2.3. Dampak Industri Pariwisata Terhadap Gaya Hidup 2.3.1. Perubahan Sosial
Manusia adalah makhluk yang hidup bersama secara kolektif atau berkelompok yang di dalamnya terjadi pergaulan dan interaksi satu sama lain. Dari interaksi yang
terjadi antar sesama masyarakat tersebut akan dapat merubah perilaku masyarakat. Perubahan perilaku tersebut muncul sebagai akibat dari interaksi sosial budaya antara
kedua belah pihak. Soemardjan dalam Soekanto 1990 merumuskan perubahan sosial sebagai
segala perubahan-perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai,
sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Definisi tersebut ditekankan pada perubahan dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan
sebagai himpunan pokok manusia, dan perubahan-perubahan yang mempengaruhi struktur lainnya. Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat dapat berupa
perubahan pada nilai sosial, norma sosial, pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi
sosial dan lain lain. Pola-pola perilaku kebudayaan melatar-belakangi masing-masing warga masyarakat untuk memberikan nilai-nilai yang berbeda tentang kebiasaan
mereka. Dimensi perubahan sosial meliputi dimensi struktural yang menyangkut
hubungan antar individu dan pola hubungan dan dimensi kultural yang menyangkut nilai-nilai dan norma-norma sosial Mac. Iver dalam Soekanto. 1990. Perubahan
dalam kebudayan mencakup semua bagian yaitu: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan seterusnya, bahkan perubahan-perubahan dalam bentuk aturan-
aturan organisasi sosial. Dalam keadaan hidup bers ama itu manusia juga mengadakan produksi dan tukar menukar barang dan jasa yang dapat berlangsung dengan tunai,
perjanjian dan seterusnya proses ekonomi.
Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sosial adalah faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor yang bersumber dari dalam masyarakat itu sendiri 2. Faktor yang berasal dari luar masyarakat
Perubahan sosial dapat terjadi dikarenakan adanya dampak dari suatu kegiatan atau program pembangunan. Travis 1984 dalam Pitana dan Gayatri 2005
mengelompokkan dampak dari pengembangan pariwisata menjadi dampak positif dan dampak negarif. Dampak positif diantaranya adalah pembangunan budaya, pertukaran
sosial, peningkatan fasilitas sosial, pendidikan dan perubahan sosial. Sedang dampak negatif adalah kehancuran budaya lokal, ketidakstabilan sosial dan komersialisasi
hubungan antar manusia. Dampak merupakan akibat dari keluaran atau pengaruh dari output suatu
kegiatan atau program pembangunan. Dale 1998 mendefinisikan dampak atau Impacts sebagai:
These are the longer-term, largely indirect consequences of the programme or project for the intended beneficiaries and any other people.
The main impacts are, of course, expected to be positive. however, the may be negative as well, on beneficiary groups or other.
Salah satu dampak atau perubahan sosial budaya dari pengembangan pariwisata adalah dampak terhadap gaya hidup tradisional dan pola konsumsi
masyarakatnya Figuerola dalam Pearce, 1989 dalam Pitana dan Gayatri, 2005.
2.3.2. Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari kata buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal Soekanto, 1990. Kebudayaan memiliki
arti sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal atau budi. Tylor 1981 dalam Soekanto 1990 mendefinisikan kebudayaan sebagai kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Subyek-subyek kebudayaan dalam suatu masyarakat
berupa rumah, sandang, jembatan, alat-alat komunikasi dan sebagainya. Koentjaraningrat 1990 mengatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan
sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Kebudayaan setiap masyarakat memiliki unsur-unsur, baik unsur besar maupun unsur kecil. Unsur-unsur tersebut bersifat universal, yaitu dapat dijumpai dalam setiap
kebudayaan di masyarakat lain. Kluckhohn 1959 dalam Soekanto 1990 menyebutkan terdapat tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural
universals, yaitu: 1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia pakaian, perumahan, alat-alat rumah
tangga, senjata, alat-alat produksi, transpor dan sebagainya 2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi pertanian, peternakan, sistem
produksi, sistem distribusi dan sebagainya 3. Sistem kemasyarakatan sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, dan
sistem perkawinan 4. Bahasa lisan dan tertulis
5. Kesenian seni rupa, seni suara, seni gerak, seni kerajinan dan sebagainya 6. Sistem pengetahuan
7. Religi sistem kepercayaan Koentjaraningrat 1979 mengatakan bahwa unsur universal kebudayaan
tersebut memiliki tiga wujud, yaitu: 1 Wujud idiil pola bersikap yaitu kompleks, gagasan, nilai-nilai
2 Wujud aktifitas pola kelakuan yaitu suatu kompleks tindakan berpola terorganisai terstruktur dari manusia dalam masyarakat
3 Wujud fisik pola sarana atau kebendaan yaitu benda-benda hasil karya manusia.
Soekanto 1990, menyatakan terdapat kebudayaan khusus kelas sosial. Masing-masing kelas sosial memiliki kebudayaan masing-masing, yang menghasilkan
kepribadian yang tersendiri pula pada setiap diri anggota-anggotanya. Dari cara berpakaian, etiket dalam pergaulan, cara mengisi waktu senggang, bahasa yang
dipergunakan dan lain sebagainya dapat ditarik kesimpulan mengenai kepribadian masing-masing yang berbeda-beda dari tiap kelas atau pelapisan sosial.
2.3.3. Gaya Hidup
Dalam kehidupan bermasyarakat, gaya hidup masyarakat membantu mendefinisikan sikap, nilai-nilai dan menunjukkan kekayaan serta posisi sosial
seseorang. Perbedaan lapisan tersebut menuntut adanya suatu sistem simbolisme yang berfungsi sebagai alat penunjuk mengenai status seseorang. Gaya hidup menjadi
penunjuk adanya perbedaan lapisan tersebut. Lapisan sosial yang terdapat dalam masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan berdasar gaya hidup yang
mereka miliki, sehingga jelas membedakan antara lapisan atas dengan lapisan bawah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kartodirdjo 1987, bahwa gaya hidup merupakan
fungsi dari stratifikasi sosial, yaitu sebagai garis pemisah atau petunjuk perbedaan antar golongan, sehingga faktor kekayaan, status, dan kekuasaan turut mempengaruhi
struktur gaya hidup. Kartodirdjo 1987, menyatakan bahwa gaya hidup merupakan suatu totalitas
dari berbagai tatacara, adat kebiasaan, struktur kelakuan, kompleks lambang-lambang, sikap hidup serta mentalitas dari suatu golongan sosial yang secara menyeluruh
mempengaruhi kehidupannya sehari-hari. Pada dasarnya, gaya hidup menunjukkan suatu yang bersifat eksklusive karena fungsinya sebagai pembeda lapisan sosial. Hal
tersebut senada dengan yang dikatakan Sobel 1981 dalam Chaney 1996 bahwa gaya hidup adalah setiap cara kehidupan yang khas dan karena itu dapat dikenali.
Definisi tersebut menunjukkan bahwa dalam gaya hidup yang dijalankan seseorang
akan terlihat dari lapisan sosial mana dia berasal. Amaluddin 1987 mengatakan bahwa gaya hidup melambangkan prestise sosial seseorang. Oleh karena itu, setiap
golongan sosial akan memperagakan haya gidup spesifik sesuai dengan prestise yang mereka miliki sehingga perbedaan prestise antar golongan sosial akan menimbulkan
perbedaan gaya hidup. Seiring dengan definisi diatas, Chaney 1996 menyatakan bahwa gaya hidup
merupakan bentuk identitas kolektif yang berkembang seirama dengan waktu. Walters 1994 dalam Chaney 1996 mengatakan bahwa suatu gaya hidup didefinisikan
melalui tiga pengaruh yang saling berkaitan, yaitu kondisi, pilihan, dan kognisi. Perbedaan gaya hidup antar lapisan sosial menurut Amaluddin 1987 terwujud
dalam berbagai bentuk antara lain: gaya bangunan rumah, gaya bahasa, dan gaya pakaian seseorang. Murniatmo 1994, mengatakan bahwa
Sub unsur teknologi yang lain yang banyak mengalami perubahan adalah bangunan-bangunan yang termasuk bangunan tempat tinggal. Seperti
yang diketahui bersama bahwa bangunan tradisional yang menunjukkan budaya Jawa Yogyakarta adalah bangunan yang atapnya berbentuk
joglo, limasan, kampung. .... Bangunan dengan bentuk joglo dan limasan itu merupakan bentuk bangunan tradisional orang Jawa yang mempunyai
ukuran besar dan megah. Bentuk bangunan yang sederhana adalah bentuk kampung dan panggangpe
Gaya bangunan rumah tinggal dalam tradisi Jawa menurut Kodiran 1971
dalam Amaluddin 1987 dibedakan berdasarkan bentuk bangunan atapnya. Tipe yang pertama adalah tipe limasan, tipe rumah yang bangunan atapnya terdiri dari enam
bidang antara lain bidang muka atas, bidang muka bawah, bidang belakang atas, bidang belakang bawah, bidang samping kanan, dan bidang samping kiri. Tipe kedua
adalah tipe jawa atau serontong, yaitu rumah yang bentuk atapnya terdiri dari empat bidang, yaitu bidang muka atas, muka bawah, belakang atas, dan belakang bawah.
Tipe terakhir adalah tipe klabangnyander di mana tipe rumah yang memiliki bangunan atap yang terdiri dari dua bidang, samping kanan dan samping kiri.
Bentuk gaya hidup selanjutnya adalah gaya bahasa. Perbedaan bahasa yang ditentukan oleh lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat Jawa menyolok sekali
Koentjaraningrat, 1990. Perbedaan bahasa menurut lapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan disebut tingkat sosial bahasa. Menurut Koentjaraningrat 1984
dalam Amaluddin 1987 gaya bahasa Jawa terdiri dari tiga gaya utama, yaitu bahasa jawa ngoko, madya, dan kromo atau krami .
Hal tersebut serupa dengan yang dikatakan oleh Selo Soemardjan 1986 bahwa tata hubungan yang berstratifikasi antara para anggota masyarakat Jawa di
Yogyakarta di masa dulu dan sekarang, tercermin antara lain dalam penggunaan bahasa. Bahasa ini sesungguhnya terdiri dari tiga sub-bahasa, yaitu krama hinggil
untuk status yang lebih tinggi, krama madya untuk orang-orang yang sederajat, dan ngoko untuk status yang lebih rendah. Sistem tiga sub-bahasa ini berfungsi untuk
menunjukkan perbedaan-perbedaan halus dalam tingkat penghormatan dan penghargaan yang ditunjukkan untuk orang lain. Seseorang dengan status lebih tinggi
akan menggunakan bahasa ngoko, sedang seseorang dengan status yang lebih rendah akan berbahasa kromo hinggil.
Sedang gaya pakaian menunjukkan pada variasi model pakaian yang biasa digunakan. Murniatmo 1994, mengatakan bahwa dalam kebudayaan manusia,
teknologi merupakan salah satu diantara ketujuh unsur kebudayaan pakaian atau busana. Salah satu ciri kebudayaan yang menunjukkan sifat kedaerahan adalah
pakaian dengan kelengkapannya. Salah satu contohnya adalah kebaya lurik dan kain batik yang merupakan pakaian wanita khas Jawa, sedang surjan lurik dan kain dengan
blangkon adalah ciri khas laki-laki Jawa. Chaney 1996 menyatakan bahwa fashion mode adalah suatu topik yang layak menjadi perhatian kita
karena jelas ia merupakan suatu cara aksi yang dirangsang oleh perkembangan industri konsumen. Dinamika perubahan dalam cara-cara
fashion yang berbeda begitu jelas mencerminkan proses pembentukan gaya hidup yang lebih luas. .... untuk menegaskan identitas sosial.
Chaney 1996 juga menyebutkan bahwa fashion adalah suatu level
representasi yang tidak menunjuk di luar wacananya sendiri. Amaluddin 1987 membedakannya menjadi tiga, yaitu kurang bervariasi, cukup bervariasi, dan sangat
bervariasi.
2.4. Kerangka Pemikiran