan kelompok dan daerah secara sempit. Pelaksanaan desentralisasi berhasil, yaitu: 1) Peraturan perundang-undangan yang mengatur desentralisasi pendidikan dari tingkat daerah, provinsi sampai tingkat kelembagaan, 2) Pembinaan kemampuan daerah, 3) Pembentukan perencanaan unit yang bertanggung jawab untuk menyusun perencanaan pendidikan, dan 4) Perangkat sosial,

Manajemen Berbasis Sekolah

berupa kesiapan masyarakat setempat untuk menerima dan membantu menciptakan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan desentralisasi tersebut.

MBS memerlukan upaya-upaya penyatuan atau penyelarasan sehingga pelaksanaan pengaturan berbagai komponen sekolah tidak tumpang tindih, berbenturan, saling lempar tugas dan tanggung jawab. Dengan begitu, tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara efektif dan efisien.

B. Pengertian MBS

Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school-based management” istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai pertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. MBS merupakan tawaran paradigma baru dalam lingkup pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam rangka kebijakan Pendidikan Nasional. Atau menurut Sutarto, Darmansyah, & Warsono (2014:343) sebagai upaya memperbaiki pendidikan dengan mendelegasikan pengambilan keputusan penting dari pusat dan wilayah sekolah. Maka tidak heran Raihani (2007:175) menambahkan MBS sekarang menjadi fenomena umum yang diyakini sebagai sarana untuk perbaikan dan peningkatan kualitas penyelenggaran pendidikan di sekolah.

Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelolah sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Pelibatan masyarakat dimaksudkan agar mereka lebih memahami, membantu, dan mengontrol pengelolaan pendidikan.

Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.

Dalam hal ini, kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah harus pula dilakukan oleh sekolah. Pada sistem MBS, sekolah dituntut secara mandiri menggali mengalokasikan, menentukan

prioritas, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah.

MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf, menawarkan partisipasi langsung ke kelompok- kelompok yang terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan. Sejalan dengan jiwa dan semangat desentralisasi serta otonomi dalam bidang pendidikan, kewenangan sekolah juga berperan dalam menampung konsensus umum yang meyakini bahwa sedapat mungkin keputusan seharusnya dibuat oleh mereka yang memiliki akses paling baik terhadap informasi setempat, yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kebijakan, dan terkena akibat-akibat dari kebijakan tersebut.

Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan berikut:

1. Kebijakan dan kewenangan sekolah membawah pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua, dan pendidik.

2. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal.

3. Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral pendidik, dan iklim sekolah.

Manajemen Berbasis Sekolah

4. Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan pendidik, manajemen sekolah, rancang ulang sekolah, dan perubahan perencanaan (Fattah, 2000:55).

Dalam pelaksanaan di Indonesia, perlu ditekankan bahwa kita tidak harus meniru secara persis model-model MBS dari negara lain. Sebaliknya Indonesia akan belajar banyak dari pengalaman- pengalaman pelaksanaan MBS di negara lain, kemudian memodifikasi, merumuskan, dan menyusun model dengan mempertimbangkan berbagai kondisi setempat seperti sejarah, geografi, struktur masyarakat, dan pengalaman-pengalaman pribadi di bidang pengelolaan pendidikan yang telah dan sedang berlangsung selama ini.

Istilah manajemen selalu bertalian makna dengan istilah “administrasi”. Istilah administrasi yang digunakan sampai sekarang adalah dalam bahasa Inggris, yaitu “administration”. Cakupan dari kegiatan administrasi sangatlah luas, yaitu keseluruhan proses mulai dari menentukan bentuk dan tujuan organisasi, cara mencapai tujuan, siapa saja yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pencapaian tujuan ini, pengendalian proses pelaksanaan, sampai bagaimana mendayagunakan instrumen atau sumber yang terbatas.

Pada prinsipnya, cakupan dari kegiatan penataan usaha ini adalah bagian dari disiplin ilmu lain. Sehingga kegiatan ilmu administrasi

aktivitas-aktivitas penyelenggaraan atau pelaksanaan saja yang direpresentatifkan dengan penataan usaha. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kegiatan administrasi dalam arti sempit adalah kegiatan yang dilakukan oleh para administrator (pimpinan). Sedangkan dalam arti luasnya adalah keseluruhan kegiatan yang terjadi dalam organisasi.

hanya

dibatasi

pada

Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.

Administrasi dan manajemen adalah suatu ilmu yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan, karena di dalam administrasi terdapat manajemen yang berfungsi sebagai penggerak jalannya administrasi organisasi. Banyak hal yang membedakan administrasi dengan manajemen. Manajemen didefinisikan Handoko (2000:10) sebagai kemampuan bekerja dengan orang- orang untuk menentukan, menginterpretasikan, dan mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan pelaksanaan fungsi-fungsi perencanaan,

pengorganisasian, penyusunan personalia, pengarahan, kepemimpinan dan pengawasan. Sedangkan Engkoswara (1987:1) dan Suhardan & Suharto (2012:10) mengutarakan administrasi merupakan suatu kegiatan yang melibatkan sumber daya manusia. Jika dikaitkan dengan pendidikan, maka administrasi pendidikan merupakan kegiatan atau proses kerjasama yang ditujukan untuk mengoptimalkan (efektif dan efisien) pencapaian tujuan pendidikan melalui penataan berbagai sumber daya, manusia, kurikulum , dan fasilitas.

Kegiatan administrasi pendidikan melibatkan banyak pihak seperti kepala sekolah, para pembina, pengawas, serta pejabat departemen pendidikan . Keterlibatan tersebut meliputi fungsi dan tugas masing. Semua unsur yang terlibat berkontribusi terhadap peningkatan dan pencapaian tujuan pendidikan. Boleh dikatakan bahwa semua unsur tersebut adalah bagian dari administrator pendidikan. Dalam rangka peningkatan kinerja berbagai sumber daya dalam kegiatan administrasi pendidikan, maka administrator pendidikan perlu memperhatikan beberapa prinsip administrasi.

Menurut Burhanuddin (1998:16), ada lima prinsip yang harus diperhatikan, antara lain:

1. Prinsip efisiensi.

2. Prinsip pengelolaan.

Manajemen Berbasis Sekolah

3. Prinsip pengutamaan tugas pengelolaan.

4. Prinsip kepemimpinan yang efektif.

5. Prinsip kerjasama. Keberhasilan kegiatan administrasi pendidikan dalam jangka

panjang dapat dilihat dari sejauh mana tujuan pendidikan diwujudnyatakan. Untuk mencapai hasil yang maksimal tersebut dibutuhkan tenaga administrator pendidikan yang ampuh dan bertanggung jawab. Dalam kaitannya, administrasi pendidikan berfungsi untuk mengkordinasikan perilaku manusia dalam pendidikan untuk menata sumber daya yang ada dengan sebaik- baiknya sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai secara produktif.

Administrasi pendidikan merupakan ilmu yang membahas pendidikan dari sudut pandang kerjasama dan proses mencapai tujuan pendidikan. Semua proses dan usaha kerjasama dalam mencapai tujuan pendidikan dilakukan dengan melibatkan semua aspek yang dipandang perlu dan positif dalam usaha mencapai keberhasilan, baik berupa benda atau material seperti uang dan fasilitas, spiritual seperti keyakinan dan nilai-nilai, ilmu pengetahuan seperti ilmu dan teknologi, maupun manusia atau human. Oleh karena itu disebut dengan melibatkan sumber daya material maupun sumber daya manusia (Suhardan & Suharto, 2012:18).

Secara general, komponen administrasi pendidikan dapat digolongkan menjadi:

1. Administrasi personil sekolah.

2. Administrasi kurikulum.

3. Administrasi sarana dan prasarana pendidikan.

4. Administrasi peserta didik.

Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.

5. Administrasi sekolah dan masyarakat (Burhanuddin, 1998:18). Jadi MBS dapat dikategorikan sebagai bagian dari administrasi

pendidikan secara keseluruhan dan administrasi sekolah secara khusus. Sebab MBS merupakan sistem pengelolaan pendidikan yang dilakukan oleh sekolah sebagai institusi atau organisasi penyelenggara pendidikan formal. Manajemen dapat diartikan sebagai kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh sesuatu hasil dalam rangka pencapaian tujuan melalui kegiatan-kegiatan orang lain. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa manajemen merupakan alat pelaksana utama administrasi (Siagian, 1997:5). Manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, menggerakan, dan pengawasan yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumberdaya manusia serta sumber-sumber lainnya.

C. Tujuan MBS

MBS sebagai salah satu upaya pemerintah untuk mancapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, yang dinyatakan dalam GBHN. Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan baik secara makro, maupun mikro.

MBS yang ditandai dengan otonomi sekolah dan pelibatan masyarakat merupakan respons pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat, bertujuan untuk meningkatkan efesiensi mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi, antara lain, diperoleh melalui keleluasaan mengelolah sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat diperoleh, antara lain melalui partisipasi

Manajemen Berbasis Sekolah

orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme pendidik dan kepala sekolah, maupun diberlakukannya sistem intensif serta disintensif. Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu. Hal ini dimungkinkan karena pada sebagian masyarakat tumbuh rasa kepemilikan yang tinggi terhadap sekolah.

D. Manfaat MBS

MBS memberikan kebebasan dari kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi MBS sesuai dengan kondisi setempat, sekolah dapat lebih meningkatkan kesejahteraan pendidik sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada tugas dan fungsinya. Keleluasaan dalam mengelolah sumber daya dan dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi dan mendorong profesionalisme kepala sekolah dalam peranannya sebagai manejer maupun pemimpin sekolah.

Atas keluasan sekolah untuk menyusun kurikulumnya, pendidik dipacu untuk berinovasi dengan melakukan eksperimen- eksperimen di lingkungan sekolahnya. Dengan demikian, MBS mendorong profesionalisme pendidik dan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di sekolah. Melalui penyusunan kurikulum efektif, rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat dan menjamin layanan pendidikan sesuai dengan tuntutan peserta didik dan masyarakat sekolah. Prestasi peserta didik dapat dimaksimalkan lewat partisipasi orang tua, contohnya orang tua dapat mengawasi langsung proses belajar anaknya.

Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.

MBS menekankan keterlibatan maksimal berbagai pihak, seperti pada sekolah-sekolah swasta, sehingga menjamin partisipasi staf, orang tua, peserta didik, dan masyarakat yang lebih luas dalam perumusan-perumusan keputusan tentang pendidikan. Kesempatan berpartisipasi tersebut dapat meningkatkan komitmen mereka terhadap sekolah. Selanjutnya, aspek-aspek tersebut pada akhirnya akan mendukung efektivitas dalam pencapaian tujuan sekolah. Adanya kontrol dari masyarakat dan monitoring dari pemerintah, pengelolaan sekolah menjadi lebih akuntabel, transparan, egaliter, serta demokratis. Selain itu, menghapus monopoli dalam pengelolaan pendidikan. Untuk kepentingan tersebut diperlukan kesiapan pengelolaan pada berbagai level untuk melakukan perannya sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawab.

Manajemen Berbasis Sekolah

Bab 2 Manajemen Kurikulum, Program Pembelajaran, dan Pendekatan

Pengembangannya

ada hakekatnya manajemen sekolah mempunyai pengertian yang hampir sama dengan manajemen pendidikan. Ruang

lingkup dan bidang kajian manajemen sekolah juga merupakan ruang lingkup dan kajian manajemen pendidikan. Namun demikian, manajemen pendidikan mempunyai jangkauan yang lebih luas dari pada manajemen sekolah. Dengan kata lainnya, manajemen sekolah merupakan bagian dari manajemen pendidikan, atau penerapan manajemen pendidikan yang berlaku. Manajemen pendidikan meliputi seluruh komponen sistem pendidikan, bahkan bisa menjangkau sistem yang lebih luas dan besar (supra-sistem) secara regional, nasional, bahkan internasional.

Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.

Kajian materi ini menggunakan istilah manajemen sekolah, terjemahan dari “school management”, dan akan melihat bagaimana manajemen substansi-substansi pendidikan di suatu sekolah atau manajemen berbasis sekolah (school based management ) agar dapat berjalan dengan tertib, lancar dan benar- benar terintegrasi dalam suatu sistem kerja sama untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Hal yang paling penting dalam implementasi MBS adalah manajemen terhadap komponen- komponen sekolah itu sendiri. Sedikitnya terdapat tujuh komponen sekolah yang harus dikelolah dengan baik dalam rangka MBS, yaitu kurikulum dan program pembelajaran, tenaga kependidikan, kesiswaan, keuangan, sarana dan prasarana pendidikan, pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat, serta manajemen pelayaran khusus lembaga pendidikan.

A. Manajemen Kurikulum dan Program Pembelajaran

Manajemen kurikulum dan program merupakan bagian dari MBS. Manajemen kurikulum dan program pembelajaran mencakup kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian kurikulum. Perencanaan dan pengembangan kurikulum nasional pada umumnya telah dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional pada tingkat pusat. Karena itu level sekolah yang paling penting adalah bagaimana merealisasikan dan menyesuaikan kurikulum tersebut dengan kegiatan pembelajaran. Disamping itu, sekolah juga bertugas dan berwewenang untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan setempat.

Pengembangn kurikulum muatan lokal telah dilakukan sejak digunakannya kurikulum 1984, khususnya di sekolah dasar (SD). Pada kurikulum tersebut muatan lokal lebih diintensifkan lagi pelaksanaannya dalam kurikulum 1994. Dalam kurikulum 1994,

Manajemen Berbasis Sekolah

muatan lokal tidak lagi disiapkan pada setiap bidang studi, tetapi menggunakan pendekatan monolitik berupa bidang studi, baik bidang wajib maupun pilihan. Pengembangan kurikulum muatan lokal dimaksudkan untuk mengimbangi kelemahan-kelemahan pengembangan kurikulum sentralisasi, dan bertujuan agar peserta didik mencintai dan mengenal lingkungannya, serta mau dan mampu melestarikan dan mengembangkan sumber daya alam, kualitas sosial, dan kebudayaan yang mendukung pembangunan nasional, pembangunan regional, maupun pembangunan lokal sehingga peserta didik tidak terlepas dari akar sosial budaya lingkungannya.

Kurikulum muatan lokal pada hakekatnya merupakan suatu perwujudan pasal 38 ayat I Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi pelaksanaan kegiatan pendidikan dalam satuan pendidikan didasarkan atas kurikulum yang berlaku secara nasional dan kurikulum disesuaikan dengan keadaan serta kebutuhan lingkungan dan ciri khas satuan pendidikan. Sebagai tindak lanjut hal tersebut, muatan lokal telah dijadikan strategi pokok untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan lokal dan sejauh mungkin melibatkan peran serta masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaannya. Dengan kurikulum muatan lokal, setiap sekolah diharapkan mampu mengembangkan program pendidikan tertentu yang sesuai dengan keadaan dan tuntutan lingkungan setempat.

Sekolah merupakan ujung tombak pelaksanaan kurikulum, baik kurikulum nasional maupun muatan lokal, yang diwujudkan melalui proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, institusional, kurikuler, dan instruksional. Agar proses pembelajaran dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, serta mencapai hasil yang diharapkan diperlukan kegiatan manajemen

Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.

progaram pembelajaran.

atau administrasi pembelajaran adalah keseluruhan proses penyelenggaraan kegiatan di bidang pembelajaran bertujuan agar seluruh kegiatan pembelajaran terlaksana secara efektif dan efisien.

Manajemen

Manajemen sekolah diharapkan dapat membimbing dan mengarahkan pengembangan kurikulum dan program pembelajaran serta melakukan pengawasan dalam pelaksanaannya. Dalam proses pengembangan program sekolah, manajer hendaknya tidak membatasi diri pada pendidikan dalam arti sempit, ia harus menghubungkan progaram-program sekolah dengan seluruh kehidupan peserta didik dan kebutuhan lingkungan.

Kepala sekolah merupakan seorang manejer di sekolah. Ia harus bertanggung jawab terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian perubahan atau perbaikan program pembelajaran di sekolah. Untuk kepentingan tersebut, sedikitnya terdapat empat langkah yang harus dilakukan, yaitu menilai kesesuaian program yang ada dengan tuntutan kebudayaan dan kebutuhan peserta didik, meningkatkan perencanaan program, memilih dan melaksanakan program, serta menilai perubahan program.

Untuk menjamin efektivitas pengembangan kurikulum dan program pembelajaran dalam MBS, kepala sekolah sebagai pengelolah program pembelajaran bersama dengan pendidik harus menjabarkan isi kurikulum secara rinci dan operasional ke dalam program tahunan, catur wulan, dan bulanan. Adapun program mingguan atau program satuan pelajaran, wajib dikembangkan pendidik sebelum melakukan kegiatan belajar-mengajar. Berikut diperinci beberapa prinsip yang harus diperhatikan.

Manajemen Berbasis Sekolah

1. Tujuan yang dikehendaki harus jelas, makin operasional tujuan makin mudah terlibat dan makin tepat program- program yang dikembangkan untuk mencapai tujuan.

2. Program itu harus sederhana dan fleksibel.

3. Program-program yang disusun dan dikembangkan harus sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

4. Program yang dikembangkan harus menyeluruh dan harus jelas pencapaiannya.

5. Harus ada koordinasi antar komponen pelaksanaan program di sekolah.

Guna kelancarannya perlu dilakukan pembagian tugas pendidik, penyusunan kalender pendidikan dan jadwal pelajaran, pembagian waktu yang digunakan, penetapan pelaksanaan evaluasi belajar, penetapan penilaian, penetapan norma kenaikan kelas, pencatatan kemajuan belajar peserta didik, serta peningkatan perbaikan pembelajaran serta pengisian waktu jam kosong.

Untuk itu, perlu dikenal model kurikulum berbasis kompetensi yang sekarang dipakai dalam pelaksanaan pendidikan nasional dengan nama Kurikulum 2004.

Penyempurnaan kurikulum pendidikan nasional melalui jalur sekolah dilakukan dengan tujuan utama untuk meningkatkan mutu Pendidikan Nasional melalui lulusan dari setiap jenjang pendidikan yang memiliki keunggulan kompetitif dan komperatif sesuai standar mutu nasional dan internasional. Untuk itu, kurikulum perlu dikembangkan dengan pendekatan berbasis kompetensi (KBK) dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia dilakukan untuk menjawab perkembangan kehidupan masyarakat yang makin mengalami kemajuan pesat pada berbagai aspek kehidupan. Oleh karena KBK merupakan suatu model kurikulum yang berorientasi pada kepribadian dan kehidupan peserta didik selaku manusia.

Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.

Artinya KBK menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sehingga filosofi yang mendasarinya adalah pada kesadaran eksistensi kehidupan yang bersifat humanistik selaku makhluk hidup yang memiliki kemampuan-kemampuan bawaannya secara generatif sesuai kodratnya sebagai makhluk yang berakal budi.

Hal ini harus dilakukan agar sistem pendidikan nasional dapat merespons secara proaktif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta tuntutan desentralisasi sistem pemerintahan yang berada pada otonomi daerah serta tuntutan perkembangan masyarakat dari aspek kehidupan sosial budaya menuju kepada globalisasi. Dengan cara seperti ini lembaga pendidikan tidak akan kehilangan relevansi program pembelajarannya terhadap kepentingan dan kebutuhan hidup manusia terutama peserta didik sesuai taraf perkembangan kepribadian masing-masing serta tetap memiliki fleksibilitas dalam melaksanakan kurikulum yang berdiversifikasi. Kurikulum berbasis kompetensi harus menjamin pertumbuhan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penguasaan ketrampilan hidup, akademik, dan seni sebagai pengembangan kemampuan-kemampuan kepribadian peserta didik yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Pengembangan kepribadian Indonesia yang kuat dan berakhlak mulia.

B. Perkembangan

Pengembangan Kurikulum

Pendekatan

Setelah dikaji, perkembangan literatur, kurikulum, buku panduan dan buku teks negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Singapura. Perkembangan antara pendekatan dalam pengembangan kurikulum dapat digambarkan sebagai berikut.

Manajemen Berbasis Sekolah

Kurun waktu

Pendekatan pengembangan kurikulum

Pendekatan berbasis materi 1910 s.d 1960-an (content bassed approach)

Akhir 1960-an s.d Pendekatan berbasis kompetensi dan

tengah 1980 an pendekatan belajar tuntas

Akhir 1980-an s.d Pendekatan berbasis outcome awal 1990-an (outcome based approach)

Tengah 1990-an s.d Pendektan berbasis standar sekarang

(standar bassed approach)

Gambar 1. Pengembangan kurikulum dan pendekatannya .

1. Pendekatan berbasis materi

Pendekatan berbasis materi berorientasi kepada body of language , berbagai ilmu dan disiplin ilmu, lembaga pengembangan kurikulum merumuskan behavioral objectives dalam bentuk tujuan instruksional umum yang selanjutnya dijabarkan dalam tujuan instruksional khusus. Akibatnya, ada ribuan behavioral objectives yang harus dicapai peserta didik melalui upaya pendidik mencapai target kurikulum yang pada materi.

2. Pendekatan berbasis kompetensi

Karena materi kurikulum yang terlalu padat dan behavioral objectives cenderung melalaikan pengembangan unsur kepribadian yang tak dapat diukur, pengembangan kurikulum beralih menganut

Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.

berbasis kompetensi (competence bassed approach). Pendekatan ini menekankan kompetensi minimal dalam mata pelajaran yang harus dikuasai peserta didik. Akan tetapi, ribuan behavioral objectives pada pendekatan berbasis materi hanya diganti diganti dengan ribuan outcome yang harus dicapai. Kelemahan lain pendekatan ini adalah terlalu banyak testing yang dilakukan pada akhir tiap tingkat. Seorang peserta didik yang lulus tes pada akhir suatu tingkat tidak diperkenankan naik ke kelas/tingkat berikutnya.

3. Pendekatan belajar tuntas

Penekanan berlebihan pada testing menyebabkan para peserta didik beralih ke pemberian perhatian pada pembelajaran, jika dipertentukan dengan testing. Pemberian perhatian ini terwujud melalui pendekatan belajar tuntas, yang dipelopori Benjamin S. Bloom. Bloom mengamati bahwa pembelajaran kelas besar yang melibatkan penyajian informasi (biasanya berdasarkan buku teks) pada suatu interval waktu, yang diakhiri dengan tes, akan menghasilkan distribusi prestasi seperti tergambar dalam kurva normal.

Prestasi rendah Prestasi tinggi Gambar 2. Kurva normal distribusi prestasi belajar.

Untuk menanggulangi kelemahan ini, Bloom membagi materi ke dalam unit-unit dan mengecek, penguasaan peserta didik terhadap tiap unit melalui tes pada akhir. Tiap unit sebagai suatu

Manajemen Berbasis Sekolah

teknik instruksional. Kemudian dalam model Bloom, tes dilakukan pada awal suatu unit yang hendak diajarkan (sering disebut tes normatif) peserta yang lulus tes ini mendapatkan kegiatan pengayaan (enrichment activities). Sedangkan, peserta yang tidak lulus tes formatif harus mengikuti kegiatan korektif atau remedial (corrective activities). Lalu mengikuti tes agar dapat berpindah mempelajari unit pelajaran berikutnya. Uraian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Kegiatan pengayaan

Pelajaran unit 2

Pelajaran

Tes

Kegiatan Kegiatan

unit 1

formatif

remidial formatif

Gambar 3. Unit kegiatan pelajaran. Guskey (1995:97) menjelaskan bahwa melalui pendekatan

belajar tuntas tersebut 80% peserta didik dapat mencapai tingkat keberhasilan yang sama tinggi. Padahal hanya 20%, atau 30% peserta didik mencapai prestasi yang sama pada kelas tradisional. Hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Prestasi rendah C B A Prestasi tinggi

Gambar 4. Pendekatan belajar tuntas.

Drs. Lukas Manu, M.Pd. & Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.

Menurut Spady (1994:19) kelemahan pendekatan belajar tuntas adalah bahwa pendekatan ini terlalu radikal bagi sistem penidikan AS tidak mampu mengatasi faktor-faktor organisasional yang terlalu besar, khususnya dalam sistem pengaturan waktu yang amat ketat. Selain itu, Jhon B. Carroll (1963:729) mengamati bahwa lembaga pendidikan pada umumnya amat toleran terhadap perbedaan individual dalam prestasi peserta didik tetapi amat tidak toleran terhadap perbedaan waktu yang dibutuhkan peserta didik untuk belajar. Spady menambahkan bahwa pendekatan belajar tuntas tidak terlalu fleksibel dalam memberi waktu belajar lebih lama kepada peserta didik untuk menguasai serangkaian learning objectives dalam interval waktu tertentu. Kepada peserta yang lamban yang harus mengikuti kegiatan remedial. Dalam kenyataan, kegiatan pengayaan umumnya tidak menentang peserta didik sehingga hanya membuang waktu dan tidak memberi kemajuan belajar berarti kepada mereka.