Sumberdaya Perikanan laut Analisis kapasitas perikanan pelagis di Perairan Pesisir Provinsi Sumatera Barat

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumberdaya Perikanan laut

Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup besar baik dari segi kuantitas maupun keragamannya. Menurut Puslitbang Oseanologi LIPI 2001 potensi lestari sumberdaya perikanan laut Indonesia adalah sebesar 6.41 juta ton per tahun yang antara terdiri dari ikan pelagis 4.77 juta ton, ikan demersal 1.37 juta ton, ikan karang konsumsi 145 ribu ton, udang penaeid 94.80 ribu ton, lobster 4.80 ribu ton, dan cumi-cumi 28.25 ribu ton. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perikanan tangkap Tahun 2005, produksi perikanan laut Indonesia tahun 2004 adalah sebesar 4 506 060 ton, bila dibandingkan dengan potensi lestari yang ada ternyata tingkat pemanfaatannya masih di bawahnya yaitu sebesar 70.36. Perairan Laut Sumatera Barat merupakan bagian dari wilayah Pengelolaan Samudera Hindia dimana potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Samudera Hindia seperti pada Tabel 1. Tingkat pemanfaatan ikan di Samudera Hindia ini secara keseluruhan masih berada di bawah potensi lestari tetapi ada beberapa sumberdaya ikan yang sudah melebihi potensi lestari yaitu ikan karang dan cumi-cumi. Tabel 1 Potensi lestari sumberdaya ikan dan tingkat pemanfaatan di Samudera Hindia No. Sumberdaya ikan Potensi 10 3 tontahun Produksi 10 3 tontahun Tingkat Pemanfaatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Ikan pelagis besar Ikan pelagis kecil Ikan demersal Ikan karang Udang penaeid Lobster Cumi-cumi 386.26 526.57 135.13 12.88 10.70 1.60 3.75 188.28 264.56 134.83 19.42 10.24 0.16 6.29 48.74 50.21 99.78 100 95.70 10.00 100 Jumlah 1.076.80 623.78 57.92 Sumber: Puslitbang Oseanologi LIPI 2001 Walaupun secara keseluruhan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Indonesia masih berada di bawah potensi lestari yang ada, akan tetapi pada beberapa wilayah telah mengalami tangkap lebih overfishing, seperti untuk jenis ikan karang dan udang penaeid. Berdasarkan penyebaran daerah penangkapan ikan, potensi produksi perikanan tangkap di perairan laut Indonesia dibagi berdasarkan 9 wilayah pengelolaan perikanan yaitu: wilayah I Selat Malaka, wilayah II Laut Cina Selatan, wilayah III Laut Jawa, wilayah IV Selat Makassar dan Laut Flores, wilayah V Laut Banda, wilayah VI Laut Seram sampai Teluk Tomini, wilayah VII Laut Sulawesi dan Samudera Fasifik, wilayah VIII Laut Arafura dan wilayah IX Samudera Hindia. Dari 9 wilayah pengelolaan perikanan ini daerah yang telah mengalami tangkap lebih adalah: Laut Jawa, perairan Selat Malaka, perairan Selat Makassar, sedangkan perairan Laut Cina Selatan, Laut Banda, Laut Seram dan Teluk Tomini masih memiliki potensi yang tinggi dengan tingkat pemanfaatan yang masih rendah Aziz et al. 1998 Menurut Dahuri 2003 terjadinya fenomena tangkap lebih disebabkan oleh persepsi keliru tentang sumberdaya ikan laut yang selama ini dimiliki oleh kebanyakan para nelayan, pengusaha perikanan, dan pejabat pemerintah. Kekeliruan pertama adalah mereka menganggap bahwa karena ikan adalah sumberdaya dapat pulih renewable resources, sehingga dapat dieksploitasi secara tak terbatas infinite. Selain itu, sumberdaya ikan laut dianggap sebagai sumberdaya milik umum common property resources, sehingga berlaku rejim open access dalam pemanfaatannya dengan pengertian bahwa siapa saja, kapan saja dapat mengeksploitasi sumberdaya ikan sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu, untuk mewujudkan perikanan tangkap berkelanjutan sustainable fisheries, maka rejim pola pemanfaatannya harus segera diubah dari rejim open access menjadi perikanan tangkap yang bertanggung jawab seperti yang dianjurkan oleh Kode Etik Perikanan yang bertanggung jawab atau Code Conduct of Responsible Fisheries. Salah satu unsur dari kode etik ini adalah praktek perikanan tangkap yang terkendali, yang secara garis besar dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: 1 pengendalian penangkapan ikan oleh pemerintah public authorities; dan 2 pemberian “hak pengusahaan perikanan” fishery rights kepada individu, kelompok masyarakat atau perusahaan perikanan. Hanneson 2000 yang diacu dalam Dahuri 2003 mengatakan bahwa pengendalian penangkapan ikan oleh pemerintah dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu: 1 pengendalian penangkapan control of the catch yang salah satu tekniknya adalah dengan menerapkan kuota penangkapan ikan sesuai dengan potensi lestari stok ikan dalam suatu wilayah perikanan, 2 pengendalian upaya tangkap dan kapasitas penangkapan control of fishing capacity and fishing effort, dan 3 pengendalian secara tidak langsung melalui pengenaan pajak terhadap upaya tangkap atau hasil tangkapan. Selanjutnya Dahuri 2003 menyatakan bahwa pengendalian upaya tangkap dan kapasitas penangkapan dapat dilakukan dengan cara memberikan izin penangkapan ikan fishing licence pada setiap kapal ikan. Izin penangkapan ikan diberikan untuk jangka pendek satu tahun dan jangka panjang selama umur teknispakai kapal ikan. Pelaku usaha perikanan cenderung untuk memaksimalkan hasil tangkapannya untuk memperoleh rente yang sebesar-besarnya karena mereka tidak perlu membayar untuk menangkap ikan, dengan pengenaan pajak terhadap usaha penangkapan ikan secara tidak langsung akan mengendalikan tingkat upaya ikan agar tidak melebihi potensi lestarinya. Fauzi 2002 menyatakan bahwa alternatif lain selain ketiga kebijakan konvensional di atas yang dalam penerapannya memiliki kelebihan dan kelemahan terutama pada perikanan yang bersifat multi spesies dan multi gear adalah dengan penerapan user fee atau fishing fee. Ada beberapa hal yang menjadikan user fee ini lebih menguntungkan favourable yaitu: Pertama, prinsip netralitas yang didasarkan pada pemikiran bahwa resource rent tax atau pajak rente sumberdaya tidak mempengaruhi penggunaan faktor produksi, user fee ini tidak akan membuat distorsi pada pasar karena fishing fee yang didasarkan dari perhitungan resource rent tax sudah memperhitungkan seluruh aspek sumberdaya baik biologi maupun ekonomi dari pelaku perikanan. Kedua, aspek kesetaraan equity dan keadilan fairness, dimana fishing fee merupakan kontrak sosial antara pelaku perikanan dengan pemerintah sebagai wakil publik atas kepemilikan sumberdaya dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan dan juga merupakan penjabaran lebih nyata dari user fee principle atau prinsip biaya pengguna. Prinsip ini menyatakan bahwa mereka yang memperoleh manfaat atas pemanfaatan sumberdaya perikanan pelaku perikanan membayar biaya fee yang mencerminkan nilai dari fishing privilege. Ketiga, fleksibilitas dimana biaya sosial untuk merevisi fishing fee jauh lebih kecil dibanding biaya sosial yang harus ditanggung untuk merevisi kuota atau limited entry, jika terjadi perubahan dalam teknologi atau sistem pengelolaan perikanan maka fishing fee jauh lebih adaptable dibanding kuota. Keempat, aspek co-existence yakni share atas pemanfaatan sumberdaya ikan dengan pihak ketiga kapal dari daerah lain atau kapal asing.

2.2 Usaha Perikanan tangkap