bergerak ke barat. Kecepatan arus musim mencapai 20-40 cmdet. Pasang-surut yang terjadi di Samudera Indonesia dan merambat ke Teluk Banten melalui Selat
Sunda juga mempengaruhi arus perairan Teluk Banten. Pada kondisi pasang, arus bergerak ke utara; pada kondisi surut, arus bergerak ke selatan. Jenis pasang surut
yang terjadi di perairan Teluk Banten adalah pasang surut harian tunggal, artinya dalam satu hari terjadi satu kali pasang dan satu kali surut.
Angin muson juga menyebabkan terjadinya gelombang permukaan. Pada musim barat, gelombang tertinggi di perairan Teluk Banten bisa mencapai 2,6 m;
pada musim timur mencapai 1,9 m. Pada musim peralihan, gelombang yang terbentuk lebih kecil dengan tinggi kurang dari 0,5 m. Gelombang bergerak ke
arah pantai dan berpotensi menyebabkan terjadinya abrasi.
4.2.3 Kualitas Air
Hasil studi Tim PKSPL IPB pada bulan Juni 2004 dengan mengambil contoh air dari tiga stasiun pengamatan, yakni Pulau Panjang, Tanjung Pontang,
dan Bojonegara, menunjukkan bahwa kualitas air Teluk Banten secara umum dinilai relatif masih baik. Untuk lebih jelasnya, nilai parameter kualitas air Teluk
Banten menurut hasil studi Tim PKSPL IPB disajikan pada Tabel 5. Dari Tabel 5
diketahui, bahwa suhu perairan Teluk Banten berkisar antara 29ºC sampai 30,4ºC masih berada pada batas normal dan tidak jauh berbeda dengan suhu
perairan laut tropis pada umumnya. Tingkat kekeruhan yang tinggi di stasiun pengamatan Tanjung Pontang diduga berkaitan dengan tingginya input dari
daratan yang dibawa oleh Sungai Ciujung sehingga berdampak pada TSS yang tinggi 29 mgl, kekeruhan yang tinggi 15 NTU, dan kecerahan air yang rendah
0,3 m. Penelitian yang dilakukan oleh Ambarwulan dan Hobma 2004 memberikan hasil yang tidak jauh berbeda. Pada penelitian itu, konsentrasi TSM
total suspended matter rata-rata di Teluk Banten berkisar antara 1,5 sampai 13,4
gm
3
; konsentrasi terendah dijumpai di dasar laut yang jauh dari input massa air sungai; konsentrasi tertinggi dijumpai tepat di muara Sungai Ciujung.
Glimmerveen 2001 memprediksi tingkat kekeruhan perairan Teluk Banten akan terus meningkat di masa yang akan datang, mengingat beberapa indikator penting
seperti erosi dan sedimentasi yang terus meningkat.
Tabel 5. Nilai parameter kualitas air Teluk Banten No Parameter
Satuan Stasiun pengamatan
Baku mutu
P. Panjang
T. Pontang
Bojonegara Fisika:
1. Suhu
ºC 29
30 30,4
- 2.
Kecerahan meter
4,5 0,3
1,5 -
3. Kekeruhan
NTU 1,4
15,0 3,0
- 4.
TSS mgl
8 29
11 =80
Kimia: 5.
Salinitas ‰
29 30
29 = 0,03
6. pH
- 7,0
7,0 7,0
- 7.
Oksigen terlarut mgl
10,5 10,5
9,3 -
8. COD
mgl 44,83
52,98 48,90
= 80 9.
BOD
5
mgl 6,7
5,7 5,1
- 10.
Amonia NH
3
+NH
4
mgl 0,042
0,039 1,843
=1 11.
Nitrit NO
2
- N
mgl 0,004
0,005 0,002
nihil 12.
Nitrat NO
3
- N
mgl 0,025
0,077 0,061
- 13.
Minyak dan lemak
mgl 0,01
0,01 0,01
0,20 14. Ortofosfat
mgl 0,002
0,001 0,003
- 15. Raksa Hg
mgl 0,001
0,001 0,001
0,002 16.
Timah hitam Pb
mgl 0,008
0,005 0,012
- 17. Kadmium Cd
mgl 0,003
0,004 0,006
- 18. Tembaga Cu
mgl 0,038
0,041 0,103
=1,0 19. Krom total Cr
mgl 0,001
0,001 0,001
- 20. Sulfida H
2
S mgl
0,01 0,01
0,01 -
21. Fenol mgl
0,009 0,007
0,080 -
Biologi: 22. Klorofil-a
µgl 1.978
2.711 1.356
- Bapedal Propinsi Banten dan PKSPL IPB 2004
Baku mutu yang digunakan adalah baku mutu air laut untuk budidaya perikanan menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 179 tahun 2004 tentang
ralat atas Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut.
Kandungan nutrient nitrogen anorganik terlarut dan ortofosfat di perairan Teluk Banten dinilai cukup tinggi. Kondisi ini terdeteksi misalnya di stasiun
pengamatan Bojonegara ortofosfat 0,003 mgl; amonia 1,843 mgl. Kandungan amonia di stasiun ini bahkan telah melewati baku mutu yang ditetapkan.
Kandungan nutrient yang tinggi diduga berkaitan dengan tingginya volume limbah yang mengalir lewat sungai-sungai yang bermuara di Teluk Banten. Heun
dan Yap 1996 seperti dikemukakan Douven 1999 mengatakan, bahwa Teluk Banten merupakan tempat penampungan limbah terbesar di pesisir utara
Kabupaten Serang. Kota Serang menyumbang limbah domestik dengan volume 6 kali lebih besar dari volume limbah industri. Kota Cilegon menyumbang limbah
industri dengan volume 4 kali lebih besar dari volume limbah domestik. Sementara itu Bojonegara terma suk Puloampel, Kramatwatu dan Kasemen
merupakan kecamatan-kecamatan pesisir penghasil limbah dengan volume besar yang semuanya masuk ke Teluk Banten. Analisis volume limbah yang mengalir
ke Teluk Banten selengkapnya disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Volume limbah domestik dan industri per kecamatan dan persentase
limbah yang mengalir ke Teluk Banten No Kecamatan
Volume limbah m
3
th Persentase mengalir
ke Teluk Banten Domestik
Industri 1.
Baros 691.586
7.900 15
2. Bojonegara
1.049.996 1.759.700
100 3.
Cikeusal 912.447
9.033 15
4. Cilegon
1.156.886 4.354.846
100 5.
Ciruas 880.745
3.545 100
6. Kasemen
1.230.506 30.075
100 7.
Kragilan 897.715
387.166 15
8. Kramatwatu
942.029 10.950
100 9.
Pabuaran 814.169
13.600 100
10. Petir 1.238.593
173 15
11. Serang 2.713.866
352.095 100
12. Taktakan 752.922
21.167 100
13. Walantaka 922.847
96.919 15
Total 14.204.307
7.047.169 Heun dan Yap dalam Douven 1999
Kandungan logam berat di perairan Teluk Banten dinilai relatif tinggi. Walaupun belum melewati baku mutu yang ditetapkan, kandungan logam berat di
stasiun pengamatan Bojonegara Cu 0,103 mgl; Cd 0,006 mgl; Pb 0,012 mgl perlu diwaspadai, mengingat aktivitas industri yang makin intensif di wilayah
tersebut, berpotensi meningkatkan volume ko ntaminan logam berat di Teluk Banten. Menurut Heun dan Yap 1996 seperti dikemukakan Douven 1999,
Cilegon dan Bojonegara merupakan penyumbang limbah industri terbesar pertama dan kedua yang mengalirkan limbahnya ke Teluk Banten. Kondisi perairan Teluk
Banten dengan flushing capacity yang rendah berdampak pada rendahnya
kemampuan perairan dalam menetralisir kontaminan, sehingga bahan pencemar terakumulasi dengan cepat di lokasi tersebut.
Dari tiga stasiun pengamatan di Teluk Banten, nilai COD tertinggi 52,98 mgl dijumpai di stasiun pengamatan Tanjung Pontang. Nilai ini memang masih
jauh di bawah baku mutu 80 mgl. Nilai BOD
5
di stasiun ini mencapai 5,7 mgl. COD merupakan indikasi banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk melakukan
perombakan kimiawi terhadap bahan organik yang sulit diuraikan di perairan. BOD
5
merupakan indikasi yang sama, tetapi dengan perombakan yang dilakukan secara biologi. Relatif tingginya nilai COD dan BOD
5
di stasiun pengamatan Tanjung Pontang terkait dengan tingginya input bahan organik berupa limbah
domestik dan industri dari daratan melalui sungai-sungai yang bermuara di Teluk Banten, sehingga dibutuhkan oksigen dalam jumlah relatif besar untuk
menguraikannya baik secara kimiawi maupun biologi. Nilai parameter minyak dan lemak di tiga stasiun pengamatan di Teluk
Banten sangat rendah 0,01 mgl dan jauh di bawah baku mutu yang ditetapkan 0,20 mgl. Hal ini menunjukkan, bahwa peraian Teluk Banten tidak mengalami
pencemaran minyak. Kondisi ini didukung oleh tidak adanya aktivitas industri, pertambangan, transportasi laut maupun aktivitas lainnya yang menghasilkan
limbah minyak dan lemak di wilayah tersebut dalam jumlah yang signifikan. Nilai parameter fenol di tiga stasiun pengamatan di Teluk Banten cukup
rendah. Nilai tertinggi dijumpai di Bojonegara, itu pun hanya 0,080 mgl. Hal ini menunjukkan, bahwa peraian Teluk Banten juga tidak mengalami pencemaran
fenol. Kondisi ini didukung oleh rendahnya aktivitas industri dan aktivitas lainnya yang menggunakan dan atau menghasilkan limbah fenol di wilayah tersebut.
Klorofil-a berasal dari biomassa phytoplankton dan digunakan sebagai indikator kesuburan perairan. Semua stasiun pengamatan di Teluk Banten
menunjukkan tingginya nilai klorofil-a, yang berarti kandungan biomassa phytoplankton
di perairan tersebut juga tinggi. Kondisi fisik perairan yang kaya nutrient
berkaitan erat dengan tingginya biomassa phytoplankton di perairan tersebut. Akumulasi nutrient berasal dari limbah domestik yang mengalir melalui
sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Banten. Tingginya kandungan biomassa phytoplankton
di Teluk Banten menunjukkan bahwa perairan di wilayah ini telah
mengalami eutrofikasi yang tinggi pula. Apabila kondisi ini terus berlanjut, maka fenomena red tide harmful algal bloom yang sering menimpa Teluk Jakarta
bukan tidak mungkin akan terulang di Teluk Banten.
4.2.4 Biota Perairan