I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wilayah pesisir coastal zone merupakan wilayah tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut MacDonald 2005, sekitar 70
penduduk dunia tinggal di wilayah pesisir. Ada berbagai alasan yang dikemukakan, mengapa manusia menyukai tinggal di wilayah pesisir. Beberapa di
antaranya adalah kemudahan transportasi yang disediakan oleh laut, ketersediaan protein dari ikan laut dan kemudahan untuk membuang limbah. Pesisir juga
merupakan wilayah yang menjadi prioritas utama untuk melakukan berbagai aktivitas seperti permukiman, perdagangan, pariwisata, militer dan berbagai jenis
aktivitas industri Clark, 1998; Joseph dan Balchand, 2000; MacDonald, 2005. Begitu beragamnya fasilitas dan kemudahan yang disediakan oleh wilayah pesisir
hingga seringkali menimbulkan konflik kepentingan di antara para stakeholders. Berbagai tipe pemanfaatan wilayah pesisir lengkap dengan konflik
kepentingan yang sering terjadi, dapat ditemukan di Teluk Banten. Teluk ini terletak di sebelah barat laut Pulau Jawa; menghadap ke Laut Jawa, Teluk Banten
mengawali posisi Selat Sunda dari arah utara. Teluk Banten berdiameter ±15 km dan memiliki sebuah pulau besar Pulau Panjang yang dikelilingi oleh terumbu
karang yang indah. Perairan Teluk Banten cukup dangkal kedalaman rata-tara 7 m dengan
tingkat kekeruhan air yang relatif tinggi. Luas total permukaan air Teluk Banten mencapai 150 km
2
. Douven 1999 melaporkan, bahwa Teluk Banten memiliki ekosistem laut yang bernilai tinggi seperti padang lamun yang berlokasi di pantai
timur Bojonegara di sekitar pulau-pulau kecil seperti Tanjungbatu, Cikantung dan Kamanisan; terumbu karang yang berlokasi di pantai Pulau Panjang dan
pulau-pulau kecil seperti Pulau Kubur dan Pulau Kambing; mangrove yang berlokasi di pantai selatan dan timur Pulau Panjang dan di sepanjang pantai di
wilayah Kecamatan Pontang dan Tirtayasa; serta cagar alam Pulau Dua dan Pulau Pamujan Besar yang dihuni oleh burung-burung endemik.
Luas total area padang lamun di Teluk Banten diperkirakan mencapai 2,7 km
2
. Area padang lamun terluas ±1 km
2
terletak di sepanjang pantai barat dekat
Bojonegara. Saat ini keberadaan ekosistem padang lamun di Teluk Banten sangat terancam oleh tingginya aktivitas reklamasi pantai. Padahal padang lamun
berperan penting dalam menyediakan habitat dan makanan bagi berbagai jenis ikan yang masih muda dan melindungi garis pantai dari berbagai kerusakan, baik
fisik maupun kimia. Terumbu karang di Teluk Banten menempati area seluas ±2,3 km
2
dengan estimasi luas penutupan karang hidup 22. Seperti halnya ekosistem padang
lamun, ekosistem terumbu karang juga sangat terancam keberadaannya, karena tingginya tingkat kekeruhan air laut, adanya cara-cara penangkapan ikan yang
tidak ramah lingkungan, serta terdapatnya penambangan batu karang yang merusak. Pada waktu-waktu mendatang, semakin menurunnya kualitas air laut
yang terjadi akibat berbagai aktivitas manusia, diperkirakan akan menjadi faktor terpenting yang mengancam keberadaan terumbu karang di Teluk Banten.
Terumbu karang memiliki fungsi penting untuk melindungi garis pantai dan menjadi habitat yang menyediakan nutrisi bagi berbagai jenis ikan.
Terumbu karang dan padang lamun merupakan habitat penting yang menyediakan nutrisi dan tempat pengasuhan nursery ground bagi berbagai jenis
ikan yang masih muda. Jenis ikan utama yang dihasilkan oleh Teluk Banten adalah berbagai jenis ikan kerapu Epinephelus spp. Glimmerveen, 2001.
Populasi ikan kerapu di Teluk Banten cenderung terus menurun dari waktu ke waktu, disebabkan oleh menurunnya kualitas ekosistem dan penangkapan ikan
berlebih overfishing. Selain memainkan peran produksi yang penting, ikan kerapu berperan secara biologis di dalam mengontrol pertumbuhan lamun dan
organisme terumbu karang. Pulau Dua, yang merupakan sebuah semenanjung kecil di dekat Kota
Banten, memiliki hutan mangrove yang menjadi habitat penting bagi sekitar 45 ribu burung. Pulau Dua kini juga sangat terancam keberadaannya karena
terjadinya pergeseran garis pantai dan semakin me nciutnya lahan basah wetlands seperti sawah dan lahan budidaya biota air aquaculture; padahal lahan tersebut
merupakan tempat burung-burung biasa mencari makan. Burung-burung di Pulau Dua memiliki peran penting dalam fungsi ekologi, pendidikan dan rekreasi.
Menurut Douven 1999 terdapat sejumlah besar aktivitas manusia yang mengancam keberlanjutan ekosistem laut Teluk Banten. Beberapa di antaranya
adalah: a. Pembangunan wilayah pantai: ekspansi besar-besaran kawasan permukiman,
industri dan transportasi masterplan Kabupaten Serang, 2005 berdampak pada perubahan pemanfaatan lahan dan pergeseran garis pantai yang
disebabkan oleh aktivitas reklamasi dan konversi hutan mangrove. b. Pencemaran dari daratan dan erosi: permukiman dan industri yang
berkembang di sepanjang kaki Gunung Karang Kota Serang dan sekitarnya, aliran permukaan run-off dari lahan pertanian serta penambangan pasir dan
batu dari kawasan Gunung Karang dan di dataran pantai dengan limbah yang dibuang langsung ke sungai, berdampak pada pengurangan kapasitas asimilasi
dan menurunkan derajat kesehatan penduduk. c. Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut secara berlebih overexploitation
misalnya penambangan karang dan pasir laut, perusakan hutan mangrove dan penggunaan cara-cara penangkapan ikan yang merusak berdampak pada
terjadinya degradasi dan deplesi sumberdaya alam, baik yang dapat pulih renewable
maupun tidak dapat pulih non-renewable. Skala dan intensitas kegiatan di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten
meningkat dengan sangat cepat seiring dengan perkembangan kependudukan dan perekonomian baik lokal, nasional maupun internasional. Proses-proses ini
berpotensi menyebabkan terjadinya perubahan ekosistem teluk sedemikian rupa, sehingga memberikan dampak yang besar bagi masyarakat yang bergantung baik
secara langsung maupun tidak langsung pada sumberdaya pesisir dan laut. Dengan demikian diperlukan adanya koordinasi yang baik di antara pihak-pihak yang
terlibat dalam pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten. Pada tahun 2004, jumlah total penduduk Kabupaten Serang 1.834.514 jiwa
dengan kepadatan 1.057,91 jiwakm
2
dan pertumbuhan mencapai 2,46 BPS Kabupaten Serang, 2005. Kepadatan penduduk di kecamatan-kecamatan yang
berbatasan langsung dengan Teluk Banten 1.074,83 jiwakm
2
sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan penduduk Kabupaten Serang pada umumnya
1.057,91 jiwakm
2
. Bila dilihat dari distribusi umur, pertumbuhan penduduk
Kabupaten Serang tergolong cepat untuk masa-masa yang akan datang, karena 47,9 dari total penduduk berumur di bawah 20 tahun usia produktif dan hanya
9,7 saja yang berumur di atas 50 tahun. Aksis pertumbuhan penduduk terdapat di sepanjang koridor jalan tol Jakarta-Merak dengan pusat pertumbuhan utama
adalah Kota Serang dan Cilegon. Aksis pertumbuhan penduduk lainnya terdapat di sepanjang koridor Sungai Cibanten, Cilengkong dan di sebelah timur Sungai
Ciujung. Nilai produk domestik regional bruto PDRB Kabupaten Serang atas dasar
harga berlaku meningkat 11,01 yaitu dari Rp. 8.998.670.000.000,00 pada tahun 2003 menjadi Rp. 9.989.429.000.000,00 pada tahun 2004. Di Kabupaten Serang,
sektor industri menempati posisi yang sangat penting mencapai 48,90 dari total PDRB. Hal ini semakin menguatkan posisi Kabupaten Serang sebagai daerah
industri. Sektor-sektor lain yang juga mengalami peningkatan produksi adalah perdagangan, hotel dan restoran. Sesuai dengan besarnya kontribusi pada PDRB,
sektor industri memberi peluang kerja cukup besar 115.782 pekerja dengan total perusahaan industri yang bekerja mencapai 245 buah BPS Kabupaten Serang,
2005. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan perekonomian Kabupaten
Serang seperti diuraikan di atas direfleksikan pada pola penggunaan lahan yang ada. Serang sebagai kota utama berlokasi di kaki Gunung Karang 1.700 m di
sepanjang Sungai Cibanten pada koridor tol Jakarta-Merak. Karena posisinya yang sangat strategis, daerah ini diperkirakan akan menjadi subyek utama
perubahan di masa yang akan datang. Di sekeliling Kota Serang, aktivitas industri berlokasi dengan Cilegon sebagai pusatnya. Di antara dua kota utama ini juga
berlokasi permukiman penduduk di sepanjang sungai dan jalan utama kota. Wilayah pantai di sebelah selatan dan timur Teluk Banten merupakan daerah
perdesaan dengan lokasi permukiman penduduk yang tersebar dan produksi utamanya padi dan perikanan tambak. Wilayah perlindungan alam berlokasi di
daerah pegunungan: Gunung Karang dan Gunung Gede. Dari keseluruhan pulau yang tersebar di Teluk Banten, hanya Pulau Panjang yang dihuni oleh sekitar
2.500 penduduk. Penggunaan lahan utama Pulau Panjang adalah sebagai lokasi
untuk melakukan aktivitas pertanian, sedangkan pulau-pulau lainnya merupakan wilayah perlindungan alam.
Kepadatan penduduk yang tinggi dan aktivitas industri yang pesat tidak hanya berdampak pada perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai, tetapi juga
berdampak pada peningkatan penggunaan sumberdaya alam dan volume limbah. Analisis volume limbah, daerah asal limbah kecamatan dan persentase limbah
yang masuk ke Teluk Banten dilaporkan oleh Heun dan Yap 1996 seperti dijelaskan oleh Douven 1999 menunjukkan bahwa Kecamatan Serang,
Kasemen, Cilegon dan Bojonegara menghasilkan paling banyak limbah. Limbah industri terutama terkonsentrasi di Cilegon dan Bojonegara. Hal yang menarik
dari laporan tersebut adalah total volume limbah domestik Kecamatan Serang yang mencapai 6 kali lebih besar dari volume limbah industri; dan total volume
limbah industri Kecamatan Cilegon yang mencapai 4 kali lebih besar dari volume limbah domestik.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten dihadapkan pada permasalahan kompleks yang
saling terkait satu sama lain. Dari aspek biofisik, permasalahan yang muncul adalah tingginya ancaman terhadap keberadaan ekosistem penting Teluk Banten,
pola penggunaan lahan wilayah pesisir dan laut yang semakin tidak terkendali, penambangan pasir laut yang semakin tidak terkontrol dan tingginya volume
bahan pencemar yang masuk ke teluk. Dari aspek ekonomi, permasalahan yang muncul adalah tingginya pertumbuhan industri yang kurang bersinergi dengan
berbagai kepentingan stakeholders dan terjadinya degradasi sumberdaya alam hayati di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten. Dari aspek sosial, permasalahan
yang muncul adalah tingginya pertumbuhan penduduk dan frekuensi konflik yang meningkat terutama berkaitan dengan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang
dirasakan kurang adil oleh masyarakat. Kompleksitas permasalahan dalam pengelolaan lingkungan wilayah pesisir
dan laut Teluk Banten juga semakin diperparah oleh adanya beberapa faktor penghambat seperti diuraikan oleh Douven et al. 2000 sebagai berikut:
a. Perencanaan wilayah pesisir yang masih bersifat sektoral. b. Perencanaan dan pengelolaan wilayah darat dan laut yang masih terpisah.
c. Masih kurangnya staf dan pendanaan untuk implementasi dan kontrol kebijakan.
d. Masih kurangnya informasi tentang masalah-masalah lingkungan. e. Masih kurangnya kesadaran para stakeholders pada masalah-masalah
lingkungan. Pemberlakuan Undang-Undang UU No. 27 tahun 2007 tentang
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, diharapkan mampu memperbaiki mekanisme serta memperkuat kapasitas kelembagaan pemerintah
dan masyarakat dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut secara adil, berimbang dan berkelanjutan. Dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah, diharapkan akan semakin membawa perubahan institusional di bidang pengelolaan sumberdaya alam milik daerah, sehingga berbagai
hambatan seperti disebutkan di atas akan dapat segera diatasi. Melalui UU tersebut, kabupatenkota mendapatkan otonomi yang lebih besar dalam
perencanaan dan pembangunan daerah dengan posisi sentral ada pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bappeda. Sejalan dengan kebijakan otonomi
daerah dan sesuai dengan UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, pemerintah daerah juga memiliki kewenangan yang semakin besar dalam
penyelenggaraan penataan ruang. Melalui UU tersebut, kualitas keberlanjutan ruang wilayah diharapkan dapat lebih ditingkatkan. Melalui UU No. 33 tahun
2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan pemerintah daerah, kabupatenkota memperoleh peluang yang lebih besar untuk mendapatkan
sumberdaya finansial secara lebih berimbang dalam rangka pembiayaan proses- proses pembangunan seperti diamanatkan dalam UU No. 32 tahun 2004.
1.2 Tujuan Penelitian