Dampak Pariwisata Terhadap Gaya Hidup

Bapak My merupakan pengrajin lapisan bawah dengan spesifikasi pembuat cincin. Ia bekerja sejak enam tahun yang lalu. Dengan bermodalkan ilmu dari orang tuanya dan modal kurang dari 10 juta ia memulai usahanya dengan menerima pesanan cincin dari pengrajin atas bekas langganan bapaknya. Ia bekerja dengan dua tenaga kerja yang membantunya. Menurut Bapak My, para pengrajin lapisan bawah bekerja dengan sistem kepercayaan dengan sesama dan saling tolong menolong. Sehingga apabila ada pemesan kerajinan selain dari spesifikasinya, maka pesanan tersebut dilimpahkan kepada pengrajin lain sesuai ahlinya. “Ya kalau ada yang memesan selain cincin, tetap saya terima tetapi dalam pelaksanaannya saya serahkan misalnya kepada Bapak Bb yang merupakan rekan seprofesi saya. Dengan demikian prinsip tolong menolong tetap dijalankan meskipun orderan sedang sepi.tapi saya tetap mendapkan untung, ya setidaknya bagi hasil.” Dengan adanya spesifikasi tersebut, sering terjadi waktu -waktu kosong atau tidak menerima pesanan pada pengrajin ini. Hal tersebut sering kali dikarenakan sempitnya cakupan wawasan mereka. Waktu kosong tersebut mereka gunakan untuk santai dan beristirahat. Dengan adanya spesifikasi tersebut, sering terjadi waktu-waktu kosong atau tidak menerima pesanan pada pengrajin ini. Hal tersebut sering kali dikarenakan sempitnya cakupan wawasan mereka. Waktu kosong tersebut mereka gunakan untuk santai dan beristirahat.

6.2. Dampak Pariwisata Terhadap Gaya Hidup

Gaya hidup merupakan fungsi dari stratifikasi sosial, yaitu sebagai garis pemisah atau petunjuk perbedaan antar golongan, sehingga faktor kekayaan, status, dan kekuasaan turut mempengaruhi struktur gaya hidup Kartodirjo, 1987. Sehingga dapat dikatakan bahwa di dalam gaya hidup terdiri dari totalitas yang menunjukkan berbagai tatacara, kebiasaan, lambang-lambang dan sikap dari satu lapisan sosial mempengaruhi kehidupannya. Mengacu pada penelitian Amaluddin 1987, yang menyatakan bahwa gaya hidup masyarakat pedesaan dapat dilihat dari tiga segi, yaitu gaya bangunan rumah, gaya pakaian dan gaya bicara, maka pembahasan ini akan menitik-beratkan pada tiga hal tersebut dan pola makan dari pengrajin logam. Dalam pandangan masyarakat pedesaan khususnya Jawa, tiga hal atau kebutuhan pokok yang perlu dipenuhi adalah sandang, pangan dan papan. Ke tiga hal tersebut pula yang merupakan salah satu perwujudan prestise atau penggunaan lambang-lambang dalam pembedaan lapisan sosial tersebut. Dalam sub-bab berikut akan dijelaskan dampak industri pariwista terhadap gaya hidup yang kemudian dikhususkan pada lapisan sosial dan gaya hidup. Dikarenakan dampak nyata dari adanya industri pariwisata tersebut adalah pendapatan dari pelaku pariwisata yang dalam hal ini adalah pengrajin logam dan kemudian tercermin dalam lapisan sosial pengrajin. Sehingga dalam pemaparannya akan dilihat hubungan antara lapisan sosial pengrajin dengan gaya hidup, yaitu gaya bangunan rumah, gaya pakaian, gaya bahasa, pola makan dan pola pemilikan barang sekunder.

6.2.1. Gaya Bangunan Rumah Pengrajin Logam

Salah satu teknologi tradisional yang dipakai manusia dalam hidup bermasyarakat adalah tempat berlindung dan perumahan Koentjaraningrat, 1990 yang juga termasuk ke dalam tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal. Dengan demikian rumah memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan atau melihat kehidupan seseorang. Selain itu, kondisi dan keberadaan rumah tersebut juga dapat digunakan untuk melihat posisi seseorang di dalam suatu masyarakat dalam arti pada posisi mana seseorang tersebut berada. Dalam rumah tangga pengrajin logam, rumah merupakan salah satu alat yang digunakan untuk mengukur atau mengetahui keberadaan status atau lapisan sosial dalam komunitas pengrajin. Beberapa indikator dari keberadaan rumah dapat di ukur berdasarkan fakta atau data kuantitatif. Berdasarkan data primer yang diperoleh, dari total responden pengrajin menunjukkan bahwa sebanyak 90 persen rumah tangga pengrajin dengan status rumah sendiri. Dari 90 persen tersebut terdiri dari 60 persen rumah tersebut berasal dari warisan orangtua dan 30 persen berasal dari membeli. Sehingga sebesar 10 persen atau tiga rumah tangga pengrajin menggunakan rumah sewa. Tipe bangunan rumah yang terdapat di Purbayan terbagi menjadi empat, yaitu tiga bentuk jawa dan satu bentuk modern. Rumah bentuk jawa yang terdapat di Kelurahan Purbayan antara lain tipe klabangnyander, tipe jawa dan tipe limasan. Terdapat juga rumah joglo di kelurahan ini, tetapi tidak ada rumah tangga responden yang memiliki rumah tersebut. Bentuk rumah joglo yang terdapat di Purbayan dimiliki oleh masyarakat lapisan atas yaitu tetua adat. Rumah bentuk lain yang terdapat pada rumah tangga pengrajin logam di Purbayan adalah rumah bentuk modern atau rumah loji, yaitu rumah gaya kota yang bertembok dinding yang dilapisi oleh keramik pada bagian luarnya. Rumah model ini sudah mulai berkembang di Purbayan sejak tahun 1990-an. Terdapat 10 responden yang memiliki rumah tipe ini, yaitu dua dari lapisan bawah, tiga dari lapisan menengah, dan lima dari lapisan atas. Bentuk rumah modern banyak digunakan oleh pengrajin pada berbagai lapisan. Hal tersebut terjadi pada pengrajin-pengrajin yang baru membangun rumah yang mengikuti gaya rumah yang lebih modern dan baru berkembang. Rumah loji tersebut merupakan suatu gejala perubahan gaya bangunan rumah yang terdapat dalam lapisan pengrajin sebagai akibat dari adanya pengembangan indutri pariwisata di Kota Gede. Rumah gaya modern ini merupakan salah satu akibat dari adanya pengembangan wisata dan krisis moneter di daerah tersebut. Dalam kasus ini, rumah loji menjadi salah satu wujud perubahan ciri atau simbol bagi pengrajin logam lapisan atas. Bentuk rumah loji pada lapisan bawah dimiliki oleh pengrajin yang dahulu berasal dari lapisan atas kemudian bangkrut. Hal tersebut seperti dalam kasus Bapak My: Bapak My merupakan pengrajin perak dari lapisan bawah. Ia melanjutkan usaha orangtuanya semenjak orangtuanya meninggal. Orangtuanya dulu dikenal sebagai sesepuh atau salah satu pengrajin yang dikenal di daerah Purbayan. Usaha perak orangtuanya dapat dikatakan sukses atau berada pada lapisan atas. Setelah dilanjutkan oleh Bapak My dan adanya krisis, usaha tersebut kemudian mulai mengalami kemunduran hingga sekarang. Rumah ya ng dimiliki oleh Bapak My berbentuk rumah loji. Rumah tersebut merupakan warisan dari orang tuanya yang dibangun pada waktu dia masih hidup dan usahanya masih bagus. Seperti yang dikatakan oleh Bapak My: “omah niki warisan saking wong tuo. Saking wriko nggih sampun ngonten niki. Kula namung nambahi isine mawon, mumpung anak tasih alit” rumah ini warisan dari orang tua. Dari sana sudah seperti itu. Saya tinggal nambah isinya saja, selagi anak masih kecil. Demikian juga dengan sebagian rumah loji yang terdapat pada responden lapisan atas, dari lima ruah loji tersebut dua diantaranya merupakan milik pengrajin yang awalnya merupakan pengrajin lapisan menengah seperti pada kasus Bapak SS. Bapak SS merupakan salah satu responden penelitian yang berasal dari pengrajin logam lapisan menengah. Ia mulai menjadi pengrajin sejak tahun 1952 dan menjadi pengrajin kuningan. Setelah usahanya berkembang, ia mulai meluaskan bukan hanya kuningan tetapi juga tembaga dan perak. Ia menerima pesanan dari berbagai perusahaan dan i nstansi atau lembaga pendidikan. Bapak Ss memiliki dua anak yang sudah berkeluarga. Sekarang di rumah, ia tinggal hanya berdua dengan istrinya. Bapak SS memiliki tiga rumah, yang berasal dari warisan dari orangtuanya dan orangtua istrinya, satu rumah lagi merupakan rumah aslinya. Ia bersama dengan istri menempati rumah aslinya yang berbentuk rumah modern bertingkat. Ia membeli tanah kemudian mendirikan rumah tersebut pada tahun 1991. Sedangkan rumah warisan dari orangtuanya memiliki tipe Jawa yang sekarang digunakan untuk tempat produksi kerajinan. Sedang rumah warisan orangtua istrinya diurus oleh anaknya yang juga menjadi pengrajin tembaga. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya krisis moneter dalam industri pariwisata tersebut kemudian berdampak pada bentuk rumah pengrajin. Perubahan lapisan pada pengrajin ditunjukkan dengan adanya pengrajin lapisan atas baru, yang cenderung membuat rumah dengan menggunakan bentuk rumah tipe modern. Tabel 15. Distribusi Frekuensi Menurut Lapisan Sosial Pengrajin Dan Bentuk Rumah Tahun 2004 Lapisan Sosial Pengrajin Bawah Menengah Atas Bentuk Rumah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Klabangnyander Jawa Limasan Loji 5 3 2 50 30 20 2 3 1 4 20 30 10 40 - 2 3 5 - 20 30 50 7 8 4 11 23,3 26,7 13,3 36,7 Jumlah 10 100 10 100 10 100 30 100 Sumber: Data Primer 2005 Berdasarkan tabel 15 tersebut maka dapat dikatakan bahwa pada pengrajin lapisan bawah, sebanyak 50 persen responden memiliki rumah dengan bentuk klabangnyander. Sedang pada pengrajin lapisan menengah cenderung lebih menyebar tetapi didominasi oleh bentuk rumah tipe loji yaitu sebesar 40 persen. Hal tersebut hampir seiring dengan pengrajin lapisan atas. Sebesar 50 persen responden memiliki rumah dengan bentuk loji dan sisanya adalah bentuk jawa dan limasan. Data tersebut, menunjukkan bahwa untuk bentuk rumah, pelapisan sosial antar pengrajin memiliki hubungan dengan bentuk rumah yang mereka tinggali. Dari total rumah tangga responden, tidak ada pengrajin lapisan bawah yang memiliki rumah tipe limasan. Sebaliknya, tidak ada pengrajin lapisan atas yang menempati rumah tipe klabangnyander. Sehingga semakin tinggi lapisan sosial dari pengrajin logam, maka semakin baik juga tipe rumah yang mereka tinggali. Karena berdasarkan bentuknya, rumah tipe limasan memiliki bent uk lebih rumit serta membutuhkan bahan yang lebih banyak daripada rumah tipe klabangnyander. Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara ekonomis hal tersebut berbanding lurus dan dengan kata lain rumah tipe limasan membutuhkan biaya pembuatan lebih tinggi dibanding rumah tipe klabangnyander. Dilihat dari segi bahan bangunan, hampir seluruh rumah tangga responden menggunakan bahan dinding yang berasal dari tembok. Sebanyak 97 persen dari total responden menggunakan bahan bangunan tembok yang berasal dari batu bata dan semen. Bahan lain yang digunakan adalah kayu, hanya satu rumah tangga pengrajin yang menjadi responden menggunakan bahan bangunan ini. Hal tersebut dikarenakan ia menggunakan rumah sewa, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Sy: “Kulo sekeluarga tinggal teng wriki nembe 3 taun. Kulo asale saking Wonosari. Wonten mriki nyewo omah kosong. Mergo mboten wonten sing manggoni dadi kulo sewo. Sak derenge niki omah kosong, dadi daripada mboten wonten sing ngurus kalian sing duwe omah disewakne teng kulo dengan harga murah. Ya lumayanlah, kan untuk sementara.” “Saya sekeluarga tinggal disini baru 3 tahun. Saya berasal dari Wonosari. Di sini nyewa rumah kosong. Karena tidak ada yang menempati jadi saya sewa. Sebelumnya ini rumah kosong, jadi daripada tidak ada yang mengurus oleh pemilik rumah disewakan kepada saya dengan harga murah. Ya lumayanlah, kan hanya untuk sementara” Bahan lantai yang digunakan oleh rumah tangga pengrajin adalah antara tegel dan keramik. Sebanyak 15 responden menggunakan bahan lantai dari keramik dan 15 responden menggunakan tegel atau semen. Diantara 30 rumah tangga responden, tidak ada rumah tangga yang berlantai dasar dari tanah. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini. Gambar 3. Jumlah Responden Berdasarkan Bahan Dasar Lantai 1 2 3 4 5 6 7 8 lap. Bawah lap. Menengah lap. Atas tegelsemen keramik Sumber: Data Primer. 2005 Hampir semua rumah berbentuk modern dan limasan menggunakan bahan lantai dari keramik. Di antara 15 rumah dari rumah tangga responden tipe limasan dan modern, terdapat 8 rumah yang menggunakan lantai keramik dan tujuh rumah dengan bahan lantai tegel atau semen. Semua rumah tangga responden dengan bangunan rumah tipe limasan dan loji tersebut menggunakan bahan bangunan dinding dari tembok. Seiring dengan kondisi tersebut, semua rumah tipe klabangnyander menggunakan lantai dari tegel atau semen, yaitu dari tujuh rumah tangga responden dengan rumah tipe klabangnyander berlantai tegel atau semen. Di lihat dari bahan dasar dinding, sebagian besar rumah tipe ini menggunakan bahan dinding dari tembok dan hanya satu dari ke tujuh rumah tangga tersebut yang menggunakan bahan dinding dari kayu. Sedangkan rumah yang berbentuk jawa lebih bervariasi dalam hal lantai dasar yang digunakan. Diantara delapan rumah sampel terdapat lima rumah berlantai keramik dan tiga rumah berlantai tegel, dan semuanya menggunakan bahan dinding dari tembok. Hal tersebut sesuai dengan yang terdapat dalamTabel 16. Tabel 16. Distribusi Frekuensi Menurut Lapisan Sosial Pengrajin Dan Gaya Bangunan Rumah Tahun 2004 Lapisan Sosial Pengrajin Bawah Menengah Atas Gaya Bangunan Rumah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah persen Sederhana Biasa Modern 5 2 3 50 20 30 2 4 4 20 40 40 - 5 5 - 50 50 7 11 12 23,3 36,7 40 Jumlah 10 100 10 100 10 100 30 100 Sumber: Data Primer 2005 Tabel 16 menunjukkan bahwa pada pengrajin lapisan bawah didominasi oleh gaya bangunan rumah yang sederhana, yaitu sebesar 50 persen responden. Sedang pada pengrajin lapisan menengah, cenderung lebih menyebar tetapi masing-masing sebanyak 40 persen responden memiliki gaya bangunan rumah biasa dan modern. Demikian juga yang terdapat pada reponden lapisan atas, gaya bangunan rumah yang ada adalah biasa dan modern yaitu masing-masing sebesar 50 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya bangunan rumah modern cenderung dimiliki oleh rumah tangga responden lapisan atas dan rumah dengan gaya bangunan sederhana dimiliki oleh rumah tangga responden dari lapisan bawah dan menengah. Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa gaya bangunan rumah merupakan lambang atau salah satu alat pembeda lapisan sosial pengrajin logam. Gaya bangunan rumah ditunjukkan oleh tipe atap, bahan dasar lantai, dan bahan dasar dinding. Sedang lapisan sosial pengrajin logam terbagi menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan bawah, menengah dan atas. Kedua variabel tersebut menyatakan bahwa semakin tinggi lapisan sosial pengrajin maka semakin tinggi atau baik pula kondisi bangunan rumah dari pengrajin tersebut. Dalam hal ini, rumah tipe Jawa dan klabangnyander merupakan simbol atau indentitas dari pengrajin lapisan bawah. Sedang rumah tipe limasan merupakan identitas bagi pengrajin dari lapisan atas. Berdasarkan uji statistika Korelasi Spearman atau Rank, dapat disimpulkan bahwa kedua variabel berhubungan nyata dengan nilai Spearman sebesar 0,413. Berdasarkan data primer, gaya bangunan rumah pengrajin logam dari setiap lapisan tidak dipengaruhi oleh variabel status penduduk maupun variabel pendidikan yang termasuk ke dalam karakteristik responden. Secara kuantitatif, hanya terdapat tiga penduduk yang merup akan pendatang, yaitu dua memiliki rumah sederhana dan satu responden yang memiliki rumah biasa. Demikian juga dengan gaya bagunan rumah tidak dipengaruhi oleh tingat pendidikan. Berdasarkan karakteristik responden berupa tingkat pendidikan terdapat empat rumah tangga responden yang memiliki gaya bangunan rumah sederhana adalah tamatan SD, satu tamatan SLTP, dan satu tamatan SLTA. Pada rumah tangga responden yang memiliki gaya bangunan rumah biasa terdapat empat responden tamatan SD, dua responden tamatan SLTP, enam responden tamatan SLTA dan tiga responden tamatan perguruan tinggi. Pada rumah tangga responden dengan gaya bangunan rumah modern, terdapat dua responden tamatan SD, dua lulusan SLTP, empat responden tamatan SLTA dan tiga responden tamatan perguruan tinggi. Dari data tersebut, dapat dikatakan bahwa variabel gaya bangunan rumah tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.

6.2.2. Gaya Pakaian Pengrajin Logam

Kebutuhan pokok manusia selain papan atau tempat tinggal adalah kebutuhan akan sandang. Pakaian merupakan bagian dari tujuh unsur kebudayaan yang termasuk ke dalam peralatan dan perlengkapan rumah tangga. Dalam suatu kebudayaan, pakaian biasanya mengandung suatu kombinasi dari dua fungsi. Misalnya, selain sebagai pelindung tubuh pakaian juga berfungsi sebagai lambang keunggulan atau gengsi Koentjaraningrat,1990. Hal tersebut menunjukkan bahwa pakaian merupakan salah satu variabel untuk mengetahui gaya hidup seseorang. Pakaian dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan gaya hidup setiap anggota masyarakat, karena untuk mengikuti perkembangan tersebut dibutuhkan kemampuan dalam bidang ekonomi dari anggota masyarakat yang ingin mengikutinya. Sehingga diasumsikan seseorang dengan keadaan ekonomi yang lebih baik dari orang lain maka ia akan menggunakan pakaian sesuai fungsi-fungsinya. Gaya pakaian rumah tangga pengrajin logam terbagi menjadi dua jenis, yaitu pakaian khusus dan pakaian campuran. Penggunaan jenis pakaian dibedakan berdasar fungsi dari penggunaan pakaian itu sendiri atau pemakaian pakaian dilihat dari kombinasi fungsi pakaian. Penggunaan pakaian secara campuran adalah penggunaan pakaian dengan tidak membedakan fungsinya, yaitu pakaian hanya berfungsi sebagai pelindung tubuh dari alam sekitar. Sedangkan penggunaan pakaian secara khusus melambangkan suatu kombinasi dari fungsi-fungsi pakaian itu sendiri. Dalam arti, seseorang menggunakan pakaian selain untuk tujuan melindungi tubuh juga berfungsi sebagai lambang kedudukan seseorang. Pada jumlah total responden pengrajin, terdapat dua rumah tangga responden yang masih menggunakan pakaian tradisional. Dua rumah tangga responden yang menggunakan pakaian tradisional tersebut berasal dari pengrajin lapisan atas. Tetapi dalam kasus tersebut, perubahan penggunaan jenis pakaian dari tradisional ke modern lebih disebabkan karena perbedaan umur. Berdasarkan jenis pakaian yang digunakan oleh rumah tangga responden, maka dikatakan terdapat hubungan nyata dengan lapisan sosial pengrajin. Sebagaimana disajikan dalam Gambar 4 dibawah, sebesar 50 persen pengrajin kelas bawah menggunakan pakaian jenis campuran. Pada pengrajin lapisan ini, hanya membedakan pakaian bersih dan pakaian kotor. Pembedaan pakaian pergi dan pakaian rumah hanya terjadi pada acara-acara tertentu saja misalnya pada acara kondangan. Sedangkan pengrajin lapisan menengah dan atas memiliki komposisi yang sama, yaitu sebesar 70 persen atau sebanyak tujuh rumah tangga dari masing-masing lapisan pengrajin menggunakan jenis pakaian khusus. Mereka sudah membedakan antara pakaian rumah dan pakaian pergi yang disesuaikan dengan aktivitasnya. Hal tersebut sesuai dengan yang terdapat dalam Gambar 4. Gambar 4. Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Pakaian Yang Digunakan 2 4 6 8 Lap. Bawah Lap. Menengah lap. Atas khusus campuran Sumber: Data Primer, 2005 Dalam rumah tangga responden, terdapat dua rumah tangga responden yang menggunakan pakaian tradisional. Mereka merupakan responden dari lapisan atas dan menengah. Selama perkembangan usahanya, rumah tangga pengrajin ini tidak mengalami perubahan dalam hal penggunaaan pakaian. Pengeluaran rumah tangga pengrajin yang digunakan untuk membeli pakaian keluarga berhubungan nyata dengan lapisan sosial pengrajin. Sebagian besar rumah tangga responden lapisan bawah tidak memiliki anggaran khusus untuk membeli pakaian. Hanya tiga dari 10 responden lapisan bawah yang memiliki anggaran untuk membeli pakaian keluarga setiap bulannya. Dalam pembelian pakaian keluarga, sebesar 70 persen responden lapisan bawah mengeluarkan uang kurang dari Rp. 100.000 setiap kali pembelian pakaian keluarga. Dan hanya 30 persen rumah tangga pengrajin lapisan bawah dengan jumlah uang yang dikeluarkan untuk membeli pakai sekitar Rp. 100.000 – Rp.500.000. Meskipun sebesar 60 persen responden membeli di pasar modern seperti mal atau swalayan toserba, tetapi terdapat juga rumah tangga responden yang membeli pakaian keluarga di pedagang keliling atau secara kredit. Hal tersebut dikarenakan minimnya anggaran biaya untuk membeli pakaian. Salah satu contoh kasus yang dapat dilihat adalah pada rumah tangga Bapak Wy: “Masalah pakaian sih kula mboten nate ngurus, tapi ibue sing ngurus. Tapi biasane mboten nate di anggarne, tumbas pakaian gih nek wonten perlune mawon. Mboten wonten sing kangge nganggar. Dados tumbas pakaian niku mboten mesti Yen tumbas yo paling teng pasar, yen lagi wonten artone. Yen mboten wonten nggih paling-paling teng tukang kliling niku. Dinten niki pesen mengke terus dibetokne. Dados mboten rade abot mbayare” Masalah pakaian sih, saya tidak ngurus tetapi ibu istri yang ngurus. Tetapi biasanya tidak ada anggaran khusus untuk membeli pakaian, membeli pakaian ya kalau ada perlunya atau kebutuhan. Tidak ada dana lebih untuk menganggarkan membeli pakaian. Jadi saya tidak pasti membeli pakaian. Membeli pakaian ya di pasar, tetapi kalau lagi ada uangnya. Kalau tidak ada uang, saya membeli pakaian di pedagang keliling dengan memesan terlebih dahulu. Sehiingga tidak perlu repot untuk membayar langsung berangsur”. Hampir seluruh responden pengrajin lapisan menengah yaitu sebesar 90 persen dari jumlah responden tidak memiliki anggaran pasti untuk membeli atau berbelanja pakaian keluarga. Pengrajin lapisan ini membeli pakaian apabila dirasa perlu saja. Sebesar 50 persen dari jumlah rumah tangga responden pengrajin lapisan menengah mengeluarkan uang sekitar Rp.100.000 – Rp.500.000 setiap kali pembelian pakaian dan sebanyak 40 persen rumah tangga yang mengeluarkan uang kurang dari Rp.100.000. Hanya 10 persen dari rumah tangga responden yang mengeluarkan uang lebih dari Rp.500.000 tiap pembelian pakaian keluarga. Rumah tangga lapisan menengah ini membeli pakaian di pasar tradisional dan pasar modern. Tidak ada rumah tangga pengrajin lapisan ini yang membeli pakaian di pedagang keliling. Hal tersebut dikarenakan mudahnya akses untuk menuju ke pasar-pasar modern dan dekatnya dengan pasa tradisional yaitu pasar Kota Gede. Sedangkan untuk lapisan atas, sebagian besar atau sebanyak 70 persen responden membeli pakaian di pasar-pasar modern dan sisanya mereka membeli pakaian di pasar tradisional. Sebesar 60 persen dari responden lapisan ini juga memiliki anggaran khusus untuk membeli pakaian keluarga setiap bulannya. Besarnya anggaran yang mereka sediakan dalam membeli pakaian setiap kali pembelian dapat dikatakan beragam. Sebesar 40 persen dari rumah tangga responden me miliki anggaran kurang dari Rp.100.000, sebanyak 30 persen rumah tangga responden mengeluarkan uang sebesar Rp.100.000 – Rp.500.000, dan 30 persen responden dengan jumlah anggaran lebih dari Rp.500.000. Seperti dalam contoh kasus Bapak Kk: Bapak Kk merupakan salah satu pengrajin lapisan atas. Ia bekerja pada usaha keluarganya dan meneruskan usaha keluarganya. Dia belum berkeluarga, sehingga ia masih ikut dengan orangtuanya. Tetapi dalam membeli pakaian, biasanya ia membeli sendiri. Biasanya ia membeli di mal-mal atau outlet-outlet seperti yang dikatakannya; “biasanya saya membeli baju di mal -mal seperti ramayana atau galeri -galeri baju, meskipun harganya rada mahal tetapi kepuasan dan kualitas minimal lebih baik dari toko -toko biasa” Hal tersebut hampir sama dengan yang dikatakan oleh Bapak Sm yang merupakan salah satu responden pengrajin lapisan atas, sebagai berikut: “Untuk urusan pakaian biasanya sih ibu yang ngurus, tetapi kadang saya juga membeli sendiri atau bareng keluarga. Saya lebih suka membeli barang yang harganya sedikit lebih mahal tetapi puas. Kalau mahal tetapi puas kan rasanya lebih nyaman dipakainya. Selain itu, kualitasnya juga terjamin dan lumayan awet dipakainya” Meskipun tidak berhubungan secara nyata, tetapi terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkatan lapisan sosial pengrajin maka semakin tinggi pula gaya pakaian yang mereka gunakan. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel hubungan antara lapisan sosial pengrajin dengan gaya pakaian seperti dalam Tabel 17. Tabel 17. Distribusi Frekuensi Menurut Lapisan Sosial Pengrajin Dan gaya Pakaian Tahun 2004 Lapisan Sosial Pengrajin Bawah Menengah Atas Gaya Pakaian Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah persen Sederhana Biasa Modern 6 2 2 60 20 20 3 5 2 30 50 20 2 4 4 20 40 40 11 11 8 36,7 36,7 26,7 Jumlah 10 100 10 100 10 100 30 100 Sumber: Data Primer 2005 Berdasarkan Tabel 17, menunjukkan bahwa dari total responden terdapat sebesar 27 persen responden yang berganti pakaian satu hingga dua kali sehari. Dengan pembagian lima responden dari pengrajin lapisan bawah, dua responden lapisan menengah, dan hanya satu responden dari lapisan atas. Sebanyak 13 rumah tangga atau 43 persen dari total responden yang berganti pakaian sesuai aktifitasnya. Dan 30 persen dari total responden yang berganti pakaian lebih dari dua kali sehari. Dari data tersebut dijelaskan bahwa pengrajin lapisan bawah cenderung untuk berganti pakaian satu hingga dua kali dalam sehari, yaitu sebesar 50 persen responden yang melakukannya. Sedangkan untuk pengrajin lapisan menengah dan atas berganti pakaian sesuai aktifitas dalam sehari dengan presentase 50 persen dari jumlah responden di tiap lapisan dan sisanya berganti pakaian satu hingga dua kali atau lebih dari dua kali sehari. Secara statistik, kedua variabel tidak berhubungan nyata dengan nilai uji statistika Korelasi Spearman sebesar 0,319. Secara kuantitatif, variabel gaya pakaian tidak dipengaruhi oleh status penduduk. Dari total rumah tangga responden, terdapat tiga rumah tangga yang berstatus sebagai pendatang yang terbagi rata dalam tiga kriteria gaya pakaian. Berdasarkan karakteristik responden berupa tingkat pendidikan terdapat empat rumah tangga responden yang memiliki gaya pakaian sederhana adalah tamatan SD, satu tamatan SLTP dan enam tamatan SLTA. Pada rumah tangga responden yang memiliki gaya pakaian biasa terdapat empat responden tamatan SD, tiga responden tamatan SLTA dan empat responden tamatan perguruan tinggi. Pada rumah tangga responden dengan gaya pakaian modern, terdapat dua responden tamatan SD, dua tamatan SLTP, dua responden tamatan SLTA dan dua responden tamatan perguruan tinggi. Dari data tersebut, dapat dikatakan bahwa variabel gaya pakaian tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.

6.2.3. Gaya Bahasa Pengrajin Logam

Tingkat sosial bahasa yang terdapat dalam masyarakat pedesaan Jawa sangat mencolok dan terlihat dalam berbagai lapisan masyarakat. Semakin banyak seseorang mengetahui akan sesuatu maka semakin tajam diskriminasi gaya bahasa yang mungkin dan diperlukan Chaney, 1996. Hal tersebut menjelaskan bahwa semakin seseorang memiliki wawasan atau pengetahuan yang dalam hal ini adalah lapisan sosial maka semakin kompleks gaya bahasa yang ia gunakan. Dalam kasus gaya bahasa dalam lapisan sosial pengrajin logam ini, penggunaan kompleks gaya ba hasa terbagi menjadi dua sub bahasa, yaitu pengrajin yang menggunakan bahasa indonesia, pengrajin yang menggunakan bahasa Jawa dan pengrajin yang menggunakan gaya bahasa campuran dalam kehidupan sehari-harinya. Penggunaan gaya bahasa Jawa, terbagi lagi menjadi beberapa tingkatan yang dalam hal ini digunakan sebagai indikator, yaitu bahasa jawa kromo, jawa madya, dan bahasa jawa ngoko. Berdasarkan pada data primer yang diperoleh dilapangan, ditemukan bahwa sebanyak 70 persen rumah tangga responden lapisan bawah menggunakan bahasa jawa dalam pembicaraan antar anggota keluarga. Sedangkan sisanya yaitu 30 persen menggunakan bahasa campuran. Dalam rumah tangga responden lapisan menengah, terdapat 70 persen responden yang menggunakan bahasa jawa dan 30 persen responden yang menggunakan bahasa campuran dalam berbicara dengan anggota keluarganya. Demikian juga pada rumah tangga pengrajin lapisan atas, didominasi oleh rumah tangga yang menggnakan bahasa jawa yaitu sebanyak 50 persen responden, 10 persen rumah tangga menggunakan bahasa Indonesia, dan 40 persen responden yang menggunakan bahasa campuran. Secara uji statistika, tidak terbukti adanya hubungan antara ke dua variabel. Karena sebesar 50 persen dari total jumlah responden pada semua lapisan menggunakan bahasa jawa. Hal tersebut disebabkan karena masih melekat dan kentalnya budaya jawa yang hidup dalam masyarakat khususnya rumah tangga pengrajin logam. Gaya bicara dalam anggota keluarga dengan anggota keluarga lain dapat dikatakan cukup seragam. Pada rumah tangga responden yang menggunakan bahasa jawa atau campuran, hampir semua atau sebagian besar menggunakan bahasa jawa ngoko dalam berkomunikasi antar sesama anggota rumah tangga, yaitu antar suami- istri. Sebesar 64 persen rumah tangga responden menggunakan bahasa jawa ngoko ketika berbicara dengan suami atau istrinya. Sedang dalam komunikasi antar orang tua-anak, terdapat jumlah yang sama antara penggunaan bahasa jawa ngoko dan madya pada semua lapisan. Hal tersebut menunjukkan bahwa gaya bahasa antar anggota rumah tangga tidak menjadi identitas pokok dalam lapisan sosial pengrajin logam di Kelurahan Purbayan. Demikian juga dengan gaya bahasa antar tetangga dalam lapisan sosial pengrajin logam di Purbayan. Pada rumah tangga responden lapisan bawah, bahasa yang umum digunakan adalah bahasa ngoko dan madya yaitu sebesar 40 persen rumah tangga responden menggunakan bahasa ngoko atau kasar dan sebesar 50 persen rumah tangga menggunakan bahasa madya. Pada rumah tangga responden lapisan menengah, bahasa yang digunakan sehari -hari sebagian besar menggunakan bahasa madya yaitu sebesar 60 persen responden. Sedangkan pada rumah tangga responden lapisan atas memiliki komposisi yang sama dengan responden lapisan bawah, yaitu 40 persen responden menggunakan bahasa ngoko dan 50 persen menggunakan bahasa madya. Gaya bahasa antar tetangga tersebut lebih variatif tetapi tidak dipengaruhi oleh lapisan sosial yang ada. Berdasarkan data-data di atas, maka dapat di sajikan tabel tabulasi silang untuk distribusi frekuensi gaya bahasa menurut lapisan sosial pengrajin dalam tabel 18. Tabel 18. Distribusi Frekuensi Menurut Lapisan Sosial Pengrajin Dan Gaya Bahasa Tahun 2004 Lapisan Sosial Pengrajin Bawah Menengah Atas Gaya Bahasa Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah persen Halus Sedang Biasa 1 5 4 10 50 40 2 6 2 20 60 20 1 5 4 10 50 40 4 16 10 13 53 34 Jumlah 10 100 10 100 10 100 30 100 Sumber : Data Primer 2005 Dari data tersebut terlihat bahwa rata-rata pengrajin logam yang terdapat di Kelurahan Purbayan menggunakan bahasa Jawa Madya ketika berbicara baik dengan anggota keluarga maupun dengan orang lain. Lebih dari setengah dari jumlah total rumah tangga responden yang menggunakan bahasa jawa madya tersebut. Tingkatan bahasa lain yang sering digunakan adalah bahasa jawa ngoko. Hal tersebut menandakan bahwa penggunaan bahasa kurang dipengaruhi oleh lapisan sosial pengrajin. Berdasarkan uji statistika Korelasi Spearman, variabel lapisan sosial pengrajin dnegan veriabel gaya bahasa tidak berhubungan secara nyata dengan nilai Speraman sebesar 0. Berdasarkan data pada Tabel 18, terjadi pelunturan bahasa pada pengrajin lapisan atas. Gaya bahasa yang terdapat dalam tradisi Jawa, mengerapkan penggunaan bahasa jawa krama bagi penduduk lapisan atas. Mereka menggunakan identitas sebagai kelas yang halus dan berbudaya tinggi. Tetapi seiring dengan adanya pengembangan industri pariwisata, terjadi pelunturan bahasa pada lapisan tersebut. Pengrajin lapisan atas di Kelurahan Purbayan, sebagian besar menggunakan bahasa jawa ngoko dan madya. Penggunaan bahasa jawa madya dan ngoko tersebut dirasakan lebih fleksibel. Secara kuantitatif, variabel gaya bahasa tidak dipengaruhi oleh status penduduk. Dari total rumah tangga responden, terdapat tiga rumah tangga yang berstatus sebagai pendatang menggu nakan gaya bahasa sedang. Berdasarkan karakteristik responden berupa tingkat pendidikan terdapat tiga rumah tangga responden yang memiliki gaya bahasa kasar adalah tamatan SD, satu tamatan SLTP, empat tamatan SLTA dan satu lulusan perguruan tinggi. Pada rumah tangga responden yang memiliki gaya bahasa sedang terdapat empat responden tamatan SD, dua responden tamatan SLTP, enam responden tamatan SLTA dan empat responden tamatan perguruan tinggi. Pada rumah tangga responden dengan gaya bahasa halus, terdapat dua responden tamatan SD, satu responden tamatan SLTA dan satu responden tamatan perguruan tinggi. Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa variabel gaya bahasa tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.

6.2.4. Pola Makan Keluarga Pengrajin Logam

Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang utama bagi manusia. Selain itu, makanan juga merupakan simbol atau bagian dari unsur kebudayaan. Makanan juga dapat dijadikan simbol atau alat untuk melihat perbedaan antar lapisan sosial pengrajin. Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan oleh Chaney 1996, yang menyatakan bahwa untuk meramalkan unsur-unsur yang berbeda dari gaya hidup berbasis kelas akan selaras, yaitu bahwa mengetahui cita rasa seseorang dalam bidang tertentu seperti tipe lukisan atau musik yang mereka nikmati, akan selaras dengan pilihan mereka dalam bidang-bidang yang lain seperti makanan. Hal tersebut dapat pula diartikan bahwa seseorang dengan kelas tertentu akan memilih sesuatu berdasarkan atau sesuai dengan kelasnya. Seseorang dengan sosial tinggi akan memilih gaya bangunan rumah, gaya pakaian, ataupun pola makanan yang memiliki cita rasa atau selera tinggi pula dan sebaliknya. Berdasarkan data primer yang diperoleh, dari total rumah tangga responden penelitian sebanyak 18 rumah tangga responden memperoleh makanan sehari-hari dengan memasak sendiri. Sebesar 80 persen dari total rumah tangga responden lapisan atas lebih memilih untuk memasak sendiri dalam memenuhi kebutuhan makan keluarga. Hal tersebut hampir sama dengan yang terjadi pada rumah tangga pengrajin lapisan menengah, yaitu sebesaar 60 persen memasak sendiri dan sisanya adalah membeli. Sedang pada rumah tangga responden lapisan bawah, terdapat sebesar 60 persen rumah tangga yang membeli dalam memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, sedang sisanya lebih memilih memasak. Dalam rumah tangga pengrajin lapisan bawah, kecenderungan untuk membeli makanan sehari-hari keluarga disebabkan karena efisiensi waktu. Bagi pengrajin lapisan bawa, anggota keluarga merupakan penghematan tenaga kerja dalam usahanya. Sehingga para istri yang seharusnya bertugas untuk memasak makanan untuk anggota keluarga, tenaganya lebih dibutuhkan untuk membantu usaha dalam membuat kerajinan. Rumah tangga pengrajin lapisan bawah ini lebih memilih membeli makanan di luar dari pada membuang waktu untuk memasak. Kesempatan untuk memasak baru diperoleh ketika tidak ada pesanan atau sedang menganggur. Seperti dalam kasus Bapak Sj di bawah: Bapak Sj merupakan salah satu rumah tangga responden pengrajin lapisan bawah. Ia merupakan penduduk pendatang yang berasal dari Wonosari dan sudah tiga tahun menetap di Kelurahan Purbayan. Bapak Sj merupakan perak yang menerima pesanan dari pengrajin perak lapisan atas atau pengusaha- pengusaha besar. Dengan kondisi padatnya wa ktu bekerja tersebut untuk memenuhi konsumsi keluarga, istrinya lebih sering memilih untuk membeli makanan di warung daripada memasak sendiri. Dengan alasan menghemat waktu dan tenaga untuk bekerja menyelesaikan orderan. Seperti yang dikatakan oleh Bapak Sj : “Masalah masak sih, ibu luwih milih tuku ketimbang masak dewe. La pripun, ketimbang tenaga telas kanggo masak mending mbantu damel pesenan. Selain iku ugo ngentekne wektu. Cobi bayangne, kanggo sekali masak katakan butuh wektu sekitar 2 - 3 jam. Yen mis ale kanggo gawe cincin wae entok piro?. Nah mending mbantu kerjo ketimbang masak. Lan iku wis dadi kesepaatan kok. Keluarga iso mangan masakane dewe yo yen pas ra ono orderan. “masalah masak sih, ibu lebih memilih untuk membeli dari pada masak sendiri. Karena daripada tenaga habis untuk memasak lebih baik untuk membantu membuat pesanan. Selain itu, juga menghabiskan banyak waktu. Dengan hitungan, untuk sekali masak dibutuhkan waktu sekitar 2 – 3 jam. Sedang bila untuk membuat cincin sudah dapat cukup banya k. Dengan perhitungan tersebut, lebih baik membantu bekerja dari pada memasak. Hal tersebut sudah menjadi kesepakatan. Keluarga dapat merasakan masakan sendiri hanya apabila tidak ada pesanan.” Intensitas rumah tangga pengrajin dalam membeli makanan keluarga di luar juga dapat memperjelas fakta tersebut. Berdasarkan data primer yang diperoleh, pada rumah tangga responden lapisan atas, sebesar 40 persen responden jarang membeli membeli makanan keluarga atau 1 – 2 kali seminggu. Sebanyak 40 persen pula yang sering membeli makanan keluarga atau lebih dari dua kali seminggu pada lapisan atas dan sebanyak 20 persen kadang-kadang atau tidak pasti dalam membeli makanan keluarga. Pada pengrajin lapisan menengah, hampir sama dengan rumah tangga responden lapisan atas, yaitu sebanyak 30 persen rumah tangga jarang membeli makanan keluarga, 40 persen sering membeli makanan keluarga diluar dan 30 persen tidak pasti atau kadang-kadang membeli makanan keluarga diluar dalam seminggu. Sedangkan untuk rumah tangga responden lapisan bawah, terdapat 10 persen responden yang jarang membeli makanan keluarga diluar, sebanyak 80 persen rumah tangga yang sering membeli makanan sehari-hari keluarga dan 10 persen rumah tangga kadang-kadang membeli makanan keluarga dalam seminggu. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa hampir semua rumah tangga lapisan bawah membeli makanan sehari-hari untuk keluarga di luar. Dan dibanding dengan kedua lapisan diatasnya, intensitas lapisan bawah membeli makanan keluarga lebih sering. Dalam memperoleh makanan dengan membeli, para pengrajin lapisan bawah ini sebagian besar membeli makanan di warung-warung makan yang menyediakan makanan tradisional atau rumahan. Sebanyak 70 persen rumah tangga responden lapisan bawah membeli makanan keluarga tersebut di warung-warung. Hal tersebut hampir sama dengan yang terjadi pada responden lapisan menengah dan atas yaitu 60 persen dari masing-masing lapisan membeli makanan di warung-warung makan dengan menu makanan tradisional. Dan sebesar 30 persen dari lapisan bawah, 40 persen dari masing-masing lapisan menengah dan atas yang membeli makanan keluarga di warung-warung makan dan restouran seperti makanan siap saji. Hal tersebut berarti menunjukkan bahwa dalam pemilihan tempat dan menu makanan dalam pengrajin logam tidak dipengaruhi oleh lapisan sosial pengrajin logam. Seperti dalam kasus bapak Wj: Nek masalah jenis makanan, yo paling-paling makanan jawa koyo soto utowo masakan omahan neng warung -warung. Selain regone luwih murah, masakan omahan iku luwih kroso lan sreg ne ng ilat jawa” Untuk masalah jenis makanan atau menu makanan, lebih banyak memilih makanan jawa seperti soto atau masakan rumahan di warung-warung nasi. Selain harganya murah, rasanya juga sesuai dengan lidah atau selera jawa” Berdasarkan pada data-data tersebut diatas, maka dapat di sajikan dalam tabel yang menunjukkan hubungan antara pola makan rumah tangga pengrajin dengan lapisan sosial pengrajin logam seperti dalam tabel 19 di bawah ini. Tabel 20. Distribusi Frekuensi Menurut Lapisan Sosial Pengrajin Dan Pola Makan Tahun 2004 Lapisan Sosial Pengrajin Bawah Menengah Atas Pola Makan Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah persen Sederhana Modern 2 8 20 80 4 6 40 60 4 6 40 60 10 20 33,3 66,7 Jumlah 10 100 10 100 10 100 30 100 Sumber: Data Primer 2005 Berdasarkan uji Korelasi Spearman, variabel pola makanan keluarga tidak berhubungan nyata dengan pelapisan sosial pengrajin logam. Tetapi dapat disimpulkan bahwa pengrajin logam lapisan bawah memiliki kecenderungan untuk lebih memilih membeli makanan sehari-hari keluarga dari pada memasak. Hal tersebut dapat disimpulkan berdasarkan kondisi pengrajin lapisan bawah yang menerima pesanan dengan tanpa memiliki pekerja atau dalam jumlah kecil. Alasan utama bahwa pengrajin lapisan bawah lebih memilih membeli dari pada memasak makanan untuk keluarga adalah untuk efisiensi waktu dan tenaga bagi mereka. Secara kuantitatif, variabel pola makan tidak dipengaruhi oleh status penduduk. Dari total rumah tangga responden, terdapat tiga rumah tangga yang berstatus sebagai pendatang dengan dua diantaranya memiliki pola makan modern dan satu sisanya memiliki pola makan biasa. Berdasarkan karakteristik responden berupa tingkat pendidikan terdapat lima rumah tangga responden yang memiliki pola makan biasa adalah tamatan SD, empat responden tamatan SLTA dan satu lulusan perguruan tinggi. Pada rumah tangga responden dengan pola makan modern, enam terdapat empat responden tamatan SD, tiga responden tamatan SLTP, tujuh responden tamatan SLTA dan lima responden tamatan perguruan tinggi. Dari data tersebut, dapat dikatakan bahwa variabel gaya bahasa tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.

6.2.5. Pola Pemilikan Barang Sekunder Pengrajin Logam

Penghitungan materi yang terdapat di masyarakat pedesaan, selain dapat dilihat dari tipe atau bentuk bangunan rumah juga dilihat dari isi atau kepemilikan barang elektronik. Karena barang elektronik termasuk ke dalam peralatan dan perlengkapan hidup manusia. Pemilikan barang-barang elektronik dapat digunakan untuk mengukur kemampuan seseorang dalam memiliki barang tersebut secara ekonomis. Sehingga dapat dikatakan seseorang yang memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi akan berbanding lurus dengan pemilikan barang sekunder tersebut Lapisan sosial yang terdapat dalam rumah tangga pengrajin, terbukti secara nyata bahwa semakin tinggi tingkatan atau lapisan seseorang dalam komunitas pengrajin maka semakin tinggi pula tingkat penguasaan barang-barang elektronik yang dimilikinya. Semua rumah tangga responden pengrajin lapisan atas atau sebesar 100 persen responden memiliki barang elektronik dengan kategori baik atau lebih. Jumlah minimal jenis elektronik yang dimiliki pengrajin lapisan atas adalah televisi, radio tape, CD player, dan kulkas atau empat jenis barang elektronik. Demikian juga dengan pengrajin lapisan menengah, sebanyak tujuh dari 10 responden lapisan menengah atau 70 persen rumahtangga responden memiliki barang elektronik dengan kategori yang sama. Sebaliknya, kebanyakan pengrajin lapisan bawah kurang atau cukup memiliki barang elektronik. Sebanyak 40 persen responden lapisan bawah hanya memiliki televisi dan radio tape. Sedang sebesar 50 persen responden lapisan bawah memiliki tiga jenis barang elektronik. Hal tersebut menunjukkan bahwa lapisan sosial pengrajin berhubungan dengan pemilikan barang elektronik. Kepemilikian barang elektronik dengan lapisan sosial dalam pengrajin juga memiliki hubungan dengan penguasaan alat komunikasi. Alat komunikasi mulai masuk ke dalam Kelurahan Purbayan sejak tahun 1995-an. Pada tahun tersebut hanya beberapa rumah tangga pengrajin yang memiliki pesawat telepon. Tetapi sejak mulai maraknya telepon gengam atau HP, masyarakat lebih memilih menggunakan atau membeli HP daripada memasang pesawat telepon. Hal tersebut mempengaruhi kepemilikan alat komunikasi yang digunakan oleh masyarakat. Sebesar 90 persen reponden laisan bawah hanya memiliki satu alat komunikasi saja yang dapat diartikan sebagai tingkat kepemilikan terhadap alat komunikasi adalah rendah atau kurang. Dari 10 responden pengrajin lapisan atas rata-rata memiliki alat komunikasi dua atau lebih. Hanya satu dari rumah tangga pengrajin lapisan ini yang memiliki satu alat komunikasi. Sedang pada responden pengrajin lapisan menengah cenderung lebih bervariatif, terdapat tiga rumah tangga yang memiliki satu alat komunikasi, empat rumahtangga memiliki dua alat komunikasi atau sedang dan tiga rumah tangga yang memiliki lebih dari dua alat komunikasi. Seiring dengan hal tersebut diatas, pemilikan alat transportasi juga berhubungan dengan lapisan sosial pengrajin logam. Hampir seluruh rumah tangga responden dari lapisan bawah memiliki alat transportasi dengan kategori rendah yaitu hanya memiliki sepeda dengan jumlah 80 persen sedang sisanya termasuk ke dalam kategori cukup atau memiliki sepeda dan satu motor saja. Untuk rumah tangga lapisan menengah terdapat sebanyak 30 persen memiliki alat transportasi kategori rendah, 40 persen rumah tangga dengan kategori sedang dan 30 persen rumah tangga dengan kategori tinggi. Hal tersebut hampir sama terjadi pada responden lapisan atas, yaitu sebesar 50 persen pengrajin dengan alat transportasi kategori tinggi, 30 persen pengrajin dengan kategori sedang dan hanya 20 persen pengrajin lapisan ini dengan kategori rendah. Pemilikan barang elektronik, selain dipengaruhi oleh lapisan sosial pengrajin juga dipengaruhi oleh faktor usia. Pengrajin logam dengan usia tua cenderung lebih sedikit atau rendah pelaksanaan gaya hidup khususnya gaya bangunan rumahnya dibanding dengan pengrajin usia muda. Hal tersebut lebih disebabkan karena faktor kesederhanaan yang dianut oleh pengrajin usia tua. Sedang pengrajin usia muda cenderung mengikuti perkembangan jaman dalam menerapkan gaya hidupnya. Seperti dalam kasus Ibu Nn Peralatan elektronik yang ia miliki hanya berupa televisi dan radio tape. Hal tersebut bukan karena ia tidak mampu tetapi karena ia merasa tidak perlu. Seperti yang diungkapkannya: “Kulo mung gadah televisi lan radio tape. Mergone memang merasa tidak perlu. Semono ugo lan telepon, HP kulo mboten butuh, anak -anak omahe cerak, pemesan bilih ajeng ngubungi sampun wonten telepon rumah. Jadi kulo merasa mboten perlu” saya hanya punya televisi dan radio tape. Karena memang merasa tidak perlu. Begitu juga dengan telepon. Saya tidak butuh HP, karena anak-anak saya tinggalnya dekat, para pemesan bila akan menghubungi saya bisa lewat telefon rumah. Jadi saya merasa tidak perlu” Hal tersebut berbeda dengan yang dikatakan oleh Bapak Ss: “Wonten dalem kula mung gadah televisi lan radio. Bukane mboten mampu gih, tapi la wong kula mung kaleh garwo tok sing tinggal. Saya mboten perlu neko- neko. Masak ibu biasa masak teng pawon. Mbasuh jarene ibu luwih mantep ngangge penggilingan. La butuh nopo meleh?” “Di rumah saya hanya ada televisi dan radio. Bukannya tidak sanggup membeli, tetapi cuma saya dan istri saya yang tinggal di rumah. Saya tidak perlu apa-apa lagi. Memasak , ibu lebih memilih memasak di tungku. Mencuci, kata ibu lebih mantap menggunakan penggilingan. Jadi saya butuh apa lagi?” Perbedaan gaya pada pola pemilikan barang sekunder dalam satu lapisan bukan saja disebabkan oleh pemilikan modal tetapi juga pada kondisi, pilihan dan kognisi Walters, 1994 dalam Chaney, 1996. Hal tersebut dimaksudkan bahwa selain perbedaan modal yang dimiliki oleh pengrajin antar lapisan, pola pemilikan barang sekunder tersebut dapat berbeda bagi pengrajin di setiap lapisannya. Perbedaan pada kasus Ibu Nn dan Bapak Ss, lebih dipengaruhi oleh pilihan masing-masing rumah tangga dari pada perbedaan modal. Secara tidak langsung perbedaan tersebut juga dipengaruhi oleh perbedaan waktu atau lama mereka berada pada lapisan tersebut. Pengrajin lapisan atas yang baru cenderung mengikuti atau membeli barang-barang sekunder sesuai perkembangan seperti komputer, handphone, dan sebagainya. Seiring dengan kondisi diatas, maka perubahan kepemilikan barang sekunder terjadi pada pengrajin lapisan atas. Pengembangan industri pariwisata di daerah tersebut secara tidak langsung juga mempengaruhi perubahan tersebut. Sehingga terjadi perubahan pola pemilikan barang sekunder menjadi lebih modern pada pengrajin lapisan atas dan kemudian menjadi prestise mereka. Tabel 19. Distribusi Frekuensi Menurut Lapisan Sosial Pengrajin Dan Pola Pemilikan Barang Sekunder Tahun 2004 Lapisan Sosial Pengrajin Bawah Menengah Atas Pola Pemilikan Barang Sekunder Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah persen Rendah Sedang Tinggi 8 2 - 80 20 - 1 6 3 10 60 30 - 2 8 - 20 80 9 10 11 30 33,3 36,7 Jumlah 10 100 10 100 10 100 30 100 Sumber: Data Primer 2005 Dari tabel tersebut diatas maka dapat dipaparkan bahwa pada rumah tangga responden lapisan bawah tidak ada yang memiliki barang sekunder rumah tangga dengan kriteria tinggi. Sebesar 80 persen dari jumlah total pengrajin lapisan bawah yang rendah dalam memiliki barang sekunder. Sebaliknya, pada rumah tangga lapisan atas tidak terdapat responden yang memiliki barang elektronik dengan kriteria rendah, tetapi hampir semua atau sebanyak 80 persen responden dengan kriteria tinggi. Secara keseluruhan, dikatakan bahwa variabel lapisan sosial pengrajin dan variabel pola pemilikan barang sekunder berhubungan nyata berdasarkan uji statistika Korelasi Spearman dengan nilai sebesar 0,801. Dengan kata lain semakin tinggi lapisan sosial pengrajin maka semakin tinggi pula pola pemilikan barang sekunder. Hubungan kedua variabel tersebut dapat disajikan dalan tabel distribusi frekuensi menurut pelapisan sosial dengan pola pemilikan barang sekunder dalam tabel 19. Secara kuantitatif, variabel pola pemilikan barang sekunder tidak dipengaruhi oleh status penduduk. Dari total rumah tangga responden, terdapat tiga rumah tangga yang berstatus sebagai pendatang. Dari ketiga responden pendatang tersebut tidak terdapat perbedaan pada pola pemilikan barang sekunder dengan responden asli pada tiap lapisannya. Berdasarkan karakteri stik responden berupa tingkat pendidikan terdapat empat rumah tangga responden yang memiliki barang sekunder dengan kriteria rendah adalah tamatan SD, dua tamatan SLTP, tiga tamatan SLTA dan satu lulusan perguruan tinggi. Pada rumah tangga responden yang memiliki pola pemilikan barang sekunder dengan kriteria sedang, terdapat dua responden tamatan SD, lima responden tamatan SLTA dan tiga responden tamatan perguruan tinggi. Pada rumah tangga responden dengan pemilikan barang sekunder berkriteria tinggi, terdapat empat responden tamatan SD, satu tamatan SLTP, tiga responden tamatan SLTA dan tiga responden tamatan perguruan tinggi. Dari data tersebut, dapat dikatakan bahwa variabel gaya bahasa tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.

6.3. Kecenderungan Hubungan Antar Lapisan Sosial Pengrajin logam