terukur; 4. Menilai kontribusi indikator-indikator tersebut pada pembangunan berkelanjutan secara menyeluruh.
Menurut Khanna et al. 1999, perencanaan pembangunan berkelanjutan perlu mempertimbangkan secara mendalam adanya trade-off antara level
produksi-konsumsi dengan kapasitas asimilasi ekosistem. Sesuai dengan konsep dayadukung carrying capacity, peningkatan kualitas hidup hanya bisa dilakukan
bila pola dan level produksi-konsumsi memiliki kompatibilitas dengan kapasitas lingkungan biofisik dan sosial. Melalui proses perencanaan berbasis daya-dukung
carrying capacity-based planning process , kondisi ini bisa dicapai dengan
mengintegrasikan ekspektasi sosial dan kapabilitas ekologi ke dalam proses pembangunan. Dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan, Khanna et al.
1999 me nambahkan, bahwa ekonomi dipandang sebagai sebuah subsistem dari sebuah ekosistem regional. Tidak mungkin terjadi pertumbuhan ekonomi yang
tidak terbatas. Dalam perspektif makroekonomi, hal ini berarti bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi harus selalu berada di dalam batas dayadukung wilayah
dan berada pada trade-off antara jumlah penduduk dan penggunaan sumberdaya per kapita di dalam wilayah yang bersangkutan.
Perencanaan pembangunan berkelanjutan membutuhkan informasi yang tepat tentang opsi penggunaan sumberdaya, pilihan teknologi yang digunakan,
perubahan struktur sistem, pola konsumsi, tingkat kualitas hidup yang diinginkan dan status lingkungan yang menjamin tereduksinya tekanan ekologis oleh
berbagai proses ekonomi. Pada level wilayah, operasionalisasi skema tersebut membutuhkan proses identifikasi keterkaitan antara kapasitas sumberdaya,
aktivitas pembangunan, kapasitas asimilasi, status lingkungan, pertumbuhan ekonomi dan tingkat kualitas hidup yang diinginkan.
2.7 Kebijakan Publik di Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Permasalahan kebijakan publik di bidang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan seringkali muncul pada saat terjadi kesenjangan diskrepansi antara
kualitas lingkungan pada level aktual dengan level yang dipersyaratkan. Dalam mengatasi persoalan ini, diperlukan kebijakan publik untuk mengendalikan
perilaku produksi dan konsumsi masyarakat sehingga kesenjangan di antara kedua level
tersebut dapat semakin didekati. Kelemahan institusional dalam implementasi kebijakan, kesalahan dalam perencanaan, prosedur dan penerapan
pendekatan berpotensi menimbulkan dampak berupa konflik sosial yang mahal Masalu, 2000; French, 2004. Berkaitan dengan hal tersebut, Fraser et al. 2006
menyarankan diimplementasikannya multi-stakeholder processes agar tujuan pengelolaan lingkungan dapat dicapai dengan baik.
Diperlukan kriteria yang tepat dalam mengevaluasi kebijakan dan untuk mengidentifikasi alternatif kebijakan terbaik dalam mengatasi permasalahan.
Menurut Field dan Field 2002, sejumlah kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi kebijakan publik di bidang pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan di antaranya adalah efficiency dan cost-effectiveness, equity, incentives for long-run innovations, enforceability
dan agreement with moral precepts. Kebijakan publik yang efficient merupakan kebijakan yang mendorong perilaku
masyarakat konsumen bergerak ke arah keseimbangan antara marginal abatement cost
dan marginal damages. Dengan biaya yang serendah-rendahnya, kebijakan publik yang cost-effective akan menghasilkan peningkatan kualitas
lingkungan yang setinggi-tingginya. Kriteria equity fairness dalam sebuah kebijakan publik ditunjukkan oleh adanya concern
moralitas untuk mendistribusikan benefits dan costs secara adil kepada seluruh anggota
masyarakat. Incentives for long-run innovations digunakan untuk mengevaluasi apakah sebuah kebijakan publik mampu memberikan insentif yang kuat bagi
individu atau kelompok masyarakat untuk menemukan cara-cara baru yang inovatif untuk mengurangi dampak lingkungan. Kriteria enforceability dalam
sebuah kebijakan publik dimaksudkan sebagai penguatan hukum dan dilakukan melalui dua langkah yakni monitoring dan sanctioning. Agreement with moral
precepts dimaksudkan agar setiap kebijakan publik dijalankan sepenuhnya dengan
tanggung jawab moral yang tinggi. Menurut Sterner 2003 serta Field dan Field 2002, beberapa alternatif
kebijakan untuk mengatasi permasalahan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori besar, yaitu decentralized
polices, command and control polices dan incentives-based polices. Decentralized
polices dimaksudkan sebagai kebijakan publik yang memberikan kesempatan
kepada para pihak untuk mengelola masalah sendiri. Hal ini bisa ditempuh baik melalui negosiasi informal maupun interaksi yang lebih formal di pengadilan.
Sistem desentralisasi pada proses pengambilan keputusan dalam perencanaan wilayah pesisir dan laut terbukti mampu meningkatkan kompatibilitas dan
keseimbangan dalam pemanfaatan sumberdaya, penilaian lingkungan dan partisipasi publik Worm, 1998. Command and control polices merupakan
kebijakan publik yang menuntut perilaku masyarakat agar mematuhi standard pengelolaan yang telah ditetapkan di dalam undang-undang. Kebijakan ini
mensyaratkan aturan hukum sebagai dasar pengelolaan untuk mencapai level kualitas lingkungan yang diinginkan. Incentives-based polices merupakan
kebijakan publik yang memungkinkan masyarakat untuk memanfaatkan jasa-jasa lingkungan melalui mekanisme charges and subsidies. Selain itu juga untuk
memperjualbelikan property right yang berupa ijin untuk mengemisikan polutan discharge permits
kepada pihak lain.
2.8 Sistem Dinamik