Pengrajin Logam Dan Perkembangan Usahanya

Faktor lain yang mempengaruhi jumlah wisatawan adalah faktor keamanan. Rasa aman dapat dilihat dari stabilitas politik dan keamanan nasional yang rendah di Indonesia. Krisis moneter yang memuncak pada tahun 1997 – 1998 di Indonesia berpengaruh besar terhadap kunjungan wisatawan ke Indonesia. Kemudian maraknya aksi bom seperti di Bali merupakan faktor yang juga tidak dapat dilupakan dalam perkembangan industri pariwisata. Adanya kondisi keamanan negara yang tidak mendukung tersebut, menyebabkan terjadinya penurunan jumlah wisatawan yang berkunjung ke berbagai obyek wisata seperti Bali dan Yogyakarta. Di Purbayan, hal tersebut berdampak langsung pada pendapatan perkapita masyarakat terutama yang menggantungkan hidupnya pada sektor pariwisata ini, yaitu dalam industri pengolahan atau sebagai pengrajin logam.

5.9. Pengrajin Logam Dan Perkembangan Usahanya

Salah satu pelaku industri pariwisata adalah masyarakat lokal yang berada di sekitar obyek wisata dan terpengaruh baik langsung maupun tidak langsung. Demikian juga dengan pengrajin logam yang terdapat di Kota Gede yang menggantungkan hidupnya pada sektor pariwisata. Para pengrajin ini, sudah berada di Kota Gede secara turun temurun sejak masa pemerintahan Panembahan Senopati di Mataram Kota Gede. Mereka merupakan masyarakat Kalang yang di datangkan dari Kerajaan Mataram Hindu dari Jawa Timur dan Bali. Masyarakat Kalang ini kemudian mulai mendatangkan berbagai jenis produk dari ukiran kayu dan lapisan emas untuk kebutuhan seni Kerajaan Mataram Islam. Kerajinan tersebut kemudian dikembangkan oleh para pengrajin dengan membuat barang lain selain perhiasan. Hasil kerajinan tersebut di berikan kepada kerajaan sebagai upeti. Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan oleh Murniatmo 1994, ia mengatakan bahwa kerajinan perak yang terdapat di Kota Gede bermula dari para abdi dalem yang membuat perhiasan untuk dipersembahkan pada Kerajaan Mataram. Sehingga, lama kelamaan kemampuan dan keahlian pengrajin perak ini hingga sekarang dilakukan dan ditekuni masyarakat Kota Gede. Bahkan sebagian besar dari masyarakat Kota Gede ini, menggantungkan hidupnya sebagai pengrajin perak yang menjadi mata pencaharian utama sebagian masyarakat Kota Gede. Mereka bekerja pada pengusaha atau pengrajin perak yang mempunyai modal besar. Sejak tahun 1930-an, para pengrajin perak tersebut mengalami perubahan, yaitu usaha kerajinan yang semula hanya untuk memenuhi kebutuhan kerajaan kemudian menjadi pengusaha atau pedagang perak. Produk kerajinan itu mulai di jual ke pasar-pasar tradisional. Produk kerajinan perak ini selain berbentuk perhiasan seperti cincin, gelang, kalung atau anting, pada umumnya mengambil motif transportasi tradisional becak, andong, gerobag, petani sedang membajak, bakul sate dan lain sebagainya. Pada tahun yang sama juga kerajinan perak ini mulai di ekspor ke negara-negara Belanda dan Eropa lainnya 6 . Pengusaha-pengusaha besar yang dari dahulu memegang dan menguasai usaha kerajinan perak ini misalnya TOM’s Silver; HS Silver, MD dan sebagainya. Setelah pariwisata mulai berkembang terutama di Yogyakarta, mulai banyak masyarakat yang membuka dan mengembangkan usahanya sebagai pengusaha dan pengrajin perak. Pada awal-awal pengembangan pariwisata, mulai bermunculan pengusaha-pengusaha perak yang membuka usaha di Kota Gede ini. Para pengrajin ini mengalami masa kejayaan pada tahun 1980-an hingga 1996 sebelum krisis moneter. Pada masa itu, pengrajin merupakan usaha yang paling menjanjikan bila dibandingkan dengan pekerjaan lain, bahkan masyarakat lebih memilih menjadi pengrajin daripada pegawai negeri. Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan oeh Bapak Wj: “Ndek tahun -tahun 90an awal, pengrajin mriki tasih mengalami masa kejayaan. Katah sing milih dados p engrajin ketimbang dados pegawai negeri. Masalahipun gaji pegawai negeri sing wektu niku sewulan, wonten pengrajin niku saget angsal 6 Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia. 2004, Jogja Self Guide, Graha Ilmu, Yogyakarta. sekali pesanan. Sing rata -rata paling dangu niku seminggu. Cinarane, pengrajin pasa wektu niku, bade tuku opo wae pasti kla kon. Pengrajin perak, wektu niku dados gawean paling hebat.” Di tahun-tahun 90an, pengrajin disini masih mengalami masa kejayaan. Banyak yang memilih menjadi pengrajin perak daripada jadi pegawai negeri. Karena gaji pegawai negeri yang waktu itu sebulan, di pengrajin dapat diperoleh hanya dalam sekali pesanan barang, yang rata-rata bisa diperoleh dalam waktu satu minggu. Ibaratnya, bagi pengrajin perak pada saat itu, hendak membeli apapun pasti bisa. Bisa dikatakan pengrajin pada saat itu menjadi pekerjaan yang paling hebat. Setelah terjadinya krisis moneter, usaha tersebut mulai mengalami penurunan. Hal tersebut terjadi karena peningkatan harga bahan baku yang terkena pajak. Masyarakat tidak mampu mengikuti harga bahan baku yang meningkat hingga 10 kali lipat. Disisi lain permintaan dari konsumen semakin menurun dan menuntut harga jual lebih rendah dari harga sebelumnya. Kemudian diikuti oleh kondisi keamanan negara yang lemah menyebabkan semakin berkurangnya jumlah konsumen kerajinan karena berkurangnya jumlah wisatawan. Akibat dari kondisi tersebut, banyak pengrajin modal kecil dan menengah yang gulung tikar. Berdasarkan data KP3Y tahun 2000, sedikitnya 2.000 orang terlibat langsung dalam mata rantai industri perak di Kota Gede. Perajinnya pun tidak hanya dari masyarakat Kota Gede, namun sudah meluas. Orang-orang dari Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul banyak yang datang dan bermukim di Kota Gede untuk menjadi pengrajin perak. Bahkan, saat ini ratusan perajin perak terpaksa gulung tikar. Dari sekitar 2.000 pengrajin, 30 persen di antaranya beralih ke profesi lain seperti kusir andong, usaha warung, dan kuli bangunan Sutojo dalam Harian KOMPAS, 2002. Pengrajin yang masih bertahan tidak lagi mengandalkan perak sebagai bahan baku kerajinan. Sekitar 40 persen di antaranya memanfaatkan tembaga dan kuningan sebagai bahan baku alternatif. Imbas dar krisis tersebut tidak hanya menyerang satu lapisan saja tetapi mencakup semua lapisan sosial masyarakat. Kebanyakan dari mereka yang mampu bertahan adalah pengrajin modal besar atau pengrajin yang memiliki koneksi di luar negeri pada perusahaan-perusahaan asing. Tetapi banyak dari pengrajin lapisan atas yang tidak bisa bertahan kemudian gulung tikar dan sebaliknya, tidak sedikit pengrajin lapisan bawah yang dapat memanfaatkan keadaan berubah menjadi lapisan atas. Dampak lain dari kondisi tersebut adalah semakin besarnya kesenjangan antar lapisan sosial pengrajin. Seperti dalam contoh kasus Bapak Sl: Bapak Sl merupakan pengrajin logam dari lapisan atas. Ia membuat kerajinan dengan berbagai bentuk mulai dari perhiasan sampai ke hiasan. Kerajinan tersebut dipasarkan sendiri ke luar kota misalnya melalui pameran-pameran atau mencari toko di luar daerah. Selain itu ia menerima pesanan dari langganannya seperti perguruan tin ggi. Bapak Sl termasuk salah satu pengrajin yang selamat dari damapk krisis moneter. Bukan karena jumlah modal yang dimilikinya besar. Tetapi karena sebelum adanya krisis moneter ia mampu memasok atau menimbun bahan baku perak dengan harga yang masih murah. Sehingga dengan bahan baku yang dimilikinya itu, ia mampu mengembangkan usahanya yang semula hanya pada tingkat kota Jogja saja menjadi tingkat nasional. BAB VI. DAMPAK INDUSTRI PARIWISATA TERHADAP GAYA HIDUP KOMUNITAS PENGRAJIN LOGAM

6.1. Profil Responden Penelitian 6. 1. 1 Umur Responden Penelitian