pengolahan antara lain yaitu nanas dalam kaleng, jus nanas, nanas dalam botol, selai, asinan, dll. Setelah mengalami pengolahan menjadi bentuk lain, maka nanas
tersebut memperoleh nilai tambah dan mempunyai harga jual yang lebih tinggi.
2.2. Sistem Agribisnis
Agribisnis merupakan suatu sistem, bila akan dikembangkan harus terpadu dan selaras dengan semua sub sistem yang ada di dalamnya. Pengembangan
agribisnis tidak akan efektif dan efisien bila hanya mengembangkan salah satu sub sistem yang ada di dalamya.
2.2.1. Konsep Sistem Agribisnis
Agribisnis mencakup semua kegiatan yang dimulai dengan subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, subsistem produksi primer, subsistem
pengolahan dan subsistem pemasaran. Sistem agribisnis akan berfungsi baik apabila tidak ada gangguan pada salah satu subsitem dalam gambar 1.
Pengembangan agribisnis harus mengembangkan semua subsistem di dalamnya karena tidak ada satu subsistem yang lebih penting dari sub sistem lainnya.
subsistem pengadaan dan
penyaluran sarana
produksi subsistem
produksi primer
subsistem pengolahan
subsistem pemasaran
Lembaga penunjang Agribisnis
Pertanahan, Keuangan, Penelitian, dll. Gambar 1. Sistem Agribisnis dan Lembaga Penunjangnya Soehardjo, 1997
Sub sistem pengolahan dalam sistem agribisnis tersebut sering dikenal oleh masyarakat dengan istilah agroindustri. Agroindustri dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu agroindustri hulu dan agroindustri hilir. Agroindustri hulu mencakup industri penghasil input pertanian, seperti pupuk, pestisida, alat-alat
dan mesin-mesin pertanian, dll. Agroindustri hilir adalah industri pengolahan hasil-hasil pertanian primer bahkan lebih luas lagi mencakup industri sekunder
dan tersier yang mengolah lebih lanjut dari produk olahan hasil pertanian primer.
2.2.2. Sistem Agribisnis Nanas
subsistem pengadaan
dan penyaluran
sarana produksi
Pemasaran Produk
Nanas Industri
Pengolahan Nanas
Usahatani Nanas
Departemen Pertanian, Bank, Lembaga Penelitian,pendidikan dll.
Gambar 2. Sistem Agribisnis Nanas dan Lembaga Penunjangnya di kabupaten Tapanuli Utara
• Setiap subsistem dalam sistem agribisnis nanas mempunyai keterkaitan ke
belakang dan ke depan. Tanda panah ke belakang ke kiri pada Industri pengolahan nanas menunjukkan bahwa industri pengolahan tersebut akan
berjalan dengan baik apabila ditunjang oleh ketersediaan bahan baku yang dihasilkan oleh usahatani nanasnya. Tanda panah ke depan ke kanan pada
Industri pengolahan nanas menunjukkan bahwa industri pengolahan nanas akan berjalan dengan baik jika menemukan pasar untuk produknya.
• Agribisnis nanas memerlukan lembaga penunjang, misalnya Departemen
Pertanian, Bank, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan lain-lain. Lembaga pendidikan dan pelatihan mempersiapkan para pelaku agribisnis yang
profesional sedangkan lembaga penelitian memberikan sumbangan berupa teknologi dan informasi. Lembaga keuangan koperasi, bank, dll membantu
dalam peminjaman modal saat berlangsungnya proses agribisnis. Biasanya lembaga penunjang kebanyakan berada di luar sektor pertanian, sehingga
sektor pertanian semakin erat terkait dengan sektor lainnya. •
Agribisnis nanas melibatkan pelaku dari berbagai pihak BUMN, swasta, dan koperasi dengan profesi sebagai penghasil produk nanas, pengolah nanas,
pedagang, distributor, importir, eksportir, dan lain-lain. Kualitas sumberdaya manusia di atas sangat menentukan berfungsinya subsistem-subsistem dalam
sistem agribisnis nanas dan memelihara kelancaran arus komoditas nanas dari produsen ke konsumen.
2.3.Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai optimalisasi pendapatan dan pemasaran usahatani nenas telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, yaitu oleh Maulana 1998, di
Desa Bunihayu, Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pendapatan, penggunaan faktor-
faktor produksi yang digunakan serta saluran dan margin pemasaran dari usahatani nenas. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rata-rata penerimaan
usahatani nenas per hektar per tahun pada tahun 1997 sebesar Rp. 14.490.000,00 sedangkan pengeluaran per hektar per tahun sebesar Rp. 2.765.500,00. Dari hasil
penerimaan dan pengeluaran tersebut maka pendapatan per hektar per tahun adalah sebesar Rp. 11.724.500,00; dengan ratio RC sebesar 5,24. hal itu berarti
bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan memperoleh penerimaan sebesar Rp. 5,24.
Selain itu, Maulana meneliti tentang saluran pemasaran nenas yang terjadi di Desa Bunihayu. Pola saluran pemasaran untuk menyalurkan nenas dari
produsen petani ke konsumen melalui tiga jenis pola saluran pemasaran. Saluran pemasaran pola I lebih pendek dibandingkan pola II dan pola III. Berdasarkan
ketiga pola saluran pemasaran tersebut tidak ada perbedaan harga yang diterima petani. Dalam pola saluran pemasaran I lebih dominan dibandingkan pola II dan
III karena mempunyai rasio total keuntungan dengan total pengeluaran yang dikeluarkan oleh seluruh lembaga yang terlibat tertinggi yaitu 0,2, pola II 0,15,
dan pola III 0,14. Yuningsih 1999, meneliti tentang Analisis Optimalisasi Pendapatan
Usahatani Pada Keragaman Jenis Usaha Petani Nenas, di Desa Bunihayu, Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat pendapatan yang diperoleh petani nenas, jenis kegiatan yang dapat mengoptimalkan pendapatan dan nilai pendapatan optimal,
sumberdaya utama yang menjadi kendala dalam optimalisasi pendapatan petani nenas. Analisis data yang digunakan meliputi analisis biaya, penerimaan,
pendapatan, efisiensi dan analisis optimalisasi yang terdiri dari analisis primal, dual dan sensitivitas.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pendapatan bersih total per ha yang diperoleh petani lahan sempit golongan pemilik-penyewa penggarap sebesar
Rp. 22.318.120,1 petani lahan sempit golongan pemilik penggarap sebesar Rp. 14.324.883,2 dan petani lahan sempit golongan penyewa penggarap sebesar Rp.
11.753.807,2. Untuk petani lahan luas golongan pemilik-penyewa penggarap, pendapatan bersih yang diterima sebesar Rp. 46.014.514,7 dan petani lahan luas
golongan pemilik penggarap sebesar Rp. 30.997.250,0. Pendapatan bersih per ha terbesar diterima oleh petani lahan luas golongan pemilik-penyewa penggarap.
Sedangkan hasil optimalisasi pendapatan bersih total usahatani nenas menunjukkan bahwa optimalisasi pendapatan petani lahan sempit golongan
pemilik-penyewa penggarap sebesar Rp. 29.764.311,37 petani lahan sempit golongan pemilik penggarap sebesar Rp. 31.671.516,50 dan petani lahan sempit
golongan penyewa penggarap sebesar Rp. 21.892.173,40. Untuk petani lahan luas golongan pemilik-penyewa penggarap, pendapatan bersih optimal yang diterima
sebesar Rp. 61.371.187,40 dan petani lahan luas golongan pemilik penggarap sebesar Rp. 54.819.444,40. Pendapatan bersih total aktual sekarang yang
diperoleh petani nenas berlahan sempit golongan pemilik-penyewa penggarap dengan jenis tanaman yang berbeda hampir mendekati optimal sedangkan petani
golongan yang lainnya belum optimal. Dumaria 2003, meneliti tentang Analisis Efisiensi Usahatani Nenas, di
Desa Tambakan, Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran usahatani nenas di
Subang, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi nenas, dan menganalisis efisiensi usahatani nenas. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
rata-rata penerimaan usahatani nenas per hektar per tahun sebesar Rp. 18.000.000,00 sedangkan total biaya rata-rata per hektar per tahun sebesar Rp.
11.265.400,00 dengan biaya tunai rata-rata sebesar Rp. 9.138.300,00. Dari hasil penerimaan dan biaya total tersebut maka diperoleh pendapatan per hektar per
tahun adalah sebesar Rp. 6.734.600,00 dan pendapatan atas biaya tunai adalah sebesar Rp. 8.861.700,00; dengan ratio RC atas biaya total sebesar 1,60 yang
berarti bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan memperoleh penerimaan sebesar Rp. 1,60 dan ratio RC atas biaya tunai sebesar 1,98 yang
berarti bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan memperoleh penerimaan sebesar Rp. 1,98. Berdasarkan model fungsi produksi yang terbentuk
menunjukkan bahwa jumlah nilai elastisitas produksi sebesar 1,3040. dari nilai tersebut menunjukkan bahwa skala usaha berada pada kondisi skala usaha yang
meningkat. Simbolon 2000, meneliti tentang Analisis Kelayakan Investasi dan
Pemasaran Jeruk Siam Medan, di Desa Surbakti, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji keragaan usahatani jeruk siam, menganalisis kelayakan investasi pengusahaan jeruk siam Medan di Sumatera Utara, mengkaji perubahan analisis
kelayakan pengusahaan jeruk siam jika terjadi perubahan pada manfaat dan biaya serta menganalisis sistem dan efisiensi pemasaran jeruk siam. Analisis data yang
digunakan mencakup analisis kualitatif untuk mengetahui gambaran mengenai usahatani jeruk siam dan analisis kuantitatif untuk menganalisis kelayakan
investasi menggunakan kriteria investasi : NPV, Net BC, IRR dengan metode discounted cash flow pada tingkat diskonto 24 persen dan analisis sensitivitas
untuk mengetahui kelayakan investasi terhadap perubahan pada manfaat dan biaya serta analisis pemasaran digunakan analisis saluran dan fungsi-fungsi pemasaran
dan analisis margin pemasaran. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hasil produksi usahatani jeruk di
Desa Surbakti seluruhnya diorientasikan ke pasar. Dari perhitungan kelayakan dengan tingkat diskonto 24 persen diperoleh nilai NPV sebesar Rp. 79.846.864,
hal ini berarti bahwa usahatani jeruk siam yang dilakukan menurut nilai sekarang adalah menguntungkan untuk dilaksanakan karena akan memberikan keuntungan
sebesar Rp. 79.846.864. Nilai Net BC dan IRR yang diperoleh juga menunjukkan bahwa usahatani jeruk layak diusahakan yaitu nilai Net BC sebesar 4,45 atau
lebih besar dari satu dan nilai IRR sebesar 63,76 persen atau lebih besar dari tingkat diskonto 24 persen. Tingkat pengembalian Investasi terjadi pada lima
tahun tujuh bulan umur tanaman dari 15 tahun umur tanaman yang ditentukan. Dari hasil analisis sensitivitas usahatani jeruk siam pada tingkat diskonto
24 persen, memperlihatkan bahwa usahatani jeruk siam tidak peka terhadap perubahan produksi, harga pupuk dan pestisida serta harga output. Sementara
dengan switching value yang dilakukan menunjukkan bahwa usahatani jeruk siam menjadi tidak layak jika produksi atau harga output diturunkan lebih dari 51
persen dan biaya dinaikkan lebih dari 109 persen. Sehingga usahatani jeruk siam kurang peka terhadap perubahan produksi dan harga output serta tidak peka
terhadap perubahan biaya. Ditinjau dari besarnya Margin pemasaran dan farmer’s share
yang diterima petani, maka jalur I lebih efisien dibandingkan dengan jalur II, hanya saja dilihat dari rasio keuntungan biaya oleh masing-masing lembaga
yang terlibat kurang merata.
Nasution 2001, meneliti tentang Studi Kelayakan Agribisnis Jeruk, di Kecamatan Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Hasil
analisis usahatani jeruk selama 6 tahun yang dilakukan petani jeruk adalah menguntungkan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai ratio RC sebesar 1,91. Dengan
besarnya biaya tunai sebesar Rp. 9.452.300,00 dan biaya yang diperhitungkan sebesar Rp. 2.325.000,00. Jadi total biaya yang dikeluarkan petani dalam
usahatani jeruk selama 6 tahun adalah sebesar Rp. 11.777.300,00. Total produksi selama 6 tahun sebesar 18.750 kg dengan tingkat harga Rp. 1200,00 per kg
sehingga diperoleh total penerimaan sebesar Rp. 22.500.000,00. Maka diperoleh pendapatan total petani jeruk selama 6 tahun adalah sebesar Rp. 10.722.700,00.
Dengan analisis Tataniaga Pertanian, terdapat tiga jalur tataniaga dan jalur tersebut merupakan jalur yang pendek. Fungsi-fungsi pemasaran meliputi : fungsi
pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Komponen biaya pemasaran meliputi biaya transportasi, sortasi dan biaya bongkar muat. Dengan menggunakan konsep
farmer’s share untuk mengetahui besarnya bagian yang diterima petani sebagai
balas jasa atas kegiatan yang dilakukan dalam usahatani jeruk. Menggunakan analisis kelayakan usaha dengan cara mengkaji aspek-aspek yaitu aspek teknis,
aspek pasar, aspek finansial, dan aspek ekonomi. Secara teknis usahatani jeruk layak dilaksanakan karena usahatani jeruk telah memenuhi syarat-syarat yang
diperlukan. Membedakan biaya yang dikeluarkan dalam usahatani jeruk yaitu biaya investasi dan biaya operasional. Sedangkan manfaat diperoleh dengan cara
mengalikan hasil penjualan jeruk dengan harga jeruk itu sendiri. Dari hasil perhitungan analisis finansial pada usahatani jeruk keprok siam diperoleh nilai
NPV sebesar 23.794.340,84, IRR sebesar 38,70 dan Net BC sebesar 8,16.
Sedangkan pada analisis ekonomi diperoleh nilai NPV sebesar 53.827.058,59, IRR sebesar 27,32 dan Net BC sebesar 4,81. Untuk analisis finansial pada
usahatani jeruk keprok maga diperoleh nilai NPV sebesar 323.460.664,63, IRR sebesar 26,96 dan Net BC sebesar 41,59, sedangkan pada analisis ekonomi
diperoleh nilai NPV sebesar 300.107.635,64, IRR sebesar 25,19 dan Net BC sebesar 35,18. Dari hasil tersebut berarti usahatani jeruk keprok siam dan jeruk
keprok maga pada tingkat diskonto 12 layak dilaksanakan di daerah penelitian. Analisis sensitivitas kelayakan usahatani jeruk dilakukan terhadap 9 kemungkinan
perubahan produksi pada tingkat diskonto 12 , 15 , 16 , 25 , dan 30 . Dalam analisis kelayakan usaha selain kegiatan usahatani jeruk hal lain yang
diperhatikan adalah kegiatan agribisnis jeruk mulai dari produksi sampai pengolahan hasil panen. Semua syarat yang diperlukan dalam proyek
pengembangan agribisnis jeruk yang direncanakan dapat dipenuhi. Dari hasil perhitungan analisis finansial pada proyek agribisnis jeruk
diperoleh nilai NPV sebesar 46.227.520.218,34, IRR sebesar 24,09 dan Net BC sebesar 11,35. Sedangkan pada analisis ekonomi diperoleh nilai NPV sebesar
266.910.535.667,17, IRR sebesar 56,55 dan Net BC sebesar 41. Dari hasil tersebut berarti proyek agribisnis jeruk pada tingkat diskonto 12 layak
dilaksanakan di daerah penelitian.
III. KERANGKA PEMIKIRAN